Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Kusta merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh


Mycobacterium leprae (M. leprae). Kusta menyerang saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat
ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia. Penyakit ini memiliki prevalensi
tertinggi di Asia Tenggara, dan pada tahun 2013 Indonesia menduduki peringkat
ketiga di dunia setelah India dan Brazil dengan penemuan kasus yang meningkat
dari tahun ke tahun.2
Kusta dapat menimbulkan masalah kompleks bukan hanya dari segi medis
seperti cacat fisik, tetapi juga masalah sosial dan ekonomi. 3,4 Ketidaktahuan akan
menyebabkan stigma di masyarakat, sehingga mempengaruhi kualitas hidup
penderitanya. Dengan meningkatnya keberhasilan terapi kombinasi untuk
mengobati kusta, perhatian saat ini beralih kepada reaksi kusta. Dua reaksi utama
yang terjadi pada penderita kusta, yaitu reaksi tipe 1 atau reaksi reversal dan
reaksi tipe 2 atau eritema nodosum leprosum (ENL). Kedua reaksi ini terpisah,
namun dapat terjadi pada pasien yang sama di saat berbeda. Kedua kondisi ini
sangat penting untuk dikenali karena dapat menyebabkan kerusakan saraf
permanen, bahkan kegagalan organ sistemik.5
Gangguan fungsi saraf didefinisikan sebagai penurunan fungsi sensorik atau
motorik. Neuritis (peradangan saraf perifer) dapat diikuti dengan gangguan fungsi
saraf.6 Pada penelitian cross-sectional di Jakarta tahun 2012, dari 1.021 pasien
kusta didapatkan 24,2% pasien mengalami reaksi kusta; sedangkan pada
penelitian retrospektif di India Utara selama 15 tahun, 30,9% pasien mengalami
reaksi pada kunjungan pertama ke pusat kesehatan. Reaksi kusta hampir selalu
terjadi pada penderita kusta baik sebelum pengobatan, sedang dalam pengobatan,
dan sesudah pengobatan. Oleh karena itu, perhatian saat ini terfokus pada masalah
reaksi kusta, yang merupakan masalah signifikan dalam pengelolaan pasien secara
individu.7,8

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kusta
Kata kusta berasal dari bahasa India, Kustha, dikenal sejak 1400 tahun
sebelum Masehi. Kusta memiliki nama lain yaitu lepra dan Morbus Hansen.
Dinamakan Morbus Hansen karena kuman penyebab kusta, yaitu M leprae,
ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1873 di Norwegia. Kuman M. leprae
merupakan basil tahan asam dengan ukuran 3-8 um x 0,5 um. Sampai saat ini, M.
leprae belum dapat dibiakkan dalam media artifisial.6,9
Secara epidemiologi, kusta menyebar luas ke seluruh dunia. Penyakit ini
memiliki prevalensi tertinggi di Asia Tenggara, dan Indonesia menduduki
peringkat ketiga di dunia setelah India dan Brazil dengan penemuan kasus yang
meningkat dari tahun ke tahun.
Cara penularan kusta terjadi melalui kontak erat yang lama dan melalui
inhalasi, karena M. leprae dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Manusia
merupakan salah satu sumber penularan selain armadillo, kera Mangabey, kera
Cinomolgus, dan simpanse.6,10 Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut,
kelenjar keringat, dan air susu ibu. Sputum dapat mengandung banyak M. leprae
yang berasal dari saluran napas atas.6
Diagnosis kusta ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, bakterioskopis,
dan histopatologis. Tanda utama antara lain bercak putih atau kemerahan kulit
yang disertai dengan mati rasa (anestesi). Selain itu, terdapat penebalan saraf tepi
disertai gangguan saraf berupa mati rasa atau kelumpuhan otot mata, tangan, kaki,
kulit kering (dehidrasi), serta pertumbuhan rambut yang terganggu (alopesia) pada
lesi. Pada pemeriksaan bakterioskopik kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa
hidung menunjukkan adanya bakteri M. leprae. Secara histologik tampak
gambaran berupa granuloma difus pada dermis dan ditemukan basil dalam jumlah
banyak.6,9,12
Klasifikasi dibagi berdasarkan kriteria menurut Ridley dan Jopling yang
terdiri dari 5 tipe, yaitu Tuberculoid (TT), Borderline Tuberculoid (BT), Mid

2
Borderline (BB), Borderline Lepromatosa (BL), dan Lepromatosa (LL).
Sedangkan untuk kepentingan pengobatan, Indonesia menggunakan diagnosis
klinis berdasarkan WHO (World Health Organization), yaitu tipe pausibasiler
(PB) dan multibasiler (MB); tipe multibasiler (BB, BL, LL) dikarakteristikkan
dengan respons imun yang rendah dengan jumlah bakteri yang tinggi.12,13
Pengobatan kusta yang dianjurkan WHO saat ini adalah terapi kombinasi.
Paduan obat untuk kelompok pausibasiler dewasa adalah DDS (diaminodifenil
sulfon) 100 mg/hari dan rifampisin 600 mg sebulan sekali selama 6-9 bulan.
Paduan pengobatan untuk multibasiler adalah DDS 100 mg/hari, rifampisin 600
mg/hari, klofazimin 50 mg/hari, dan klofazimin 300 mg/bulan dengan kemasan
dosis lengkap 12 blister dalam 12-18 bulan.3,6,12
Penghentian pengobatan disebut Release from Treatment (RFT). Setelah
RFT, dilanjutkan tanpa pengobatan klinis dan pemeriksaan bakterioskopis
dilakukan minimal setahun sekali selama 5 tahun. Jika bakterioskopis negatif dan
secara klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan
atau Release from Control (RFC).6

2.2 Reaksi Kusta


Reaksi kusta adalah episode akut penyakit kusta dengan gejala konstitusi,
aktivasi, dan atau timbulnya efloresensi baru di kulit pada perjalanan penyakit ini
yang sebenarnya sangat kronis. Reaksi kusta merupakan reaksi
hipersensitivitas.11,14
Reaksi reversal atau reaksi tipe 1 terjadi saat peningkatan imunitas yang
diperantarai oleh sel (cell mediated immunity), sedangkan reaksi tipe 2 atau
eritema nodosum leprosum (ENL) terjadi akibat reaksi hipersensitivitas humoral.
Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan, namun lebih sering selama atau
setelah pengobatan.2,3,6

3
Reaksi Reversal (Tipe 1)
Reaksi ini terjadi karena adanya peningkatan hebat dan tiba-tiba dari
respons imun seluler, yang menyebabkan respons inflamasi atau peradangan kulit
atau saraf pada pasien tipe borderline (BT, BB, dan BL). Walaupun pencetus
utama belum diketahui, tetapi diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat.13 Pemeriksaan imunohistokimia menunjukkan
peningkatan sel tumor necrosis factor (TNF) di kulit dan saraf selama reaksi tipe 1
dibandingkan dengan kontrol. Pada penelitian di India, didapatkan respons
antibodi ke antigen 18kDa secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan
reaksi tipe 1 dibandingkan pasien TT atau borderline tanpa reaksi tipe 1.5,15
Gejala klinis reaksi reversal yaitu sebagian atau seluruh lesi yang telah ada
menjadi lebih banyak dan aktif dalam waktu singkat. Lesi hipopigmentasi menjadi
lebih eritema, lesi eritema menjadi semakin eritematosa, lesi makula menjadi
infiltrat, dan lesi lama bertambah luas. Umumnya gejala konstitusi lebih ringan
daripada ENL.3,6,15

Gambar 1. Tipe reaksi reversal

Diagnosis banding reaksi tipe 1 meliputi relaps kusta yang sering


dikaburkan dengan reaksi reversal terlambat, terutama pada kusta PB. Pada kusta
jenis MB, hal ini dapat dibedakan dengan kerokan ulang yang pada reaksi
reversal menunjukkan adanya peningkatan indeks bakteri dan/atau indeks
morfologi positif. Lesi kulit yang berbentuk plakat merah seperti erisipelas,
selulitis, urtikaria akut, erupsi obat, dan gigitan serangga merupakan diagnosis
banding lainnya.3,5

4
Gambar 2. Gambaran tipe reaksi yang terjadi dan hubungannya dengan
tipe imunitas dalam spektrum imunitas pasien kusta
menurut Ridley- Jopling.3

Eritema Nodosum Leprosum (Tipe 2)


Reaksi tipe 2 adalah komplikasi imunologis paling serius pada pasien BL dan LL.
Pada reaksi ini terjadi peningkatan deposit kompleks imun di jaringan. Lebih jauh,
pada ENL terjadi peningkatan sementara respons imunitas yang diperantarai sel
dengan ekspresi pada sitokin tipe Th1. Sel T mayor pada ENL adalah CD4 +; TNF
dan IL-6 juga muncul pada lesi kulit ENL, sementara kadar IL-4 yang rendah
mendukung peran Th1 pada reaksi ini.5,15 Kejadian ini umumnya timbul pada tipe
lepromatosa polar dan BL, makin tinggi tingkat multibasilernya, makin besar
risiko terjadinya ENL.

Gambar 3. Beberapa plak dengan ulserasi di perut, lengan atas dan bawah 17
Gambar 4. Ulserasi di bokong17

5
Gejala konstitusional yang muncul berupa demam, menggigil, nyeri sendi,
mual, sakit saraf, dan otot dari ringan sampai berat. Pada reaksi tipe 2 perubahan
efloresensinya berupa nodus eritema dan nyeri dengan tempat predileksi lengan
dan tungkai. Pada kasus berat dapat menyerang sistemik, sehingga menyebabkan
iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis, dan nefritis akut dengan
proteinuria.3,6,11,14

Gambar 5. Pustul dan nodul Gambar 6. Scar dan hiperpigmentasi17


di wajah17

Diagnosis banding reaksi tipe 2 adalah eritema nodosum dengan penyebab


bakteri lain, seperti tuberkulosis dan infeksi streptokokus. Yang membedakan
adalah lokasi lesi yang lebih banyak ditemukan di luar tungkai bawah. ENL
berbentuk bula dapat didiagnosis banding dengan penyakit imunobulosa. ENL
berbentuk ulkus dapat menyerupai pioderma gangrenosum, sedangkan ENL
kronik dapat menyerupai penyakit jaringan ikat atau keganasan limforetikuler.

Tabel 1. Perbedaan Reaksi Kusta Tipe 1 dan Tipe 22,6


No Gejala / Tanda Tipe 1 Tipe 2
.
1 Kondisi umum Baik atau demam ringan Buruk, disertai malaise
dan febris
2 Peradangan di kulit Bercak kulit lama menjadi Timbul nodul
lebih meradang (merah), kemerahan, lunak dan
dapat timbul bercak baru. nyeri tekan. Biasanya
pada lengan dan

6
tungkai. Nodul dapat
pecah (ulserasi)
3 Waktu terjadi Awal pengobatan MDT Biasanya setelah
pengobatan yang lama,
umumnya lebih dari 6
bulan
4 Tipe Kusta Dapat tipe PB dan MB Hanya terjadi pada MB
5 Saraf Sering terjadi, umumnya Dapat terjadi
berupa nyeri tekan saraf
dan/atau gangguan fungsi
saraf
6 Peradangan pada Hampir tidak ada Terjadi pada mata,
organ lain KGB, sendi, ginjal,
testis, dll

Tabel 2. Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat Tipe 1 dan Tipe 214
No Gejala / Tipe I Tipe II
. Tanda Ringan Berat Ringan Berat
1. Kulit Bercak : Bercak : Nodul : Nodul : merah,
merah, merah, Merah, panas, nyeri
tebal, tebal, panas, yang bertambah
panas, nyeri panas, nyeri nyeri parah sampai
yang pecah
bertambah
parah
sampai
pecah
2. Saraf Tepi Nyeri pada Nyeri pada Nyeri pada Nyeri pada
perabaan (-) perabaan perabaan perabaan (+)
(+) (-)
3. Keadaan Demam (-) Demam (+) Demam Demam (+)
Umum (+)
4. Gangguan - - - +
pada organ Terjadi
lain peradangan
pada:
Mata
Iridocyclitis
Testis:
Epididimoorchiti
s

7
Ginjal : Nefritis
Kelenjar limpa:
Limfadenitis
Gangguan pada
tulang, hidung
dan tenggorokan
Catatan: Bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan
sebagai reaksi berat
Fenomena Lucio
Fenomena Lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi
pada kusta tipe lepromatosa non-nodular difus. Kusta tipe ini terutama ditemukan
di Meksiko dan Amerika Tengah, namun dapat juga dijumpai di negeri lain
dengan prevalensi rendah. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrat difus,
berwarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di
ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih
eritematosa disertai purpura, dan bula, kemudian dengan cepat terjadi nekrosis
serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk
jaringan parut.2

Gambar 7. Lesi ulserasi karena vaskulitis18 Gambar 8. Ulkus superfisial di paha dan
skrotum18

8
Gambar 9. Lesi nekrotik di pantat18 Gambar 10. Ulkus nekrotik dengan pus di
Gambaran histopatologi menunjukan nekrosis atasnya
epidermal
18 iskemik dengan
nekrosis pembuluh darah superficial, edema, dan proliferasi endotelial pembuluh
darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M. Leprae di endotel kapiler.
Walaupun tidak ditemukan infiltrat polimorfonuklear seperti pada ENL namun
dengan imunofluoresensi tampak deposit imonoglobulin dan komplemen di dalam
dinding pembuluh darah. Titer kompleks imun yang beredar dan krioglobulin
sangat tinggi pada semua penderita.3,18

2.3 Penatalaksanaan Reaksi Kusta


Sebelum pengobatan, ditentukan terlebih dahulu tipe reaksi dan derajat
keparahannya. Hal ini dapat dilakukan dengan menarik simpulan dari formulir
pencegahan kecacatan. Formulir ini diisi setiap pasien ke puskesmas atau rumah
sakit. Jika pasien mengalami gangguan fungsi saraf, dicatat pada formulir evaluasi
pengobatan reaksi berat. Kedua formulir ini diisi rutin sebulan sekali untuk pasien
non-reaksi dan 2 minggu sekali untuk pasien reaksi. Pengisian formulir ini penting
untuk evaluasi kemajuan fungsi saraf sebagai dasar menentukan dosis terapi obat
anti-reaksi. Terapi kombinasi tetap dilanjutkan pada pasien yang mengalami reaksi
saat pengobatan dengan dosis yang sama.3,6,11
Antipiretik dan Analgetik
Antipiretik dan analgetik, seperti parasetamol dan metampiron, dapat
diberikan untuk mengurangi gejala demam atau nyeri sendi, baik pada pasien

9
reaksi reversal maupun ENL. Pada pasien yang dirawat inap dapat diberikan obat
golongan sedatif. 6,13
Kortikosteroid
Kortikosteroid menjadi pilihan terapi ENL, antara lain prednison. Prednison
merupakan kortikosteroid potensi sedang dengan waktu paruh 12-36 jam.
Dosisnya tergantung dari derajat ENL. Pada awal pengobatan digunakan dosis 40
mg sehari selama 2 minggu dan dapat diturunkan bila keluhan atau gejala klinis
berkurang. Pemakaian kortikosteroid untuk reaksi reversal adalah fakultatif jika
ditemukan adanya neuritis. Hal ini sangat penting dilakukan untuk mencegah
kerusakan saraf permanen. Pemakaian kortikosteroid harus memperhatikan
kontraindikasi, seperti TB, tukak lambung berat, dan infeksi berat pada
ekstremitas yang memburuk. Pasien hendaknya diedukasi dengan baik untuk
mencegah efek samping jangka panjang atau penghentian obat mendadak.1,3,12,14
Klofazimin
Klofazimin merupakan turunan fenazin yang memiliki efek bakterisida
setelah 50 hari terapi pada pasien kusta. Selain itu, klofazimin memiliki efek anti-
radang ringan untuk mengobati ENL. Awitan kerjanya lambat, yaitu baru muncul
setelah 2-3 minggu. Dosis untuk ENL lebih tinggi dibandingkan pada pasien kusta
tanpa reaksi, yaitu 200-300 mg/hari. Klofazimin merupakan pilihan terapi untuk
ENL berat dengan episode berulang (2 kali) yang dapat menyebabkan
ketergantungan seperti kortikosteroid. Klofazimin sama seperti kortikosteroid
diberikan sekali sehari, hanya dalam keadaan terpaksa dapat diberikan dalam
dosis terbagi. Pemakaian dosis tinggi tidak lebih dari 12 bulan. Efek sampingnya
antara lain pigmentasi kulit dan gangguan gastrointestinal. Perubahan warna kulit
akan menghilang setelah 3 bulan obat dihentikan. Klofazimin pada reaksi reversal
kurang efektif, sehingga jarang atau tidak pernah digunakan. Klofazimin tersedia
dalam kapsul 100 mg.3,6,11,13
Thalidomid
Thalidomid dalam sejarah menimbulkan efek teratogenik berupa fokomelia,
jarang ditemukan di Indonesia. Efek terapi thalidomid pada ENL diperkirakan
berhubungan dengan stimulasi imun sementara, obat ini bisa mempromosikan

10
imunoregulator secara aktif. Obat ini tersedia dalam bentuk kapsul 50 mg.
Mengingat efek teratogeniknya, obat ini tidak dipergunakan dalam program di
Indonesia.3,6,16

11
Terapi Reaksi Kusta Berat3
Jika terjadi reaksi kusta dapat diberikan prednison 30 60 mg/hari serta
pemberian obat simtomatis, lalu diturunkan. Pedoman terapi adalah:
1. Terapi standar untuk pasien pausibasiler (PB)
dengan reaksi kusta:
Minggu ke- Dosis harian
1-2 40 mg
3-4 30 mg
5-6 20 mg
7-8 15 mg
9-10 10 mg
11-12 5 mg

2. Terapi standar pasien multibasiler (MB) dengan


reaksi kusta. Pada reaksi tipe 2 dapat ditambah dengan Klofazimin 300
mg/hari selama 1 bulan, 200 mg/hari selama 3-6 bulan selanjutnya 100
mg/hari sampai gejala menghilang:
Minggu ke- Dosis harian
1-4 40 mg
5-8 30 mg
9-12 20 mg
13-16 15 mg
17-20 10 mg
21-24 5 mg

12
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Reaksi kusta adalah berbagai gejala dan tanda radang akut pada lesi dalam
perjalanan penyakit kusta yang kronis. Terdapat 2 tipe reaksi kusta yaitu reaksi
reversal (tipe 1) dan Eritema Nodosum Leprosum (tipe 2).
Berbagai pilihan terapi seperti kortikosteroid, klofazimin, dan thalidomide
dengan pemilihan yang adekuat dapat memperbaiki kualitas hidup pasien dengan
reaksi kusta. Pengelolaan reaksi kusta dan neuropati akan terus menjadi tantangan
besar setelah kemajuan terapi kombinasi dalam pengobatan penyakit kusta.
Pengobatan yang tepat sangat penting untuk menurunkan morbiditas, seperti
gangguan saraf, deformitas, ataupun kecacatan.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Weekly epidemiological record of global leprosy.


WHO; 2013. 88, 365380.
2. Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S, editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin ed
ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.
3. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Pedoman nasional pengendalian penyakit kusta. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI; 2012.
4. Rea TH, Modlin RL. Leprosy. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fizpatricks dermatology in general
medicine. 7th ed. New York: Mc Graw Hill Co; 2008. p.1786-96.
5. Kakhawita IP, Walker SL, Lockwood DNJ. Leprosy type 1 reaction and
erythema nodosum leprosum. AN Bras Dermatol. 2008; 83(1): 75-82.
6. Kosasih A, Wisnu IM, Sjamsoe-Daili E, Menaldi SL. Kusta. In: Djuanda A, editor.
Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2007.
7. Widodo AA, Menaldi SL. Characteristics of leprosy patients in Jakarta. J
Indon Med Assoc. 2012; 62(11): 423-7.
8. Kumar B, Dogra S, Kaur I. Epidemiological characteristics of leprosy
reactions: 15 years experience from North India. Internat J Leprosy. 2004;
72,2: 125-33.
9. Graham-Brown R, Burns T. Lecture note dermatologi. 8th ed. Jakarta:
Erlangga; 2005.
10. Listiyawati IT, Listiawan MY. Studi molekuler pada penyakit kusta. In:
Cholis M, Hidayat T, Tantari SHW, Basuki S, Widasmara D, editors.
Dermato-venerology update 2014 towards better quality of dermato-
venerology service. Malang, Indonesia: Universitas Brawijaya Press; 2014.
p.1-13.
11. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Pedoman nasional pengendalian penyakit kusta dan frambusia. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI; 2009.
12. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Farmakologi dan terapi. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2011.

14
13. Vanderborght PR, Matos HJ, Salles AM, Vasconcellos SE, Silva-Filho VF,
Huizinga TWJ, et al. Single nucleotide polymorphism (SNPs) at -238 and
-308 positions in the TNF promoter: Clinical and bacteriological evaluation
in leprosy. Internat J Leprosy. 2004; 72,2: 143-8.
14. Siregar RS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. 2nd ed. Jakarta: ECG;
2013.
15. Mohanty KK, Joshi B, Katoch K, Sengupta U. Leprosy reaction: Humoral
and cellular immune responses to M. leprae 65kDa, 28kDa, and 18kDa
antigens. Internat J Leprosy. 2004; 72,2: 149-58.
16. Haslett PAJ, Roche P, Butlin CR, MacDonald M. Effective treatment of
erythema nodosum leprosum with thalidomide is associated with immune
stimulation. J Infect Dis. 2005; 192 (12): 2045-53.
17. Yogeesh HR, Chankramath S, Yadalla HKK, Shariff S, Ramesh.SB,
Sreekantaiah SB. Type 2 lepra reaction (ENL) presenting with extensive
cutaneous ulcerations. Our dermatology. 2012; 3(1): 17-20.
18. Kumari R, Thappa DM, Basu D. A fatal case of Lucio phenomenon from
India. Dermatology Online J. 2008; 14 (2): 10.

15

Anda mungkin juga menyukai