Anda di halaman 1dari 20

Tugas

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak


RS Bakti Yudha Depok
Periode 16 January 2017 25 Maret 2017

Eva
112015255

1. SINDROM REYE
Definisi
Merupakan sindrom kerusakan otak yang akut yang ditandai dengan ensefalopati dan
masalah fungsi hati dengan penyebab yang tidak diketahui. Sindrom ini biasa menyerang anak-
anak antara usia 4-14 tahun.
Saat ini diketahui bahwa Sindroma Reye bukanlah hanya satu jenis, tetapi mencakup juga
kelainan yang dapat dibagi dua, yaitu:
a. Sindroma Reye Klasik atau idiopatik atau Tipe Amerika Utara, yang secara khas
(walaupun tidak eksklusif) muncul pada anak umur 5 tahun atau lebih dan pada usia remaja.
Sindroma ini sering kali berhubungan dengan influenza atau penyakit cacar dan penggunaan
aspirin pada dosis terapeutik.
b. The Reye-like inherited disorder (IMD), kategori utama berhubungan dengan kelainan
oksidasi lemak, gangguan siklus urea dan gangguan metabolism asam amino. Tipe ini
tidak ditemukan pada anak-anak dengan sindrom reye klasik, sering muncul pada bayi
dan anak-anak kurang dari 5 tahun.

Etiologi

Meskipun penyebab Sindroma Reye belum diketahui, sindroma ini sering terjadi
setelah infeksi virus, umumnya infeksi saluran nafas atas, influenza, varisela, atau
gastroenteritis, dan berhubungan dengan penggunaan aspirin selama sakit.

Patogenesis
Masih belum jelas, tetapi diperkirakan melibatkan disfungsi dari mitokondria yang
menghambat fosforilase oksidatif dan oksidasi asam lemak pada penyakit infeksi virus yang
mensensitasi orang yang terinfeksi, orang tersebut biasanya sudah terpapar toksin , terbanyak
karena salisilat. Sehingga SR sering terjadi meningkatkanya tekanan dalam otak dengan
akumulasi massif lemak pada hati dan organ lain.
Disfungsi dari mitokondria hepar tersebut merupakan akibat dari hiperammonemia
yang diduga menyebabkan edema pada astrosit, sehingga terjadi edema serebral dan
meningkatkan tekanan intracranial.
Salisilat diduga mengganggu fungsi respirasi mitokondria dengan merusak formasi
ATP dan menyebabkan pembengkakan mitokondria. Penggunaan aspirin mengganggu fungsi
mitokondria secara langsung melalui pelepasan fosforilase oksidatif, peningkatan coA ke
dalam mitokondriauntuk oksidasi dan penempatan yang salah dalam susunan asam lemak dan
asam dikarboksilat.

Manifestasi Klinis
Lovejoy (1974) mendeskripsikan tingkatan klinis menjadi stadium I-V, kemudian
Hurwitz (1982) memodifikasinya menjadi stadium 0-5 termasuk tingkatan nonklinik
(stadium 0). CDC menggunakan klasifikasi Hurwitz dan menambahkan stadium 6. Stadium 0
tidak menggambarkan definisi dari CDC karena tidak menggambarkan kriteria encefalopati.
Tingkatannya adalah sebagai berikut :

- Stadium O : sadar, belum ada manifestasi klinis, hasil lab pernah atau menunjukan hasil
yang sesuai dengan sindroma Reye.
- Stadium 1 : muntah terus menerus, mengantuk, letargy, mimpi buruk.
- Stadium 2 : gelisah, emosi tidak terkendali, disorientasi, delirium, takikardia,
hiperventilasi, dilatasi pupil dengan respon lambat, hiperrefleksia, refleks babynski
positif, masih berespon terhadap rangsang nyeri.
- Stadium 3 : koma, kaku, tidak ada respon terhadap rangsang nyeri, kadang terdapat
edema otak, jarang gagal respirasi.
- Stadium 4 : koma yang dalam, pupil dilatasi dan menetap, kehilangan refleks
okulovestibular, dan gangguan hati yang minimal.
- Stadium 5 : kejang, paralisis flasid, kehilangan refleks tendon dalam, tidak ada respon
pupil, gagal nafas.
- Stadium 6 : pasien yang tidak dapat diklasifikasikan karena telah mendapat pengobatan
sehingga terjadi perubahan tingkat kesadaran.

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium
Pada tes fungsi hati, yang tersering adalah peningkatan kadar ammonia 1,5 x diatas
normal (sampai 1200 mcg/dl) 24-48 jam setelah terjadinya perubahan tingkat kesadaran.
Kadar ammonia mungkin kembali pada level normal stadium 4 dan 5. Level
transaminase, ALT dan AST meningkat 3x normal tapi dapat kembali normal pada
stadium 4 dan 5.
Kadar bilirubin >2mg/dl (biasanya <3 mg/dl) pada 10-15% pasien. Jika bilirubin direk
meningkat lebih dari 15% bilirubin total, atau jika bilirubin total >3 mg/dl, pikirkan
diagnosis lain.
Prothrombin time (PT) dan activated Partial Thromboplastin Time (aPTT) memanjang
>1,5 x pada >50% pasien.
Kadar amilase dan lipase meningkat
Serum bikarbonat menurun setelah muntah.
BUN dan kadar kreatinin meningkat.
Terjadi hipoglikemia, biasanya pada anak-anak berumur < 1 tahun. Pemeriksaan glukosa
serum diindikasikan pada anak-anak dengan perubahan tingkat kesadaran.
Laktat dehidrogenase (LDH) mungkin dapat naik atau turun.
Terdapat perbedaan anion pada tes untuk asidosis metabolik.
b. Pemeriksaan radiologis
CT scan kepala dapat menunjukan edema cerebral, tapi dapat juga normal.

Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan khusus untuk sindroma Reye. Keberhasilan terapi bergantung pada
diagnosis dini. Penatalaksaanaan sindroma Reye bertujuan untuk mencegah kerusakan otak,
mengupayakan gangguan seminimal mungkin serta mengoreksi gangguan metabolik yang ada,
dan mengontrol adanya edema otak. Dalam hal ini yang terpenting adalah mengobati penderita
sebelum terjadi kerusakan otak yang ireversibel.
Penatalaksanaan biasanya bersifat suportif. Pengawasan yang terus menerus dari tekanan
intrakranial, analisis gas darah dan pH darah sangat diperlukan. Yang termasuk dalam
penatalaksanaannya adalah:
Cairan intravena untuk menyediakan elektrolit, nutrisi dan glukosa. Cairan juga harus
diseleksi untuk meyakinkan keseimbangan elektrolit, nutrisi dan membantu mengontrol
keseimbangan cairan di luar dan dalam sel. Pemberian Manitol 0,5mg/kgBB 4-6 jam
membantu mengurangi edema otak.
Penggunaan kateter (NGT dan kateter urin) mungkin dibutuhkan untuk memonitor dan
mengontrol cairan, elektrolit, analisis gas darah dan nutrisi.
Steroid untuk mengurangi edema otak.
Barbiturat untuk menjadikan metabolisme menjadi lambat dan menurunkan tekanan
intrakranial
Sejumlah kecil insulin diberikan untuk meningkatkan metabolisme glukosa. Regular
insulin bisa diberikan dengan dosis mulai 0,25 unit/kg, kemudian bisa diberikan setiap 6
jam tergantung kadar gula, urin, dan darah. Target kadar glukosa sampai 120 mg/dl - 150
mg/dl.
Diuretik diberikan untuk meningkatkan kehilangan cairan. Furosemide 1-2 mg/kgBB i.v,
kemudian dipantau diuresisnya.
Alat bantu nafas diperlukan saat nafas menjadi putus-putus atau koma.

2. Tetanus Nenonatorum
Definisi
Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium
tetani, bermanisfestasi dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan otot seluruh
badan. Kekakuan tonus otot massater dan otot-otot rangka.Neonatus adalah bayi baru lahir yang
berusia di bawah 28 hari. Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada
neonatus yang disebabkan oleh Clostridium tetani yaitu bakteria yang mengeluarkan toksin
(racun) yang menyerang sistem saraf pusat.Tetanus neonatorum merupakan penyebab kejang
yang sering dijumpai pada bayi baru lahir yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia,
tetapi disebabkan oleh infeksi selama masa neonatal, yang antara lain terjadi sebagai akibat
pemotongan tali pusat atau perawatan yang tidak aseptik.
Penyakit tetanus merupakan salah satu yang berbahaya karena mempengaruhi sistem
saraf dan otot. Kata tetanus diambil dari bahasa yunani yaitu tetanos dari teinein yang berarti
menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di mana spasme otot tonik dan hiperrefleksia
menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya punggung (opistotonus),
spasme glotal, kejang dan spasme dan paralisis pernapasan.

Etiologi
Clostiridium tetani adalah kuman yang berbentuk batang seperti penabuh genderang
berspora, golongan gram positif, hidup anaerob. Kuman ini mengeluarkan toksin yang bersifat
neurotoksik (tetanus spasmin), yang mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer
setempat. Timbulnya tetanus ini terutama oleh Clostiridium tetani yang didukung oleh adanya
luka yang dalam dengan perawatan yang salah.
Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif, bergerak,
ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 m. Mikroorganisme ini menghasilkan spora pada salah satu
ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis.
Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap desinfektan kimia, pemanasan dan pengeringan.
Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam tanah, debu jalan dan pada kotoran hewan terutama
kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini
menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui
kepentingannya dalam patogenesis tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan
tetanospasmin bekerja pada ujung saraf otot dan sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme
otot dan kejang.
Gambar Mikroskopik Clostridium tetani.

Faktor predisposisi pada tetanus, antara lain:


1. Umur tua atau anak-anak
2. Luka yang dalam dan kotor
3. Belum terimunisasi

Faktor Resiko
Terdapat 5 faktor resiko utama terjadinya tetanus neonatorum, yaitu:
a. Faktor Resiko Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologik
Lingkungan yang mempunyai sanitasi yang buruk akan memyebabkan Clostridium tetani
lebih mudah berkembang biak. Kebanyakan penderita dengan gejala tetanus sering mempunyai
riwayat tinggal di lingkungan yang kotor. Penjagaan kebersihan diri dan lingkungan adalah amat
penting bukan saja dapat mencegah tetanus, malah pelbagai penyakit lain.
b. Faktor Alat Pemotongan Tali Pusat
Penggunaan alat yang tidak steril untuk memotong tali pusat meningkatkan risiko
penularan penyakit tetanus neonatorum. Kejadian ini masih lagi berlaku di negara-negara
berkembang dimana bidan-bidan yang melakukan pertolongan persalinan masih menggunakan
peralatan seperti pisau dapur atau sembilu untuk memotong tali pusat bayi baru lahir.
c. Faktor Cara Perawatan Tali Pusat
Terdapat sebagian masyarakat di negara-negara berkembang masih menggunakan ramuan
untuk menutup luka tali pusat seperti kunyit dan abu dapur. Seterusnya, tali pusat tersebut akan
dibalut dengan menggunakan kain pembalut yang tidak steril sebagai salah satu ritual untuk
menyambut bayi yang baru lahir. Cara perawatan tali pusat yang tidak benar ini akan
meningkatkan lagi risiko terjadinya kejadian tetanus neonatorum.
d. Faktor Kebersihan Tempat Pelayanan Persalinan
Kebersihan suatu tempat pelayanan persalinan adalah sangat penting. Tempat pelayanan
persalinan yang tidak bersih bukan saja berisiko untuk menimbulkan penyakit pada bayi yang
akan dilahirkan, malah pada ibu yang melahirkan. Tempat pelayanan persalinan yang ideal
sebaiknya dalam keadaan bersih dan steril.
e. Faktor Kekebalan Ibu Hamil
Ibu hamil yang mempunyai faktor kekebalan terhadap tetanus dapat membantu mencegah
kejadian tetanus neonatorum pada bayi baru lahir. Antibodi terhadap tetanus dari ibu hamil dapat
disalurkan pada bayi melalui darah, seterusnya menurunkan risiko infeksi Clostridium tetani.
Sebagian besar bayi yang terkena tetanus neonatorum biasanya lahir dari ibu yang tidak pernah
mendapatkan imunisasi TT.

Patofisiologi
Suasana yang memungkinkan organisme anaerob berproliferasi dapat disebabkan
berbagai keadaan antara lain :
1) Luka tusuk dalam, misalnya luka tusuk karena paku, kuku, pecahan kaleng, pisau,
cangkul dan lain-lain.
2) Luka karena kecelakaan kerja (kena parang, kecelakaan lalu lintas).
3) Luka ringan seperti luka gores, lesi pada mata, telinga dan tonsil.

Pertolongan persalinan dan pemotongan tali pusat yang tidak steril akan memudahkan spora
Clostridium tetani masuk dari luka tali pusat dan melepaskan tetanospamin. Tetanospamin akan
berikatan dengan reseptor di membran prasinaps pada motor neuron. Kemudian bergerak melalui
sistem transpor aksonal retrograd melalui sel-sel neuron hingga ke medula spinalis dan batang
otak, seterusnya menyebabkan gangguan sistim saraf pusat (SSP) dan sistim saraf perifer.
Gangguan tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya
neurotransmiter inhibisi, yaitu asam aminobutirat gama (GABA) dan glisin, sehingga terjadi
epilepsi, yaitu lepasan muatan listrik yang berlebihan dan berterusan, sehingga penerimaan serta
pengiriman impuls dari otak ke bagian-bagian tubuh terganggu. Ketegangan otot dapat bermula
dari tempat masuk kuman atau pada otot rahang dan leher.
Pada saat toksin masuk ke sumsum tulang belakang, kekakuan otot yang lebih berat dapat
terjadi. Dijumpai kekakuan ekstremitas, otot-otot dada, perut dan mulai timbul kejang. Jika
toksin mencapai korteks serebri, penderita akan mengalami kejang spontan. Pada sistem saraf
otonom yang diserang tetanospasmin akan menyebabkan gangguan proses pernafasan,
metabolisme, hemodinamika, hormonal, pencernaan, perkemihan, dan pergerakan otot.
Kekakuan laring, hipertensi, gangguan irama jantung, berkeringat secara berlebihan
(hiperhidrosis) merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom. Kejadian gejala penyulit ini
jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala tersebut timbul.
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka dalam bentuk
spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif yang menghasilkan
tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan atau berkurangnya
potensi oksigen.
Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka. Beratnya
penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin serta jumlah
toksin yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut selain ditentukan oleh kondisi
luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium tetani.
Penyebaran toksin
Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara, sebagai berikut
:
1. Masuk ke dalam otot
Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian ke otot-otot
sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam susunan saraf pusat.
2. Penyebaran melalui sistem limfatik
Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus limfatikus,
selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah sistemik.
3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah
Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik, namun dapat pula
melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh darah merupakan cara
yang penting sekalipun tidak menentukan beratnya penyakit. Pada manusia sebagian besar
toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh darah, sehingga memungkinkan untuk dinetralisasi atau
ditahan dengan pemberian antitoksin dengan dosis optimal yang diberikan secara intravena.
Toksin tidak masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran darah karena sulit untuk
menembus sawar otak. Sesuatu hal yang sangat penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-
otot lain bahkan ke organ lain melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung
meningkatkan transport toksin ke dalam susunan saraf pusat.
4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)
Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara retrograd toksin
mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan autonom. Toksin yang mencapai
kornu anterior medula spinalis atau nukleus motorik batang otak kemudian bergabung
dengan reseptor presinaptik dan saraf inhibitor.
Mekanisme kerja toksin tetanus:
1. Jenis toksin
Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin mempunyai efek
hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan neurotoksik. Sampai saat
ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum diketahui pasti. Tetanospasmin mempunyai
efek neurotoksik, penelitian mengenai patogenesis penyakit tetanus terutama dihubungkan
dengan toksin tersebut.
2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf
Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik pada
neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk transport
toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan toksisitas belum diketahui
secara jelas.
Cara kerja toksin
Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui sumbu limbik masuk ke sirkulasi
darah dan masuk ke Susunan Saraf Pusat (SSP). Toksin bersifak antigen , sangat mudah diikat
jaringan syaraf dan bila dalam keadaan terikat tidak dapat lagi dinetralkan oleh toksin spesifik.
Toksin yang bebas dalam darah sangat mudah dinetrakan oleh antitoksin spesifik.
Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari Gram positif anaerob, Clostridium
tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi bentuk spora ke dalam darah
tubuh yang mengalami cedera (periode inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit
penting yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan eksotoksin
(tetanus, gas ganggren, diphteri, botulisme).
Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan hewan
peliharaan dan di daerah pertanian. Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang
dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis
dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi
tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka
pada pembedahan.

Tanda dan Gejala pada Tetanus


1) Masa inkubasi tetanus berkisar antara 2-21 hari
2) Ketegangan otot rahang dan leher (mendadak)
3) Kesukaran membuka mulut (trismus)
4) Kaku kuduk (epistotonus), kaku dinding perut dan tulang belakang
5) Saat kejang tonik tampak risus sardonikus

Neonatus yang terinfeksi Clostridium tetani masih menunjukkan perilaku seperti


menangis dan menyusui seperti bayi yang normal pada dua hari yang pertama. Pada hari ke-3,
gejala-gejala tetanus mula kelihatan. Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3 12 hari, namun
dapat mecapai 1 2 hari dan kadang-kadang lama melebihi satu bulan; makin pendek masa
inkubasi makin buruk prognosis.
Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium tetani dengan susunan
saraf pusat, serta interval antara terjadinya luka dengan permulaan penyakit; semakin jauh
tempat invasi, semakin panjang masa inkubasi. Gejala klinis yang sering dijumpai pada tetanus
neonatorum adalah:
a. Terjadinya kekakuan otot rahang sehingga penderita sukar membuka mulut. Kekakuan otot
pada leher lebih kuat akan menarik mulut kebawah, sehingga mulut sedikit ternganga. Kadang-
kadang dapat dijumpai mulut mecucu seperti mulut ikan dan kekakuan pada mulut sehingga bayi
tak dapat menetek.
b. Terjadi kekakuan otot mimik muka dimana dahi bayi kelihatan mengerut, mata bayi agak
tertutup, dan sudut mulut bayi tertarik ke samping dan ke bawah.
c. Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur, bertumpu pada
tumit dan belakang kepala. Jika dibiarkan secara berterusan tanpa rawatan, bisa terjadi fraktur
tulang vertebra.
d. Kekakuan pada otot dinding perut menyebabkan dinding perut teraba seperti papan. Selain
otot dinding perut, otot penyangga rongga dada (toraks) juga menjadi kaku sehingga penderita
merasakan kesulitan untuk bernafas atau batuk. Jika kekakuan otot toraks berlangsung lebih dari
5 hari, perlu dicurigai risiko timbulnya perdarahan paru.
e. Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernafasan akibat kekakuan yang terus-menerus
dari otot laring yang bisa menimbulkan sesak nafas. Efek tetanospamin dapat menyebabkan
gangguan denyut jantung seperti kadar denyut jantung menurun (bradikardia), atau kadar denyut
jantung meningkat (takikardia). Tetanospasmin juga dapat menyebabkan demam dan
hiperhidrosis. Kekakuan otot polos pula dapat menyebabkan anak tidak bisa buang air kecil
(retensi urin).Timbulnya gejala klinis biasanya mendadak, didahului dengan ketgangan otot
terutama pada rahang dan leher. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut (trismus) karena
spsme otot massater. Kejang otot ini akan berlanjut ke kuduk (opistotonus) dinding perut dan
sepanjang tulang belakang. Bila serangan kejang tonik sedang berlangsung serimng tampak risus
sardonikus karena spsme otot muka dengan gambaran aksi tertarik ke atas, sudut mulut tertarik
ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi. Gambaran umum yang khas pada tetanus
adalah berupa badan kaku dengan epistotonus, tungkai dalam ekstrensi lengan kaku dan tangan
mengapal biasanya kesadaran tetap baik. Serangan timbul proksimal, dapat dicetus oleh
rangsangan suara, cahaya maupun sentuhan, akan tetapi dapat pula timbul spontan. Karena
kontraksi otot sangat kuat dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin bahkan dapat terjadi
fraktur collumna vertebralis (pada anak). Kadang dijumpai demam yang ringan dan biasanya
pada stadium akhir.
Gambaran Umum yang Khas pada Tetanus, antara lain :
1) Badan kaku dengan epistotonus
2) Tungkai dalam ekstensi
3) Lengan kaku dan tangan mengepal
4) Biasanya keasadaran tetap baik
5) Serangan timbul proksimal dan dapat dicetuskan oleh karena :
Rangsang suara, rangsang cahaya, rangsang sentuhan, spontan.
Karena kontriksi sangat kuat dapat terjadi aspiksia, sianosis, retensi urine,
fraktur vertebralis (pada anak-anak), demam ringan dengan stadium akhir. Pada
saat kejang suhu dapat naik 2-4 derakat celsius dari normal, diaphoresis,
takikardia dan sulit menelan.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:
Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat luka.
Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap
Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot
perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.
Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek.
Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun spontan
dimana kesadaran tetap baik.
Pemeriksaan fisik : adanya luka dan ketegangan otot yang khas terutama pada
rahang
Pemeriksaan darah leukosit 8.000-12.000 m/L, peninggian tekanan otak, deteksi
kuman sulit
Pemeriksaan ECG dapat terlihat gambaran aritmia ventrikuler.
Diagnosis Banding

Meningitis Demam, sakit kepala, perubahan tingkat


kesadaran, tanda iritasi meningen
(nuchal rigidity, kernigs sign positive)

Ensefalitis Demam (hiperpireksia),penurunan


kesadaran, muntah, kejang-kejang bisa
bersifat umum, fokal atau twitching saja,
paresis atau paralisis dan afasia.

Tetani karena hipokalsemia Adanya spasme karpopedal

Trismus akibat proses lokal yang Biasanya trismus asimetris


disebabkan mastoiditis, otitis media
supuratif kronis (OMSK), abses
peritonsilar.

Rabies Dijumpai gejala hidrofobia dan


kesukaran menelan, pada anamnesis
terdapat riwayat digigit binatang pada
waktu epidemi.

Komplikasi
Bronkopneumonia
Asfiksia
Sepsis Neonatorum

Penatalaksanaan
1. Berikan cairan intravena dengan larutan glukosa 5% dan Nacl fisiologis (4:1) selama 48-72
jam selanjutnya IVFD hanya untuk memasukkan obat. Jika pasien telah dirawat lebih dari 24 jam
atau pasien sering kejang atau apnea, diberikan larutan glukosa 10% dan natrium bikarbonat
1.5% dalam perbandingan 4:1 (jika fasilitas ada lebih baik periksa analisa gas darah terlebih
dahulu). Bila setelah 72 jam bayi belum mungkin diberi minum peroral/sonde, mellui infus
diberikan tambahan protein dan kalium.
2. Diazepam awal dosis 2,5 mg IV perlahan-lahan selama 2-3 menit, kemudian diberikan dosis
rumat 8-10 mg/kg BB/hari melalui IVFD (diazepam dimasukkan ke dalam cairan infus dan
diganti setiap 6 jam). Bila kejang masih sering timbul, boleh ditambah diazepam lagi 2,5 mg
secara IV perlahan-lahan dan dalam 24 jam berikutnya boleh diberikan tambahan diazepam 5
mg/kg BB/hari sehingga dosis diazepam keseluruhannya menjadi 15 mg/kg BB/hari. Setelah
keadaan klinis membaik, diazepam diberikan peroral dan diturunkan secara bertahap. Pada
pasien dengan hiperbilirubinemia berat atau bila makin berat, diazepam diberikan per oral dan
setelah bilirubin turun boleh diberikan secara IV.
3. ATS 10.000 U/hari, diberikan selama 2 hari berturut-turut dengan IM. Perinfus diberikan
20.000 U sekaligus. Atau dapat diberikan Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG), untuk bayi,
dosisnya adalah 500 IU IM dosis tunggal. Sebagian dari dosis tersebut diberikan secara infiltrasi
di tempat sekitar luka. HTIG hanya dapat menghilangkan toksin tetanus yang belum berikatan
dengan ujung saraf. Intraveneous Immunoglobuline (IVIG) mengandung antitoksin tetanus dan
dapat digunakan jika HTIG tidak tersedia. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas
terhadap imunoglobulin atau komponen human immunoglobuline sebelumnya; trombositopenia
berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian secara IM.
4. Ampicilin 100 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis IV selama 10 hari. Bila pasien menjadi
sepsis, pengobatan seperti pasien sepsis linnya. Bila pungsi lumbal tidak dapat dilakukan
pengobatan seperti yang diberikan pada pasien meningitis bakterialis.
5. Tali pusat dibersihkan/dikompres dengan alkohol 70% atau betadine 10%.
6. Perhatikan jalan nafas dan tanda-tanda vital lainnya, bila perlu berikan oksigen.

Prognosa
Kematian biasanya terjadi pada penderita yang sangat muda, sangat tua dan pemakai obat
suntik. Jika gejalanya memburuk dengan segera atau jika pengobatan tertunda, maka
prognosisnya buruk.Dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat memperburuk keadaan yaitu :
1) Masa Inkubasi yang pendek (kurang dari 7 hari)
2) Neonatus dan usia tua (lebih dari 5tahun)
3) Frekuensi kejang yang sering
4) Kenaikan suhu badan yang tinggi
5) Pengobatan terlambat
6) Periode trismus dan kejang yang semakin sering
7) Adanya penyulit spasme otot pernafasan dan obstruksi jalan nafas

3. Henoch-Schnlein Purpura
Definisi
Henoch-Schnlein Purpura adalah sindrom klinis yang disebabkan oleh vaskulitis
pembuluh darah kecil sistemik yang ditandai dengan lesi spesifik berupa purpura
nontrombositopenik, artritis atau atralgia, nyeri abdomen atau perdarahan gastrointestinalis,
dan kadang kadang nefritis atau hematuria.Purpura Henoch-Schnlein merupakan penyakit
autoimun (IgA mediated) berupa hipersensitivitas vaskulitis, paling sering ditemukan pada
anak-anak.(CDK) Nama lain penyakit ini adalah purpura anafilaktoid, purpura alergik dan
vaskulitis alergik

Epidemiologi
Penyakit ini terutama terdapat pada anak umur 2 15 tahun (usia anak sekolah)
dengan puncaknya pada umur 4 7 tahun. Terdapat lebih banyak pada anak laki laki
dibanding anak perempuan (1,5 : 1). Rata-rata 14 kasus per 100.000 anak usia sekolah. HSP
umumnya merupakan benign self-limited disorder; < 5% kasus menjadi kronis; hanya < 1 %
kasus berkembang menjadi gagal ginjal.

Etiologi
Sampai sekarang penyebab penyakit ini belum diketahui. Diduga beberapa faktor
memegang peranan, antara lain faktor genetik, infeksi traktus respiratorius bagian atas,
makanan, gigitan serangga, paparan terhadap dingin, imunisasi ( vaksin varisela, rubella,
rubeolla, hepatitis A dan B, paratifoid A dan B, tifoid, kolera) dan obat obatan (ampisillin,
eritromisin, kina, penisilin, quinidin, quinin).Infeksi bisa berasal dari bakteri (spesies
Haemophilus, Mycoplasma, Parainfluenzae, Legionella, Yersinia, Shigella dan Salmonella)
ataupun virus (adenovirus, varisela, parvovirus, virus Epstein-Barr). Vaskulitis juga dapat
berkembang setelah terapi antireumatik, termasuk penggunan metotreksat dan agen anti TNF
(Tumor Necrosis Factor). Namun, IgA jelas mempunyai peranan penting, ditandai dengan
peningkatan konsentrasi IgA serum, kompleks imun dan deposit IgA di dinding pembuluh
darah dan mesangium renal. HSP adalah suatu kelainan yang hampir selalu terkait dengan
kelainan pada IgA1 daripada IgA2.
Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan HSP antara lain:
Infeksi :- Mononukleosis - Infeksi parvovirus B19
- Infeksi Streptokokus grup A - Infeksi Yersinia
- Sirosis karena Hepatitis-C - Hepatitis
- Infeksi Mikoplasma - Infeksi Shigella
- Virus Epstein-Barr - Infeksi Salmonella
- Infeksi viral Varizella-zoster- Enteritis Campylobacter
Vaksin : - Tifoid - Kolera
- Campak - Demam kuning
Alergen - Obat (ampisillin, eritromisin, penisilin, kuinidin, kuinin)
- Makanan
- Gigitan serangga
- Paparan terhadap dingin
Penyakit idiopatik : Glomerulocystic kidney disease

Patofisiologi
Dari biopsi lesi pada kulit atau ginjal, diketahui adanya deposit kompleks imun yang
mengandung IgA. Diketahui pula adanya aktivasi komplemen jalur alternatif. Deposit
kompleks imun dan aktivasi komplemen mengakibatkan aktivasi mediator inflamasi
termasuk prostaglandin vaskular seperti prostasiklin, sehingga terjadi inflamasi pada
pembuluh darah kecil di kulit, ginjal, sendi dan abdomen dan terjadi purpura di kulit, nefritis,
artritis dan perdarahan gastrointestinalis.
Beberapa faktor imunologis juga diduga berperan dalam patogenesis PHS, seperti
perubahan produksi interleukin dan faktor pertumbuhan yang berperan dalam mediator
inflamasi. TNF, IL-1 dan IL-6 bisa memediasi proses inflamasi pada HSP. Meningkatnya
kadar faktor pertumbuhan hepatosit selama fase akut HSP dapat menunjukkan adanya
kemungkinan kerusakan atau disfungsi sel endotel. Meningkatnya faktor pertumbuhan
endotel vaskuler dapat setidaknya menginduksi sebagian perubahan ini. Sitokin dianggap
terlibat dalam patogenesis HSP, dan endotelin (ET), yang merupakan hormon vasokonstriktor
yang diproduksi oleh sel endotelial, juga dianggap turut berperan. Kadar ET-1 jauh lebih
besar pada fase akut penyakit ini dibanding pada fase remisi. Namun tingginya kadar ET-1
tidak memiliki hubungan dengan tingkat morbiditas, keparahan penyakit, atau respon reaktan
fase akut.

Manifestasi Klinik
HSP biasanya muncul dengan trias berupa ruam purpura pada ekstremitas bawah, nyeri
abdomen atau kelainan ginjal dan artritis. Namun trias tidak selalu ada, sehingga seringkali
mengarahkan kepada diagnosis yang tidak tepat.
Pada 1/2 - 2/3 kasus pada anak ditandai dengan infeksi saluran napas atas yang muncul 1-
3 minggu sebelumnya berupa demam ringan dan nyeri kepala. Gejala klinis mula mula
berupa ruam makula eritomatosa pada kulit ekstremitas bawah yang simetris yang berlanjut
menjadi palpable purpura tanpa adanya trombositopenia. Ruam awalnya terbatas pada kulit
maleolus tapi biasanya kemudian akan meluas ke permukaan dorsal kaki, bokong dan lengan
bagian luar. Dalam 12 24 jam makula akan berubah menjadi lesi purpura yang berwarna
merah gelap dan memiliki diameter 0,5 2 cm. Lesi dapat menyatu menjadi plak yang lebih
besar yang menyerupai echimosis yang kemudian dapat mengalami ulserasi.
Purpura terutama terdapat pada kulit yang sering terkena tekanan (pressure-bearing
surfaces). Kelainan kulit ini ditemukan pada 100% kasus dan merupakan 50% keluhan
penderita pada waktu berobat. Kelainan kulit dapat pula ditemukan pada wajah dan tubuh.
Kelainan pada kulit dapat disertai rasa gatal. Pada bentuk yang tidak klasik, kelainan kulit
yang ada dapat berupa vesikel hingga menyerupai eritema multiform. Kelainan akut pada
kulit ini dapat berlangsung beberapa minggu dan menghilang, tetapi dapat pula rekuren.
Edema skrotum juga dapat terjadi dan gejalanya mirip dengan torsio testis. Gejala prodromal
dapat terdiri dari demam dengan suhu tidak lebih dari 38C, nyeri kepala dan anoreksia.
Pada anak berumur kurang dari 2 tahun, gambaran klinis bisa didominasi oleh edema
kulit kepala, periorbital, tangan dan kaki. Gambaran ini disebut AHEI (Acute Hemorrhagic
Edema of Infancy).
Selain purpura, ditemukan pula gejala artralgia dan artritis yang cenderung bersifat
migran dan mengenai sendi besar ekstremitas bawah seperti lutut dan pergelangan kaki,
namun dapat pula mengenai pergelangan tangan, siku dan persendian di jari tangan. Kelainan
ini timbul lebih dulu (1 2 hari) dari kelainan kulit. Sendi yang terkena dapat menjadi
bengkak, nyeri dan sakit bila digerakkan, biasanya tanpa efusi, kemerahan ataupun panas.
Kelainan teutama periartrikular dan bersifat sementara, dapat pula rekuren pada masa
penyakit aktif tetapi tidak menimbulkan deformitas menetap.
Pada penyakit ini dapat ditemukan adanya gangguan abdominal berupa nyeri abdomen
atau perdarahan gastrointestinalis. Keluhan abdomen biasanya timbul setelah timbul kelainan
pada kulit (1 4 minggu setelah onset). Organ yang paling sering terlibat adalah duodenum
dan usus halus. Nyeri abdomen dapat berupa kolik abdomen yang berat, lokasi di
periumbilikal dan disertai mual, muntah, bahkan muntah darah dan kadang kadang terdapat
perforasi usus dan intususepsi ileoileal lebih sering terjadi dibanding ileokolonal. Intususepsi
atau perforasi disebabkan oleh vaskulitis dinding usus yang menyebabkan edema dan
perdarahan submukosa dan intramural. Kadang dapat juga terjadi infark usus yang disertai
perforasi maupun tidak.
Selain itu dapat juga ditemukan kelainan ginjal, meliputi hematuria, proteinuria (<2g/d),
sindrom nefrotik (proteinuria >40mg/m2/jam) atau nefritis.Penyakit pada ginjal juga biasanya
muncul 1 bulan setelah onset ruam kulit. Adanya kelainan kulit yang persisten sampai 2 3
bulan, biasanya berhubungan dengan nefropati atau penyakit ginjal yang berat. Resiko
nefritis meningkat pada usia di atas 7 tahun, lesi purpura persisten, keluhan abdomen yang
berat dana penurunan aktivitas faktor XIII. Gangguan ginjal biasanya ringan, meskipun
beberapa ada yang menjadi kronik.Seringkali derajat keparahan nefritis tidak berhubungan
dengan parahnya gejala HSP yang lain.Pada pasien HSP dapat timbul adanya oedem. Oedem
ini tidak bergantung pada derajat proteinuria namun lebih pada derajat vaskulitis yang terjadi.
Namun oedem tersebut memang dihubungkan dengan kejadian proteinuria pada pasien.
Kadang kadang HSP dapat disertai dengan gejala gejala gangguan sistem saraf pusat,
terutama sakit kepala. Pada HSP dapat ditemukan adanya vaskulitis serebral. Pada beberapa
kasus langka, HSP diduga dapat menyebabkan gangguan serius seperti kejang, paresis atau
koma. Gejala gejala gangguan neurologis lain yang dapat muncul antara lain perubahan
tingkat kesadaran, apatis, somnolen, hiperaktivitas, iritabilitas, ketidakstabilan emosi, kejang
(parsial, parsial kompleks, umum, status epileptikus), dan defisit neurologis fokal (afasia,
ataxia, korea, hemiparesis, paraparesis, kuadraparesis. Dapat juga terjadi
poliradikuloneuropati (sindroma Guillain-Barr) dan mononeuropati (nervus fasialis,
femoralis, ulnaris).
Hati dan kandung empedu juga bisa terlibat dengan gejala hepatomegali, hidrops
kandung empedu, kolesistitis. Semua ini bisa menyebabkan keluhan nyeri abdomen pada
pasien. Apendisitis akut juga pernah dilaporkan terjadi pada pasien HSP.
Gejala - gejala lain yang pernah dilaporkan tetapi jarang terjadi antara lain vaskulitis
miokardia, vaskulitis paru yang menyebabkan perdarahan paru bilateral, ureteritis stenosis,
oedem penis, orkitis, priapisme, perdarahan intrakranial, hematoma subperiosteal orbital
bilateral, hematoma adrenal dan pankreatitis akut.

Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium tidak terlihat adanya kelainan spesifik. Jumlah trombosit
normal atau meningkat, membedakan purpura yang disebabkan oleh trombositopenia. Dapat
terjadi leukositosis moderat dan anemia normokromik, biasanya berhubungan dengan
perdarahan gastrointestinal. Biasanya juga terdapat eosinofilia. Laju endap darah dapat
meningkat maupun normal. Kadar komplemen seperti C1q, C3 dan C4 dapat normal maupun
menurun. Pemeriksaan kadar IgA dalam darah mungkin meningkat, demikian pula limfosit
yang mengandung IgA. Analisis urin dapat menunjukkan hematuria, proteinuria maupun
penurunan kreatinin klirens menandakan mulai adanya kerusakan ginjal atau karena
dehidrasi, demikian pula pada feses dapat ditemukan darah. Pemeriksaan ANA dan RF
biasanya negatif, faktor VII dan XIII dapat menurun.
Biopsi lesi kulit menunjukkan adanya vaskulitis leukositoklastik. Imunofluorosensi
menunjukkan adanya deposit IgA dan komplemen pada dinding pembuluh darah. Pada
pemeriksaan radiologi dapat ditemukan penurunan motilitas usus yang ditandai dengan
pelebaran lumen usus ataupun intususepsi melalui pemeriksaan barium. Terkadang
pemeriksaan barium juga dapat mengkoreksi intususepsi tersebut.

Diagnosis
Diagnosis lebih banyak ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang spesifik daripada
dengan bantuan pemeriksaan penunjang. Gejala yang dapat mengarahkan kepada diagnosis
HSP yaitu ruam purpurik pada kulit terutama di bokong dan ekstremitas bagian bawah
dengan satu atau lebih gejala berikut: nyeri abdomen atau perdarahan gastrointestinalis,
artralgia atau artritis, dan hematuria atau nefritis.

Tabel 1. Kriteria Diagnosis HSP

Kriteria Definisi
Purpura non trombositopenia (palpable Lesi kulit hemoragik yang dapat diraba,
purpura) terdapat elevasi kulit, tidak
berhubungan dengan trombositopenia

Usia onset 20 tahun Onset gejala pertama 20 tahun

Gejala abdominal / gangguan saluran Nyeri abdominal difus, memberat


cerna (Bowel angina) setelah makan atau diagnosis iskemia
usus, biasanya termasuk BAB berdarah

Granulosit dinding pada biopsi Perubahan histologi menunjukkan


granulosit pada dinding arteriol atau
venula

Untuk kepentingan klasifikasi, pasien dikatakan mempunyai HSP bila memenuhi


setidaknya 2 dari kriteria yang ada. Tabel diambil dari Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak
2007.
Selain itu, terdapat beberapa kriteria diagnosis menurut American College of
Rheumatology 1990: Bila memenuhi minimal 2 dari 4 gejala, yaitu: (1) Palpable purpura non
trombositopenia; (2) Onset gejala pertama < 20 tahun; (3) Bowel angina; (4) Pada biopsi
ditemukan granulosit pada dinding arteriol atau venula.
Menurut European League Against Rheumatism (EULAR) 2006 dan Pediatric
Rheumatology Society (PreS) 2006 apabila terdapat palpable purpura dan diikuti minimal
satu gejala berikut: nyeri perut difus, deposisi IgA yang predominan (pada biopsi kulit),
artritis akut dan kelainan ginjal (hematuria dan atau proteinuria)
Diferensial diagnosis dari HSP berdasarkan gejala yang dapat timbul antara lain akut
abdomen, meningitis akibat meningokokus, SLE, endokarditis bakterial, ITP, demam
reumatik, Rocky mountain spotted fever, reaksi alergi obat obatan, nefropati IgA, artritis
reumatoid.

Pengobatan
Tidak ada pengobatan definitif pada penderita HSP. Pengobatan adalah suportif dan
simtomatis, meliputi pemeliharaan hidrasi, nutrisi, keseimbangan elektrolit dan mengatasi
nyeri dengan analgesik. Untuk keluhan artritis ringan dan demam dapat digunakan OAINS
seperti ibuprofen. Dosis ibuprofen yang dapat diberikan adalah 10mg/kgBB/6 jam. Edema
dapat diatasi dengan elevasi tungkai. Selama ada keluhan muntah dan nyeri perut, diet
diberikan dalam bentuk makanan lunak. Penggunaan asam asetil salisilat harus dihindarkan,
karena dapat menyebabkan gangguan fungsi trombosit yaitu petekie dan perdarahan saluran
cerna. Bila ada gejala abdomen akut, dilakukan operasi. Bila terdapat kelainan ginjal
progresif dapat diberi kortikosteroid yang dikombinasi dengan imunosupresan.
Metilprednisolon IV dapat mencegah perburukan penyakit ginjal bila diberikan secara dini. (1)
Dosis yang dapat digunakan adalah metilprednisolon 250 750 mg/hr IV selama 3 7 hari
dikombinasi dengan siklofosfamid 100 200 mg/hr untuk fase akut HSP yang berat.
Dilanjutkan dengan pemberian kortikosteroid (prednison 100 200 mg oral) selang sehari
dan siklofosfamid 100 200 mg/hr selama 30 75 hari sebelum akhirnya siklofosfamid
dihentikan langsung dan tappering-off steroid hingga 6 bulan.
Terapi prednison dapat diberikan dengan dosis 1 2 mg/kgBB/hr secara oral, terbagi
dalam 3 4 dosis selama 5 7 hari. Kortikosteroid diberikan dalam keadaan penyakit dengan
gejala sangat berat, artritis, manifestasi vaskulitis pada SSP, paru dan testis, nyeri abdomen
berat, perdarahan saluran cerna, edema dan sindrom nefrotik persisten. Pemberian dini pada
fase akut dapat mencegah perdarahan, obstruksi, intususepsi dan perforasi saluran cerna.

Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah baik, dapat sembuh secara spontan dalam beberapa hari
atau minggu (biasanya dalam 4 minggu setelah onset). Rekurensi dapat terjadi pada 50%
kasus. Pada beberapa kasus terjadi nefritis kronik, bahkan sampai menderita gagal ginjal.
Bila manifestasi awalnya berupa kelainan ginjal yang berat, maka perlu dilakukan
pemantauan fungsi ginjal setiap 6 bulan hingga 2 tahun pasca sakit
Penyulit yang dapat terjadi antara lain perdarahan saluran cerna, obstruksi, intususepsi,
perforasi, gagal ginjal akut dan gangguan neurologi. Penyulit pada saluran cerna, ginjal dan
neurologi pada fase akut dapat menimbulkan kematian, walaupun hal ini jarang terjadi.
Prognosis buruk ditandai dengan penyakit ginjal dalam 3 minggu setelah onset,
eksaserbasi yang dikaitkan dengan nefropati, penurunan aktivitas faktor XIII, hipertensi,
adanya gagal ginjal dan pada biopsi ginjal ditemukan badan kresens pada glomeruli, infiltrasi
makrofag dan penyakit tubulointerstisial.

4. Dosis Digoksin
15 mcg/kg (maksimal 200 mcg/kg iv, 250 mcg oral)

5. Dosis Dopamin
1-20 mcg/kg/menit, maksimum 50mcg/kg/menit.

6. Tanda-Tanda DIC
DIC dapat terjadi hampir pada semua orang tanpa perbedaan ras, jenis kelamin, serta
usia. Gejala-gejala DIC umumnya sangat terkait dengan penyakit yang mendasarinya, ditambah
gejala tambahan akibat trombosis, emboli, disfungsi organ, dan perdarahan.
Manifestasi yang sering dilihat pada DIC antara lain:
Sirkulasi
o Dapat terjadi syok hemoragik
Susunan saraf pusat
o Penurunan kesadaran dari yang ringan sampai koma
o Perdarahan Intrakranial
Sistem Kardiovaskular
o Hipotensi
o Takikardi
o Kolapsnya pembuluh darah perifer
Sistem Respirasi
o Pada keadaan DIC yang berat dapat mengakibatkan gagal napas yang dapat
menyebabkan kematian.
Sistem Gastrointestinal
o Hematemesis
o Hematochezia
Sistem Genitourinaria
o Hematuria
o Oliguria
o Metrorrhagia
o Perdarahan uterus
Sistem Dermatologi
o Petechiae
o Jaundice (akibat disfungsi hati atau hemolysis)
o Purpura
o Bulae hemoragik
o Acral sianosis
o Nekrosis kulit pada ekstrimitas bawah (purpura fulminans)
o Infark lokal / gangren
o Hematom dan mudah terjadinya perdarahan pada tempat luka
o Thrombosis

Anda mungkin juga menyukai