Anda di halaman 1dari 41

LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT

Disusun Oleh:

Eva

11.2015.255

Pembimbing:

dr.Sonny, Sp.A

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT BHAKTI YUDHA

2017

1
Daftar Isi Hal
Bab I

Pendahuluan 3

Bab II

Definisi 4

Morfologi Sel Darah Putih 4

Etiologi 8

Patofisiologi 9

Klasifikasi 11

Epidemiologi 13

Gejala Klinis & Diagnosis 18

Penatalaksanaan 19

Faktor Prognostik 23

Bab III

Kesimpulan 26

Daftar Pustaka 27

Laporan Kasus

2
Bab I
Pendahuluan

Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang
ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam
darah tepi. Pada leukemia ada gangguan dalam pengaturan sel leukosit. Leukosit dalam darah
berproliferasi secara tidak teratur dan tidak terkendali dan fungsinya pun menjadi tidak normal.
Oleh karena proses tersebut fungsi-fungsi lain dari sel darah normal juga terganggu hingga
menimbulkan gejala leukemia yang dikenal dalam klinik. Leukemia akut dibagi atas leukemia
limfoblastik akut (LLA) dan leukemia mieloblastik akut (LMA).1-5

Leukemia limfoblastik akut merupakan keganasan dari sel limfoid yang mematikan,
berdampak pada anak-anak dan dewasa, dengan insidens tertinggi pada usia 2 sampai 5 tahun.
Kemajuan riset dalam pengobatan penyakit ini telah memberikan keberhasilan pada lebih 80%
anak. 6

Pendekatan yang digunakan pada kasus LLA bisanya sedikit berbeda pada pasien anak-
anak dengan dewasa. Sebagai contoh, transplantasi sumsum tulang pada remisi pertama lebih
sering dilakukan pada dewasa sedangkan pada anak-anak hanya menggunakan regimen yang
biasanya terdiri dari agen kemoterapi seperti asparaginase, vincristine, kortikosteroid, dan
metotreksat.7

3
Bab II
Pembahasan

I. Definisi Leukemia
Istilah leukemia pertama kali dijelaskan oleh Virchow sebagai darah putih pada tahun
1874, adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi dan proliferasi sel induk
hematopoetik.
Leukemia adalah suatu keganasan yang berasal dari perubahan genetik pada satu atau
banyak sel di sumsum tulang. Pertumbuhan dari sel yang normal akan tertekan pada waktu sel
leukemia bertambah banyak sehingga akan menimbulkan gejala klinis.1-5
Keganasan hematologik ini adalah akibat dari proses neoplastik yang disertai gangguan
diferensiasi pada berbagai tingkatan sel induk hematopoetik sehingga terjadi ekspansi progresif
kelompok sel ganas tersebut dalam sumsum tulang, kemudian sel leukemia beredar secara
sistemik.
Leukemia adalah proliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas, sering disertai bentuk
leukosit yang lain daripada normal dengan jumlah yang berlebihan dapat menyebabkan
kegagalan sumsum tulang dan sel darah putih sirkulasinya meninggi.1-5

II. Morfologi dan Fungsi Normal Sel Darah Putih

Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh, yaitu berfungsi
melawan infeksi dan penyakit lainnya. Batas normal jumlah sel darah putih berkisar dari 4.000
sampai 10.000/mm3. Berdasarkan jenis granula dalam sitoplasma dan bentuk intinya, sel darah
putih digolongkan menjadi 2 yaitu : granulosit (leukosit polimorfonuklear) dan agranulosit
(leukosit mononuklear).9

II.1 Granulosit
Granulosit merupakan leukosit yang memiliki granula sitoplasma. Berdasarkan warna
granula sitoplasma saat dilakukan pewarnaan terdapat 3 jenis granulosit yaitu neutrofil, eosinofil,
dan basofil.9
a. Neutrofil

4
Neutrofil adalah garis pertahanan pertama tubuh terhadap invasi oleh bakteri, sangat
fagositik dan sangat aktif. Sel-sel ini sampai di jaringan terinfeksi untuk menyerang dan
menghancurkan bakteri, virus atau agen penyebab infeksi lainnya. 9
Neutrofil mempunyai inti sel yang berangkai dan kadang-kadang seperti terpisah- pisah,
protoplasmanya banyak bintik-bintik halus (granula). Granula neutrofil mempunyai afinitas
sedikit terhadap zat warna basa dan memberi warna biru atau merah muda pucat yang dikelilingi
oleh sitoplasma yang berwarna merah muda. Neutrofil merupakan leukosit granular yang paling
banyak, mencapai 60% dari jumlah sel darah putih. Neutrofil merupakan sel berumur pendek
dengan waktu paruh dalam darah 6-7 jam dan jangka hidup antara 1-4 hari dalam jaringan ikat,
setelah itu neutrofil mati. 9

Gambar 1. Neutrofil

b. Eosinofil
Eosinofil merupakan fagositik yang lemah. Jumlahnya akan meningkat saat terjadi alergi
atau penyakit parasit. Eosinofil memiliki granula sitoplasma yang kasar dan besar. Sel
granulanya berwarna merah sampai merah jingga. 9
Eosinofil memasuki darah dari sumsum tulang dan beredar hanya 6-10 jam sebelum
bermigrasi ke dalam jaringan ikat, tempat eosinofil menghabiskan sisa 8-12 hari dari jangka
hidupnya. Dalam darah normal, eosinofil jauh lebih sedikit dari neutrofil, hanya 2-4% dari
jumlah sel darah putih. 9

5
Gambar 2. Eosinofil

c. Basofil
Basofil adalah jenis leukosit yang paling sedikit jumlahnya yaitu kurang dari 1% dari
jumlah sel darah putih. Basofil memiliki sejumlah granula sitoplasma yang bentuknya tidak
beraturan dan berwarna keunguan sampai hitam. 9
Basofil memiliki fungsi menyerupai sel mast, mengandung histamin untuk meningkatkan
aliran darah ke jaringan yang cedera dan heparin untuk membantu mencegah pembekuan darah
intravaskular. 9

Gambar 3. Basofil

II.2 Agranulosit

Agranulosit merupakan leukosit tanpa granula sitoplasma. Agranulosit terdiri dari


limfosit dan monosit

6
a. Limfosit
Limfosit adalah golongan leukosit kedua terbanyak setelah neutrofil, berkisar 20-35%
dari sel darah putih, memiliki fungsi dalam reaksi imunitas. Limfosit memiliki inti yang bulat
atau oval yang dikelilingi oleh pinggiran sitoplasma yang sempit berwarna biru. 9
Terdapat dua jenis limfosit yaitu limfosit T dan limfosit B. Limfosit T bergantung timus,
berumur panjang, dibentuk dalam timus. Limfosit B tidak bergantung timus, tersebar dalam
folikel-folikel kelenjar getah bening. Limfosit T bertanggung jawab atas respons kekebalan
selular melalui pembentukan sel yang reaktif antigen sedangkan limfosit B, jika dirangsang
dengan semestinya, berdiferesiansi menjadi sel-sel plasma yang menghasilkan imunoglobulin,
sel-sel ini bertanggung jawab atas respons kekebalan humoral. 9

Gambar 4. Limfosit

b. Monosit
Monosit merupakan leukosit terbesar. Monosit mencapai 3-8% dari sel darah putih,
memiliki waktu paruh 12-100 jam di dalam darah. Intinya terlipat atau berlekuk dan terlihat
berlobus, protoplasmanya melebar, warna biru keabuan yang mempunyai bintik-bintik sedikit
kemerahan. 9
Monosit memiliki fungsi fagositik dan sangat aktif, membuang sel-sel cedera dan mati,
fragmen-fragmen sel, dan mikroorganisme. 9

7
Gambar 5. Monosit
III. Etiologi

Penyebab leukemia masih belum diketahui, namun anak-anak dengan cacat genetik
(Trisomi 21, sindrom Bloom, anemia Fanconi, dan ataksia telangiektasia) mempunyai kerentanan
yang tinggi untuk menderita leukemia.1,6,9

Studi faktor lingkungan difokuskan pada paparan in utero dan postnatal. Moskow
melakukan studi kasus kelola pada 204 pasien dengan paparan paternal atau maternal terhadap
pestisida dan produk minyak bumi. Terdapat peningkatan risiko leukemia pada keturunannya.
Penggunaan marijuana maternal juga menunjukkan hubungan yang signifikan.1

Radiasi dosis tinggi merupakan leukemogenik, seperti yang dilaporkan di Hiroshima dan
Nagasaki sesudah ledakan bom atom. Meskipun demikian paparan radiasi dosis tinggi in utero
secara signifikan tidak mengarah kepada peningkatan insidens leukemia, demikan juga halnya
dengan radiasi dosis rendah namun hal ini masih merupakan perdebatan. Pemeriksaan X-Ray
abdomen selama trimester I kehamilan menunjukkan peningkatan kasus LLA sebanyak 5 kali.
Selama 40 tahunan metode ini digunakan secara rutin, tetapi saat ini pemeriksaan tersebut amat
jarang dan hanya sedikit kasus yang bias dijelaskan hubungannya dengan faktor ini.1,2,9

Kontroversi tentang paparan bidang elektromagnetik masih tetap ada. Beberapa studi
tidak menemukan peningkatan, tapi studi terbaru menunjukkan peningkatan 2 kali diantara anak-
anak yang tinggal di jalur listrik tegangan tinggi, namun tidak signifikan karena jumlah anak
yang terpapar sedikit.1,9

8
Hipotesis yang menarik saat ini mengenai etiologi leukemia pada anak-anak adalah
peranan infeksi virus dan atau bakteri Ada 2 langkah mutasi pada sistem imun. Pertama selama
kehamilan atau awal masa bayi dan kedua selama tahun pertama kehidupan sebagai konsekuensi
dari respons terhadap infeksi pada umumnya.1

Tahun-tahun terakhir, perhatian khusus dilakukan terhadap LMA sekunder setelah


kemoterapi yang agresif. Risiko LMA setelah penyakit Hodgkin disebabkan oleh obat
pengalkilasi. Kloning leukemia sering menunjukkan adanya kelainan kromosom nomer 5 dan 7
dan memiliki FAB tipe M1 atau M2. Terdapat pula hubungan antara penggunaan
epipodofilotoksin dengan LMA sekunder. Diperkirakan bahwa anak-anak dengan LLA yang
mendapat terapi epipodofilotoksin dosis tinggi (VP-16 dan atau VM 26) memiliki risiko
kumulatif 5-12% menjadi LMA sekunder. LMA-nya berbeda dengan yang mendapat terapi obat
pengalkilasi yaitu terdapat periode laten yang lebih pendek dan mayoritas melibatkan perubahan
kromosom 11q23 dan sebagian FAB tipe M4 atau M5. Mielodisplasia dan LMA sekunder juga
meningkat pada pasien yang mendapat terapi mieloblatif pada transplantasi sel stem autologus.1

Beberapa kondisi perinatal merupakan faktor risiko terjadinya leukemia pada anak seperti
yang dilaporkan oleh Cnatingius dkk (1995). Faktor-faktor tersebut adalah penyakit ginjal pada
ibu, penggunaan suplemen oksigen, asfiksia, berat badan lahir lebih dari 4500 gram, dan
hipertensi saat hamil. Sedangkan Shu dkk (1996) melaporkan bahwa ibu hamil yang
mengkonsumsi alkohol meningkatkan risiko terjadinya leukemia pada bayi terutama LMA.1

IV. Patofisiologi
Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap
infeksi. Sel ini secara normal berkembang sesuai perintah, dapat dikontrol sesuai dengan
kebutuhan tubuh. Leukemia meningkatkan produksi sel darah putih pada sumsum tulang yang
lebih dari normal. Mereka terlihat berbeda dengan sel darah normal dan tidak berfungsi seperti
biasanya. Sel leukemi memblok produksi sel darah normal, merusak kemampuan tubuh terhadap
infeksi. Sel leukemi juga merusak produksi sel darah lain pada sumsum tulang termasuk sel
darah merah dimana sel tersebut berfungsi untuk menyuplai oksigen pada jaringan.

9
Gambar 6. Proses Hematopoesis Normal
Analisis sitogenik menghasilkan banyak pengetahuan mengenai aberasi kromosomal
yang terdapat pada pasien dengan leukemia. Perubahan kromosom dapat meliputi perubahan
angka, yang menambahkan atau menghilangkan seluruh kromosom, atau perubahan struktur
termasuk translokasi (penyusunan kembali), delesi, inversi dan insersi. Pada kondisi ini, dua
kromosom atau lebih mengubah bahan genetik, dengan perkembangan gen yang berubah
dianggap menyebabkan mulainya proliferasi sel abnormal.

Gambar 7. Proses Proliferasi Abnormal pada Leukemia

10
Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah putih
mengalami gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan. Perubahan tersebut
seringkali melibatkan penyusunan kembali bagian dari kromosom (bahan genetik sel yang
kompleks). Translokasi kromosom mengganggu pengendalian normal dari pembelahan sel,
sehingga sel membelah tidak terkendali dan menjadi ganas. Pada akhirnya sel-sel ini menguasai
sumsum tulang dan menggantikan tempat dari sel-sel yang menghasilkan sel-sel darah yang
normal. Kanker ini juga bisa menyusup ke dalam organ lainnya termasuk hati, limpa, kelenjar
getah bening, ginjal, dan otak

V. Klasifikasi LeukemiaLimfoblastik Akut


LLA merupakan jenis leukemia dengan karakteristik adanya proliferasi dan akumulasi
sel-sel patologis dari sistem limfopoetik yang mengakibatkan organomegali (pembesaran alat-
alat dalam) dan kegagalan organ. 1,9
LLA lebih sering ditemukan pada anak-anak (82%) daripada umur dewasa (18%). Insiden
LLA akan mencapai puncaknya pada umur 3-7 tahun. Tanpa pengobatan sebagian anak-anak
akan hidup 2-3 bulan setelah terdiagnosis terutama diakibatkan oleh kegagalan dari sumsum
tulang.1,9

Gambar 8. Leukemia Limfositik Akut


Penelitian yang dilakukan pada leukemia limfoblastik akut menunjukkan bahwa sebagian
besar LLA mempunyai homogenitas pada fenotip permukaan sel blas dari setiap pasien. Hal ini
member dugaan bahwa populasi sel leukemia itu berasal dari sel tunggal. Oleh karena
homogenitas itu maka dibuat klasifikasi LLA secara morfologik untuk lebih memudahkan
pemakaiannya dalam klinik sebagai berikut1:

11
L1 terdiri dari sel limfoblas kecil serupa, dengan kromatin homogen, anak inti umumnya
tidak tampak dan sitoplasma sempit

L2 pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya bervariasi, kromatin lebih
kasar dengan satu atau lebih anak inti

L3 terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin berbercak, banyak
ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan bervakuolisasi

Akibat terbentuknya populasi sel leukemia yang makin lama makin banyak akan
menimbulkan dampak yang buruk bagi produksi sel normal, dan bagi faal tubuh maupun dampak
karena infiltrasi sel leukemia ke dalam organ tubuh.1

VI. Epidemiologi
i. Umur
Berdasarkan data The Leukemia and Lymphoma Society (2009) di Amerika Serikat, leukemia
menyerang semua umur. Pada tahun 2008, penderita leukemia 44.270 orang dewasa dan 4.220
pada anak-anak. Biasanya jenis leukemia yang menyerang orang dewasa yaitu LMA dan LLK
sedangkan LLA paling sering dijumpai pada anak-anak. Menurut penelitian Kartiningsih L.dkk
(2001), melaporkan bahwa di RSUD Dr. Soetomo LLA menduduki peringkat pertama kanker
pada anak selama tahun 1991-2000. Ada 524 kasus atau 50% dari seluruh keganasan pada anak
yang tercatat di RSUD Dr. Soetomo, 430 anak (82%) adalah LLA, 50 anak (10%) menderita
nonlimfoblastik leukemia, dan 42 kasus merupakan leukemia mielositik kronik. Penelitian
Simamora di RSUP H. Adam Malik Medan tahun2004-2007 menunjukkan bahwa leukemia lebih
banyak diderita oleh anak-anak usia<15 tahun khususnya LLA yaitu 87%. Pada usia 15-20 tahun
7,4%, usia 20-60 tahun 20,4%, dan pada usia >60 tahun 1,8%.
Leukemia akut pada masa anak-anak merupakan 30-40% dari keganasan. Insidens rata-
rata 4 - 4,5 kasus pertahun per 100000 anak dibawah 15 tahun. Di negara berkembang 83%
leukemia limfoblastik akut, 17% leukemia mieloblastik akut, lebih tinggi pada anak kulit putih
dibandingkan dengan kulit hitam. Di Jepang mencapai 4 per 100000 anak dan diperkirakan tiap
tahun terjadi 1000 kasus baru. Sedangkan di Jakarta pada tahun 1994 insidennya mendapai 2,76
per 100000 anak usia 1 4 tahun. Pada tahun 1996 didapatkan 5 6 pasien leukemia baru setiap
bulan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, sementara itu di RSU Dr. Soetomo sepanjang tahun

12
2002 dijumpai 70 kasus leukemia baru.1 Leukemia akut pada anak mencapai 97% dari semua
leukemia akut pada anak dan terdiri dari 2 tipe yaitu leukemia limfoblastik akut (LLA) sebanyak
82% dan leukemia mieloblastik akut (LMA) sebanyak 18%. Leukemia kronik mencapai 3% dari
seluruh leukemia pada anak. Di RSUP Dr. Sardjito LLA 79%, LMA 9%, dan sisanya leukemia
kronik. Sementara itu, di RSU Dr. Soetomo pada tahun 2002 LLA 88% dan, LMA 8%, dan
leukemia kronik 4%.1

ii. Jenis Kelamin


Insiden rate untuk seluruh jenis leukemia lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan.
Pada tahun 2009, diperkirakan lebih dari 57% kasus baru leukemia pada laki-laki. Berdasarkan
laporan dari Surveillance Epidemiology And End Result (SEER) di Amerika tahun 2009, kejadian
leukemia lebih besar pada laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 57,22%:42,77%.
Menurut penelitian Simamora (2009) di RSUP H. Adam Malik Medan, proporsi penderita
leukemia berdasarkan jenis kelamin lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan
(58%:42%). Rasio laki-laki dan perempuan adalah 1,15 untuk LLA dan mendekati 1 untuk LMA.
Puncak kejadian pada umur 2 5 tahun, spesifik untuk anak kulit putih dengan ALL, hal ini
disebabkan banyaknya kasus pre B-LLA pada rentang usia ini. Kejadian ini tidak tampak pada
kulit hitam. Kemungkinan puncak tersebut merupakan pengaruh faktor-faktor lingkungan di
negara industri yang belum diketahui.1

iii. Ras
IR di negara barat adalah 4 per 100.000 anak-anak di bawah usia 15 tahun. Angka kejadian
terendah terdapat di Afrika (1,18-1,61/100.000) dan tertinggi di antara anak-anak Hispanik
(Costa Rica 5,94/100.000 dan Los Angeles 5,02/100.000). IR ini lebih umum pada ras kulit putih
(42,1 per 100.000 per tahun) daripada ras kulit berwarna (24,3 per 100.000 per tahun).
Berdasarkan data The Leukemia and Lymphoma Society (2009), leukemia merupakan salah
satu dari 15 penyakit kanker yang sering terjadi dalam semua ras atau etnis. Insiden leukemia
paling tinggi terjadi pada ras kulit putih (12,8 per 100.000) dan paling rendah pada suku Indian
Amerika/penduduk asli Alaska (7,0 per 100.000).

13
VII. Gejala Klinis dan Diagnosis
Gejala klinis dari leukemia pada umumnya adalah anemia, trombositopenia, neutropenia,
infeksi, kelainan organ yang terkena infiltrasi, hipermetabolisme. Gejala klinis LLA sangat
bervariasi. Umumnya menggambarkan kegagalan sumsum tulang. Gejala klinis berhubungan
dengan anemia (mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada), infeksi dan perdarahan. Selain
itu juga ditemukan anoreksi, nyeri tulang dan sendi, hipermetabolisme. Nyeri tulang bisa
dijumpai terutama pada sternum, tibia dan femur.1,2
Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis
leukemia. Namun untuk memastikannya harus dilakukan pemeriksaan aspirasi sumsum tulang,
dan dilengkapi dengan pemeriksaan radiografi dada, cairan serebrospinal, dan beberapa
pemeriksaan penunjang yang lain. Cara ini dapat mendiagnosis sekitar 90% kasus, sedangkan
sisanya memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu sitokimia, imunologi, sitogenetika, dan
biologi molekuler.1-5,8

Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan anemia, kelainan jumlah hitung jenis
leukosit dan trombositopenia. Bisa terdapat eosinofilia reaktif. Pada pemeriksaan preparat apus
darah tepi didapatkan sel-sel blas. Berdasarkan protokol WK-ALL dan protokol Nasional
(protokol Jakarta) pasien LLA dimasukkan dalam kategori risiko tinggi bila jumlah lekosit
>50000/L, ada massa mediastinum, ditemukan leukemia susunan saraf pusat (SSP) serta jumlah
sel blas total setelah 1 minggu diterapi dengan deksametason lebih dari 1000/mm 3. Massa
mediastinum tampak pada radiografi dada. Untuk menentukan adanya leukemia SSP harus
dilakukan aspirasi cairan serebrospinal (pungsi lumbal) dan dilakukan pemeriksaan sitologi. 1 Di
negara berkembang, diagnosis harus dipastikan dengan aspirasi sumsum tulang (BMA) secara
morfologis, immunofenotip dan karakter genetik. Leukemia dapat menjadi kasus gawat darurat
dengan komplikasi infeksi, perdarahan atau disfungsi organ yang terjadi secara sebagai akibat
leukostasis.1-5,8

Pada saat diagnosis leukemia ditegakkan akan menimbulkan beberapa permasalahan,


baik karena tindakan yang invasif maupun kondisi psikologis orang tua atau keluarga. Aspirasi
sumsum tulang dan pungsi lumbal dapat menimbulkan nyeri dan ketakutan pada anak dan
kekhawatiran pada orang tua, sehingga perlu penjelasan dan edukasi, pemberian obat penenang

14
dan pendekatan psikologi. Tindakan tersebut juga perlu dilakukan pada saat mengevaluasi
perkembangan penyakit atau kemajuan pengobatan, sesuai jadwal yang sudah ditentukan.
Edukasi dan pendampingan orang tua pada saat dilakukan tindakan aspirasi sumsum tulang dan
pungsi lumbal adalah langkah yang bertujuan untuk mengurangi rasa sakit dan meningkatkan
rasa percaya diri pasien.1

VIII. Working Diagnosis

Leukemia atau kanker darah adalah sekelompok penyakit neoplastik yang beragam,
ditandai oleh perbanyakan secara tak normal atau transformasi maligna dari sel-sel pembentuk
darah di sumsum tulang dan jaringan limfoid. Sel-sel normal di dalam sumsum tulang digantikan
oleh sel abnormal. Sel abnormal ini keluar dari sumsum dan dapat ditemukan di dalam darah
perifer atau darah tepi. Sel leukemia mempengaruhi hematopoiesis atau proses pembentukan sel
darah normal dan imunitas tubuh penderita.2

Kata leukemia berarti darah putih, karena pada penderita ditemukan banyak sel darah
putih sebelum diberi terapi. Sel darah putih berasal dari stem-cell di sumsum tulang. Leukemia
terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah putih mengalami gangguan dan
menghasilkan perubahan ke arah keganasan. Sel darah putih yang tampak banyak merupakan sel
yang muda, misalnya promielosit. Jumlah yang semakin meninggi ini dapat mengganggu fungsi
normal dari sel lainnya.2 Leukemia limfoblastik akut anak adalah kanker terbesar yang pertama
terbukti dapat disembuhkan dengan kemoterapi dan radiasi. LLA terjadi sedikit lebih sering pada
anak lelaki dibanding perempuan. Laporan mengenai geografik leukemia anak memberi kesan
peran faktor lingkungan. Namun, telaah balik secara hati-hati tidak mendukung kebanyakan dari
hubungan yang diajukan. Leukemia limfoid terjadi lebih sering daripada yang diharapkan pada
penderita dengan imunodefisiensi atau dengan defek kromosom konstitusional (trisomy 21).6

Kasus LLA disubklasifikasikan menurut gambaran morfologi, imunologi, dan genetic


sel induk leukemia. Diagnosis pasti biasanya didasarkan atas pemeriksaan aspirasi sumsum
tulang. Gambaran sitologik sel induk amat bervariasi walaupun dalam satu cuplikan tunggal,
sehingga tidak ada klasifikasi morfologi yang memuaskan. Sistem Perancis-Amerika-Inggris
(PAI) membedakan tiga subtype morfologi, yaitu L1, L2, dan L3. Pada limfoblas L1 umumnya
kecil, dengan sedikit sitoplasma; pada sel L2 lebih besar dan pleomorfik dengan sitoplasma lebih

15
banyak, bentuk inti irregular, dan nucleoli nyata; dan sel L3 mempunyai kromatin inti homogeny
dan berbintik halus, nucleoli jelas, dan sitoplasma biru tua dengan vakuolisasi nyata. Karena
perbedaan yang subjektif antara blas L1 dan L2 dan korelasi dengan penanda imunologik dan
genetic yang sedikit, hanya subtype L3 yang mempunyai arti klinis.6

Klasifikasi LLA bergantung pada kombinasi gambaran sitologik, imunologik, dan


kariotip. Dengan antibody monoclonal yang mengenali antigen permukaan sel yang terkait
dengan galur sel dan antigen sitoplasma, maka imunotipe dapat ditentukan pada kebanyakkan
kasus. Umumnya berasal dari progenitor-B; lebih kurang 15% berasal dari sel progenitor-T dan
1% dari sel B yang relatif matang. Imunotipe ini mempunyai implikasi prognostic maupun
terapeutik. Beberapa kasus belum dapat diklasifikasikan karena menunjukkan ekspresi antigen
yang berkaitan dengan beberapa galur sel yang berbeda (LLA galur campuran atau bifenotipik). 6
Kelainan kromosom dapat diidentifikasi setidak-tidaknya 80-90% LLA anak. Kariotip dari sel
leukemia mempunyai arti penting diagnostic, prognostic, dan terapeutik. Mereka menunjukkan
tepat sisi bagi penelitian molekular untuk mendeteksi gen yang mungkin terlibat pada
transformasi leukemia. LLA anak dapat juga diklasifikasikan atas dasar jumlah kromosom tiap
sel leukemia (ploidy) dan atas penyusunan kembali (rearrangement) kromosom struktural
misalnya translokasi.6 Kebanyakan penderita dengan leukemia mempunyai penyebaran pada
waktu diagnosis, dengan keterlibatan sumsum tulang yang luas dan adanya sel blas leukemia di
sirkulasi darah. Limpa, hati, kelenjar limfe biasanya juga terlibat. Karena itu, tidak ada sistem
pembagian stadium untuk LLA.6

IX. Differential Diagnosis

Leukemia mielositik akut (LMA)

Pada sebagian besar kasus, gambaran klinis dan morfologi pada pewarnaan rutin
membedakan ALL dari AML. Pada ALL, blas tidak memperlihatkan adanya diferensiasi
(dengan perkecualian ALL sel B). Sedangkan pada AML, biasanya ditemukan tanda-tanda
diferensiasi kearah granulosit atau monosit pada blas atau progeninya. Diperlukan tes khusus
untuk memastikan penegakan diagnosis AML atau ALL dan untuk membagi lagi kasus-kasus
AML atau ALL ke dalam subtype yang berbeda.7

16
Gambar 2. Klasifikasi Morfologis AML berdasarkan FAB8

Pada sebagian kecil kasus leukemia akut, sel blas memperlihatkan adanya gambaran
AML dan ALL sekaligus. Ciri-ciri ini dapat ditemukan pada sel yang sama (biphenotypic) atau
pada populasi yang terpisah (bilineal), dan gambaran ini mencakup ekspresi yang tak wajar dari
petanda imunologik atau penataan ulang gen yang tak wajar. Hal ini disebut leukemia akut
hybrid dan pengobatan biasanya diberikan berdasarkan pola yang dominan.7

Tabel 1. Pemeriksaan khusus untuk leukemia limfoblastik akut (LLA) dengan


leukemia mieloid akut (LMA)9

LLA LMA

Sitokimia
Mieloperoksidase _ +(termasuk batang Auer)
Sudan black _ +(termasuk batang Auer)
Esterase non spesifik _ + pada M4, M6
Periodic acid-Schiff +(positivitas blok kasar pada
+(blok halus pada M6)
Fosfatase asam Pada M6 (difus)
LLA)
Mikroskop elekron +(pembentukan granula awal)
+ pada ALL-T (pewarnaan
Gen imunoglobulin Konfigurasi germline gen
Golgi)
dan TCR imunoglobulin dan TCR
_
ALL prekursor B: penataan
klonal gen imunoglobulin

17
ALL-T : penataan klonal gen
TCR

X. Penatalaksanaan Medikamentosa
Penanganan leukemia meliputi kuratif dan suportif. Penanganan suportif meliputi
pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan pengobatan komplikasi antara lain
berupa pemberian transfusi darah atau trombosit, pemberian antibiotik, pemberian obat untuk
meningkatkan granulosit, obat anti jamur, pemberian nutrisi yang baik, dan pendekatan aspek
psikososial. 1-5,9
Terapi kuratif atau spesifik bertujuan untuk menyembuhkan leukemianya berupa
kemoterapi yang meliputi induksi remisi, intensifikasi, profilaksis susuan saraf pusat dan
rumatan. Klasifikasi risiko normal atau risiko tinggi akan menentukan protokol kemoterapi. Saat
ini di Indonesia sudah ada 2 protokol pengobatan yang lazim digunakan untuk pasien LLA yaitu
protokol Nasional (Jakarta) dan protokol WK-ALL 2000.1

Terapi induksi berlangsung 4-6 minggu dengan dasar 3-4 obat yang berbeda
(deksametason, vinkristin, L-asparaginase dan atau antrasiklin). Kemungkinan hasil yang dapat
dicapai remisi komplit, remisi parsial, atau gagal. Intensifikasi merupakan kemoterapi intensif
tambahan setelah remisi komplit dan untuk profilaksis leukemia pada susunan saraf pusat. Hasil
yang diharapkan adalah tercapainya perpanjangan remisi dan meningkatkan kesembuhan. Pada
pasien risiko sedang dan tinggi, induksi diintensifkan guna memperbaiki kualitas remisi. Lebih
dari 95% pasien akan mendapatkan remisi pada fase ini. Terapi SSP yaitu secara langsung
diberikan melalui injeksi intratekal dengan obat metotreksat, sering dikombinasi dengan infus
berulang metotreksat dosis sedang (500 mg/m2) atau dosis tinggi pusat pengobatan (3-5 gr/m2).
Di beberapa pasien risiko tinggi dengan umur >5 tahun mungkin lebih efektif dengan
memberikan radiasi cranial 18-24 Gy) disamping pemakaian kemoterapi sistemik dosis tinggi. 1-
5,9

Terapi lanjutan rumatan dengan menggunakan obat merkeptopurin tiap hari dan
metotreksat sekali seminggu, secara oral dengan sitostatika lain selama perawatan tahun pertama.
Lamanya terapi rumatan ini pada kebanyakan studi adalah 2 2,5 tahun dan tidak ada
18
keuntungan jika perawatan sampai dengan 3 tahun. Dosis sitostatika secara individual dipantau
dengan melihat leukosit atau monitor konsentrasi obat selama terapi rumatan.1 Pasien dinyatakan
remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan bebas gejala klinis leukemia, pada aspirasi sumsum
tulang didapatkan jumlah sel blas kurang 5% dari sel berinti, hemoglobin lebih dari 12g/dL tanpa
transfusi, jumlah leukosit lebih dari 3000/L dengan hitung jenis leukosit normal, jumlah
granulosit lebih dari 2000/L, jumlah trombosit lebih dari 100000/L, dan pemeriksaan cairan
serebrospinal normal.1

Dengan terapi intensif modern, remisi akan tercapai pada 98% pasien, 2-3% dari pasien
anak akan meninggal dalam CCR (continuous complete remission) dan 25-30% akan kambuh.
Sebab utama kegagalan terapi adalah kambuhnya penyakit. Relaps sumsun tulang yang terjadi
(dalam 18 bulan sesudah diagnosis) memperburuk prognosis (10-20% long-term survival)
sementara relaps yang terjadi kemudian setelah penghentian terapi mempunyai prognosis yang
lebih baik, khususnya relaps testis dimana long-term survival 50-60%. Tetapi relaps harus lebih
agresif untuk mengatasi resistensi obat.1

Kemoterapi
Pengobatan umumnya terjadi secara bertahap, meskipun tidak semua fase yang
digunakan untuk semua orang.
a. Tahap 1 (terapi induksi)
Tujuan dari tahap pertama pengobatan adalah untuk membunuh sebagian besar sel-sel
leukemia di dalam darah dan sumsum tulang. Terapi induksi kemoterapi biasanya memerlukan
perawatan di rumah sakit yang panjang karena obat menghancurkan banyak sel darah normal
dalam proses membunuh sel leukemia. Pada tahap ini dengan memberikan kemoterapi kombinasi
yaitu daunorubisin, vincristin, prednison dan asparaginase.
b. Tahap 2 (terapi konsolidasi/ intensifikasi)
Setelah mencapai remisi komplit, segera dilakukan terapi intensifikasi yang bertujuan
untuk mengeliminasi sel leukemia residual untuk mencegah relaps dan juga timbulnya sel yang
resisten terhadap obat. Terapi ini dilakukan setelah 6 bulan kemudian.
c. Tahap 3 ( profilaksis SSP)
Profilaksis SSP diberikan untuk mencegah kekambuhan pada SSP. Perawatan yang
digunakan dalam tahap ini sering diberikan pada dosis yang lebih rendah.Pada tahap ini

19
menggunakan obat kemoterapi yang berbeda, kadang-kadang dikombinasikan dengan terapi
radiasi, untuk mencegah leukemia memasuki otak dan sistem saraf pusat.
d. Tahap 4 (pemeliharaan jangka panjang)
Pada tahap ini dimaksudkan untuk mempertahankan masa remisi. Tahap ini biasanya
memerlukan waktu 2-3 tahun.
Angka harapan hidup yang membaik dengan pengobatan sangat dramatis. Tidak hanya 95% anak
dapat mencapai remisi penuh, tetapi 60% menjadi sembuh. Sekitar 80% orang dewasa mencapai
remisi lengkap dan sepertiganya mengalami harapan hidup jangka panjang, yang dicapai dengan
kemoterapi agresif yang diarahkan pada sumsum tulang dan SSP.

20
21
Gambar 10. Protokol Terapi LLA
Radioterapi
Radioterapi menggunakan sinar berenergi tinggi untuk membunuh sel-sel leukemia. Sinar
berenergi tinggi ini ditujukan terhadap limpa atau bagian lain dalam tubuh tempat menumpuknya
sel leukemia. Energi ini bisa menjadi gelombang atau partikel seperti proton, elektron, x-ray dan
sinar gamma. Pengobatan dengan cara ini dapat diberikan jika terdapat keluhan pendesakan
karena pembengkakan kelenjar getah bening setempat.

Transplantasi Sumsum Tulang


Transplantasi sumsum tulang dilakukan untuk mengganti sumsum tulang yang rusak
dengan sumsum tulang yang sehat. Sumsum tulang yang rusak dapat disebabkan oleh dosis
tinggi kemoterapi atau terapi radiasi. Selain itu, transplantasi sumsum tulang juga berguna untuk
mengganti sel-sel darah yang rusak karena kanker. Pada penderita LMK, hasil terbaik (70-80%
angka keberhasilan) dicapai jika menjalani transplantasi dalam waktu 1 tahun setelah
terdiagnosis dengan donor Human Lymphocytic Antigen (HLA) yang sesuai. Pada penderita
LMA transplantasi bisa dilakukan pada penderita yang tidak memberikan respon terhadap
pengobatan dan pada penderita usia muda yang pada awalnya memberikan respon terhadap
pengobatan.

Terapi Suportif
Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yang ditimbulkan penyakit
leukemia dan mengatasi efek samping obat. Misalnya transfusi darah untuk penderita leukemia
dengan keluhan anemia, transfusi trombosit untuk mengatasi perdarahan dan antibiotik untuk
mengatasi infeksi.

XI. KOMPLIKASI
Komplikasi metabolik pada anak dengan LLA dapat disebabkan oleh lisis sel leukemik
akibat kemoterapi atau secara spontan dan komplikasi ini dapat mengancam jiwa pasien yang
memiliki beban sel leukimia yang besar. Terlepasnya komponen intraselular dapat menyebabkan
hiperurisemia, hiperkalsemia, dan hiperfosfatemia dengan hipokalsemia sekuder. Beberapa
pasien dapat menderita nefropati asam urat atau nefrokalsinosis. Jarang sekali timbul urolitiasis

22
dengan obstruksi ureter setelah pasien diobati untuk leukemia. Hidrasi, pemberian alopurinol dan
alumunium hidroksida, serta penggunaan alkalinisasi urin yang tepat dapat mencegah atau
memperbaiki komplikasi ini. Infiltrasi leukemik yang difus pada ginjal juga dapat menimbulkan
kegagalan ginjal. Terapi vinkristin atau siklofossamid dapat mengakibatkan peningkatan hormon
antidiuretik, dan pemberian antibiotika tertentu yang mengandung natrium, seperti tikarsilin atau
kabernisilin, dapat mengakibatkan hipokalemia. Hiperglikemia dapat terjadi pada 10% pasien
setelah pengobatan dengan prednison dan asparaginasi dan memerlukan penggunaan insulin
jangka pendek.5

Karena efek mielosupresif dan imunosupresif LLA dan juga kemoterapi, anak yang
menderita leukemia lebih rentan terhadap infeksi. Sifat infeksi ini bervariasi dengan pengobatan
dan fase penyakit. Infeksi yang paling awal adalah bakteri, yang dimanifestasikan oleh sepsis,
pneumonia, selulitis, dan otitis media. Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli,
Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumonia, Staphylococcus epidrmidis, Proteus mirabilis, dan
Haemophilus influenza adalah organisme yang biasanya menyebabkan septik. Setiap pasien yang
mengalami febris dengan granulositopeniayang berat harus dianggap septik dan diobati dengan
antibiotik spektrum luas. Transfusi granulosit diindikasikan untuk pasien dengan
granulositopenia absolut dan septikemia akibat kuman gram negatif yang berespon buruk
terhadap pengobatan.5

Dengan pengguanaan kemoterapi yang intensif dan pemajanan antibiotika atau


hidrokortison yang lama, infeksi jamur yang diseminata oleh Candida atau Aspergillus lebih
sering terjadi, meskipun organisme itu sulit dibiakkan dari bahan darah. CT scan
bermanfaatuntuk mengetahui keterlibatan organ viscera. Abses paru, hati, limpa, ginjal, sinus,
atau kulit memberi kesan infeksi jamur. Amfositerin B adalah pengobatan pilihan, dengan 5-
fluorositosin dan rifamisin kadang kala ditambahkan untuk memperkuat efek obat tersebut.5
Pneumonia Pneumocytis carinii yang timbul selama remisi merupakan komplikasi yang sering
dijumpai pada masa lalu, tetapi sekarang telah jarang karena kemoprofilaksis rutin dengan
trimetropim-sulfametoksazol. Karena penderita leukemia lebih rentan terhadap infeksi, vaksin
yang mengandung virus hidup ( polio, mumps, campak, rubella ) tidak boleh diberikan.5

Karena adanya trombositopenia yang disebabkan oleh leukemia atau pengobatannya,


manifestasi perdarahan adalah umum tetapi biasanya terbatas pada kulit dan membran mukosa.

23
Manifestasi perdarahan pada sistem saraf pusat, paru, atau saluran cerna jarang terjadi, tetapi
dapat mengancam jiwa pasien. Transfusi dengan komponen trommbosit diberikan untuk episode
perdarahan. Koagulopati akibat koagulasi intravaskuler diseminata, gangguan fungsi hati, atau
kemoterapi pada LLA biasanya ringan. Dewasa ini, trombosis vena perifer atau serebral, atau
keduanya, telah dijumpai pada 1 3 % anak setelah diinduksi pengobatan dengan prednison,
vinkristin, dan asparaginase. Patogenesis dari komplikasi ini belum diketahui, tetapi disebabkan
oleh status hiperkoagulasi akibat obat. Biasanya, obat yang dapat menyebabkan gangguan fungsi
trombosit, seperti salisilat, harus dihindaripada penderita leukemia.5

Dengan adanya keberhasilan dalam pengobatan LLA, perhatian sekarang lebih banyak
ditujukan pada efek terapi yang lambat. Profilaksis sistem saraf pusat dan pengobatan
sistemikyang diintensifkan telah mengakibatkan leukoensefalopati, mineralisasi mikroangiopati,
kejang, dan gangguan intelektual pada beberapa pasien. Pasien juga memiliki resiko tinggi untuk
menderita keganasan sekunder. Efek lambat lainnya adalah gangguan pertumbuhan dan disfungsi
gonad, tiroid, hati, dan jantung. Kerusakan jantung terutama terjadi secara tersembunyi,karena
gangguan fungsional tidak terlihat sampai beberapa tahun kemudian. Terdapat juga beberapa
pertanyaan mengenai arteri koroner serta insufiensi miokard dini. Sedikit informasi yang didapat
tentang efek teratogenik dan muagenik pada terapi antileukemik; meskipun demikian, tidak ada
bukti meningkatnya cacat lahir di antara anak yang dilahirkan oleh orang tua yang penah
mendapat pengobatan leukemia.5

XII. Faktor Prognostik

Banyak gambaran klinis telah dipakai sebagai indikator prognosis, tetapi kehilangan arti
karena keberhasilan terapi. Misalnya, imunofenotip penting dalam mengarahkan terapi ke arah
risiko, tetapi arti prognostiknya telah lenyap berkat regimen terapi kontemporer. Karena itu,
terapi merupakan faktor prognostic tunggal yang paling penting.6

Hitung leukosit awal mempunyai hubungan linier terbalik dengan kemungkinan


sembuh. Umur pada waktu diagnosis juga merupakan peranan yang dapat dipercaya. Penderita
berumur lebih dari 10 tahun dan yang kurang dari 12 bulan yang mempunyai penyusunan
kembali kromosom yang menyangkut region 11q23, jauh lebih buruk dibanding anak dari

24
kelompok umur pertengahan. Beberapa kelainan kromosom mempengaruhi hasil terapi.
Hiperploidi lebih dari 50 kromosom berkaitan dengan hasil terapi baik dan memberi respons
terhadap terapi berbasis antimetabolit. Dua translokasi kromosom t(9;22), atau kromosom
Philadelphia, dan t(4;11) mempunyai prognosis buruk. Beberapa penelitian menganjurkan CST
selama remisi inisial pada penderita dengan translokasi tersebut. LLA progenitor sel-B dengan
t(1;19) mempunyai prognosis kurang baik dibanding kasus lain dengan imunofenotip ini; hanya
60% dari penderita akan remisi setelah 5 tahun jika tidak mendapat terapi sangat intensif.6

Sampai saat ini leukemia masih merupakan penyakit yang fatal, tetapi dalam
kepustakaan dilaporkan pula beberapa kasus yang dianggap sembuh karena dapat hidup lebih
dari 10 tahun tanpa pengobatan. Biasanya bila serangan pertama dapat diatasi dengan
pengobatan induksi, penderita akan berada dalam keadaan remisi ini secara klinis penderita tidak
sakit, sama seperti anak biasa. Tetapi selanjutnya dapat timbul serangan yang kedua (kambuh),
yang disusul lagi oleh masa remisi yang biasanya lebih pendek dari masa remisi pertama.
Demikian seterusnya masa remisi akan lebih pendek lagi sampai akhirnya penyakit ini resistensi
terhadap pengobatan dan penderita akan meninggal. Kematian biasanya disebabkan perdarahan
akibat trombositopenia, leukemia serebral atau infeksi (sepsis, infeksi jamur).5-6,10

Sebelum ada prednisone, penderita leukemia hanya dapat hidup beberapa minggu
sampai 2 bulan. Dengan pengbatan prednisone jangka waktu hidup penderita diperpanjang
sampai beberapa bulan. Dengan ditambahkannya obat sitostatika (MTX, 6-MP) hidup penderita
dapat diperpanjang 1-2 tahun lagi dan dengan digunakannya sitostatika yang lebih poten lagi
disertai cara pengobatan yang mutakhir, usia penderita dapat diperpanjang 3-4 tahun lagi, bahkan
ada yang lebih dari 10 tahun. 5-6,10

25
Gambar 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prognosis ALL5

Bab III
Kesimpulan

Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang
ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam
darah tepi. Pada leukemia ada gangguan dalam pengaturan sel leukosit. Leukosit dalam darah
berproliferasi secara tidak teratur dan tidak terkendali dan fungsinya pun menjadi tidak normal.
Oleh karena proses tersebut fungsi-fungsi lain dari sel darah normal juga terganggu hingga
menimbulkan gejala leukemia yang dikenal dalam klinik. Leukemia akut dibagi atas leukemia
limfoblastik akut (LLA) dan leukemia mieloblastik akut (LMA).

Leukemia limfoblastik akut merupakan keganasan dari sel limfoid yang mematikan,
berdampak pada anak-anak dan dewasa, dengan insidens tertinggi pada usia 2 sampai 5 tahun.
Kemajuan riset dalam pengobatan penyakit ini telah memberikan keberhasilan pada lebih 80%
anak. Pendekatan yang digunakan pada kasus LLA bisanya sedikit berbeda pada pasien anak-
anak dengan dewasa. Sebagai contoh, transplantasi sumsum tulang pada remisi pertama lebih
sering dilakukan pada dewasa sedangkan pada anak-anak hanya menggunakan regimen yang
biasanya terdiri dari agen kemoterapi seperti asparaginase, vincristine, kortikosteroid, dan
metotreksat.

26
Daftar Pustaka

1. Permono B, Ugrasena IDG. Leukemia akut. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak IDAI.
2012. Hal 236-45.
2. Acute Lymphoblastic Leukemia. Leukemia and Lymphoma Society. 2014. Hal 6-20.
3. Roboz GJ,et all. Advances in Treatment of Relapsed/Refractory AcuteLymphoblastic
Leukemia. Hematology & Oncology A Peer-Reviewed Journal. 2014 Hal 8-18.
4. Blood Cancer Acute Lymphoblastic Leukemia.College of American Pathologists. 2011.
Hal 1-2.
5. Acute lymphoblastic leukaemia (ALL) in children. Macmillan Cancer Support. 2013. Hal
1-5.
6. Fianza, PI. Leukemia limfoblastik akut. Sudoyo, AR, editors. In: Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I. 4th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2006. p.728-34.
7. Sallan SE. Acute Lymphoblastic Leukemia in Adults and Children. American Society of
Hematology. 2006. Hal 128-31.
8. Gokbuget N et all. Acute Lymphoblastic Leukemia. Onkopedia. 2012. Hal 2-14
9. Childhood Leukemia. American Cancer Society. 2015. Hal 1-49.

Laporan Kasus

27
IDENTITAS
Nama : An. E
Jenis kelamin : perempuan
Umur : 11 tahun
Alamat : Sanga-sanga
Anak ke : 6 dari 7 bersaudara

ANAMNESA
Autoanamnessa dan Alloanamnesa (oleh ibu kandung pasien)
Keluhan Utama : Bengkak dan nyeri pada sendi tangan kanan dan kaki kiri
Riwayat Penyakit Sekarang :
Bengkak dan nyeri pada sendi tangan kanan dan kaki kiri dialami pasien sejak lebih dari
1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Nyeri pada siku ini dirasakan semakin berat dan
membesar. Pasien juga mengeluhkan panas lebih dari 1 minggu sebelum masuk rumah sakit,
panas bersifat hilang timbul, tidak ada menggigil, mengigau, dan berkeringat banyak. Batuk (+),
tidak berdahak dan pilek dialami pasien sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Pasien merasa badan sering terasa lemah dan cepat lelah bila beraktivitas, pusing dan
sering pucat sejak usia 9 tahun. Perut dirasakan membesar secara perlahan sejak kecil yaitu
sekitar usia 2 tahun. Pasien sering mengalami gusi yang berdarah bila pasien menyikat gigi,
darah yang keluar. Tidak ada mimisan, tidak ada mual, tidak ada muntah, dan tidak keluar bintik-
bintik merah pada tubuh. Timbul benjolan di daerah leher sejak lebih dari 2 tahun sebelum
masuk rumah sakit, tidak nyeri dan tidak menyebabkan pasien sulit untuk bernafas.
Buang air besar normal, warna kuning, padat. Buang air kecil normal, warna jernih
kekuningan.

Riwayat Penyakit Dahulu : -

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada keluarga yang mengalami gejala yang sama

Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak :

28
Berat badan lahir : 3000 gr
Panjang badan lahir : 58cm
Berat badan sekarang : 20 kg
Tinggi badan sekarang : 125 cm
Gigi keluar : 9 bulan
Tersenyum : 1 bulan
Miring : 3 bulan
Tengkurap : 4 bulan
Duduk : 7 bulan
Merangkak : 8 bulan
Berdiri : 9 bulan
Berjalan : 11 bulan
Berbicara 2 suku kata : 9 bulan
Masuk SD : 6 tahun
Sekarang kelas : 3 SD
Makan Minum anak :
ASI : 0 bulan 6 bulan
Dihentikan : Asi sedikit keluar
Susu sapi/buatan : 7 bulan, 4x200 cc
Buah : 12 bulan
Bubur susu : 8 bulan
Tim saring : 10 bulan
Makanan padat, lauknya : 18 bulan

Pemeliharaan Prenatal :-
Periksa di :-
Obat-obatan yang sering diminum :-

Riwayat Kelahiran :
Lahir di : Rumah, ditolong oleh : Dukun
Berapa bulan dalam kandungan : 9 bulan

29
Jenis partus : Spontan, langsung menangis

Pemeliharaan postnatal :
Periksa di : Posyandu
Keadaan anak : sehat
Keluarga berencana : Tidak

IMUNISASI
Imunisasi Usia saat imunisasi
I II III IV Booster I Booster II
BCG - //////////// //////////// //////////// //////////// ////////////
Polio - 2 bulan 3 bulan 4 bulan - -
Campak 9 bulan - //////////// //////////// //////////// ////////////
DPT 2 bulan 3 bulan 4 bulan //////////// - -
Hepatitis - 1 bulan 6 bulan ////////// - -
B

PEMERIKSAAN FISIK
Kesan umum : sakit sedang
Kesadaran : E4M6V5
Tanda Vital
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Frekuensi nadi : 100x/menit, regular, kuat angkat
Frekuensi napas : 28x/menit, regular
Temperatur : 37,20C
Berat badan : 20 kg
Panjang Badan : 125 cm
Status Gizi : Kurang (Z-score (-2) (-3))
Luas Permukaan Tubuh : Rumus Mosteller = 0,84 meter persegi

Kepala

30
Rambut : Kecoklatan
Mata : Anemis (+/+), Ikterik (-/-), Sianosis (-/-), Refleks Cahaya (+/+), Pupil:
Isokor (3mm/3mm).
Hidung : Sumbat (-), Sekret (-)
Telinga : Bersih, Sekret (-)
Mulut : Lidah bersih, faring Hiperemis(-), mukosa bibir basah, pembesaran
Tonsil (-/-).
Leher
Pembesaran Kelenjar : Pembesaran KGB auricular posterior +/+, submandibula +/+, pembesaran
KGB supraclavicula sinistra ukuran 6x8 cm, multiple, berbenjol-benjol,
konsistensi padat, batas tidak tegas.
Thoraks
Pulmo
Inspeksi : Bentuk dan pergerakan simetris, retraksi ICS (-)
Palpasi : Fremitus raba dekstra sama dengan
Perkusi : Sonor di semua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler, Ronki (-/-), wheezing (-/-)
Cor:
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba,
Perkusi : Batas jantung
Kanan : ICS III, 3 cm dari right parasternal line
Kiri : ICS V left midclavicular line
Auskultasi : S1:S2 tunggal reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Tampak cembung
Palpasi : Soefel, nyeri tekan -, hepatomegali 8 cm dari arcus costa, 10 cm dari
procesus xiphoideus, permukaan rata, tepi tumpul, konsistensi padat,
nyeri tekan -, batas tegas, slenomegali shuffner 3-4, ginjal tidak teraba.
Pembesaran KGB inguinal +/+, multiple, 0,5-1 cm, permukaan rata,
batas tegas, konsistensi padat kenyal , terfiksasi, nyeri -.

31
Perkusi : Timpani, redup di batas hepar dan spleen
Auskultasi : Bising usus (+) normal

Genitalia : Dalam batas normal

Ekstremitas : Tampak pucat (+), sianosis (-), hangat, bengkak pada siku tangan kanan,
hiperemis (-), nyeri bila diluruskan, edema didaerah calcaneal sinistra,
hiperemis (-), nyeri bila digerakkan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah saat pasien masuk tanggal 14 Januari 2010
Hemoglobin : 5,4 gr/dl
Leukosit : 215.000/mm3
Hematokrit : 16.8 %
Trombosit : 13.000/mm3
Gula darah puasa : 73 gr%
SGOT : 27
SGPT : 14
Ureum : 30,9
Kreatinin : 0,5
Natrium : 141
Kalium : 5,3
Chloride : 102
LED : 158
CRP : (+) 48
Pemeriksaan Urinalisa tanggal 14 Januari 2010
Berat jenis : 1.015
Keton :-
Nitrit :-
Hemoglobin/darah :+
Warna : Kuning jernih

32
pH : 5.0
Protein :-
Glukosa :-
Bilirubin :-
Urobilinogen :-
Sel epitel :+
Lekosit : 3-5
Eritrosit : 5-10
Silinder :-
Kristal :-
Bakteri :-
Jamur :-
ESBACH :-

Pemeriksaan Foto Thoraks AP tanggal 14 Januari 2010

Hasil Evaluasi Darah Tepi Tanggal 14 Januari 2010


Eritrosit : normositik normokrom
Leukosit : jumlah sangat meningkat, didominasi oleh sel-sel dengan
gambaran limfositic series blast > 50%,
Trombosit : jumlah menurun
Kesan : Akut Leukemia suspek Akut limfoblastik leukemia

33
Saran : Bone Marrow Punction

Hasil pemeriksaan Bone Marrow Punction tanggal 20 Januari 2010


Selularitas : Hiperseluler
M:E Ratio : Sukar dievaluasi karena M dan E sangat
sedikit/menurun
Sistem Eritropoietik : Aktivitas sangat menurun, sukar
ditemukan normoblast
Sistem Granulopoietik : Aktivitas sangat menurun, sukar
ditemukan granulosit
Sistem Trombopoietik : Aktivitas sangat menurun, tidak
ditemukan megakariosit
Tampak sediaan didominasi oleh sel-sel seri limfosit. Limfoblast 72,33%, ukuran besar
dan kecil, dinding sel irregular, sitoplasma relative lebar
Kesan:
o Akut limfositik leukemia
o Suspek type L2
o Dengan penekanan sel eritropoietik, granulopoietik, dan trombopoietik.

Hasil pemeriksaan cairan otak tanggal 24 Januari 2010


Makroskopis
Kejernihan : jernih
Warna : bening
Mikroskopis
Hitung sel : 3/mm3
Hitung jenis
o Mononuclear : 50%
o Polinuklear : 50%
Protein

34
Tes busa : negatif
Tes Pandy : negatif
Tes Nonne/Apelt : negatif
Glukosa : 70
Protein : 166

Diagnosis:
Akut Limfoblastik Leukemia (Tipe L2) dengan Gizi Kurang

PENATALAKSANAAN :
Terapi spesifik:
Methotrexate 12 mg/intrathecal
Vincristine 1,3 mg/intravena
Dexametason 5 mg/hari per oral

Terapi suportif:
IVFD D5% 0,45% NS 8 tetes makro/menit
Drip Natrium Bicarbonat 20 cc dalam D5% 0,45% NS 22 tetes makro/menit
Cotrimoxazole 2x80 mg, per oral
Gentamycin 2x100 mg, intravena
Paracetamol tab 3x 250 mg, per oral, p.r.n
Ibuprofen 3x1 tab, p.r.n
Ondancentron 3x2 mg, a.c, p.r.n
Ranitidine 3x20 mg, intravena
Antasida sirup 2x3 cth
Trombosit Konsentrat 6 unit
Packed Red cells 400 cc

Prognosa :

35
Dubia et malam

Resume Masuk Rumah Sakit


Pasien An. E, perempuan, umur 9 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan bengkak
pada sendi siku tangan kanan dan mata kaki kiri sejak lebih dari 1 minggu, panas 1 minggu,
batuk tidak berdahak dan pilek 1 minggu. Badan sering terasa lemah dan cepat lelah, pusing dan
sering pucat. Perut membesar secara perlahan sejak usia 2 tahun, gusi sering berdarah saat
menyikat gigi, timbul benjolan di daerah leher yang tidak nyeri.
Pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran E4M6V5, tanda vital dalam batas normal, pasien
tampak anemis, pembesaran kelenjar getah bening di auricular posterior, submandibula,
supraclavicula sinistra ukuran 6x8 cm, multiple, berbenjol-benjol, konsistensi padat, batas tidak
tegas. Batas mediastinum yang melebar, abdomen tampak cembung, hepatomegali,
splenomegali, pembesaran kelenjar getah bening inguinal, ekstremitas tampak anemis, edema
pada siku tangan kanan dan daerah calcaneal kiri disertai nyeri bila digerakkan.
Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin didapatkan hemoglobin 6,6 gr/dl, leukositosis
231.600/mm3, trombositopenia 24.000/mm3. Elektrolit dalam batas normal, ureum dan kreatini
normal, urinalisa didapatkan adanya hemoglobinuria, eritrosit, leukosituria. Pemeriksaan
radiologis foto thoraks didapatkan adanya massa di mediastinum.
Selama perawatan telah dilakukan pemeriksaan laboratorium lengkap yaitu, hapusan darah
tepi, kultur darah, kultur urin, uji kepekaan antibiotik, bone marrow punction, dan evaluasi
terhadap cairan serebrospinal.
Pasien didiagnosa Akut Limfoblastik Leukemia (Tipe L2) dengan Gizi Kurang dan sedang
menjalani terapi minggu keempat.

BAB III
PEMBAHASAN

Diagnosis Leukemia dengan jenis Akut Limfoblastik Leukemia (tipe L2) dengan Gizi
Kurang ditegakkan berdasarkan dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

36
Pada anamnesa didapatkan keluhan bengkak pada sendi tangan kanan dan kaki kiri sejak
lebih dari 1 minggu, panas 1 minggu, batuk tidak berdahak dan pilek 1 minggu. Badan sering
terasa lemah dan cepat lelah, pusing dan sering tampak pucat. Perut membesar secara perlahan
sejak usia 2 tahun, gusi sering berdarah saat menyikat gigi, timbul benjolan di daerah leher dan
inguinal yang tidak nyeri. Literatur menyebutkan bahwa pada awalnya ALL memiliki gejala
yang tidak spesifik dan relatif singkat, yaitu sekitar 66 persen. Gejala yang tampak merupakan
akibat dari infiltrasi sel leucemia pada sumsum atau organ di tubuh maupun akibat dari
penurunan produksi dari sumsum tulang. Gejala yang timbul akibat infiltrasi sel-sel muda pada
sumsum tulang yaitu anorexia, lemas, irritable, sedangkan tanda yang dapat timbul anemia,
trombositopenia, dan neutropenia. Manifestasi klini lain yang bias didapatkan adalah demam
yang sifatnya ringan dan intermiten. Literature menyebutkan demam ini dapat disertai atau tanpa
adanya infeksi, dan dapat disebabkan karena terjadinya neutropenia sehingga pasien memiliki
resiko tinggi terhadap infeksi. Manifestasi klinis lain yang bisa didapat namun tidak spesifik
adalah berat badan yang menurun, nyeri tulang atau sendi terutama di extremitas inferior. Nyeri
pada tulang dan sendi ini disebabkan adanya infiltrasi sel-sel leucemia pada tulang perikondrial
atau sendi atau oleh ekspansi rongga sumsum tulang oleh sel leucemia.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan Pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran E4M6V5, tanda
vital dalam batas normal, pasien tampak anemis, terdapat pembesaran kelenjar getah bening di
auricular posterior, submandibula, supraclavicula sinistra ukuran 6x8 cm, multiple, berbenjol-
benjol, konsistensi padat, batas tidak tegas. Batas kanan mediastinum yang melebar, abdomen
tampak cembung, hepatomegali, splenomegali, pembesaran kelenjar getah bening inguinal,
ekstremitas tampak anemis, edema pada siku tangan kanan dan daerah calcaneal kiri disertai
nyeri bila digerakkan.
Tanda yang diperoleh pada pemeriksaan fisik pada pasien yang dicurigai tenderita
leucemia adalah tampak anemis dan menunjukan adanya tanda-tanda perdarahan seperti
petechie, epistaksis atau perdarahan gusi. Manifestasi ini disebabkan oleh turunnya jumlah
trombosis pada pasien leucemia karena gagalnya fungsi hematopoyesis. Limfadenopati dan
splenomegali biasanya ditemukan pada lebih kuran 66 persen pasien. Limfadenopati dapat terjadi
secara local atau general pada daerah cervical, aksiler, dan inguinal. Lemfadenopati ini juga
dapat terjadi bilateral sekunder akibat infiltrasi sel-sel leukemia. Hepatomegali juga bisa di

37
dapatkan akibat infiltrasi sel leukemia, namun jarang. Pasien yang mengeluh nyeri sendi dapat
ditemukan adanya pembengkakkan sendi atau efusi pada pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada pasien ini adalah darah rutin, urinalisa,
elektrolit, fungsi hepar dan fungsi ginjal, hapusan darah tepi, kultur darah dan kultur urin,
pemeriksaan cairan serebrospinal, dan bone marrow punction. Pada pemeriksaan darah rutin
didapatkan adanya kadar hemoglobinyang rendah, leukosit yang sangat tinggi, dan
trombositopenia. Hal ini sesuai dengan literature yang menyebutkan bahwa pasien dengan
leukemia mengalami kegagalan fungsi sumsum tulang sehingga produksi sel-sel darahnya
terganggu, dimana 95 persen pasien mengalami anemia dan trombositopenia kurang dari 100.000
per millimeter kubik. Literature menyebutkan sekitar 20 persen pasien memiliki kadar leukosit
lebih dari 50.000 per millimeter kubik, namun jarang didapatkan lebih dari 300.000 per
millimeter kubik. Hasil pemeriksaan urinalisa didapatkan adanya hemoglobinuria dan eritrosit
dalam urin. Hal ini dapat menjadi manifestasi perdarahan yang diakibatkan turunnya jumlah
trombosit.
Pemeriksaan elektrolit memiliki peran yang sangat penting. Pada kasus ini kadar elektrolit
natrium, kalium dan chloride dalam batas normal. Sebaiknya juga dilakukan pemeriksaan kadar
kalsium dan fosfor di serum. Menurut literature pada beberapa kasus didapatkan adanya
hiperkalemia, hipokalsemia, dan hiperfosfatemia yang merefleksikan beban dan lisis dari sel-sel
leukemia. Hal ini disebut sebagai tumor lysis syndrome yang biasanya terjadi pada pasien yang
mendapatkan terapi kanker yang responsive terhadap pengobatan. Tumor lysis syndrome ini
berhubungan dengan terapi pada akut leukemia yang ditandai dengan hiperkalemia, hiokalsemia,
hiperfosfatemia, hiperurisemia dan tanda gagal ginjal akut. Tanda-tanda ini timbul akibat sel-sel
tumor yang telah dimusnahkan akan melepaskan ion-ion intraseluler dan produk metaboliknya
ke dalam sirkulasi darah penderita. Hal ini dapat mengganggu keseimbangan elektrolit di dalam
tubuh.
Pemeriksaan foto thoraks pada pasien menunjukan ada pelebaran mediastinum.
Berdasarkan literature, disebutkan bahwa pada pasien dengan leukemia menunjukkan adanya
massa mediastinum. Massa mediastinum ini juga disebabkan penyebaran sel-sel limfoblast ke
dalam kelenjar getah bening di mediastinum. Massa mediastinum dapat memberikan gejala
obstruksi saluran nafas.

38
Pemeriksaan kultur baik urin dan darah merupakan salah satu pemeriksaan yang dilakukan
pada kasus ini. Pemeriksaan ini penting pada pasien yang mengalami demam atau adanya tanda-
tanda infeksi. Hal ini sesuai dengan literature yang menyebutkan bahwa pasien dengan leukemia
lebih mudah terinfeksi yang disebabkan oleh neutropenia . Pemeriksaan cairan otak yang
dilakukan pada pasien ini ditujukan untuk mendeteksi apakah penyakit ini sudah melibatkan
system saraf pusat atau tidak.
Hapusan darah tepi yang dilakukan pada pasien mendapatkan hasil peningkatan jumlah sel
leukosit yang didominasi oleh sel-sel dengan gambaran limfositik series blast > 50%. Hasil ini
memberikan kesan adanya gambaran akut leukemia suspek akut limfoblastik leukemia.
Literature menyebutkan diagnosis akut limfoblastik leukemia dapat diperkuat dengan
pemeriksaan hapusan darah tepi dimana hasil pemeriksaan menunjukkan adanya populasi
homogen limfoblast pada sel sumsum tulang yang lebih dari 25 persen, namun diagnosis
leukemia tidak dapat ditegakkan dengan hasil pemeriksaan hapusan darah tepi. Gambaran
populasi homogen pada hapusan darah tepi bisa ditemukan pada penyakit lain seperti
osteopetrosis, myelofibrosis, infeksi granulomatous, sarcoid, infeksi Epstein-Barr virus (EBV)
pada usia muda, dan tumor metastatic dapat menyebabkan penampakan pelepasan blast
immature ke dalam sirkulasi.
Pemeriksaan bone marrow punction pada kasus ini menunjukkan adanya sediaan
didominasi oleh sel-sel seri limfosit. Limfoblast didapatkan lebih kurang 72,33 persen, ukuran
besar dan kecil, dinding sel irregular, sitoplasma relative lebar. Hasil pemerisaan ini memberikan
kesan Akut limfositik leukemia, suspek type L2, dengan penekanan sel eritropoietik,
granulopoietik, dan trombopoietik.
Literature menyebutkan bahwa akut limfoblastik leukemia ditegakkan melalui pemeriksaan
bone marrow punction. Sumsum tulang yang normal berisi sel blast yang kurang dari 5 persen.
Pada pasien dengan akut limfoblastik leukemia didapatkan adanya populasi homogeny limfoblast
yang lebih dari 25 persen. Sebagian besar anak dengan ALL memiliki sumsum yang hiperseluler
antara 60-100 persen dari sel-sel blast.
Terapi ALL pada pasien ini berdasarkan Indonesian Protocol A.L.L HR 2006.
Pengobatan yang diberikan pada pasien ini selama dirawat terdiri dari terapi spesifik dan terapi
suportif. Terapi spesifik yang diberikan pada pasien ini adalah methotrexate, vincristine, dan
dexamethason. Methotrexate diberikan secara intrathecal dengan dosis 12 mg, diberikan setiap 2

39
minggu. Dosis ini diberikan berdasarkan usia pasien. Vincristine diberikan satu kali dalam
seminggu, diberikan secara intravena dengan dosis 1,5 mg per meter persegi. Pada pasien ini
diberikan vincristine 1,3 mg berdasarkan luas permukaan tubuh pasien yaitu 0,84 meter persegi.
Dexametason diberikan 5 mg diberikan setiap hari. Sampai saat ini pasien dalam terapi induksi
minggu ke empat.
Literature menyebutkan bahwa terapi ALL terdiri dari terapi spesifik terhadap sel-sel
leukemia dan terapi suportif. Terapi spesifik ini terdiri dari 3 tahap, yaitu fase induksi remisi,
fase konsolidasi, dan fase maintenance atau pemeliharaan.
Fase induksi remisi bertujuan agar pasien mengalami remisi dengan mengeliminasi sel-sel
leukemia di sumsum tulang sebanyak yang dapat ditoleransi oleh pasien sampai didapatkan sel-
sel blast kurang dari 5 persen di sumsum tulang, dan kembalinya jumlah utrofil dan trombosit
yang mendekati normal pada akhir fase remisi induksi. Obat-obatan yang dapat diberikan selama
fase ini adalah dexametasone atau prednisolon, vincristine yang diberikan secara intravena, dan
dauno rubisin, intramuscular asparginase, dan intrathecal methotrexate. Terapi yang diberika
pada kasus masih kurang sesuai dengan protocol dan teori yang ada. Kendala yang dihadapai
dalam penatalaksanaan pasien pada kasus ini adalah tidak tersedianya obat yang seharusnya
diberikan pada pasien selama fase remisi induksi. Namun demikian dengan terapi menggunakan
3 regimen yang ada, keadaan pasien mengalami perbaikan yang terlihat pada follow-up dimana
saat pasien masuk didapatkan splenomegali shufner 3-4, mengalami perbaikan hingga mencapai
shuffner 1-2. Selain itu pembesaran kelenjar getah bening di daerah leher mengalami perbaikan
yang ditandai dengan konsistensi dari padat menjadi kenyal dan mengecil dibandingkan saat
pasien masuk.
Fase konsolidasi difokuskan pada system saraf pusat, bertujuan untuk mencegah terjadinya
relaps pada system saraf pusat. Pada fase ini diberikan terapi intrathecal yaitu methotrexate
melalui lumbal pungsi. Pada pasien yang dideteksi terdapat sel blast pada cairan serebrospinal,
maka dapat diberikan irradiasi pada otak dan medulla spinalis. Obat diberikan secara intrathecal
karena disbutkan bahwa pemberian obat secara sistemik kurang dapat menembus sawar darah
otak sehingga lebih baik bila diberikan secara intrathecal.
Fase pemeliharaan yang dapat berlangsung 2-3 tahun tergantung pada protocol yang
digunakan. Terapi ini ditujukan untuk mencegah terjadinya relaps yang cepat pada pasien yang

40
yang meghentikan terapi setelah kurang dari 6 bulan. Pada kasus ini pasien baru mendapatkan
terapi remisi induksi minggu ke empat.
Terapi suportif pada kasus ini diberikan secara simptomatik dan juga ditukan untuk
mengatasi efek samping dari pengobatan kemoterapi yang diberikan. Pada kasus ini pasien
mendapatkan obat-obatan: Cairan infuse intravena D5% 0,45% NS, Natrium Bicarbonat yang
diberikan melalui infuse, antibiotik Cotrimoxazole 2x1 tablet, Gentamycin 2x100 mg,
Paracetamol tab 3x 250 mg, Ibuprofen 3x1 tablet, Ondancentron 3x2 mg, Ranitidine 3x20 mg,
Antasida sirup 2x3 cth, transfuse Trombosit Konsentrat 6 unit, Packed Red cells 400 cc.
Terapi suportif pada ALL diberikan terutama untuk mengatasi efek samping dari terapi
spesifik yang sudah diberikan. Berdasarkan literatur, pasien yang menjalani kemoterapi memiliki
resiko terjadinya tumor lisis syndrome yaitu pelepasan ion-ion intraseluler dan komponen
metabolic lainnya dari sel-sel tumor yang rusak akibat kemoterapi. Pasien harus diterapi dengan
alkalinisasi urin dan harus mendapatkan sodium bikarbonat serta dilakukan hidrasi. Anemia yang
berat dapat diatasi dengan memberikan transfuse sel darah merah dan dapat juga diberikan
trombosit konsentrat pada trombositopenia, bersama dengan furosemide intravena. Sebaiknya
semua komponen darah yang ditransfusikan dilakukan irradiasi terlebih dahulu untuk mencegah
graft-versus-host disease dari limfosit yang ditransfusikan. Jika terdapat demam lebih dari
38,30C dan neutropenia, maka dibutuhkan antibiotik broad spectrum. Pasien yang mendapatkan
terapi ALL harus mendapatkan terapi profilaksis terhadap Pneumocystis carinii dengan
memberikan trimethoprim-sulfamethoxazole 2 kali setiap hari sesuai dosis dan diberikan 2-3
hari setiap minggu.
Management pasien yang menjalani kemoterapi ALL sangat kompleks karena
komplikasi infeksi dan toksisitas yang potensial dari kemoterapi.
Prognosis pasien pada kasus ini adalah jelek. Pasien berusia lebih dari 9 tahun,
didapatkan adanya adenopati, jumlah trombosit kurang dari 100.000/mm3, dan didapatkan
morfologi sel limfoblast tipe L2. Berdasarkan literatur prognosis jelek bila usia pasien kerang
dari 1 tahun atau lebih dari 9 tahun, jumlah sel leukosit lebih dari 50.000 per meter kubik,
didapatkan adanya adenopati, dan pada pemeriksaan morfologi sel limfoblas didapatkan tipe L2.

41

Anda mungkin juga menyukai