Tugas Ujian - Vita
Tugas Ujian - Vita
ASMA BRONKIAL
Defenisi : Penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang ditandai adanya mengi
episodik, batuk, dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas, termasuk dalam
kelompok penyakit saluran pernapasan kronik.
Etiologi
Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Faktor genetik
(a) Hiperreaktivitas
(b) Atopi/Alergi bronkus
(c) Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
(d) Jenis Kelamin
(e) Ras/Etnik
2. Faktor lingkungan
(a) Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur)
(b) Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
(c) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut,
susu sapi, telur)
(d) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker dll)
(e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)
(f) Ekspresi emosi berlebih
(g) Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
(h) Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
(i) Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan
aktivitas tertentu
(j) Perubahan cuaca
Klasifikasi
Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan (akut).
Hampir sepanjang
tahun, tidak ada
2 Lama serangan <1minggu >1minggu
periode bebas
serangan
Tidak Sering
5 Tidur dan aktifitas Sangat tergganggu
tergganggu tergganggu
Mungkin
Normal (tidak tergganggu
Pemeriksaan fisik
6 ditemukan Tidak pernah normal
diluar serangan
kelainan) (ditemukan
kelainan)
Obat
7 pengendali(anti Tidak perlu Perlu Perlu
inflamasi)
Bayi tangis
Sesak (breathless)
Bayi Menangis pendek dan Bayi tidak mau
keras lemah, kesulitan makan/minum
menetek/makan
Mungkin Biasanya
Kesadaran Biasanya iritabel Kebingungan
iritabel iritabel
Nyaring,
Sedang, sering Sangat nyaring,
sepanjang Sulit/tidak
Wheezing hanya pada terdengar tanpa
ekspirasi terdengar
akhir ekspirasi stetoskop
inspirasi
Gerakan
Penggunaan otot paradok
Biasanya tidak Biasanya ya Ya
bantu respiratorik torako-
abdominal
Sedang,
Dangkal, Dalam, ditambah
ditambah Dangkal/
Retraksi retraksi napas cuping
retraksi hilang
interkostal hidung
suprasternal
Tidak ada,
Tidak ada Ada Ada
tanda
Pulsus paradoksus
kelelahan otot
(< 10 mmHg) (10-20 mmHg) (>20mmHg)
respiratorik
(%nilai dugaan/
%nilai terbaik)
Pra bonkodilator
>60% 40-60%
<40%
Pasca bronkodilator
>80% 60-80%
<60%, respon<2
jam
Normal
(biasanya tidak
PaO2 >60 mmHg <60 mmHg
perlu
diperiksa)
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan asma klasifikasikan menjadi:
1) Penatalaksanaan asma akut/saat serangan,
2) Penatalaksanaan asma jangka panjang.
Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega diberikan pada saat
serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan serangan asma dan
diberikan dalam jangka panjang dan terus menerus. Untuk mengontrol asma digunakan anti
inflamasi (kortikosteroid inhalasi). Pada anak, kontrol lingkungan mutlak dilakukan sebelum
diberikan kortikosteroid dan dosis diturunkan apabila dua sampai tiga bulan kondisi telah
terkontrol. Obat asma yang digunakan sebagai pengontrol antara lain: Inhalasi kortikosteroid,
2 agonis kerja panjang, antileukotrien, teofilin lepas lambat.
Salmeterol IDT
kombinasi steroid
dan Flutikason + Salmeterol. IDT
kerjalama
IDT
Aminofilin Oral
Oral, inhaler
Kortikosteroid
sistemik Metilprednisolon Oral
Prednison
Bagan 1.
Alur Tatalaksana Serangan Asma pada Anak
Klinik / IGD
Nilai derajat
serangan
Tatalaksana awal
nebulisasi -agonis 1-3x, selang 20 menit
nebulisasi ketiga + antikolinergik
jika serangan berat, nebulisasi. 1x
(+antikoinergik)
P
3-4 minggu, obat E
N
dosis / minggu > 3x 3x
G
H
I
Asma episodik sering Tambahkan obat pengendali:
N
Kortikosteroid hirupan dosis D
A
R
6-8 minggu, respons: () (+)
A
N
Asma persisten Pertimbangkan alternatif
penambahan salah satu obat:
-agonis kerja panjang (LABA)
teofilin lepas lambat
antileukotrien
atau dosis kortikosterid
ditingkatkan (medium)
MENINGITIS TB
Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna abu) di dasar
otak menyebabkan gangguan otak / batang otak. Pada fase ini, eksudat yang mengalami
organisasi akan mengakibatkan kelumpuhan saraf kranial dan hidrosefalus, gangguan
kesadaran, papiledema ringan serta adanya tuberkel di koroid. Vaskulitis menyebabkan
gangguan fokal, saraf kranial dan kadang medulla spinalis. Hemiparesis yang timbul
disebabkan karena infark/ iskemia, quadriparesis dapat terjadi akibat infark bilateral atau
edema otak yang berat.
Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala utamanya,
sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak yang lebih besar, sakit
kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya makin menurun.
Gejala yang dapat muncul, yaitu antara lain:
Akibat rangsang meningen sakit kepala berat dan muntah (keluhan utama).
Akibat peradangan / penyempitan arteri di otak, antara lain:
o disorientasi
o bingung
o kejang
o tremor
o hemibalismus / hemikorea
o hemiparesis / quadriparesis
o penurunan kesadaran
o Gangguan otak / batang otak / gangguan saraf kranial: saraf kranial yang sering
terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII
- strabismus
- diplopia
- ptosis
- reaksi pupil lambat
- gangguan penglihatan kabur
3. Stadium III (koma / fase paralitik)
Terjadi percepatan penyakit, berlangsung selama 2-3 minggu. Pada stadium ini
gangguan fungsi otak semakin tampak jelas. Hal ini terjadi akibat infark batang otak akibat
lesi pembuluh darah atau strangulasi oleh eksudat yang mengalami organisasi. Gejala-gejala
yang dapat timbul, antara lain:
pernapasan irregular
demam tinggi
edema papil
hiperglikemia
kesadaran makin menurun
irritable dan apatik
mengantuk
stupor
koma
otot ekstensor menjadi kaku dan spasme
opistotonus
pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali
nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur
hiperpireksia
Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu dengan yang
lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu sebelum pasien meninggal.
Dikatakan akut bila 3 stadium tersebut berlangsung selama 1 minggu.
Hidrosefalus dapat terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang penyakitnya telah
berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila pengobatan terlambat atau tidak
adekuat.
Karakteristik Obat
Isoniazid
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman intrasel dan
ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor
cerebrospinalis, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki adverse reaction
yang rendah. Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15
mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari dan diberikan dalam satu kali pemberian.
Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk
sirup 100 mg / 5 ml. Konsentrasi puncak di darah, sputum, dan liquor cerebrospinalis dapat
dicapai dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid terdapat
dalam air susu ibu yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta.
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik dan neuritis perifer.
Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya lebih banyak terjadi pada pasien dewasa dengan
frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Untuk mencegah timbulnya neuritis
perifer, dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10 mg
piridoksin setiap 100 mg isoniazid.
Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua
jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid.
Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1
jam sebelum makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam. Rifampisin diberikan
dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg / kgBB / hari, dosis maksimalmya 600 mg per hari
dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis
rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis isoniazid 10 mg/ kgBB / hari.
Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor
cerebrospinalis. Distribusi rifampisin ke dalam liquor cerebrospinalis lebih baik pada
keadaan selaput otak yang sedang mengalami peradangan daripada keadaan normal. Efek
samping rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata
menjadi warma oranye kemerahan. Efek samping lainnya adalah mual dan muntah,
hepatotoksik, dan trombositopenia. Rifampisin umumya tersedia dalam bentuk kapsul 150
mg, 300 mg, dan 450 mg.
Pirazinamid
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan
cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Obat ini bersifat bakterisid hanya pada intrasel
dan suasana asam dan diresorbsi baik pada saluran cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg /
kgBB / hari dengan dosis maksimal 2 gram / hari. Kadar serum puncak 45 g / ml tercapai
dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik
diberikan pada saat suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat
banyak. Efek samping pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan
hiperurisemia (jarang pada anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg.
Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraselular pada
keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraselular. Saat
ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunaannya
penting pada pengobatan fase intensif meningitis tuberkulosis dan MDR-TB (multi drug
resistent-tuberculosis). Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg /
kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari, dan kadar puncak 45-50 g /ml dalam waktu 1-2 jam.
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati
selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan
cairan pleura dan diekskresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika
terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita tuberkulosis
berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu
keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga berdengung (tinismus) dan
pusing. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam
menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merudak saraf pendengaran janin, yaitu
30% bayi akan menderita tuli berat.
Steroid
Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis tuberkulosis sebagai
terapi ajuvan. Penggunaan steroid selain sebagai anti inflamasi, juga dapat menurunkan
tekanan intrakranial dan mengobati edema otak. Steroid yang dipakai adalah prednison
dengan dosis 1-2 mg / kgBB / hari selama 4-6 minggu, setelah itu dilakukan penurunan dosis
secara bertahap (tappering off) selama 4-6 minggu sesuai dengan lamanya pemberian
regimen.
Pada bulan pertama pengobatan, pasien harus tirah baring total.
Steroid diberikan untuk:
Menghambat reaksi inflamasi
Mencegah komplikasi infeksi
Menurunkan edema serebri
Mencegah perlekatan
Mencegah arteritis/infark otak
Indikasi Steroid :
Kesadaran menurun
Defisit neurologist fokal
Ethambutol
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterid jika
diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman,
obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah
15-20 mg / kgBB / hari, maksimal 1,25 gram / hari dengan dosis tunggal. Kadar serum
puncak 5 g dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500
mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral
dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga
pada keadaan meningitis. Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan
buta warna merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum
dapat diperiksa tajam penglihatannya. Penelitian di FKUI menunjukkan bahwa pemberian
etambutol dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari tidak menimbulkan kejadian neuritis optika
pada pasien yang dipantau hingga 10 tahun pasca pengobatan. Rekomendasi WHO yang
terakhir mengenai pelaksanaan tuberkulosis pada anak, etambutol dianjurkan penggunaannya
pada anak dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan
TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak
dapat digunakan. 7
Dispepsia atau indigesti adalah rasa tidak nyaman pada perut bagian atas atau dada
akibat gangguan pada sistem pencernaan. Terdapat dua tipe dispepsia, yaitu organik
dan fungsional. Dispepsia fungsional adalah dispepsia yang terjadi tanpa adanya
kelainan organ lambung, baik dari pemeriksaan klinis, biokimiawi hingga
pemeriksaan penunjang lainnya. Dispepsia organik adalah dispepsia yang disebabkan
kelainan struktur organ percernaan seperti luka di lambung atau kanker.
Gejala Klinis
Gejala yang timbul pada dispepsia umumnya berasal dari saluran cerna bagian atas, terutama
lambung dan usus halus. Gejala dapat berupa nyeri perut di atas pusar, kembung, bersendawa,
mual dengan atau tanpa muntah, sensasi penuh pada perut, rasa cepat kenyang, dan
pembesaran perut. Gejala ini umumnya dirasakan setelah makan.Dispepsia klasik tidak
berbahaya; namun, dispepsia dengan karakteristik atau gejala penyerta berikut memerlukan
pemeriksaan lebih lanjut:
-Dispepsia yang menetap pada orang usia di atas 55 tahun;
-Penurunan berat badan lebih dari 3 kilogram;
-Anemia defisiensi besi;
-Perdarahan saluran cerna;
-Kesulitan menelan atau nyeri menelan;
-Riwayat operasi lambung sebelumnya;
-Massa pada perut;
-Riwayat luka pada lambung;
-Riwayat konsumsi obat anti inflamasi non steroid (NSAID) jangka panjang;
-Nyeri perut sangat hebat.
Penyebab
Dispepsia dapat disebabkan oleh banyak hal, antara lain udara yang tertelan, intoleransi
laktosa, kecemasan, depresi, luka pada lambung atau usus, kanker lambung, penyakit pada
kantung empedu, regurgitasi makanan atau cairan dari lambung, serta efek samping dari kopi,
alkohol, minuman bersoda dan obat obatan. Obat yang dapat menyebabkan dispepsia antara
lain aspirin, antibiotik, steroid, digoxin, dan teofilin.
Pengobatan
Pengobatan dispepsia umumnya adalah pemberian obat yang menekan produksi asam
lambung, terutama obat golongan anti-histamin (seperti simetidin) atau penghambat kanal
proton (sperti omeprazole, pantoprazole). Selain itu, juga dapat digunakan obat yang
meningkatkan gerakan usus serperti metoklopramid, cisapride, dan domperidon.
Jika gejala tidak membaik setelah 2 minggu mengkonsumsi obat tersebut, mungkin perlu
dipertimbangkan untuk pemeriksaan khusus seperti endoskopi (teropong lambung). Selain
obat obatan, diperlukan modifikasi gaya hidup, yaitu menghindari makanan pedas dan
asam, rokok, alkohol, kopi, dan menurunkan stres.
DEFINISI
Regurgitasi : naiknya makanan dari kerongkongan atau lambung tanpa disertai oleh
rasa mual maupun kontraksi otot perut yang sangat kuat
Penyebab : Regurgitasi sering disebabkan oleh asam yang naik dari lambung (refluk
asam). Regurgitasi juga bisa disebabkan oleh penyempitan (striktur) atau
penyumbatan kerongkongan. Penyumbatan bisa terjadi karena beberapa penyebab,
termasuk di dalamnya kanker kerongkongan. Penyumbatan juga bisa disebabkan oleh
gangguan pengendalian saraf kerongkongan dan katupnya di mulut
lambung. Regurgitasi tanpa penyebab fisik disebut ruminasi. Regurgitasi semacam ini
sering terjadi pada bayi dan jarang ditemukan pada orang dewasa. Ruminasi pada
orang dewasa lebih sering terjadi pada mereka yang mengalami kelainan emosi,
terutama selama mengalami stres.
Gejala : Asam yang berasal dari lambung menyebabkan regurgitasi dari bahan-bahan
yang terasa asam atau pahit. Penyempitan atau penyumbatan kerongkongan
menyebabkan regurgitasi cairan berlendir yang tidak berasa atau makanan yang belum
dicerna.
Pada ruminasi, penderita mengeluarkan sejumlah kecil makanan dari lambung,
biasanya 15-30 menit setelah makan. Mereka kemudian mengunyah bahan-bahan
tersebut dan menelannya lagi. Penderita tidak merasakan mual, nyeri atau kesulitan
menelan.