Anda di halaman 1dari 70

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Artinya : Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha

Penyayang. Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya

dan Dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu

tidak menggoyangkan kamu dan memperkembang biakkan padanya

segala macam jenis binatang. Dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu

Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik.

Indonesia, sebagai negara tropis, mempunyai keanekaragaman

tumbuhan yang dapat digunakan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan

masyarakat. Tumbuhan tersebut telah dimanfaatkan dalam berbagai

aspek kehidupan, antara lain sebagai bahan sandang, pangan, papan,

kosmetika, pewarna dan obat (Praptiwi et al., 2002). Obat tradisional


2

Indonesia masih sangat banyak yang belum diteliti, khususnya yang

sebagian besar berasal dari bahan tumbuhan (Azwar, 1992).

Penggunaan obat tradisional di kalangan masyarakat pada saat ini

cukup tinggi. Salah satu diantaranya adalah penggunaan tanaman rosella

yang mulai popular dikonsumsi masyarakat sebagai tanaman yang

berkhasiat obat. Tanaman Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) termasuk famili


1
Malvaceae. Bagian yang digunakan sebagai obat adalah bunga, yaitu

bagian kelopak (kaliks) (Larasati, 2010).

Tumbuhan rosella (Hibiscus sabdariffa L.) merupakan salah satu

tumbuhan yang telah dimanfaatkan dalam mengatasi berbagai penyakit

dan masalah kesehatan di berbagai negara (Mardiah et al., 2009).

Kelopak bunga rosella telah digunakan sebagai pengobatan tradisional

dalam mengatasi mual, memperlancar buang air besar, mengurangi nafsu

makan, gangguan pernafasan yang disebabkan oleh flu, dan rasa tidak

enak di perut (Suganda et al., 2010).

Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa Rosella mengandung

senyawa fenolik yaitu flavonoid pada kelopak bunganya (Apsari dan

Susanti, 2011 ). Flavonoid termasuk golongan senyawa alami dengan

struktur fenolik dan ditemukan dalam buah-buahan, sayuran, biji-bijian,

kulit kayu, akar, batang, dan bunga (Nijveldt et al, 2001).

Senyawa-senyawa flavonoid merupakan senyawa alami dengan

berbagai macam struktur fenolik. Lebih dari 4.000 flavonoid diidentifikasi

dan dikelompokkan sesuai dengan struktur molekulnya. Salah satu sifat


3

yang digunakan untuk menggambarkan flavonoid adalah kemampuan

flavonoid untuk beraksi sebagai antioksidan dan dengan menangkap

radikal bebas dan spesies oksigen reaktif lainnya. Diperkirakan

masyarakat di seluruh dunia mengkonsumsi 100 mg1 gram flavonoid tiap

hari yang berasal dari buah-buahan dan sayur-sayuran. Mengkonsumsi

flavonoid secara teratur dapat meningkatkan usia harapan hidup karena

flavonoid dapat mereduksi inflamasi dan penyakit jantung koroner

(Gandjar, 2007).

Senyawa flavonoid mempunyai berbagai fungsi penting untuk

kesehatan, antara lain dalam menurunkan risiko serangan penyakit

kardiovaskuler, tekanan darah, aterosklerosis, dan sebagai antioksidan

(Hodgson et al., 2006). Telah diketahui bahwa aktifitas antioksidan dari

tumbuhan karena adanya senyawa fenol. Flavonoid adalah golongan

senyawa polifenol yang diketahui memiliki sifat sebagai penangkap radikal

bebas, penghambat enzim hidrolisis dan oksidatif, dan bekerja sebagai

antiinflamasi (Pourmourad, 2006).

Oleh karena berbagai uraian diatas maka peneliti ingin melakukan

penelitian pada bunga Rosella Merah (Hibiscus sabdariffa L.) untuk

mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa flavonoid yang terdapat dalam

bunga Rosella Merah (Hibiscus sabdariffa L.). Dari proses isolasi akan

didapatkan isolat-isolat suatu senyawa atau kumpulan senyawa sehingga

dapat mempermudah untuk melakukan identifikasi senyawa-senyawa


4

yang terdapat dalam simplisia. Sedangkan identifikasi diperlukan untuk

mengetahui golongan senyawa flavonoid yang berada dalam simplisia.

B. Rumusan Masalah

Golongan senyawa flavonoid apa yang terkandung dalam ekstrak

etanol bunga Rosella Merah (Hibiscus sabdariffa L.)?

C. Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengisolasi, dan

mengidentifikasi golongan senyawa flavonoid yang terkandung dalam

ekstrak etanol bunga Rosella Merah (Hibiscus sabdariffa L.).

Tujuan penelitian ini adalah:


1. Tujuan umum

Untuk mengetahui kandungan golongan senyawa flavonoid yang

terkandung dalam ekstrak etanol bunga Rosella Merah (Hibiscus

sabdariffa L).

2. Tujuan khusus

Untuk mendapatkan golongan senyawa flavonoid yang

terkandung dalam ekstrak etanol bunga Rosella Merah

(Hibiscus sabdariffa L.)


5

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat sebagai rujukan untuk penelitian

lanjutan tentang pemanfaatan golongan senyawa flavonoid yang

terkandung pada bunga Rosella Merah (Hibiscus sabdariffa L.)

2. Manfaat Praktis

Sebagai sumber informasi bagi masyarakat tentang kandungan

golongan senyawa flavonoid pada bunga Rosella Merah

(Hibiscus sabdariffa L.), sehingga pemanfatannya dapat

dimaksimalkan dan dipertanggungjawabkan.


6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Uraian Tumbuhan
1. Klasifikasi bunga Rosella Merah (Hibiscus Sabdariffa L.)
Klasifikasi bunga Rosella Merah (Hibiscus Sabdariffa L.)

sebagai berikut : (Mardiah et al., 2009).


Regnum : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Sub Divisi : Spermatophyta

Class : Magnoliopsida

Subkelas : Dilleniidae

Ordo : Malvales

Family : Malvaceae

Genus : Hibiscus

Spesies : Hibiscus sabdariffa L.

2. Penamaan Tanaman
Nama Daerah (Bel), Amerika (Zuur), Perancis

(Oseille de Guinee), Inggris ( Red sorrel Roselle), Sunda (Gamet

walanda), Ternate (Kasturi Roriha) (Heyne, 1988).


3. Morfologi Tanaman
Tanaman rosella merupakan herba tahunan yang bergetah.

Tinggi tanaman ini dapat mencapai ketinggian 0.53 meter, serta


7

mengeluarkan bunga hampir sepanjang tahun. Batangnya berbentuk

bulat, tegak, berkayu dan berwarna merah. Daunnya berupa daun

tunggal, berbentuk bulat telur, pertulangan daunnya menjari, berujung

tumpul, tepi bergerigi dan dengan pangkal berlekuk. Panjang daunnya

6-15 cm dan dengan lebar daun 5-8 cm. Tangkai daun bulat berwarna

hijau dengan panjang 4-7 cm (Mardiah et al., 2009).


Ukuran rosella agak berbeda untuk setiap daerah. Sebagai

contoh rosella dari Cirebon atau Surabaya umumnya berukuran agak

lebih kecil dibandingkan rosella dari Bogor, Sukabumi, atau Cipanas

yang umumnya berukuran besar. Dalam hal warna pun demikian. Ada

yang merah muda, merah tua, merah kecoklatan, dan merah

kehitaman. Bahkan, di Surabaya (Jawa Timur) ada rosella yang

kelopaknya berwarna kuning dan berukuran kecil

(Widyanto et al., 2008).


Mahkota bunga berbentuk corong terdiri dari 5 helaian,

panjangnya sekitar 3-5 cm. Tangkai sari yang meru1pakan tempat

melekatnya kumpulan benang sari berukuran pendek dan tebal,

panjang sekitar 5 mm dan lebar sekitar 5 mm. Putik berbentuk tabung

berwarna kuning atau merah. Bunga Rosella bertipe tunggal, artinya

hanya terdapat satu kuntum bunga pada setiap tangkai bunga.

Ukuran bunga cukup besar, diameter ketika sedang mekar lebih dari

12,5 cm dan memiliki dasar bunga pendek (Mardiah et al., 2009).


4. Kandungan Kimia

Bahan aktif dari kelopak bunga rosella adalah grossypeptin,

antosianin, gluside hibiscin dan flavonoid. Menurut Depkes RI. kelopak


8

bunga rosella mengandung vitamin C, vitamin D, vitamin B1, B2, niacin,

riboflavin, betakaroten, zat besi, asam amino, polisakarida, omega 3,

kalsium. Rasa asam dari kelopak bunga rosella disebabkan kandungan

vitamin C, asam sitrat dan asam glikolik (Maryani et al., 2008).

Bunga yang menghasilkan warna kuning, pigmen utama

adalah daphniphyllum. Tanaman mengandung flavonoid seperti

hibiscitrin dan hibiscetin 1 dan kelopak bunga kering mengandung

flavonoid gossypetin, hibiscetin dan sabdaretin. Hal ini juga

mengandung alkaloid, sitosterol, antosianin, asam sitrat, cyanidin-3-

rutinosida, delphinidin, galaktosa, pektin, asam protocatechuic,

quercetin, asam stearat dan wax. Kecil jumlah delphinidin 3-

monoglucosida, cyanidin-3 monoglucoside (chrysanthenin) dan

delphinidin juga. Tiga polisakarida larut air telah diisolasi dari kuncup

bunga; netral polysaccarida terdiri dari arabinans dan arabinogalactan

(Mahadevan, 2009).

5. Khasiat Tanaman
Sebagai obat tradisional, rosella berkhasiat sebagai antiseptik,

diuretik, pelarut, sedatif, dan tonik. Bunga rosela berguna untuk

mencegah penyakit kanker dan radang, mengendalikan tekanan

darah, melancarkan peredaran darah dan melancarkan buang air

besar. Kelopak bunga rosella dapat diambil sebagai bahan minuman

segar berupa sirup dan teh, selai dan minuman, terutama dari tanaman

yang berkelopak bunga tebal (Harmanto, 2007).


9

Karakteristik fisiokimia kelopak bunga rosella memiliki kadar

vitamin C yang tinggi dengan kandungan gula yang rendah, juga

mengandung asam suksinat dan asam oksalat yang merupakan dua

asam organik yang dominan. Rosella memiliki kandungan asam

askorbat yang lebih tinggi daripada jeruk dan mangga. Kelopak bunga

rosella mengandung vitamin A dan 18 jenis asam amino yang

diperlukan tubuh. Salah satunya adalah arginin yang berperan dalam

proses peremajaan sel tubuh. Di samping itu, rosella juga mengandung

protein, kalsium, dan unsur-unsur lain yang berguna bagi tubuh. Asam

amino yang terdapat dalam tanaman ini antara lain arginine, cystine,

histidine, isoleucine, leucine, lysine, methionine, phenylalanine,

threonine, trytophan, tyrosine, valine, aspartic acid, glutamic acid,

alanine, glycine, proline dan serine (Okasha et al., 2008).


B. Uraian Senyawa Flavonoid

Flavonoid merupakan salah satu metabolit sekunder, kemungkinan

keberadaannya dalam daun dipengaruhi oleh adanya proses fotosintesis

sehingga daun muda belum terlalu banyak mengandung flavonoid

(Markham, 1988).

Senyawa-senyawa flavonoid adalah senyawa polifenol alam yang

dalam tumbuhan merupakan aglikon mengandung 15 atom karbon dalam

inti dasarnya yang tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6 yaitu dua cincin

aromatik yang dihubungkan oleh satuan tiga karbon yang dapat atau tak

dapat membentuk cincin ketiga. Agar mudah cincin diberi tanda A,B dan
10

C, atom karbon dinomori menurut sistem penomoran yang menggunakan

angka biasa untuk cincin A dan C, serta angka beraksen untuk cincin B.

Gambar 1.Struktur flavonoid (Markham, 1988).


Semua varian flavonoid saling berkaitan karena alur biosintesis

yang sama, yang memasukkan prazat dari alur sikimat dan alur asetat-

malonat. Flavonoid pertama dihasilkan segera setelah kedua jalur itu

bertemu. Flavonoid yang dianggap pertama kali terbentuk pada biosintesis

ialah khalkon dan semua bentuk lain diturunkan darinya melalui berbagai

alur. Modifikasi flavonoid lebih lanjut mungkin terjadi pada berbagai tahap

dan menghasilkan penambahan atau pengurangan hidroksilasi, metilasi

gugus hidroksil atau inti flavonoid; isoprenilasi gugus hidroksil atau inti

flavonoid; metilenasi gugus orto-dihidroksil; dimerisasi (pembentukkan

biflavonoid); pembentukkan bisulfate; dan yang terpenting, glikosilasi

gugus hidroksil (pembentukkan flavonoid o-glikosida) atau inti flavonoid

(pembentukkan flavonoid C-glikosida) (Markham, 1988).


1. Kelarutan flavonoid
Aglikon flavonoid adalah polifenol dan karena itu mempunyai

sifat kimia senyawa fenol, yaitu bersifat agak asam sehingga dapat

larut dalam basa, tetapi harus diingat bila dibiarkan dalam larutan basa

dan disamping itu terdapat oksigen akan banyak terurai, karena


11

mempunyai sejumlah gugus hidroksil yang tak tersulih atau suatu gula,

flavonoid merupakan senyawa polar dan umumnya flavonoid larut

dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, butanol, aseton,

dimetilsufoksida (DMSO), dimetilformamida (DMF), air. Sebaliknya

aglikon yang kurang polar seperti isoflavon, flavanon, flavon, dan

flavonol yang termetoksilasi cenderung lebih mudah larut dalam

pelarut seperti eter dan kloroform (Markham, 1996).


2. Peranan Flavonoid
Peranan flavonoid untuk tumbuhan adalah sebagai pengaturan

tumbuh, pengaturan fotosintesis, kerja antimikroba dan antivirus dan

kerja terhadap serangga. Efek flavonoid terhadap manusia sangat

banyak antara lain flavonoid dapat bekerja sebagai inhibitor kuat

pernapasan, menghambat fosfodieterase, aldoreduktase, monoamina

oksidase, protein kinase, lipooksigenase, flavonoid bertindak sebagai

penampung terbaik bagi radikal hidroksi dan superoksida, dengan

demikian melindungi lipid membran terhadap reaksi yang merusak.

Aktivitas antioksidannya dapat digunakan untuk mengobati gangguan

fungsi hati dan menghambat sistem prostaglandin, mengurangi

pembekuan darah, antiskorbut dan antihipertensi (Robinson, 1995).


3. Penggolongan flavonoid
Perbedaan kelas flavonoid tergantung pada tingkat oksidasi

pola subtitusi cincin C. Menurut nomenklatur IUPAC, flavonoid dapat

dikelompokkan menjadi flavonoid turunan dari struktur

2-phenylchromone (2-phenyl-1,4-benzopyyrone), Isoflavonoid, turunan

dari struktur 3-phenylchromone (2-phenyl-1,4-benzopyyrone),


12

Neoflavonoid turunan dari struktur 4- phenylchromone (2- phenyl-1,4-

benzopyyrone). Ditinjau dari struktur kimianya, flavonoid dibagi

menjadi Flavonoid bebas, meliputi flavon, flavonon, flavonol, ( 3-

hidrosiflavon), flavonol, isoflavon, flavan-3-ol, garam flavilyum.

Flavonoid O-Glikosida, flavonoid C-glikosida, biflavonoid, flavonoid

sulfat, aglikon flavonoid aktif-optik (Amin, 2011).


Beberapa senyawa flavonoid dapat dibedakan menjadi

(Markham, 1988) ;
1. Flavon dan flavonol
Flavon dan flavonol merupakan pigmen berwarna kuning

yang tersebar secara luas pada tumbuhan tinggi, flavon sering

terdapat sebagai glikosida. Aglikon flavon yang umum, yaitu

kaemferol, kuersetin dan mirisetin, flavon juga terdapat sebagai

glikosida tetapi jenis glikosidanya lebih sedikit dari pada jenis

glikosida pada flavonol. Jenis yang paling umum, yaitu 7-

glukosida, flavon berbeda dengan flavonoid karena pada flavon

tidak terdapat gugus 3-hidroksi. Hal ini mempengaruhi serapan UV,

gerakan kemotografi serta reaksi warnanya, karena itu flavon dapat

dibedakan dari flavonol berdasarkan ketiga sifat tersebut.

Flavon Flavonol

2. Isoflavon
13

Isoflavon merupakan golongan flavonoid yang langka dan

umumnya terdapat pada anak suku leguminosae (papilionoideae).

Beberapa isoflavon memberikan warna biru muda cemerlang

dengan sinar uv bila diuapi ammonia, tetapi kebanyakan tampak

sebagai bercak lembayung pudar yang dengan amonia berubah

menjadi coklat pudar.

Isoflavon

3. Flavonon dan flavononol


Senyawa ini hanya terdapat dalam jumlah yang sedikit

sekali jika dibandingkan dengan golongan flavonoid lainnya. Kedua

senyawa ini tidak berwarna atau hanya kuning sedikit. Beberapa

glikosida flavanon (atau dihidroflavon) yang dikenal, yaitu;

hesperdin dan naringin, sedangkan flavanonol (atau

dihidroflavonol) merupakan flavonoid yang paling kurang dikenal

dan tidak diketahui apakah senyawa ini terdapat sebagai glikosida.

Flavonon Flavononol

4. Antosianin
14

Antosianin merupakan zat warna yang paling penting dan

tersebar paling luas dalam tumbuhan. Pigmen yang berwarna kuat

dan larut dalam air ini adalah penyebab hampir semua warna

merah jambu, merah merak, merah, merah senduduk, ungu dan

biru dalam daun, bunga dan buah pada tumbuhan tinggi antosianin

selalu terdapat sebagai glikosida dan bila antosianin dihidrolisis

dengan asam akan terbentuk antosianidin yang merupakan aglikon

dari antosianin. Antosianin yang paling umum, yaitu sianidin yang

berwarna merah lembayung.

Antosianin

5. Auron dan kalkon


Auron dan kalkon merupakan pigmen kuning yang bila

dideteksi dengan uap ammonia akan menghasilkan warna jingga

atau merah. Salah satu kalkon yang umum, yaitu ; butein, dan

salah satu auron yang umum, yaitu aureusidin.


Flavonoid rutin adalah glikosida flavonol yang termasuk

dalam quersetin flavonol dan rutin disakarida. Rutin ditemukan

dalam banyak tanaman khususnya tanaman gandum (Fagopyrum

esculentum). Senyawa rutin adalah zat padat, berwarna kuning

dan larut dalam air, tetapi rutin ini lebih banyak larut dalam air
15

dibandingkan aglikon kuersetin. Rutin memiliki rumus struktur

C27-H30-O16 (Fitria, 2007).


C. Ekstraksi Flavonoid

Ekstraksi yaitu penarikan zat pokok yang diinginkan dari bahan

mentah obat dengan menggunakan pelarut yang dipilih dimana zat yang

diinginkan akan larut. Sedangkan ekstrak merupakan sediaan sari pekat

tumbuh-tumbuhan yang diperoleh dengan cara melepaskan zat aktif dari

masing-masing bahan obat, menggunakan menstrum yang cocok, uapkan

semua atau hampir semua dari pelarutnya dan sisa endapan atau serbuk

diatur untuk ditetapkan standarnya (Howard, 1989).

Pengambilan bahan aktif dari suatu tanaman, dapat dilakukan

dengan ekstraksi. Dalam proses ekstraksi ini, bahan aktif akan terlarut

oleh zat penyari yang sesuai sifat kepolarannya. Metode ekstraksi dipilih

berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan mentah obat, daya

penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan kepentingan

dalam memperoleh ekstrak yang sempurna atau mendekati sempurna

(Ansel, 1989). Faktor - faktor yang mempengaruhi mutu ekstrak yaitu :

(Ditjen POM, 2000).

a. Faktor Biologi meliputi identitas jenis (species), lokasi tumbuhan asal,

periode pemanenan hasil tumbuhan, penyimpanan bahan tumbuhan,

umur tumbuhan dan bagian yang digunakan.


b. Faktor Kimia
1. Faktor internal meliputi jenis senyawa aktif dalam bahan, komposisi

kualitatif dan kuantitatif senyawa aktif dan kadar rata-rata senyawa

aktif.
16

2. Faktor eksternal meliputi metode ekstraksi, perbandingan ukuran alat

ekstraksi (diameter dan tinggi alat), pelarut yang digunakan dalam

ekstraksi, kandungan logam berat dan kandungan peptisida.

Metode-metode ekstraksi yang sering digunakan diantaranya :

a. Maserasi

Maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana.

Bahan simplisia yang dihaluskan sesuai dengan syarat farmakope

(umumnya terpotong-potong atau berupa serbuk kasar) disatukan

dengan bahan pengekstraksi. Selanjutnya rendaman tersebut disimpan

terlindung dari cahaya langsung (mencegah reaksi yang dikatalisis

cahaya atau perubahan warna) dan dikocok kembali. Waktu lamanya

maserasi berbeda-beda antara 4-10 hari. Secara teoritis pada suatu

maserasi tidak memungkinkan terjadinya ekstraksi absolute. Semakin

besar perbandingan cairan pengekstraksi terhadap simplisia, akan

semakin banyak hasil yang diperoleh (Voigt, 1995).

b. Perkolasi

Perkolasi dilakukan dalam wadah berbentuk silindris atau

kerucut (perkolator), yang memiliki jalan masuk dan keluar yang

sesuai. Bahan pengekstraksi yang dialirkan secara terus-menerus dari

atas, akan mengalir turun secara lambat melintasi simplisia yang

umumnya berupa serbuk kasar. Melalui penyegaran bahan pelarut


17

secara terus-menerus, akan terjadi proses maserasi bertahap banyak.

Jika pada maserasi sederhana, tidak terjadi ekstraksi yang sempurna

dari simplisia karena akan terjadi keseimbangan konsentrasi antara

larutan dalam sel dengan cairan disekelilingnya, maka pada perkolasi

melalui suplai bahan pelarut segar, perbedaan konsentrasi tadi selalu

dipertahankan. Dengan demikian ekstraksi total secara teoritis

dimungkinkan (praktis jumlah bahan yang dapat diekstraksi mencapai

95%) (Voigt, 1995).

c. Soxhletasi

Ekstraksi dengan cara ini pada dasarnya ekstraksi secara

berkesinambungan. Cairan penyari dipanaskan sampai mendidih. Uap

penyari akan naik melalui pipa samping, kemudian diembungkan lagi

oleh pendingin tegak. Cairan penyari turun untuk menyari zat aktif

dalam simplisia. Selanjutnya bila cairan penyari mencapai sifon, maka

seluruh cairan akan turun ke labu alas bulat dan terjadi proses

sirkulasi. Demikian seterusnya sampai zat aktif yang terdapat dalam

simplisia tersari seluruhnya yang ditandai jernihnya cairan yang lewat

pada tabung sifon (Depkes, 1986).

d. Refluks

Ekstraksi dengan cara ini pada dasarnya adalah ekstraksi

berkesinambungan. Bahan yang akan diekstraksi direndam dengan

penyari dalam labu alas bualat yang dilengkapi dengan alat pendingin

tegak, lalu dipanaskan sampai mendidih. Cairan penyari akan


18

menguap, uap tersebut akan diembunkan dengan pendingin tegak dan

akan kembali menyari zat aktif dalam simplisia tersebut, demikian

seterusnya. Ekstraksi ini biasanya dilakukan 3 kali dan setiap kali

diekstraksi selama 4 jam (Depkes, 1986).

D. Penguapan Flavonoid

Penguapan adalah proses terbentuknya uap dari permukaan

cairan. Kecepatan terbentuknya uap tergantung atas terjadinya difusi uap

melalui lapisan batas di atas cairan yang bersangkutan. Disini berlaku

prinsip pemindahan massa dan tekanan parsial merupakan tenaga

pendorongnya. Pada penguapan, terbentuknya uap berjalan sangat

lambat, sehingga cairan tersebut mendidih. Selama mendidih uap tersebut

terlepas melalui gelembung-gelembung udara yang terlepas dari cairan.

Kecepatan penguapan tergantung pada kecepatan pemindahan panas.

Oleh karena itu alat penguapan dirancang agar dapat memberikan

pemindahan panas yang maksimal kepada cairan. Untuk itu permukaan

harus seluas mungkin dan lapisan batas dikurangi. Untuk memilih alat

yang tepat harus diperhatian bahan yang akan diuapkan

(Ditjen POM, 1986).

Tujuan penguapan adalah menghilangkan cairan penyari yang

digunakan, agar pada ekstraksi corong pisah hanya diperoleh dua lapisan

(Ditjen POM, 1986).


19

Penguapan ekstrak dimaksudkan untuk mendapatkan konsentrasi

ekstrak yang lebih pekat. Menurut Farmakope Indonesia Edisi III dikenal 3

macam ekstrak, yaitu : (1) Ekstrak Cair, yang diperoleh dari hasil

penyarian bahan alam yang masih mengandung larutan penyari,

(2) Ekstrak Kental, yang telah mengalami proses penguapan, dan tidak

mengandung larutan penyari lagi, tetapi konsistensinya tetap cair pada

suhu kamar, dan (3) Ekstrak Kering, yang telah mengalami proses

penguapan tidak mengandung larutan penyari lagi, dan konsistensinya

tetap kering (Depkes RI, 1979). Faktor faktor yang mempengaruhi

penguapan yaitu (Ditjen POM, 1986) :

1. Suhu

Suhu berpengaruh pada kecepatan penguapan, makin tinggi

suhu makin cepat penguapan. Disamping mempengaruhi kecepatan

penguapan, suhu juga berperan terhadap kerusakan bahan yang

diuapkan.

2. Waktu

Waktu juga sangat berpengaruh dalam penguapan.

Penerapan suhu yang relatif tinggi untuk waktu yang singkat kurang

menimbulkan kerusakan dibandingkan bila dilakukan pada suhu yang

rendah tetapi memerlukan waktu lama.

3. Kelembaban

Beberapa senyawa kimia lebih muda terurai bila

kelembabannya tinggi, terutama pada kenaikan suhu.


20

4. Cara penguapan

Bentuk hasil akhir seringkali menentukan cara penguapan yang

tepat.

5. Konsentrasi
Pada penguapan cairan akan menjadi lebih pekat, sehingga

kadar bentuk padatnya makin bertambah. Hal ini akan mengakibatkan

kenaikan titik didih larutan tersebut. Dengan kenaikan suhu dan kadar

zat padat akan memperbesar resiko kerusakan zat yang tidak tahan

pemanasan dan mengurangi perbedaan suhu yang merupakan daya

dorong untuk pemindahan panas.


E. Metode Isolasi Flavonoid

1. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi lapis tipis (KLT) bersama-sama dengan

kromatografi kertas (KKr) dengan berbagai macam variasinya pada

umumnya dirujuk sebagai kromatografi planar. Kromatografi lapis tipis

(KLT) dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada tahun 1938.

Pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang

seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh

lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat plastik. Meskipun demikian,

kromotografi planar ini dapat dikatakan sebagai bentuk terbuka dari

kromatografi kolom (Rohman, 2009).

KLT dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai

selayaknya sebagai metode untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif,

atau preparatif. Kedua, dipakai untuk menjajaki system pelarut dan


21

system penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom atau

kromatografi cair kinerja tinggi (Gritter et al., 1991).

Untuk melihat dan menentukan jumlah noda yang diperoleh dari

hasil kromatografi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Pengamatan langsung jika noda berwarna dengan cahaya biasa

atau dengan sinar ultra violet.

b. Menyemprot lapisan dengan pereaksi penampak bercak kemudian

dipanaskan pada suhu 100-1100C selama beberapa menit.

c. Penampakan dengan iodium dilakukan dengan meletakkan

lempeng kromatografi yang telah dikeringkan didalam bejana yang

berisi kristal iodium. Setelah bejana ditutup, uap iodium akan

terjerap perlahan-lahan oleh noda pada lapisan yang mengandung

senyawa organik dan noda akan tampak sebagai daerah coklat

pada latar belakang putih (Depkes, 1979 ).

2. Kromatografi kolom cair vakum


Kromatografi suction column atau kromatografi cair vakum

adalah bentuk kromatografi kolom yang khususnya berguna untuk

fraksinasi kasar yang cepat terhadap suatu ekstrak. Kolom dapat

berupa kolom dalam adsorben grade-KLT normal atau fase terbalik ini

relatif bermutu dan fase gerak terhisap dengan adanya penurunan

tekanan. Fraksi biasanya dikoleksi dengan alikuot eluen dengan satu

kepolaran. Alikuot eluen selanjutnya dapat dirancang untuk

menghasilkan elusi gradient bertahap (Sudjadi, 1986).


22

Kromatografi kolom dikemas kering dalam keadaan vakum

agar diperoleh kerapatan kemasan maksimum. Vakum dihentikan,

pelarut yang kepolarannya rendah dituangkan ke permukaan penjerap

lalu divakumkan lagi, dan siap dipakai. Cuplikan dilarutkan dalam

pelarut yang cocok, dimasukkan langsung pada bagian atas kolom

atau pada lapisan prapenyerap dan dihisap perlahan-lahan kedalam

kemasan dengan menvakumkannya. Kolom dielusi dengan campuran

pelarut yang cocok, kolom dihisap sampai kering pada setiap

pengumpulan fraksi (Harbone, 1987).


3. Kromatografi Lapis Tipis Preparatif

Salah satu metode pemisahan yang memerlukan pembiayaan

paling murah dan memakai peralatan paling dasar ialah kromatografi

lapis tipis preparatif (KLTP). Walaupun KLTP dapat memisahkan bahan

dalam jumlah gram, sebagian besar pemakaian hanya dalam jumlah

miligram. KLTP bersama-sama dengan kromatografi kolom terbuka,

masih dijumpai dalam sebagian besar publikasi mengenai isolasi bahan

alam. Penyerap yang paling umum digunakan ialah silika gel dan

dipakai untuk pemisahan campuran senyawa lipofil maupun campuran

senyawa hidrofil. Kebanyakan penyerap KLTP mengandung indikator

flouresensi yang membantu mendeteksi kedudukan pita yang terpisah

sepanjang senyawa yang dipisahkan menyerap sinar UV

(Hostettmann, 1995).

Pita yang kedudukannya telah diketahui dikerok dari pelat

dengan spatula atau pengeruk berbentuk tabung yang disambungkan


23

dengan pengumpul vakum. Cara terakhir tidak dapat dilakukan untuk

senyawa peka karena penyerap yang mengandung senyawa yang

sudah murni terus menerus kena aliran udara dan resiko kena

otooksidasi selalu ada (Hostettmann, 1995).

4. Kromatografi Lapis Tipis Dua Dimensi

Penyerap umum yang digunakan adalah silica gel, aluminium

oksida, keiselgur, selullosa dan turunannya. Poliamida dll. Silica gel

adalah penyerap umum yang banyak digunakan karena mempunyai

daya pemisahan yang baik, hal ini telah diseleksi oleh Stahl untuk

pertama kali 1958. Salah satu aplikasi untuk mengetahui kemurnian

senyawa hasil isolat dengan metode ini yaitu dengan mengelusi noda

pada 2 arah yang berbeda dan menggunakan eluen yang berbeda,

isolat dikatakan murni apabila noda yang dinampakkan adalah tunggal

(Stahl, 1985).

KLT 2 arah atau 2 dimensi ini bertujuan untuk meningkatkan

resolusi sampel ketika komponen-komponen solut mempunyai

karakteristik kimia yang hampir sama, karenanya nilai Rf juga hampir

sama sebagaimana dalam asam-asam amino. Selain itu, 2 sistem fase

gerak yang sangat berbeda dapat digunakan secara berurutan

sehingga memungkinkan untuk melakukan pemisahan analit yang

mempunyai tingkat polaritas yang berbeda. Sampel ditotolkan pada

lempeng lalu dikembangkan dengan satu sistem fase gerak sehingga

campuran terpisah menurut jalur yang sejajar dengan salah satu sisi.
24

Lempeng diangkat, dikeringkan dan diputar 90, dan diletakkan dalam

bejana kromatografi yang berisi fase gerak kedua, sehingga bercak

yang terpisah pada pengembangan pertama terletak dibagian bawah

sepanjang lempeng, lalu dikromatografi lagi (Stahl, 1985).

5. Kromatografi Lapis Tipis Multi Eluen


Kromatografi lapis tipis multi eluen bertujuan untuk mengetahui

kemurnian suatu senyawa hasil isolat dengan mengelusi noda pada

eluen yang berbeda-beda namun hasil noda yang ditampakkan tetap

sama. Multi eluen adalah penggunaan eluen atau fase gerak yang

berbeda yang memungkinkan pemisahan analit dengan berdasarkan

tingkat polaritas yang berbeda (Tobo, 2001).


F. Identifikasi Flavonoid

Identifikasi flavonoid, uji reduksi dengan Zn (seng) memberikan

warna merah mudah sesaat setelah penambahan HCl p. Hal ini

menunjukan adanya flavonoid (glikosida-3-flavonol). Uji reduksi dengan

Mg (Magnesium) memberikan warna kuning jingga. Reaksi borat-oksalat

memberikan hasil positif yang ditunjukkan dengan fluorosensi kuning pada

sinar UV 366 nm melalui pembentukan kompleks asam borat-asam

oksalat (Mia, 2008).

Beberapa senyawa flavon berwarna hijau-kuning atau biru muda

pada kertas bila disinari dengan sinar UV dan diuapi amonia. Uji warna ini

penting dalam larutan alkohol ialah reduksi dengan serbuk Mg dan HCl

pekat, diantara flavonoid hanya flavon yang menghasilkan warna merah

ceri kuat (Harbone, 1987).


25

Identifikasi dapat dilakukan jika telah didapatkan senyawa murni

yang telah diuji kemurniannya dengan kromatografi lapis tipis dan

kristalisasi. Identifikasi dilakukan dengan spektroskopi dan reaksi kimia.

Spektroskopi adalah suatu studi mengenai interaksi antara energi cahaya

dan materi. Warna yang tampak adalah akibat adsorbs energi cahaya oleh

senyawa organik maupun anorganik. Panjang gelombang pada suatu

senyawa tergantung dari struktur senyawa tersebut, maka teknik-teknik

spektroskopi dapat digunakan untuk menentukan adanya struktur

senyawa yang belum diketahui dan mempelajari karakteristik suatu

senyawa (Sastrohamidjojo, 2001).

Data spektroskopi memberikan informasi spektrum untuk

menentukan struktur kimia dari suatu senyawa, misalnya spektroskopi

resonasi magnetik inti memberikan keterangan tentang jumlah proton dan

karbon, kedudukan karbon dan tipe proton dan molekul. Spektroskopi infra

merah memberikan infirmasi spektrum gugus fungsional suatu senyawa

dan spektroskopi massa memberikan keterangan tentang hasil

fragmentasi senyawa yang dinyatakan sebagai rasio massa dengan

muatan (m/e). Gabungan kesatuan yang tidak terpisah untuk menentukan

struktur senyawa yang akan dianalisa (Sastrohamidjojo, 2001).

1. Penampak bercak

Identifikasi dapat dilakukan jika telah didapatkan senyawa

murni yang telah diuji kemurniannya dengan kromatografi lapis tipis dan

kristalisasi. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan pereaksi kimia


26

dan spektroskopi. Pereaksi kimia yang digunakan yaitu dragendorff

untuk mengidentifikasi senyawa alkaloid, pereaksi mayer untuk

mengidentifikasi senyawa yang mengandung alkaloid, vanilin-asam

sulfat untuk mengidentifikasi golongan steroid, saponin, juga untuk

mengidentifikasi senyawa pedas, zat pahit, tanin. Liebermann bouchard

dan asam perklorat untuk mengidentifikasi senyawa golongan steroid,

serta aluminium klorida untuk mengidentifikasi senyawa golongan

flavanoid (Sutrisno, 1993 ; Auterhoff, 2002).

Spektroskopi adalah suatu studi mengenai interaksi antara

energi cahaya dan materi. Warna yang tampak adalah akibat adsorbsi

energi cahaya oleh senyawa organik maupun anorganik. Panjang

gelombang pada suatu senyawa tergantung dari struktur senyawa

tersebut, maka teknik-teknik spektroskopi dapat digunakan untuk

menentukan adanya struktur senyawa yang belum diketahui dan

mempelajari karakteristik suatu senyawa (Sastrohamidjojo, 1985).

2. Spektrofotometri Ultraviolet
Spektrofotometri serapan merupakan pengukuran suatu

interaksi antara radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom dari

suatu zat kimia. Teknik yang sering digunakan dalam analisis farmasi

meliputi spektrofotometri ultraviolet, cahaya tampak, infra merah dan

serapan atom. Jangkauan panjang gelombang untuk daerah ultraviolet

adalah 190-380 nm, daerah cahaya tampak 380-780 nm, daerah infra

merah dekat 780-3000 nm, dan daerah infra merah 2,5-40 m atau

4000-250 cm-1 ( Ditjen POM, 1995).


27

Radiasi ultraviolet dan sinar tampak diabsorpsi oleh molekul

organik aromatik, molekul yang mengandung elektron, menyebabkan

transisi elektron di orbital terluarnya dari tingkat energi elektron

tereksitasi lebih tinggi. Besarnya serapan radiasi tersebut sebanding

dengan banyaknya molekul analit yang mengabsorpsi sehingga dapat

digunakan untuk analisis kuantitatif (Satiadarma, 2004).

Serapan Spektrum UV-Vis Flavonoid (Markham, 1988)

Dalam spektroskopi, terdapat istilah-istilah yang sering

digunakan, di antaranya (Sastrohamidjojo, 2001) :

a. Kromofor, adalah gugus tak jenuh kovalen yang dapat menyerap

radiasi dalam daerah UV-Vis.

b. Auksokrom, adalah gugus jenuh yang bila terikat pada kromofor

mengubah panjang gelombang dan intensitas serapan maksimum.

c. Pergeseran batokromik, adalah pergeseran serapan ke arah panjang

gelombang yang lebih panjang disebabkan substitusi atau pengaruh

pelarut (pergeseranmerah).
28

d. Pergeseran hipsokromik, adalah pergeseran serapan ke arah

panjang gelombang yang lebih pendek disebabkan substitusi atau

pengaruh pelarut(pergeseran biru).

e. Efek hiperkromik, adalah kenaikan dalam intensitas serapan.

f. Efek hipokromik, adalah penurunan dalam intensitas serapan.

Pengukuran pada daerah UV harus menggunakan sel kuarsa

karena gelas tidak tembus cahaya pada daerah ini. Sel yang biasa

digunakan berbentuk persegi maupun berbentuk silinder dengan

ketebalan 10 mm. Sel tersebut adalah sel pengabsorpsi, merupakan

sel untuk meletakkan cairan ke dalam berkas cahaya spektrofotometer.

Sel haruslah meneruskan energi cahaya dalam daerah spektral yang

diminati. Sebelum sel dipakai dibersihkan dengan air atau dapat dicuci

dengan larutan detergen atau asam nitrat panas apabila dikehendaki

(Sastrohamidjojo, 2001)

Spektroskopi UV-Vis dapat digunakan untuk membantu

mengidentifikasi jenis flavonoid dan menentukan pola oksigenasi. Di

samping itu, kedudukan gugus hidroksil fenol bebas pada inti flavonoid

dapat ditentukan dengan menambahkan pereaksi diagnostik ke dalam

larutan cuplikan dan mengamati pergeseran puncak serapan yang

terjadi. Dengan demikian, secara tidak langsung cara ini berguna untuk

menentukan kedudukan gula atau metal yang terikat pada salah satu

gugus hidroksi fenol (Markham, 1988).

3. Spektroskopi Infra Merah


29

Spetroskopi infra merah adalah spektroskopi yang memberikan

informasi tentang gugus fungsi suatu senyawa yaitu gugus yang

menentukan senyawa tersebut. Bila sinar infra merah dilewatkan

melalui cuplikan senyawa organik, maka frekuwensi diserap sedangkan

frekuensi yang lain diteruskan tanpa diserap. Jika digambarkan antara

adsorbs dengan frekuensi, maka akan akan dihasilkan spektrum infra

merah (Sastrohamidjojo, 1985).


Spektrum infra merah merupakan spektroskopi berkas ganda

yang terdiri dari empat bagian utama yaitu radiasi, isi fraksi

(monokromator), daerah cuplikan dan detektor. Cahaya dari sumber

dilewatkan melalui cuplikan, dipecah menjadi frekuwensi individunya

oleh monokromator dan intensitas relatif dari frekuwensi individu diukur

dari detector (Sastrohamidjojo, 1985).

BAB III

METODELOGI PENELITIAN
30

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2015 sampai dengan

selesai. Dilaksanakan di Laboratorium Fitokimia Fakultas Farmasi

Universitas Muslim Indonesia.

B. Populasi dan sampel


Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bunga Rosella

Merah (Hibiscus sabdariffa L.) yang diperoleh dari kabupaten Luwu Utara

(Sulawesi Selatan).
C. Metode Kerja
Jenis penelitian yang digunakan yaitu secara eksperimental

laboratorium.
D. Alat dan Bahan
1. Alat yang digunakan
Alat-alat yang digunakan adalah bulk, lampu UV 254 nm dan

366 nm, batang pengaduk, botol penyemprot penampak bercak,

cawan porselin, chamber (camag), corong, rotavapor, gelas

Erlenmeyer (pyrex), gelas kimia (pyrex), gelas ukur (pyrex), pipa

kapiler, seperangkat alat kromatografi kolom, pipet tetes, rotavapor,

seperangkat alat maserasi, seperangkat alat kolom vakum, timbangan

analitik, spektrofotometer UV-Vis, Spektrofotometer inframerah, statif

dan botol uc.


2. Bahan-bahan yang digunakan

Bahan-bahan yang digunakan adalah air suling, aluminium foil,

asam asetat, aseton, etanol 96%, etil asetat, metanol, n-butanol,

n-hexan, kloroform, kertas saring, lempeng KLT silica dan serbuk silica,

simplisia bunga rosella merah (Hibiscus sabdariffa L.), dan tissue .


31

E. Prosedur Kerja
1. Penyiapan alat dan bahan
Alat dan bahan disiapkan sesuai dengan kebutuhan

penelitian yang akan dilaksanakan.


2. Pengambilan dan Pengolahan sampel.
Sampel Bunga Rosella Merah (Hibiscus sabdariffa L.) yang

telah dikumpulkan kemudian dibersihkan dari kotoran yang melekat

dengan menggunakan air mengalir lalu dikeringkan dengan cara

diangin-anginkan tanpa paparan sinar matahari langsung. Setelah

kering, sampel dipotong-potong kecil, kemudian diserbukkan dan

diekstraksi dengan metode maserasi.


3. Metode ekstraksi
Ditimbang 500 mg serbuk Bunga Rosella Merah (Hibiscus

sabdariffa L.), kemudian dimasukan serbuk Bunga Rosella Merah yang

akan disari kedalam bejana maserasi. Dituang secara perlahan etanol

96% kedalam bejana maserasi yang berisi serbuk Bunga Rosella

Merah. Kemudian biarkan cairan penyari merendam serbuk simplisia

selama 3 hari sesekali dilakukan pengadukkan, dilakukan remeserasi

hingga bening. Selanjutnya disaring ke dalam wadah baru sehingga

diperoleh ekstrak cair. Hasil penyarian yang didapat kemudian

dikumpulkan dan diuapkan dengan menggunakan rotavapor hingga

diperoleh ekstrak kental.


4. Isolasi
a. Isolasi dengan Kromatografi Cair Vakum
Kolom dibersihkan dengan n-heksan kemudian dimasukkan

silica gel 30 adsorben silica gel 60 ( 0,2-0,5 mm ) berbanding 10 g

dengan silica gel 60 GF254,(0,063-0,200) kemudian silica gel

dicampur lalu dimasukkan dalam kolom lalu dimampatkan dengan


32

n-heksan. Eluen yang digunakan, yaitu n-heksan : etil asetat

dimulai dari perbandingan 100 : 0, 90 : 10, 80 : 20, 70 : 30, 60 : 40,

50 : 50, 40 : 60, 30 : 70, 20 : 80, 10 : 90, 0 : 100 dan etil asetat :

metanol dengan perbandingan yang sama. Ekstrak etanol bunga

rosella merah ditimbang 20 mg, kemudian diletakkan di atas

permukaan adsorben yang sebelumnya telah dimasukkan dalam

kolom dan diletakkan kertas saring. Setelah itu eluen dialirkan

dengan kecepatan 1 ml/menit.


Fraksi yang keluar di tampung dalam botol , semua fraksi

yang diperoleh diidentifikasi KLT untuk melihat profil kromatogram.

Hasil fraksi kolom dilarutkan dengan pelarut yang sesuai, kemudian

ditotol pada lempeng KLT berukuran 1x7 cm menggunakan pipa

kapiler. Fraksi-fraksi dengan profil kromatogram yang sama

disatukan dalam satu fraksi, lalu di hitung jumlah fraksi tersebut.


b. Isolasi dengan metode kromatografi lapis tipis preparatif
Berdasarkan profil kromatogram fraksi yang menampakkan

noda paling baik akan di isolasi lebih lanjut menggunakan metode

kromatografi lapis tipis preparatif dengan cara menotolkan fraksi

pada lempeng dengan ukuran yang lebih besar yaitu 10 x 10 cm

lalu di elusi dengan menggunakan eluen n-Butanol : Asam asetat :

Aquadest dengan perbandingan 6 : 1 : 3, setelah itu profil

kromatogramnya dideteksi menggunakan sinar UV 254 nm dan

sinar UV 366 nm dan diamati pita yang terbentuk. Setelah

terbentuk pita, maka pita tersebut dikeruk. Hasil kerutan


33

ditambahkan sedikit pelarut kemudian disentrifuge, filtrat ditampung

kemudian diuapkan hingga didapatkan isolat.


5. Uji Kemurnian
1. Elusi sistem dua Dimensi
Kromatiografi lapis tipis dua dimensi dilakukan terhadap pita

tunggal menggunakan eluen yang sesuai untuk arah pertama dan

eluen dengan perbandingan yang berbeda untuk arah kedua. Dari

dua kali proses elusi ini akan menunjukkan satu bercak tunggal

isolat yang diperoleh telah murni.


2. Elusi sistem multi eluen
Uji kemurnian bercak tunggal juga dilakukan dengan

menggunakan beberapa variasi eluen yang sesuai. Penampakan

bercak tunggal menandakan bahwa golongan senyawa dari bercak

pita yang didapat merupakan golongan senyawa kimia yang

tunggal.
6. Identifikasi
a. Identifikasi secara kimia
Isolat yang diperoleh diidentifikasi secara kimia yaitu dengan

disemprotkan dengan AlCl3 dan Sitoborat pada penampak bercak

golongan komponen kimia.


b. Spektrofotometer UV-Vis
Hasil isolat pemisahan dan pemurnian dari ekstrak etanol

yang telah diuji fitokimia dan telah di KLT, selanjutnya dianalisis

dengan Spektrofotometer UV-Vis yang didasarkan pada

pengukuran serapan sinar monokromatis oleh suatu jalur larutan

berwarna pada panjang gelombang spesifik dengan menggunakan

monokromator prisma atau kisi difraksi dengan detector fototube.


c. Spektrofotometri IR
34

Isolat aktif yang diduga golongan senyawa flavonoid yang

telah murni dicampur dengan nujol. Campuran yang terbentuk

selanjutnya ditempatkan pada dua buah lempeng kristal NaCl dan

dimasukkan ke dalam alat inframerah, kemudian diukur

serapannya.
F. Pengumpulan dan Analisis Data

Ekstrak kental bunga rosella merah (Hibiscus sabdariffa L.)

diuji fitokimia, hasil uji fitokimia dapat ditampilkan dengan tabel.

Setelah itu dilakukan pemisahan sehingga menghasilkan fraksi-

fraksi yang kemudian di uji kemurniannya dengan berbagai eluen.

Selanjutnya analisis isolat murni, isolat yang didapatkan dilakukan

analisis spektrofotometer UV-Vis dan spektrofotometri IR.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
35

A. Hasil Penelitian

Tabel 1. Hasil rendamen ekstrak etanol bunga rosella merah


(Hibiscus sabdariffa L.)

No Pelarut Berat Jumlah Berat Rendamen

Simplisia pelarut (mL) ekstrak (g) ekstrak (%)

(g)

1. Etanol 96% 500 3000 117 23,4

Tabel 2. Hasil Identifikasi dengan penampak bercak pada isolat ekstrak


etanol bunga rosella merah (Hibiscus sabdariffa L.)

No Pereaksi semprot Pengamatan Perubahan Hasil

1. AlCl3 UV 366 nm Fluoresensi +

2. Sitoborat UV 366 nm Fluoresensi +

Keterangan : (+) = Menunjukkan adanya flavonoid

Gambar 1. Profil KLT dua dimensi Isolat B Etanol Bunga Rosella


Merah (Hibiscus sabdariffa L.)
36

Arah 1 Arah 1

Arah 2 Arah 2

Keterangan :

Fase diam : silica gel 60F254


Ukuran lempeng : 8 x 8 cm
(a) Fase gerak n-butanol : asam asetat : aquadest ( 6 : 1 : 3 )
(b) Fase gerak n-butanol : asam asetat : aquadest ( 3 : 1 : 6 )

Gambar 2. Profil KLT isolat B menggunakan variasi eluen


(Multieluen) Ekstrak Etanol Bunga Rosella Merah
(Hibiscus sabdariffa L.)
37

(1) (2) (3)

(1) (2) (3)

Keterangan :

Fase gerak 1 : aseton : etil asetat ( 1 : 1 )


Fase gerak 2 : n-Butanol : asam asetat : aquadest ( 6 : 1 : 3 )
Fase gerak 3 : n-Heksan : aseton ( 8 : 2 )
Fase diam : Silika gel 60 F254
Ukuran lempeng : 1 x 7 cm
( a ) Penampak bercak UV254
( b ) Penampak bercak UV36

Tabel 3. Hasil Identifikasi isolat tunggal ekstrak etanol bunga rosella

merah (Hibiscus sabdariffa L.) pada Spektrofotometer UV-Vis


38

No Jenis isolat Panjang gelombang Absorbansi


Maksimum
Isolat B
1. Bunga rosella merah 273,86 nm 0,046
(Hibiscus sabdariffa L.)

Tabel 4. Hasil Identifikasi isolat ekstrak etanol bunga rosella merah

( Hibiscus sabdariffa L.) pada Spektrofotometer Infra merah.

Bilangan Gelombang ( Cm -1)

Sampel Isolat B Pustaka Peak Prediksi


Bunga rosella merah (Creswell, 2005, gugus fungsi
(Hibiscus sabdariffa L.) Silverstein, 1991,
Sastroamidjojo,1991)

3460,95 3750-3000 Melebar kuat O-H

1649,19 1675-1500 Kuat Sedang C=C

1088,85 1260-1000 Tajam Sedang C=O

798,56 650-1000 Tajam Lemah C=C

B. Pembahasan
39

Rosella merupakan salah satu tanaman yang banyak tumbuh

Indonesia yang merupakan suku malvaceae dengan nama latin

(Hibiscus sabdariffa L). Terdapat beberapa jenis Rosella yaitu Rosela

merah dan Rosella Ungu. Tanaman ini pun banyak di budi dayakan

oleh masyarakat dan digunakan sebagai tanaman obat.

Salah satu kandungan kimia pada bunga Rosela yaitu

Flavonoid. Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang

terbesar ditemukan dialam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat

warna merah, ungu, biru, dan kuning yang ditemukan dalam tumbuh-

tumbuhan. Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri

dari 15 atom karbon, dimana dua cincin benzen terikat pada suatu

rantai propane sehingga membentuk suatu susunan C 6-C3-C6.

Susunan ini dapat menghasilkan tiga jenis struktur, yakni 1,3-

diarilpropan atau flavonoid, 1,2-diarilpropan atau isoflavonoid, dan 1,1-

diarilpropan atau neoflavonoid (Markham, 1988).

Pada penelitian ini digunakan bunga rosella merah (Hibiscus

sabdariffa L.) yang diperoleh dari kabupaten Luwu Utara (Sulawesi

Selatan). Tumbuhan utuh yang masih segar kemudian dideterminasi

di Laboratorium Famakognosi-Fitokimia Fakultas Farmasi UMI.

Determinasi sampel dilakukan untuk memastikan kebenaran bahan

tanaman yang digunakan dan merupakan salah satu tahapan penting

dalam proses selanjutnya. Hasil identifikasi tanaman menunjukkan


40

bahwa sampel tersebut adalah jenis (Hibiscus sabdariffa L), dari suku

malvaceae.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengisolasi dan

mengidentifikasi senyawa golongan flavonoid yang terdapat pada

bunga rosella merah (Hibiscus sabdariffa L.).

Simplisia diekstraksi dalam bentuk serbuk untuk

memudahkan proses penarikan senyawa aktif oleh pelarut dari

jaringan tumbuhan. Bentuk serbuk lebih mudah tersari karena luas

kontak antara permukaan jaringan sel dengan pelarut lebih besar.

(Ditjen POM, 2000). Dalam penelitian ini pelarut yang digunakan untuk

mengekstrekasi senyawa flavonoid adalah etanol 96%, yang

merupakan pelarut universal yang baik dan aman digunakan untuk

ekstraksi pendahuluan karena memiliki kemampuan melarutkan

senyawa-senyawa organik baik polar maupun non polar

(Harbone, 1987).

Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

maserasi (Ditjen POM, 2000) karena lebih sederhana, murah dan

mudah dilakukan. Maserasi menggunakan etanol 96 % dilakukan

selama 3 x 24 jam kemudian disaring dan dilakukan remeserasi

dengan palarut yang sama hinga bening, untuk menarik senyawa aktif

agar diperoleh kadar secara keseluruhan (Ditjen POM, 2000).


41

Bobot ekstrak yang diperoleh yaitu ekstrak etanol bunga

rosella merah 117 gram. Sedangkan persen rendamen pada sampel

yaitu 23,4 %.

Selanjutnya dilakukan profil Kromatografi lapis tipis pada

ekstrak etanol bunga rosella merah (Hibiscus sabdariffa L.) dengan

menggunakan variasi eluen B : A : W (n-Butanol : Asama setat :

Aquadest) ( 6 : 1 : 3 ), dan ( 5 : 1 : 4 ) n-heksan : etil asetat ( 7 : 3 ),

dan ( 6 : 4 ), kloroform : metanol (2 : 3 ) dan ( 1 : 1 ). Untuk

menentukan perbandingan eluen mana yang paling baik

menampakkan noda.

Metode isolasi yang digunakan adalah kromatografi cair

vakum karena metode ini pengerjaan dan alat yang digunakan lebih

sederhana, selain itu pemisahan komponen kimia lebih sempurna.

Adapun cairan pengelusi yang digunakan yaitu n-butanol : asam asetat

: aquadest (6 : 1 : 3 ) karena berdasarkan pemilihan eluen sebelumnya

cairan pengelusi ini dapat mengelusi dengan baik sampel sehingga

diperoleh sebanyak V fraksi. Selanjutnya fraksi III dilanjutkan dengan

kromatografi lapis tipis preparatif menggunakan eluen n-butanol : asam

asetat : aquadest (6 : 1 : 3) diperoleh 2 pita. Pita tersebut dikeruk. Hasil

kerukan, dilarutkan dengan kloroform : metanol ( 1 : 1 ) kemudian

disentrifuge, sehingga diperoleh isolat.

Uji kemurnian Isolat dilakukan dengan kromatografi lapis tipis

dua dimensi, untuk elusi arah pertama menggunakan n-butanol : asam


42

asetat : aquadest (6 : 1 : 3) dan untuk arah kedua menggunakan n-

butanol : asam asetat : aquadest (3 : 1 : 6) dan hasilnya didapatkan

spot tunggal yang berarti hanya terdapat 1 senyawa yang dapat dilihat

di bawah sinar UV 254 nm dan 366 nm. Selanjutnya isolat di uji

kemurniaanya lagi dengan kromatografi lapis tipis multi eluen dengan

variasi eluen yaitu aseton : etil asetat ( 1 : 1 ), B : A : W (n-butanol :

asam asetat : aquadest) (6 : 1 : 3), dan n-heksan : aseton ( 8: 2).

Identifikasi secara reaksi kimia yaitu dengan menggunakan

pereaksi semprot spesifik yaitu penampak bercak AlCl 3 dan sitoborat

yang digunakan untuk mendeteksi senyawa flavonoid pada isolat yang

ditandai dengan noda berflouresensi pada UV 366 nm . Data ini di

dukung dengan penafsiran bercak dari segi golongan flavonoid jika

dilihat pada sinar UV 366 yaitu beberapa senyawa flavon berwarna

hijau-kuning atau biru muda pada kertas bila disinari dengan sinar UV

dan diuapi amonia (Harborne, 1987).

Interpretasi data spektrofotometer Ultraviolet-Visibel isolat B

menunjukkan 2 serapan maksimum diukur dari panjang gelombang

200-800 nm dimana pada gelombang pertama 202 nm diduga

merupakan panjang gelombang dari metanol dan kedua 273,86 nm

merupakan panjang gelombang isolat golongan falvonoid flavon

(Apigenin). Data ini di dukung dengan penafsiran spektrum UV pada

pita II flavon (Apigenin) dengan panjang gelombang 250-280

(Marhkam, 1988).
43

Interpretasi data spektrofotometer infra merah senyawa hasil

isolasi memberikan serapan pada bilangan gelombang 3460,41 cm-1

merupakan serapan O-H fenol yang mempunyai ikatan hydrogen

(Silverstein et al., 1991), bilangan gelombang 1088,85 cm-1 yang

mengindikasikan serapan untuk gugus karbonil C=O dan bilangan

gelombang 1649,19 cm-1 yang merupakan regangan C=C aromatis,

dan didukung oleh pita serapan pada bilangan gelombang 798,56 cm-1

terdapat pita yang sangat kuat dan tajam yang merupakan regangan

cincin aromatis (Creswell et al., 1982).

Isolat kemudian dilanjutkan dengan identifikasi dengan

menggunakan pereaksi spesifik AlCl3 dan situborat menunjukkan

bahwa isolat merupakan senyawa flavonoid memberikan hasil positif

yang ditunjukkan dengan flouresensi kuning pada sinar UV 366 nm

(Mia, 2008).
44

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat

disimpulkan bahwa ekstrak etanol bunga rosella merah (Hibiscus

sabdariffa L.) adalah golongan flavonoid flavon (Apigenin).

B. Saran

Diharapkan dilakukan penelitian lebih lanjut yaitu Elusidasi

struktur senyawa lain dengan cara spektrofotometer H-NMR, C-NMR dan

spektroskopi massa untuk menentukan rumus strukturnya.


45

DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C., 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi Ke-4.


UI-Press, Jakarta.

Apsari, P. D., dan Susanti, H., 2011. Perbandingan Kadar Fenolik Total
Ekstrak Metanol Kelopak Merah dan Ungu Bunga Rosella
(Hibiscus sabdariffa) Secara Spektrofotometri. Universitas
Ahmad Dahlan:Yogyakarta.

Auterhoff., 2002. Identifikasi Obat. Edisi V. Penerbit ITB. Bandung.

Azwar, A. 1992. Antropologi Kesehatan Indonesia Jilid I Pengobatan


Tradisional. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Creswell, C.J.,dkk., 1982, Analisis Spektrum Senyawa Organik, ITB


Bandung.

Ditjen POM., 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV.,Jakarta.Departemen


kesehatan Republik Indonesia.Jakarta.

Ditjen POM. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.


Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. 2000. Parameter


Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Departemen Kesehatan
RI; Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986. Farmakope Indonesia.


Edisi IV , Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979. Farmakope Indonesia.


Edisi III, Jakarta.

Fitria. 2007. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Flavonoid Dalam Daun


Paliasa. Universitas Hasanuddin : Makassar

Gandjar, I.G. & Rohman, A. 2007. Metode Kromatografi Untuk Analisis


Makanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gritter, R. J., Robbit, J. M., dan Schwarting, A.E., 1991. Pengantar


Kromatografi, ed .2., a.b. Kosasih Padmawinata, ITB, Bandung.
46

Harbone, J.B., 1987. Metode Fitokimia : Penuntun Cara Modern


Menganalisa Tumbuhan, Terbitan Kedua. Terjemahan Kosasih
Padmawinata dan Iwang Soediro. ITB : Bandung.

Harmanto, Ning. 2007. Herbal Untuk Keluarga Jus Herbal Segar dan
Menyehatkan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Heyne, K., 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid IV, Edisi 1. Badan
Penelitian dan pengembangan Kehutanan, Jakarta.

Hodgson, J.M., and Kevin D.C., 2006. Review Dietary flavonoids.Effects


on endothelial function and blood pressure, J Sci Food Agric
86:2492-2498.

Hostettmann K., 1995. Cara Kromatografi Preparatif. Institut Tekhnologi


Bandung. Bandung.

Howard C., 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : Penerbit


UI Press.

Larasati, Y., Ismail, A. 2010. Pengaruh Pemberian Seduhan Kelopak


Rosella (Hibiscus sabdariffa) Dosis Bertingkat Selama 30 Hari
Terhadap Gambaran Histologik Gaster Tikus Wistar. Karya Tulis
Ilmiah.

Mahadevan, N., Shivali and Kamboj, P., 2009. Natural Product Radiance.
Hibiscus sabdariffa Linn.An overview. Vol. 8(1).

Markham, K.R., 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Terjemahan k,


radnawinata.Penerbit ITB Bandung.

Mardiah, Sawarni, H., R. W. Ashadi., A. Rahayu., 2009. Budi Daya dan


Pengolahan Rosela si Merah Segudang Manfaat. Cetakan 1.
Jakarta: Agromedia Pustaka

Maryani H., Kristiana L., 2008. Khasiat dan Manfaat Rosela. Jakarta. PT
AgroMedia Pustaka.

Mia, P. 2008. Karakteristik Ekstrak Daun Gandarusa (Justicia gendarussa


Burm. F) dan Pengaruhnya Terhadap Kadar Asam Urat Plasma
Tikus Putih Jantan yang Diinduksi Kalium Oksalat. Universitas
Indonesia:Depok.
47

Okasha, M.A.M., Abubakar, M.S., Bako, I.G., 2008. Study of the Effect of
Aqueous Hibiscus sabdariffa Linn Seed Extract on Serum
Prolactin Level of Lactating Female Albino Rats. European
Journal of Scientific Research. 22(4): 575-583.

Pourmourad, F., Hosseinimehr, S.J, Shahabimajd, N., 2006. Antioxidant


Activity, Phenol And Flavonoid Contents Of Some Selected
Iranian Medicinal Plants. African journal of Biotechnology
5(11):1142-1145

Praptiwi, dkk., 2002. Berita Biologi.Jurnal Ilmiah Nasional ,Pusat


Penelitian Biologi LIPI, Bogor 11(1): 1412-3617

Robinson, T., 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Terjemahan


Kosasih Padmawinata. ITB : Bandung

Rohman, A., 2009. Kromatografi Untuk Analisis Obat. Graha Ilmu,


Yogyakarta.

Sastrohamidjojo, H., 1985. Spektroskopi. Edisi Pertama, Liberty. UGM.


Yogyakarta.

Sastrohamidjojo, H.,2001. Kromatograf. Edisi II. Liberti, Yogyakarta.

Satiadarma, K., 2004. Azas pengembangan Prosedur Analisis. Edisi


Pertama, Cetakan Ketiga, Yogyakarta, UGM Press.

Stahl, Egon., 1985. AnalisisObat Secara Kromatografi dan Mikroskop,


ITB, Bandung.

Sudjadi, H. S. 1986. Metode Pemisahan. Kanisius. Jakarta.

Sutrisno, R. B., 1993. Pereaksi KLT. Fakultas Farmasi Universitas


Pancasila, Jakarta.

Suganda, A.G., Hakim, L., Sidik, Santosa, D., Elya, B., dan Elfahmi, 2010,
Serial Data Terkini Tumbuhan Obat Hibiscus sabdariffa .L,
Direktorat Obat Asli Indonesia, Balai Pengawas Obat Dan
Makanan RI. 2(11).

Silverstein, R.M.,dkk. 1991, Spectrometric Identification of Organic


Compounds.
48

Tobo, Fachruddin., 2001. Buku Pegangan Laboratorium Fitokimia I.


Laboratorium Fitokimia Jurusan Farmasi Unhas, Makassar

Voight, R., 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Gadjah Mada


University Press, Yogyakarta.

Widyanto, P.S., dan A. Nelistya., 2008. Rosella. Aneka Olahan, Khasiat


dan Ramuan. Penebar Swadaya, Jakarta.
49

Lampiran 1. Skema Kerja pada Pembuatan Ekstrak Bunga Rosella


merah (Hibiscus sabdariffa L.) dengan mengunakan
metode Maserasi

Sampel diserbukkan

Ditimbang masing-masing sampel


sebanyak 500 gram

Ekstraksi dengan
metode maserasi
Ekstraksi dengan etanol 96%

Didapatkan ekstrak cair

Dirotapavor

Didapatkan ekstrak kental

Dihitung bobot ekstrak dan


persen remdamen

Gambar 1. Skema Kerja pada Pembuatan Ekstrak Bunga Rosella merah


(Hibiscus sabdariffa L.) dengan mengunakan metode
Maserasi
50

Lampiran 2. Skema Kerja Isolasi dan Identifikasi Golongan Senyawa


Flavonoid Ekstrak etanol Bunga Rosella Merah (Hibiscus
sabdariffa L.

Serbuk bunga rosella merah


(Hibiscus sabdariffa L.)
Maserasi dengan etanol 96%
Ekstrak etanol

Isolasi
Kromatografi Cair vakum

Fraksi

KLTP

Isolat

Pemurnian

Uji kemurnian

KLT 2 Dimensi KLT Multi eluen

Identifikasi

Spektrofotometer UV Spektrofotometer IR Pereaksi spesifik

Analisis Data Pembahasan Kesimpulan

Gambar 2. Skema Kerja Isolasi dan Identifikasi Golongan Senyawa Flavonoid


bunga rosella merah ( Hibiscus sabdariffa L.)
51

Lampiran 3. Gambar Tanaman

Gambar 3. Tanaman Bunga Rosella Merah


(Hibiscus sabdariffa L.)

Sumber : Jurnal Penelitian teknologi pangan

Gambar 4. Kelopak dan ekstrak Bunga Rosella Merah


(Hibiscus sabdariffa L.)
52

Lampiran 4. Profil KLT Ekstrak Etanol Bunga Rosella Merah


(Hibiscus sabdariffa L.)

(a) (b) (c) (d)

Gambar 5. Profil KLT Ekstrak Etanol Bunga Rosella Merah


(Hibiscus sabdariffa L.)

Keterangan :

Fase diam : silica gel 60 F254


Fase gerak : n-Butanol : Asam asetat : Aquadest ( 6 : 1 : 3 )
( a ) Penampak bercak sinar UV 254 nm
( b ) Penampak bercak sinar UV 366 nm
( c ) Semprot AlCl3 noda berflouresensi UV 366 nm
( d ) Semprot Sitroborat noda berflouresensi UV 366 nm
53

Tabel 1. Nilai Rf dan warna pada bercak pada profil kromatogram


ekstrak Etanol Bunga Rosella Merah (Hibiscus sabdariffa L.)

Nilai Rf Warna Bercak

No UV 254 UV 366 UV 254 AlCl3 Sitoborat


bercak
nm nm nm UV 366 UV 366

nm nm

0,83 0,83 Ungu Hijau Hijau


I
kekuningan kekuningan

II 0,54 0,54 - Hijau Hijau

kekuningan kekuningan

Perhitungan :

jarakyangditempuhsenyawaterlarut 4,6
= =0,83
1) noda 1 (Rf 1) jarakyangditempuholehpelarut 5,5
jarakyangditempuhsenyawaterlarut 3
= =0,54
2) noda 2 (Rf 2) jarakyangditempuholehpelarut 5,5
54

Lampiran 5. Hasil Kromatografi Cair Vakum

(a) (b) (c)

(d) (e)

(c)

Gambar 6. Foto hasil Kromatografi Cair Vakum

Keterangan :

(a) Fraksi I (d) Fraksi IV


(b) Fraksi II (e) Fraksi V
(c) Fraksi III (f) Fraksi VI
55

Lampiran 6. Profil KLT fraksi KCV Eluen n-Heksan : etil

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 7. Profil KLT fraksi KCV Eluen n-Heksan : etil

Keterangan :

(a) Profil KLT Fraksi n-heksan : etil UV 254


(b) Profil KLT Fraksi n-heksan : etil UV 366
(c) Profil KLT hasil semprot AlCI3 UV 366
(d) Profil KLT hasil semprot situborat UV 366
Fase diam : silkika gel 60 F254
Fase gerak : n-Butanol: asam asetat : aquadest ( 6 : 1 : 3 )
56

Lampiran 7. Profil KLT fraksi KCV Eluen Etil : methanol

(d) (e)

(f) (g)

Gambar 8. Profil KLT fraksi KCV Eluen Etil : metanol

Keterangan :

(a) Profil KLT Fraksi etil : metanol UV254


(b) Profil KLT Fraksi etil : metanol UV366
(c) Profil KLT hasil semprot AlCI3 UV366
(d) Profil KLT hasil semprot situborat UV366
Fase diam : silika gel 60 F254
Fase gerak : n-Butanol: asam asetat : aquadest ( 6 : 1 : 3 )
57

Tabel 2. Nilai Rf dan warna pada bercak profil kromatoghram KLT hasil
KCV fraksi ekstrak etanol bunga rosella merah
( Hibiscus sabdariffa L.)

Nilai Rf Warna Bercak

Perbandingan eluen UV 254 UV 366 UV 254 UV 366


Fraksi
nm nm nm nm

N-heksan : etil asetat (100:0) - - - -

1 N-heksan : etil asetat (90:10) - - - -

N-heksan : etil asetat (80:20) 0,854 0,854 biru hijau

N-heksan : etil asetat (70:30) 0,854 0,854 biru hijau

2 N-heksan : etil asetat (60:40) - - - -

N-heksan : etil asetat (50:50) 0,854 0,854 biru hijau

N-heksan : etil asetat (40:60) 0,890 0,890 biru hijau

3 N-heksan : etil asetat (30:70) 0,909 0,909 biru hijau

N-heksan : etil asetat (20:80) 0,909 0,909 biru hijau

N-heksan : etil asetat (10:90) 0,909 0,909 biru hijau

Etil asetat : metanol (90:10) 0,854 0,854 biru hijau

4 Etil asetat : metanol (80:20) 0,854 0,854 biru hijau

Etil asetat : metanol (70:30) 0,854 0,854 biru hijau

Etil asetat : metanol (60:40) 0,981 0,981 biru hijau

5 Etil asetat : metanol (50:50) 0,981 0,981 biru hijau

Etil asetat : metanol (40:60) 0,981 0,981 biru hijau

Etil asetat : metanol (30:70) 0,981 0,981 biru hijau

Etil asetat : metanol (20:80) - - - -

6 Etil asetat : metanol (10:90) - - - -

Etil asetat : metanol (0:100) - - - -


58

Lampiran 8. Profil KLTP

(a)

(b)

(c)

Gambar 9. Profil KLT

Keterangan :

Fase diam : silica gel 60F254


Fase gerak : n-butanol : asam asetat : aquadest ( 6 : 1 : 3 )
(a) Penampak bercak sinar UV 254 nm
(b) Penampak bercak sinar UV 366 nm
(c) Penampak bercak hasil semprot AlCl3
59

Lampiran 9. Isolat murni ekstrak Etanol Bunga Rosella Merah


(Hibiscus sabdariffa L.)

(a) (b)

Gambar 10. Isolat murni ekstrak Etanol Bunga Rosella Merah


(Hibiscus sabdariffa L.)

Keterangan :

(a) Gambar Isolat 1 ( A )

(b) Gambar Isolat 2 ( B )

\
60

Tabel 3. Nilai Rf dan warna pada bercak pada profil kromatogram dua
dimensi ekstrak Etanol Bunga Rosella Merah (Hibiscus
sabdariffa L.).

Nilai Rf Warna Bercak


Sampel UV 254 UV 366 UV 254 AlCl3 Sitoborat
nm nm nm UV 366 UV 366
nm nm
Arah I 0,87 0,87 Ungu Hijau Hijau
kekuningan

Arah II 0,45 0,45 Ungu Hijau Hijau


kekuningan

Perhitungan :

jarakyangditempu h senyawaterlarut 4,8


= =0,87
1) noda arah 1 jarakyangditempu h ole h pelarut 5,5

2) noda arah 2

jarakyangditempu h senyawaterlarut 2,5


= =0,45
jarakyangditempu h ole h pelarut 5,5
61

Tabel 4. Nilai Rf dan warna pada bercak pada profil kromatogram multi
eluen ekstrak etanol Bunga Rosella Merah
(Hibiscus sabdariffa L.)

Nilai Rf Warna Bercak


Pelat
UV 254 UV 366 UV 254 UV 366
nm nm nm nm

I 0,818 0,818 Ungu Hijau

II 0,909 0,909 Ungu Hijau

III 0,909 0,909 Ungu Hijau

Perhitungan :

1) noda I

jarak yangditempu h senyawa terlarut 4,5


= =0,818 cm
jarak yang ditempuh ole h pelarut 5,5

2) noda II

jarak yang ditempu h senyawa terlarut 5


= =0,909 cm
jarak yang ditempuh ole h pelarut 5,5

3) noda III

jarak yang ditempu h senyawa terlarut 5


= =0,909 cm
jarak yang ditempuh ole h pelarut 5,5
62

Lampiran 10. Hasil kromatografi Penampak bercak isolat

(a) (b)

Gambar 11. Hasil kromatografi Penampak bercak isolat

Keterangan :

Fase gerak : n-butanol : Asam asetat : Aquadest ( 6 : 1 : 3 )


63

Fase diam : Silika gel 60 F254


Ukuran lempeng : 1 x 7 cm
( a ) = Pereaksi AlCl3 fluoresensi ( + )
( b ) = Pereaksi sitroborat fluoresensi ( + )

Tabel 5. Nilai Rf dan warna bercak hasil kromatografi isolat

Nilai Rf Warna Bercak


Fase
Gerak UV 366 AlCl3 Sitoborat
nm

BAW
0,85 Hijau kekuningan Hijau
( 6 : 1: 3)

Perhitungan :

jarakyangditempu h senyawaterlarut 4,7


= =0,85
1) noda I jarakyangditempu h ole h pelarut 5,5
64

Lampiran 11. Hasil Spektrofotometri UV-Vis Isolat


65

Gambar 12. Hasil Spektrofotometri UV-Vis Isolat

Lampiran 12. Hasil Spektrofotometer IR Isolat Bunga rosella merah


(Hibiscus sabdariffa L.)
66

Gambar 13. Hasil Spektrofotometer IR Isolat Bunga rosella merah


(Hibiscus sabdariffa L.)

Lampiran 13. Spektrofotometer UV-Vis

Gambar 14. Alat Spektrofotometer UV-Vis


67

Gambar 15. Alat spektrofotometer IR

Lampiran 14. Instrumen Rotavapor

Gambar 16. Rotavapor


68

Lampiran 15.
69

Gambar 17. Kunci determinasi bunga rosella merah


( Hibiscus sabdariffa L.)
70

Anda mungkin juga menyukai