PENDAHULUAN
Sindroma croup adalah sindroma klinis yang ditandai dengan suara serak,
batuk menggonggong, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya stress
pernafasan. Gejala yang dapat ditimbulkan bisa dari yang bersifat ringan, sedang,
atau bahkan bisa dengan gejala yang cukup parah biasanya terjadi menburuk pada
malam hari. Penyakit ini sering terjadi pada anak. Croup berasal dari bahasa
Anglo-Saxon yang berarti tangisan keras. Penyakit ini pertama kali dikenal pada
tahun 1928.
Croup sindrome ini terjadi sekitar 15% dari anak-anak, dan biasanya
terpapar antara usia 6 bulan dan 5-6 tahun. Penyakit ini terdapat sekitar 5% dari
penerimaan rumah sakit dalam suatu populasi. Dalam kasus yang jarang, mungkin
terjadi pada anak-anak berumur 3 bulan dan yang tertua sekitar 15 tahun.
Perbandingan anak laki-laki dan perempuan yang menderita penyakit ini adalah
50% anak laki-laki lebih sering daripada perempuan, dan ada peningkatan
prevalensi dimusim gugur.
Istilah lain untuk croup ini adalah laringitis akut yang menunjukkan lokasi
inflamasi, yang jika meluas sampai trakea disebut laringitrakeitis, dan jika terjadi
sampai ke bronkus digunakan istilah laringotrakeabronkitis. Penyakit ini
disebabkan oleh virus yang menyerang saluran respiratori atas. Penyakit ini dapat
menimbulkan obstruksi saluran respiratori. Obstruksi yang terjadi dapat bersifat
ringga berat.
Radang akut saluran pernapasan atas jauh lebih penting pada bayi dan
anak kecil dibandingkan pada anak yang lebih tua, karena jalan napas yang lebih
kecil cenderung manghadapkan anak kecil pada suatu keadaan penyempitan yang
relatif lebih berat daripada yang ditimbulkan oleh tingkat radang yang sama pada
anak yang lebih tua (Orenstein, 2000).
Sebelum abad ke-20, semua penyakit yang serupa croup diperkirakan
merupakan penyakit difteria (Cherry, 2008). Croup adalah istilah umum yang
meliputi kelompok heterogen keadaan yang ralatif akut (kebanyakan infeksi) yang
ditandai dengan batuk keras dan kasar yang khas atau croupy, yang tidak atau
dapat disertai dengan stridor inspiratoir, suara parau, dan tanda-tanda kegawatan
pernapasan yang disebabkan oleh berbagai tingkat obstruksi laring (Orenstein,
2000).
Infeksi tersebut pada bayi dan anak kecil jarang terbatas pada suatu daerah
saluran pernapasan; biasanya mengenai sampai beberapa tingkat laring, takea, dan
bronkus. Bila ada keterlibatan laring yang cukup dapat menimbulkan gejala,
gambaran klinis dari bagian laring mungkin mengaburkan tanda-tanda dari trakea
dan bronkus (Orenstein, 2000).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindrom croup adalah berbagai penyakit respiratorik yang ditandai dengan
gejala akibat obstruksi laring yang bervariasi dari ringan sampai berat berupa
stridor inspirasi, batuk menggonggong, suara parau, sampai gejala distres
pernapasan (Oma dkk, 2005).
2.2 Epidemiologi
Croup umumnya terjadi pada anak yang berusia diantara 6 bulan sampai 3
tahun, tetapi dapat juga terjadi pada anak berusia 3 bulan dan sampai 15 tahun.
Dilaporkan, sindrom ini jarang terjadi pada orang dewasa (Alberta Medical
Association, 2008).
Croup sindrome terbanyak disebabkan oeh virus yang menyerang sauran
respiratori atas. Virus yang paling sering menyebabkan sindroma ini adalah para-
influenza tipe 1 virus (HPIV-1) 60%, HPIV-2, 3, dan 4, influenza A dan virus B,
adenovirus, Respiratory Syncytia Virus (RSV) dan campak virus. Selain dapat
disebabkan oleh virus, croup ini dapat pula disebabkan oleh suatu bakteri. Bakteri
yang dapat menimbulkan penyakit ini antara lain Corynebacterium diphtheriae,
Staphylococcus Aureus, Sreptococcus Pneumonia, Hemophilus influenza, dan
Catarrhais Moraxela.
Insidensinya lebih tinggi 1,5 kali pada anak laki-laki daripada anak
perempuan (Cherry, 2008). Dalam penelitian Alberta Medical Association, lebih
dari 60% anak yang didiagnosis menderita croup dengan gejala ringan, sekitar 4%
dirawat di rumah sakit, dan kira-kira 1 dari 4.500 anak yang diintubasi (sekitar 1
dari 170 anak yang dirawat di rumah sakit) (Alberta Medical Association, 2008).
2.3 Klasifikasi
2.3.1 Klasifikasi Berdasarkan Beratnya Gejala
Anak-anak yang menderita sindrom croup, secara luas dapat dikategorikan
berdasarkan 4 derajat beratnya gejala:
1). Ringan
Gejala batuk menggonggong yang kadang-kadang, tidak terdengar
suara stridor saat istirahat, dan tidak adanya retraksi sampai adanya
retraksi ringan suprastrenal dan/atau interkostal.
2). Sedang
Gejala batuk menggonggong yang lebih sering, suara stidor saat
istirahat yang dapat dengan mudah didengar, dan retraksi suprasternal dan
dinding sternal saat istirahat, tetapi tidak ada atau sedikit gejala distres
pernapasan atau agitasi.
3). Berat
Gejala batuk menggonggong yang lebih sering, stridor inspirasi
yang menonjol dan kadang-kadang stidor ekspirasi, retraksi dinding
sternal yang jelas, dan adanya gejala distres pernapasan dan agitasi yang
signifikan.
4). Kegagalan pernapasan terjadi segera
Batuk menggonggong (sering tidak menonjol), terdengar stridor
saat istirahat (kadang-kadang sulit di dengar), retraksi dinding sternal
(dapat tidak jelas), letargi atau penurunan kesadaran, dan jika tanpa
tambahan oksigen, kulit tampak kegelapan. (Alberta Medical Association,
2008)
2.4 ETIOLOGI
Croup sindrom ini biasanya dianggap terjadi karena infeksi virus.
Namalain menggunakan istilah yang lebih luas, untuk menyertakan
laryngotrakeitisakut, batuk tidak teratur, difteri laring, trakeitis bakteri ,
laryngotrakeo-bronkitis,dan laryngotrakeobronkopneumonitis. Dari
macam-macam penyakit tersebutterdapat kondisi yang melibatkan infeksi
virus dan umumnya lebih ringansehubungan dengan simptomatologi, akan
tetapi terdapat pula yang dikarenainfeksi bakteri dan biasanya dengan
tingkat keparahan lebih besar. Selain dapatdisebabkan virus dan
bakteri,croup sindrom juga bisa dikarenakan infeksi jamur yaitu berupa
Candida albican.
Viral
Viral croup / laryngotrakeitis akut yang disebabkan oleh
Human Parainfluenza Virusterutama tipe 1 (HPIV1), HPIV-2,
HPIV-3, dan HPIV-4terdapat pada sekitar 75% kasus. Etiologi virus
lainnya adalah Influenza A dan B,virus campak , Adenovirus dan Virus
pernapasan / Respiratory Syncytial Virus (RSV). Batuk hebat disebabkan
oleh kelompok virus yang sama sepertilaryngotrakeitis akut, tetapi tidak
memiliki tanda-tanda infeksi biasa (sepertidemam, sakit tenggorokan, dan
meningkatkan jumlah sel darah putih). Perawatan,dan respon terhadap
pengobatan, juga serupa.
.
Bakteri
Bakteri yang dapat menyebabkan batuk dapat dibagi menjadi
beberapaantara lain, difteri laring, trakeitis bakteri, laryngotrakeobronkitis,
danlaryngotrakeobronkopneumonitis. Difteri laring disebabkan
Corynebacteriumdiphtheriae sementara trakeitis bakteri,
laryngotrakeobronkitis, danlaryngotrakeobronkopneumonitis biasanya
karena infeksi virus primer dengan pertumbuhan bakteri sekunder. Sebagian
besar bakteri yang umum terlibat adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus
pneumoniae, Hemophilus influenzae, dan Catarrhalis moraxella.
Penyebab Lain
2.5 PATOFISIOLOGI
Virus (terutama parainfluenza dan RSV) dapat terjadi karena
inokulasilangsung dari sekresi yang membawa virus melalui tangan atau inhalasi
besar terjadi partikel masuk melalui mata atau hidung. infeksi virus di
laryngotrakeitis,laryngotrakeobronkitis dan laryngotrakeobronkopneumonia
biasanya dimulai darinasofaring atau oropharynx yang turun ke laring dan trakea
setelah masa inkubasi2-8 hari. Diffuse peradangan yang menyebabkan eritema
dan edema dindingmukosa dari saluran pernapasan. Laring adalah bagian
tersempit saluran pernafasan atas, yang membuatnya sangat suspectible untuk terjadinya
obstruksi.
Edema mukosa yang sama pada orang dewasa dan anak-anak
akanmengakibatkan perbaikan yang berbeda. Edema mukosa dengan ketebalan 1 mmakan
menyebabkan penyempitan saluran udara sebesar 44% pada anak-anak dan75%
pada bayi. Edema mukosa dari daerah glotis akan menyebabkan
gangguanmobilitas pita suara. Edema pada daerah subglottis juga dapat
menyebabkangejala sesak napas.
Airway karena turbulensi udara menyebabkan peradangan
yangmenyebabkan penyempitan stridor diikuti retraksi dinding dada yang dapat
terjadi(selama inspirasi). Di daerah Laryngotrakeitis edematous akut, ada
histologismengandung infiltrat selular di lamina propria, submukosa dan
advensisia.Infiltrat ini berisi histiosit, limfosit, sel plasma, dan neutrofil.
Pergerakan dinding dada dan juga dinding abdomen yang tidak
teratur menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea.
Padakeadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan juga terjadi henti napas.
Diagnosis banding
Epiglotis akut
Laringitis
Laringotrakeitis akut
Laringotrakeobronkopneumonia
2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Terapi suportif
Oleh karena gejala croup sering timbul pada malam hari, banyak orang tua
yang merasa khawatir dengan penyakit ini, sehingga meningkatkan kunjungan ke
unit gawat darurat. Sehingga penting untuk memberikan edukasi kepada orang tua
tentang penyakit yang secara alami dapat sembuh sendiri ini.
1. Melembabkan Udara (Pengabutan)
Pada abad ke-20 terapi dengan melembabkan udara (terapi uap) merupakan
dasar dari manajemen croup, tetapi sekarang ini efektivitasnya masih
dipertanyakan. Rumah sakit saat ini menggunakan peralatan penguapan untuk
tujuan ini. Cara yang sederhana termasuk memaparkan anak pada udara
malam yang basah, atau memaparkan anak pada uap air yang panas
(Wikipedia, 2008).
2. Oksigen
Tatalaksana pemberian oksigen dapat dipakai untuk anak dengan hipoksia
(dimana saturasi Oksigen dalam ruangan biasa < style="">Alberta Medical
Association, 2008).
3. Gabungan Oksigen-Helium
Pemberian gas Helium pada anak dengan croup diusulkan karena potensinya
sebagai gas dengan densitas rendah (dibanding nitrogen) dalam menurunkan
turbulensi udara pada penyempitan saluran pernapasan (Alberta Medical
Association, 2008).
2.7.2 Farmakoterapi
1. Analgesik/Antipiretik
Walaupun belum ada penelitian khusus tentang manfaat analgesik
atau antipiretik pada anak dengan croup, sangat beralasan memberikan obat
ini karena membuat anak lebih nyaman dengan menurunkan demam dan
nyeri (Alberta Medical Association, 2008).
2. Antitusif dan Dekongestan
Tidak ada penelitian yang bersifat eksperimental yang potensial
dalam menunjukkan keuntungan pemberian antitusif atau dekongestan pada
anak dengan croup. Lagipula, tidak ada dasar yang rasional dalam
penggunaannya, dan karena itu tidak diberikan pada anak yang menderita
croup (Alberta Medical Association, 2008).
3. Antibiotik
Tidak ada penelitian yang potensial tentang manfaat antibiotik pada
anak dengan croup. Croup sebenarnya selalu berhubungan dengan infeksi
virus, sehingga secara empiris terapi antibiotik tidak rasional. Lagipula, jika
terjadi super infeksi paling sering bacterial tracheitis dan pneumonia-
merupakan kejadian yang jarang (kurang dari 1:1.000) sehingga pemakaian
antibiotik untuk profilaksis juga tidak rasional (Alberta Medical Association,
2008).
4. Epinephrine
Berdasarkan data terdahulu, penggunaan epinephrine pada anak
dengan croup berat, dapat mengurangi kebutuhan alat bantu pernapasan.
Epinephrine dapat mengurangi distres pernapasan dalam waktu 10 menit dan
bertahan dalam waktu 2 jam setelah penggunaan. Beberapa penelitian
retrospektif dan prospektif menyarankan pasien yang mendapat terapi
epinephrine dapat dipulangkan selama gejalanya tidak timbul kembali
setidaknya dalam 2-3 jam setelah terapi (Alberta Medical Association, 2008).
Bentuk epinephrine tartar yang umum digunakan untuk pasien
croup; epinephrin 1:1.000 memiliki efek yang sebanding dan sama amannya
dengan bentuk tartar. Dosis tunggal (0,5 ml epinephrine tartar 2,25% dan 5,0
ml epinephrine 1:1.000) digunakan untuk semua anak tanpa menghiraukan
berat badan (Alberta Medical Association, 2008; Kerby, 2003).
Anak yang hampir mengalami gagal napas, dapat diberikan
epinephrine secara berulang. Pemberian epinephrine yang kontinyu
dilaporkan telah digunakan dibeberapa unit perawatan intensif anak (Alberta
Medical Association, 2008).
5. Glucocorticoids
Steroid adalah terapi utama pada croup. Beberapa penelitian
menunjukkan penggunaan kortikosteroid dapat menurunkan jumlah dan
durasi pemakaian intubasi, reintubasi, angka dan durasi dirawat di rumah
sakit, dan angka kunjungan berulang ke pelayanan kesehatan, serta
menurunkan durasi gejala pada anak yang menderita gejala derajat ringan,
sedang dan berat (Alberta Medical Association, 2008).
Dexamethasone sama efektifnya jika diberikan per oral atau
parenteral. Dexamethasone dosis 0,6 mg/kg BB merupakan dosis yang
umumnya digunakan. Pemberiannya dapat diulang dalam 6 sampai 24 jam.
Terdapat beberapa bukti juga yang mengatakan dexamethasone dosis rendah
0,15 mg/kg BB juga sama efektifnya. Di sisi lain, penelitian meta-analisis
dengan kontrol, yang memberikan kortikosteroid dosis lebih tinggi,
memberikan respon klinis yang baik pada sebagian besar pasien (Alberta
Medical Association, 2008; Kerby, 2003).
Inhalasi budesonide juga menunjukkan efektivitas yang sama
dengan dexamethasone oral, tetapi cara pemakaiannya lebih traumatik dan
lebih mahal sehingga tidak secara rutin digunakan. Pada pasien dengan gejala
gagal napas yang berat, pemberian budesonide dan epinephrine secara
bersamaan adalah logis dan dapat lebih efektiv daripada pemberian
epinephrine saja. Pada pasien dengan gejala muntah-muntah juga merupakan
alasan untuk memberikan inhalasi steroid (Alberta Medical Association,
2008)
2.8 Komplikasi
Pada 15% kasus dilaporkan terjadi komplikasi, misalnya otitis
media, dehidrasi, dan penumonia (jarang terjadi). Sebagian kecil pasien
memerlukan tindakan intubasi. Gagal jantung dan gagal napas dapat terjadi
pada pasien yang perawatan dan pengobatannya tidak adekuat.
Komplikasi yang dapat timbul adalah:
Perlunya pemasangan intubasi pada sejumlah kecil pasien (<1%)
Bacterial tracheitis dapat memperburuk keadaan pasien croup
Henti kardiopulmoner dapat timbul pada pasien yang tidak dimonitor
dan tidak diterapi secara adekuat
Serta timbulnya pneumonia yang merupakan komplikasi dari croup
yang jarang terjadi (Alberta Medical Association, 2008).
2.9 Prognosis
Sindrom croup biasanya bersifat self-limited dengan prognosis
yang baik. Oleh karena pada umumnya penyebab sindrom croup adalah virus,
maka sindroma ini dapat sembuh dengan sendirinya, dan sangat jarang
menyebabkan kematian akibat obstruksi saluran pernapasan total. Gejalanya
dapat berlangsung dalam 7 hari, tetapi puncaknya pada hari kedua dari
perjalanan penyakit (Wikipedia, 2008).