Anda di halaman 1dari 32

PENELITIAN

HUBUNGAN KELAYAKAN JAMBAN DAN JENIS SUMBER AIR


MINUM KELUARGA DENGAN KEJADIAN DIARE AKUT PADA
KELURAHAN RAWA MAKMUR KECAMATAN PALARAN
SAMARINDA TAHUN 2015

Oleh :

Andreas Tedi S.K.K


Hardin Baharuddin
Radhiyana Putri
Marini Tandarto
Famela Asditaliana

Pembimbing :

Veronica Hinum, S.KM, MM


dr. Resda Herliani
dr. Ronny Isnuwardana, MIH

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


LAB/SMF ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FK- UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2015
BAB I

PENDAHULUAN

1 Latar Belakang

Diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi defekasi


dari biasanya (>3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi cair),
dengan/tanpa darah dan/atau lendir (Seto, 2007). Menurut WHO, Diare adalah
penyebab utama kedua kematian pada anak-anak berusia di bawah lima tahun . Setiap
tahunnya, diare membunuh sekitar 760 000 anak balita. Secara global, ada hampir 1,7
miliar kasus penyakit diare setiap tahun. Sedangkan di negara berkembang, anak-
anak berusia di bawah tiga tahun rata-rata mengalami tiga episode diare setiap
tahunnya. Setiap episode menghalangi anak dari nutrisi yang diperlukan untuk
pertumbuhan . Akibatnya, diare merupakan penyebab utama dari kekurangan gizi ,
dan anak-anak yang kekurangan gizi menjadi lebih beresiko untuk jatuh sakit karena
diare . Sampai saat ini, diare adalah penyebab utama kekurangan gizi pada anak-anak
di bawah lima tahun. (World Health Organization, 2013)
Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara
berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitas-nya yang masih
tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen Kesehatan
dari tahun 2000 s/d 2010 terlihat kecenderungan insidens naik. Pada tahun 2000 IR
(Incidence Rate) penyakit Diare 301/ 1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374 /
1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423 /1000 penduduk dan tahun 2010
menjadi 411/1000 penduduk. Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering
terjadi, dengan CFR (Case Fatality Rate) yang masih tinggi. Pada tahun 2008 terjadi
KLB di 69 Kecamatan dengan jumlah kasus 8133 orang, kematian 239 orang (CFR
2,94%). Tahun 2009 terjadi KLB di 24 Kecamatan dengan jumlah kasus 5.756 orang,
dengan kematian 100 orang (CFR 1,74%), sedangkan tahun 2010 terjadi KLB diare
di 33 kecamatan dengan jumlah penderita 4204 dengan kematian 73 orang (CFR 1,74
%), faktor perilaku kesadaran dan pengetahuan masyarakat, ketersediaan sumber air
bersih, ketersediaan jamban keluarga dan jangkauan layanan kesehatan perlu
dipertimbangkan sebagai faktor yang mempengaruhi kejadian luar biasa diare
(Kemenkes RI, 2011).
Berdasarkan pola penyebab kematian semua umur, diare merupakan penyebab
kematian peringkat ke-13 di Indonesia dengan proporsi 3,5%. Sedangkan berdasarkan
penyakit menular, diare merupakan penyebab kematian peringkat ke-3 setelah TB dan
Pneumonia (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2007) Diare merupakan
urutan ke 7 dari 10 penyakit terbanyak di daerah Kalimantan timur pada tahun 2013
(Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur, 2013)
Kejadian diare di Samarinda tahun 2012 yaitu sebanyak 19.565 kasus. Kasus
diare terbanyak ditemukan pada kecamatan palaran dengan jumlah 2.102 kasus diare
(Gunawan, Habibie, Wiraputra, Rahman, & Muriza, 2013). Pada tahun 2013, jumlah
kasus diare di puskesmas palaran meningkat yaitu sebanyak 2.250 kasus. Namun
mengalami penurunan pada tahun 2014 yaitu sebanyak 1.903 kasus. Berdasarkan data
puskesmas, jumlah kasus diare pada januari-juli tahun 2015 adalah sebanyak 720
kasus dan daerah paling banyak mengalami diare adalah kelurahan rawa makmur
yaitu 223 kasus. Hal ini terbukti bahwa kasus diare masih tinggi meskipun terjadi
penurunan dibandingkan tahuntahun sebelumnya.
Penelitian mengenai penyakit diare di Indonesia menunjukkan bahwa banyak
faktor yang dapat berpengaruh secara langsung seperti faktor gizi, makanan dan
lingkungan maupun pengaruh tidak langsung seperti faktor sosial ekonomi.
Kesehatan lingkungan yang buruk akan berpengaruh terhadap terjadinya diare
(Muhajirin, 2007), hal ini dikarenakan sebagian besar penularan melalui faecal oral
yang sangat dipengaruhi oleh perilaku hidup sehat dari keluarga, ketersediaan sarana
air bersih, jamban keluarga yang memenuhi syarat kesehatan, pembuangan sampah
pada tempatnya dan pengelolaan air limbah (Wulandari, 2009). Di seluruh dunia ,
780 juta orang tidak memiliki akses terhadap air minum dan 2,5 miliar kurangnya
sanitasi. Diare karena infeksi tersebar luas di seluruh negara-negara berkembang .
(World Health Organization, 2013), hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Emi Febriani tahun 2013 di Bengkulu yaitu terdapat pengaruh bermakna antara
tidak layaknya jamban keluarga dan sumber air bersih keluarga dengan kejadian diare
yang terjadi pada balita (Febriani, 2013). Menurut kemenkes tahun 2011, pemutusan
rantai penularan diare dapat melalui peningkatan kesehatan lingkungan meliputi air
bersih, jamban keluarga, dan pembuangan limbah. Hal ini membuktikan bahwa faktor
sanitasi lingkungan memegang peranan penting dalam terjadinya diare di masyarakat.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian
tentang Hubungan Kelayakan Jamban dan Sumber Air Minum Keluarga dengan
Kejadian Diare Akut pada Kelurahan Rawa Makmur Kecamatan Palaran Samarinda
Tahun 2015

1.1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana


hubungan antara kelayakan jamban dan jenis sumber air minum keluarga dengan
kejadian diare akut di kelurahan rawa makmur kecamatan palaran samarinda pada
tahun 2015?

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara


kelayakan jamban dan jenis sumber air minum keluarga dengan kejadian diare akut di
kelurahan rawa makmur kecamatan palaran samarinda pada tahun 2015.

1.3. Manfaat Penelitian

1 Sebagai masukan bagi instansi kesehatan terkait guna meningkatkan promosi


kesehatan untuk menjaga dan meningkatkan mutu kebersihan diri atau
berprilaku hidup bersih sehat, sehingga dapat melakukan penanggulangan
penyakit diare akut.
2 Untuk menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat agar dapat berperan
aktif dalam mengantisipasi dan atau menanggulangi mewabahnya penyakit
diare
3 Menambah pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti tentang kebersihan diri
dan sarana dasar kesehatan lingkungan yang berhubungan dengan penyakit
diare.
4 Sebagai salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik Muda Ilmu Kesehatan
Masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diare

1 Definisi

Diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi defekasi


lebih dari biasanya (>3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi cair),
dengan/tanpa darah dan/atau lendir (Noerasid H, 2007).

2 Klasifikasi

Banyak macam klasifikasi dari diare, antara lain:


1. Menurut Depkes RI 2010, terdapat dua jenis diare, yaitu:
a. Diare akut adalah diare yang terjadi mendadak dan berlangsung selama
beberapa jam hingga 14 hari.
b. Diare kronis, diare yang berlangsung lebih dari 14 hari
2. Rendle Short 1961 dalam Suharyono 1986 membuat klasifikasi berdasarkan pada
ada atau tidak adanya infeksi, diklasifikasi menurut 2 golongan:
a. Diare infeksi spesifik: tifus abdomen dan paratifus, disentri basil (shigella),
entrokolitis stafilokok.
b. Diare non-spesifik: diare dietetik.
3. Jenis diare lainnya adalah diare bermasalah, dengan lima golongan, yaitu
(Departemen Kesehatan RI, 2010):
a. Diare berdarah / disentri
Diare dengan darah dan lendir dalam tinja, dapat disertai dengan adanya
tenesmus. Disentri berat adalah diare berdarah dengan komplikasi.
Diare berdarah dapat disebabkan oleh kelompok penyebab diare, seperti
infeksi bakteri, parasite, alergi protein susu sapi, tetapi sebagian besar disentri
disebabkan oleh infeksi bakteri. Penularannya secara fekal oral, kontak
langsung dari orang ke orang. Infeksi ini menyebar melalui makanan dan air
yang terkontaminasi dan biasanya terjadi pada daerah dengan sanitasi dan
hygiene perorangan yang buruk.
Di Indonesia, penyebab disentri adalah Shigella, Salmonella,
Campylobacter jejuni, E. coli, dan Entamoeba hystolytica.
Faktor risiko yang menyebabkan beratnya disentri antara lain gizi kurang,
usia sangat muda, tidak mendapat ASI, menderita campak dalam 6 bulan
terakhir, mengalami dehidrasi, serta penyebab disentrinya misalnya shigella
yang menghasilkan toksin ataupun multi drug resistant.
Diare pada disentri umumnya diawali oleh diare cair, kemudian pada hari
kedua atau ketiga baru munculdarah, dengan atau tanpa lendir, skit perut yang
disertai munculnya tenesmus, panas yang disertai hilangnya nafsu makan dan
badan terasa lemah. Pada saat tenesmus terjadi, pada kebanyakan penderita
akan menalami penurunan volume diarenya dan mungkin tinja hanya berupa
darah dan lendir.
Gejala infeksi saluran pernafasan akur dapat menyertai disentri. Disentri
dapat menimbulkan dehidrasi, dari yang ringan sampai dengan dehidrasi
berat, walaupun kejadiannya lebih jarangdibandingkan dengan diare cair akut.
Komplikasi disentri dapat terjadi lokal di saluran cerna.
b. Kolera
Diare terus menerus, cair seperti air cucian beras, tanpa sakit perut,
disertai mual dan muntah diawal penyakit. Seseorang dicurigai kolera apabila:
Penderita berumur lebih dari 5 tahun menjadi dehidrasi berat karena diare
akut secara tiba-tiba ( biasanya disertai muntah dan mual), tinjanya cair
sperti air cucian beras, tanpa sakit perut (mulas).
Setiap penderita diare akut berumur lebih dari 2 tahun di daerah yang
terjangkit KLB kolera
c. Diare berkepanjangan
Diare yang berlangsung lebih dari 7 hari dan kurang dari 14 hari.
Penyebab diare ini berbeda dengan diare akut. Pada keadaan ini, tidak lagi
memikirkan infeksi virus, melainkan infeksi bakteri, parasit, malabsorbsi dan
beberapa penyebab lain dari diare persisten
d. Diare persisten/kronik
Diare yang disertai atau tanpa darah, berlangsung selama 14 hari atau
lebih. Bila sudah terbukti disebabkan oleh infeksi, maka disebut sebagai diare
persisten.
Faktor risiko berlanjutnya diare akut menjadi diare persisten adalah:
Usia bayi kurang dari 6 bulan
Tidak mendapat ASI
Gizi buruk
Diare akut dengan etiologi bakteri invasive
e. Diare dengan gizi buruk
Gizi buruk yang dimaksud adalah gizi buruk tipe marasmus atau
kwarshiokor, yang secara nyata mempengaaruhi perejalanan penyakit dan
tatalaksana diare yang muncul.
Diare yang terjadi pada gizi buruk cenderung lebih berat, lebih lama dan
dengan angka kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan status gizi
baik, dikarenakan berkurangnya imunitas pada gizi buruk, sehingga
keumngkinan munculnya diare akibat kuman yang oportunistik lebih besar.

3 Patogenesis

Pada dasarnya diare terjadi bila terdapat gangguan transpor terhadap air dan
elektrolit pada saluran cerna. Mekanisme gangguan tersebut ada 5 kemungkinan:
(Daldiyono, 1997)
1. Osmolaritas intraluminer yang meninggi.
2. Sekresi cairan dan elektrolit meninggi.
3. Absorpsi elektrolit berkurang.
4. Motilitas usus yang meninggi/hiperperistaltis, atau waktu transit yang pendek.
5. Sekresi eksudat.
Diare yang terjadi pada penyakit tertentu atau yang disebabkan suatu faktor
etiologi tertentu, biasanya timbul oleh gabungan dari beberapa mekanisme diatas.
(Daldiyono, 1997)
Sesuai dengan perjalanan penyakit diare, patogenesis penyakit diare dibagi
atas: (Noerasid H, 2007)
1. Diare akut
Lebih dari 90% diare akut disebabkan karena infeksi. Patogenesis diare akut
oleh infeksi yaitu masuknya mikroorganisme ke dalam saluran pencernaan,
berkembangbiaknya mikroorganisme tersebut setelah berhasil melewati asam
lambung, dibentuknya toksin (endotoksin) oleh mikroorganisme, adanya rangsangan
pada mukosa usus yang menyebabkan terjadinya hiperperistaltik dan sekresi cairan
usus mengakibatkan terjadinya diare.
2. Diare kronik
Patogenesis diare kronik lebih rumit karena terdapat beberapa faktor yang satu
sama lain saling mempengaruhi. Faktor-faktor tersebut antara lain:
a. Infeksi bakteri
Misalnya ETEC (Entero Toxigenic E. Coli) yang sudah resisten terhadap
obat. Juga diare kronik dapat terjadi kalau ada pertumbuhan bakteri berlipat
ganda (over growth) dari bakteri non patogen.
b. Infeksi parasit
Terutama E.histolytica, Giardia, Candida dan sebagainya.
c. Kekurangan kalori protein
Pada penderita kekurangan kalori protein terdapat atrofi semua organ
termasuk atrofi mukosa usus halus, mukosa lambung, hepar dan pankreas.
Akibatnya terjadi defisiensi enzim yang dikeluarkan oleh organ-organ
tersebut yang menyebabkan makanan tidak dapat dicerna dan diabsorpsi
dengan sempurna. Makanan yang tidak diabsorpsi tersebut akan
menyebabkan tekanan osmotik koloid di dalam lumen usus meningkat yang
menyebabkan terjadinya diare osmotik. Selain itu juga akan menyebabkan
over growth bakteri yang akan menambah beratnya malabsorpsi dan infeksi.
d. Gangguan imunologik
Usus merupakan organ utama dari daya pertahanan tubuh. Defisisensi dari
Secretory IgA dan Cell Mediated Immunity (CMI) akan menyebabkan tubuh
tidak mampu mengatasi infeksi dan infestasi parasit dalam usus. Akibatnya,
bakteri, virus, parasit, dan jamur akan masuk ke dalam usus dan berkembang
biak dengan leluasa sehingga terjadi over growth dengan akibat lebih lanjut
berupa diare kronik dan malabsorpsi makanan.

4 Patofisiologi

Sebagai akibat diare baik akut maupun kronik akan terjadi: (Noerasid H,
2007)
1. Kehilangan air (dehidrasi) merupakan penyebab kematian pada diare.
2. Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak daripada
pemasukan air (input), merupakan penyebab kematian pada diare.
3. Gangguan keseimbangan asam basa (metabolik asidosis).
Metabolik asidosis ini terjadi karena:
a. Kehilangan Na-bikarbonat bersama tinja.
b. Adanya ketosis kelaparan. Metabolisme lemak tidak sempurna sehingga
benda keton tertimbun dalam tubuh.
c. Terjadi penimbunan asam laktat karena adanya anoksi jaringan.
d. Produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat
dikeluarkan oleh ginjal (terjadi oliguria/anuria).
e. Pemindahan ion Na dari cairan ekstraseluler ke dalam cairan intraseluler.
Secara klinis asidosis dapat diketahui dengan memperhatikan pernafasan.
Pernafasan bersifat cepat, teratur dan dalam, yang disebut pernafasan
Kuszmaull. Pernafasan Kuszmaull ini merupakan homeostasis respiratorik,
adalah usaha tubuh untuk mepertahankan pH darah
4. Hipoglikemi.
Hipoglikemi terjadi pada 2-3% dari anak-anak yang menderita diare.
Lebih sering pada anak yang sebelumnya sudah menderita kekurangan kalori
protein. Hal ini terjadi karena penyimpanan/persediaan glikogen dalam hati
terganggu dan adanya gangguan absorpsi glukosa (walau jarang terjadi).
Gejala hipoglikemi akan muncul jika kadar glukosa darah menurun sampai 40
mg% pada bayi dan 50mg% pada anak-anak. Gejalanya adalah lemah, apatis,
peka rangsang, tremor, berkeringat, pucat, syok, kejang sampai koma.
5. Gangguan gizi
Gangguan gizi sering terjadi pada anak yang menderita diare dengan
akibat terjadinya penurunan berat badan dalam waktu yang singkat. Hal ini
disebabkan makanan sering dihentikan karena takut diare dan atau muntah
yang akan bertambah hebat, pemberian susu yang diencerkan, makanan yang
diberikan sering tidak dicerna dan diabsorpsi dengan baik.
6. Gangguan sirkulasi
Sebagai akibat diare dengan/disertai muntah, dapat terjadi gangguan sirkulasi
darah berupa renjatan (syok) hipovolemik. Akibatnya perfusi jaringan berkurang
dan terjadi hipoksia, asidosis bertambah berat, dapat mengakibatkan perdarahan
dalam otak, kesadaran menurun dan bila tidak segera ditolong penderita dapat
meninggal.

5 Manifetasi Klinis

Penularan diare akut karena infeksi melalui transmisi fekal oral langsung dari
penderita diare atau melalui makanan/minuman yang terkontaminasi bakteri patogen
yang berasal dari tinja/manusia atau hewan atau bahan muntahan penderita. Penularan
dapat juga berupa transmisi dari manusia ke manusia lain melalui udara atau melalui
aktifitas seksual kontak oral genital atau oral anal. (Setiawan B, 2006)
Diare akut karena infeksi bakteri yang mengandung/memproduksi toksin akan
menyebabkan diare sekretorik dengan gejala-gejala mual, muntah, dengan atau tanpa
demam yang umumnya ringan, disertai atau tanpa nyeri/kejang perut, dengan feses
lembek/cair. Diare sekretorik yang berlangsung beberapa waktu tanpa
penanggulangan medis yang adekuat dapat menyebabkan kematian karena
kekurangan cairan yang mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena asidosis
metabolik lanjut. Karena kehilangan cairan, seseorang akan merasa haus, berat badan
berkurang mata menjadi cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit
menurun serta suara menjadi serak. (Setiawan B, 2006)
Kehilangan bikarbonas dan asam karbonas yang berkurang mengakibatkan
penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat pernafasan sehingga
frekuensi nafas lebih cepat dan lebih dalam (pernafasan Kussmaul). Gangguan
kardiovaskular pada tahap hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan dengan
tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan darah menurun sampai tidak terukur.
Mulai gelisah, muka pucat, ujung-ujung ektremitas dingin dan kadang sianosis karena
kehilangan kalium. Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal
menurun dengan sangat.(24)
Untuk jelasnya gejala klinik diare dibagi atas: (Daldiyono, 1997)
1. Fase prodromal yang dapat juga disebut sebagai sindrom pradiare: perut terasa
penuh, mual bisa sampai muntah, keringat dingin, pusing.
2. Fase diare: diare dengan segala akibatnya berlanjut yaitu dehidrasi, asidosis,
syok, mules, dapat sampai kejang, dengan atau tanpa panas, pusing.
3. Fase penyembuhan: diare makin jarang, mules berkurang, penderita rasa
lemas/lesu.
Derajat dehidrasi dapat ditentukan berdasarkan: (Noerasid H, 2007)
1. Kehilangan berat badan
a. Dehidrasi ringan bila terjadi penurunan berat badan 2,5-5%.
b. Dehidrasi sedang bila terjadi penurunan berat badan 5-10%.
c. Dehidrasi berat bila terjadi penurunan berat badan >10%.
2. Skor Maurice King
Bagian tubuh yang Nilai untuk gejala yang ditemukan
0 1 2
diperiksa
Keadaan umum Sehat Gelisah, cengeng, Mengingau, koma
apatis, ngantuk atau syok
Kekenyalan kulit Normal Sedikit kurang Sangat kurang
Mata Normal Sedikit cekung Sangat cekung
Ubun-ubun besar Normal Sedikit cekung Sangat cekung
Mulut Normal Kering Kering dan sianosis
Denyut nadi/menit Kuat>120 Sedang (120-`140) >140
Berdasarkan skor yang ditemukan pada penderita, dapat ditentukan derajat
dehidrasinya. Skor 0-2 adalah dehidrasi ringan, skor 3-6 adalah dehidrasi sedang dan
skor>7 adalah dehidrasi berat.
3. Kriteria Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
a. Dehidrasi berat
Terdapat dua atau lebih dari tanda-tanda berikut: letargi atau tidak sadar,
mata cekung, tidak bisa minum atau malas minum, cubitan kulit perut
kembalinya sangat lambat.
b. Dehidrasi sedang
Terdapat dua atau lebih dari tanda-tanda berikut: gelisah, rewel/marah, mata
cekung, haus, minum dengan lahap, cubitan kulit perut kembalinya lambat.
c. Tanpa dehidrasi
Tidak cukup tanda-tanda untuk diklasifikasikan sebagai dehidrasi berat atau
ringan/sedang.
4. Menurut tonisitas darah
a. Dehidrasi isotonik, bila kadar Na+ dalam plasma anatara 131-150 mEq/L
b. Dehidrasi hipotonik, bila kadar Na+ 131 mEq/L
c. Dehidrasi hipertonik, bila kadar Na+ > 150 mEq/L

6 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium penting artinya dalam menegakkan diagnosis


kausal yang tepat sehingga kita dapat meberikan obat yang tepat pula. Dalam praktek
sehari-hari, pemeriksaan laboratorium lengkap hanya dikerjakan jika diare tidak
sembuh dalam 5-7 hari. (Noerasid H, 2007)

Pemeriksaan laboratorium yang perlu dikerjakan: (Noerasid H, 2007)


1. Pemeriksaan tinja:
a. Makroskopik dan mikroskopik.
b. Biakan kuman.
c. Tes resistensi terhadap berbagai antibiotika.
d. pH dan kadar gula, jika diduga intoleransi laktosa.
2. Pemeriksaan darah:
a. Darah lengkap.
b. Pemeriksaan elektrolit, pH dan cadangan alkali.
c. Kadar ureum
3. Intubasi duodenal: pada diare kronik untuk mencari kuman penyebab.

7 Diagnosis

Demi kepentingan pelayanan sehari-hari diagnosis kerja berdasarkan gejala


klinik seharusnya sudah memadai, dan sudah cukup untuk kepentingan terapi. Namun
demikian diagnosis pasti tetap perlu diupayakan, demi kepentingan penelitian,
pendidikan dan upaya pencegahan pada masyarakat. Langkah diagnosis sebagai
berikut: (Daldiyono, 1997)
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Laboratorium
4. Endoskopi

8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan secara garis besar sebagai berikut: (Daldiyono, 1997)


1. Penerangan pada penderita
2. Diet
3. Simtomatis
4. Antibiotik/anti parasit
5. Mengobati akibat diare (air, elektrolit, nutrisi)

9 Pencegahan

Tujuh intervensi pencegahan diare yang efektif: (Noerasid H, 2007)


1. Pemberian ASI
2. Memperbaiki makanan sapihan
3. Menggunakan air bersih yang cukup banyak
4. Mencuci tangan
5. Menggunakan jamban keluarga
6. Cara membuang tinja yang baik dan benar
7. Pemberian imunisasi campak

10 Faktor Risiko Diare

Secara umum faktor risiko diare pada dewasa yang sangat berpengaruh
terjadinya penyakit diare yaitu faktor lingkungan (tersedianya air bersih , jamban
keluarga, pembuangan sampah, pembuangan air limbah), perilaku hidup bersih dan
sehat, kekebalan tubuh, infeksi saluran pencernaan, alergi, malabsorpsi, keracunan,
immuno defisiensi serta sebab-sebab lain.
Sedangkan pada balita faktor risiko terjadinya diare selain faktor intrisik dan
ekstrinsik juga sangat dipengaruhi oleh prilaku ibu atau pengasuh balita karena balita
masih belum bisa menjaga dirinya sendiri dan sangat tergantung pada lingkungannya,
jadi apabila ibu balita atau pengasuh balita tidak bisa mengasuh balita dengan baik
dan sehat (tidak memberikan ASI secara penuh untuk bayi hingga berumur 6 bulan,
menggunakan botol susu yang memudahkan pencemaran kuman, menyiapkan
makanan pada suhu kamar sehingga makanan akan tercemar dan kuman akan
berkembangbiak, menggunakan air minum yang tercemar, tidak mencuci tangan
dengan air dan sabun setelah buang air besar. maka kejadian diare pada balita tidak
dapat dihindari. (Yunus, 2003)
Menurut Hendrik L Blum terdapat empat faktor yang berpengaruh langsung
pada kesehatan dan mempengaruhi satu sama lainnya. Status kesehatan akan tercapai
optimal bila mana keempat faktor tersebut secara bersama-sama memiliki kondisi
yang optimal pula. (Soekidjo,N., 2003)

2.2. Sanitasi Lingkungan

Penularan penyakit diare sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana


sebagian besar penularan melalui faecal oral yang sangat dipengaruhi oleh perilaku
hidup sehat dari keluarga, ketersediaan sarana air bersih, jamban keluarga yang
memenuhi syarat kesehatan, pembuangan sampah pada tempatnya dan pengelolaan
air limbah. (Wulandari, 2009)
Pencegahan diare dapat dilakukan dengan menerapkan prilaku hidup bersih
sehat, penyediaan fasilitas jamban keluarga yang disertai dengan penyediaan air yang
cukup, baik kuantitas maupun kualitasnya. Selain itu upaya tersebut harus diikuti
dengan peningkatan pengetahuan dan sosial ekonomi masyarakat, karena tingkat
pendidikan dan ekonomi seseorang dapat berpengaruh pada upaya perbaikan
lingkungan. (Sinthamurniwaty, 2006)

2.3. Jamban Keluarga

Jamban keluarga merupakan suatu bangunan yang digunakan untuk tempat


membuang dan mengumpulkan kotoran/najis manusia yang lazim disebut kakus atau
WC, sehingga kotoran tersebut disimpan dalam suatu tempat tertentu dan tidak
menjadi penyebab atau penyebar penyakit dan mengotori lingkungan pemukiman.
Kotoran manusia yang dibuang dalam praktek sehari-hari bercampur dengan air,
maka pengolahan kotoran manusia tersebut pada dasarnya sama dengan pengolahan
air limbah. Oleh sebab itu pengolahan kotoran manusia, demikian pula syarat-syarat
yang dibutuhkan pada dasarnya sama dengan syarat pembuangan air limbah (Depkes
RI, 2004) (Dirjen PPM & PL, 2003).
Sementara menurut Kusnoputranto (2000), terkait dengan pengolahan ekskreta
manusia dan aspek kesehatan masyarakat, terdapat dua sistem pengolahan yang
digunakan, yaitu: a). Sistem kering (night soil) seperti Pit Latrine, composting toilets,
cartage systems, composting; b). Sistem basah (sewage), seperti aquaprivy dan
septick tank (Kusnoputranto, 2000).

11 Syarat Jamban Sehat

Sedangkan syarat jamban sehat menurut (Depkes RI, 2004), antara lain :

1. Tidak mencemari sumber air minum. Letak lubang penampungan kotoran


paling sedikit berjarak 10 meter dari sumur air minum (sumur pompa tangan,
sumur gali, dan lain-lain). Tetapi kalau keadaan tanahnya berkapur atau tanah
liat yang retak-retak pada musim kemarau, demikian juga bila letak jamban di
sebelah atas dari sumber air minum pada tanah yang miring, maka jarak
tersebut hendaknya lebih dari 15 meter;

2. Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus.
Untuk itu tinja harus tertutup rapat misalnya dengan menggunakan leher
angsa atau penutup lubang yang rapat;

3. Air seni, air pembersih dan air penggelontor tidak mencemari tanah di
sekitarnya, untuk itu lantai jamban harus cukup luas paling sedikit berukuran
11 meter, dan dibuat cukup landai/miring ke arah lubang jongkok;

4. Mudah dibersihkan, aman digunakan, untuk itu harus dibuat dari bahan-
bahan yang kuat dan tahan lama dan agar tidak mahal hendaknya
dipergunakan bahan-bahan yang ada setempat;

5. Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna
terang;

6. Cukup penerangan;

7. Lantai kedap air;

8. Luas ruangan cukup, atau tidak terlalu rendah;

9. Ventilasi cukup baik;

10. Tersedia air dan alat pembersih.

12 Macam Bentuk Jamban

Berdasarkan bentuknya, terdapat beberapa macam jamban menurut beberapa


ahli. Menurut Azwar (1983), jamban mempunyai bentuk dan nama sebagai berikut :
1. Pit privy (Cubluk): Kakus ini dibuat dengan jalan membuat lubang ke dalam
tanah sedalam 2,5 sampai 8 meter dengan diameter 80-120 cm. Dindingnya
diperkuat dari batu bata ataupun tidak. Sesuai dengan daerah pedesaan maka
rumah kakus tersebut dapat dibuat dari bambu, dinding bambu dan atap daun
kelapa. Jarak dari sumber air minum sekurang-kurangnya 15 meter.

2. Jamban cemplung berventilasi (ventilasi improved pit latrine): Jamban ini


hampir sama dengan jamban cubluk, bedanya menggunakan ventilasi pipa.
Untuk daerah pedesaan pipa ventilasi ini dapat dibuat dari bambu.

3. Jamban empang (fish pond latrine): Jamban ini dibangun di atas empang
ikan. Di dalam sistem jamban empang ini terjadi daur ulang (recycling) yaitu
tinja dapat langsung dimakan ikan, ikan dimakan orang, dan selanjutnya orang
mengeluarkan tinja, demikian seterusnya.

4. Jamban pupuk (the compost privy): Pada prinsipnya jamban ini seperti kakus
cemplung, hanya lebih dangkal galiannya, di dalam jamban ini juga untuk
membuang kotoran binatang dan sampah, daun-daunan.

5. Septic tank: Jamban jenis septic tank ini merupakan jamban yang paling
memenuhi persyaratan, oleh sebab itu cara pembuangan tinja semacam ini
yang dianjurkan. Septic tank terdiri dari tangki sedimentasi yang kedap air,
dimana tinja dan air buangan masuk mengalami dekomposisi.

Jamban bentuk septic tank sebagai bentuk jamban yang paling memenuhi
syarat, dikarenakan didalamnya tinja mengalami beberapa proses sebagai berikut
(Azwar, 1983.):

1. Proses kimiawi: Akibat penghancuran tinja akan direduksi sebagian besar


(60- 70%), zat-zat padat akan mengendap di dalam tangki sebagai sludge Zat-
zat yang tidak dapat hancur bersama-sama dengan lemak dan busa akan
mengapung dan membentuk lapisan yang menutup permukaan air dalam
tangki tersebut. Lapisan ini disebut scum yang berfungsi mempertahankan
suasana anaerob dari cairan di bawahnya, yang memungkinkan bakteri-bakteri
anaerob dan fakultatif anaerob dapat tumbuh subur, yang akan berfungsi pada
proses selanjutnya.

2. Proses biologis: Dalam proses ini terjadi dekomposisi melalui aktivitas


bakteri anaerob dan fakultatif anaerob yang memakan zat-zat organik alam
sludge dan scum. Hasilnya selain terbentuknya gas dan zat cair lainnya,
adalah juga pengurangan volume sludge, sehingga memungkinkan septic tank
tidak cepat penuh. Kemudian cairan influent sudah tidak mengandung bagian-
bagian tinja dan mempunyai BOD yang relatif rendah. Cairan influent
akhirnya dialirkan melalui pipa.

13 Kriteria, Standard, dan Komponen Sanitasi Jamban

Sanitasi sesuai nomenklatur MDGs adalah pembuangan tinja. Termasuk


dalam pengertian ini meliputi jenis pemakaian atau penggunaan tempat buang air
besar, jenis kloset yang digunakan dan jenis tempat pembuangan akhir tinja.
Sedangkan kriteria akses terhadap sanitasi layak jika penggunaan fasilitas tempat
BAB milik sendiri atau bersama, jenis kloset yang digunakan jenis latrine dan
tempat pembuangan akhir tinjanya menggunakan tangki septik atau sarana
pembuangan air limbah (SPAL). Sedangkan kriteria yang digunakan JMP WHO-
UNICEF 2008, sanitasi terbagi dalam empat kriteria, yaitu improved, shared,
unimproved dan open defecation. (Depkes RI, 2004).
Jamban merupakan fasilitas atau sarana pembuangan tinja. Menurut
Kusnoputranto (1997), pengertian jamban keluarga adalah suatu bangunan yang
digunakan untuk membuang dan mengumpulkan kotoran sehingga kotoran tersebut
tersimpan dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab suatu penyakit
serta tidak mengotori permukaan. Sedangkan pengertian lain menyebutkan bahwa
pengertian jamban adalah pengumpulan kotoran manusia disuatu tempat sehingga
tidak menyebabkan bibit penyakit yang ada pada kotoran manusia dan mengganggu
estetika.
Fungsi jamban dari aspek kesehatan lingkungan antara lain dapat mencegah
berkembangnya berbagai penyakit yang disebabkan oleh kotoran manusia. Sementara
dampak serius membuang kotoran di sembarang tempat menyebabkan pencemaran
tanah, air dan udara karena menimbulkan bau. Pembuangan tinja yang tidak dikelola
dengan baik berdampak mengkawatirkan terutama pada kesehatan dan kualitas air
untuk rumah tangga maupun keperluan komersial.

Selain menyangkut perilaku buang air besar masyarakat yang belum


semuanya menggunakan jamban, kita juga dihadapkan pada masih banyaknya jumlah
jamban yang tidak memenuhi standar. Banyak di masyarakat jamban unimproved
atau jamban yang tidak sehat. Sebagai Sanitarian kita harus paham berbagai informasi
terkait jamban, baik kriteria maupun prosedur pemeliharaannya, diantaranya
persyaratan pembuangan tinja. Terdapat beberapa bagian sanitasi pembuangan tinja,
antara lain :

Rumah Kakus: Berfungsi sebagai tempat berlindung dari lingkunagn sekitar,


harus memenuhi syarat ditinjau dari segi kenyamanan maupun estetika.
Konstruksi disesuaikan dengan keadaan tingkat ekonomi rumah tangga.

Lantai Kakus: Berfungsi sebagai sarana penahan atau tempat pemakai yang
sifatnya harus baik, kuat dan mudah dibersihkan serta tidak menyerap air.
Konstruksinya juga disesuaikan dengan bentuk rumah kakus.

Tempat Duduk Kakus: Fungsi tempat duduk kakus merupakan tempat


penampungan tinja, harus kuat, mudah dibersihkan, berbentuk leher angsa
atau memakai tutup yang mudah diangkat.

Kecukupan Air Bersih: Jamban hendaklah disiram minimal 4-5 gayung,


bertujuan menghindari penyebaran bau tinja dan menjaga kondisi jamban
tetap bersih. Juga agar menghindari kotoran tidak dihinggapi serangga
sehingga dapat mencegah penularan penyakit.
Tersedia Alat Pembersih: Tujuan pemakaian alat pembersih, agar jamban tetap
bersih setelah jamban disiram air. Pembersihan dilakukan minimal 2-3 hari
sekali meliputi kebersihan lantai agar tidak berlumut dan licin. Sedangkan
peralatan pembersih merupakan bahan yang ada di rumah kakus didekat
jamban.
Tempat Penampungan Tinja: Adalah rangkaian dari sarana pembuangan
tinja yang berfungsi sebagai tempat mengumpulkan kotoran/tinja. Konstruksi
lubang harus kedap air dapat terbuat dari pasangan batu bata dan semen,
sehingga menghindari pencemaran lingkungan.
Saluran Peresapan: Merupakan sarana terakhir dari suatu sistem
pembuangan tinja yang lengkap, berfungsi mengalirkan dan meresapkan
cairan yang bercampur tinja.

14 Manfaat dan Fungsi Jamban Keluarga

Jamban berfungsi sebagai pengisolasi tinja dari lingkungan. Jamban yang baik
dan memenuhi syarat kesehatan akan menjamin beberapa hal, yaitu :
1. Melindungi kesehatan masyarkat dari penyakit
2. Melindungi dari gangguan estetika, bau dan penggunaan saran yang aman
3. Bukan tempat berkembangnya serangga sebagai vektor penyakit
4. Melindungi pencemaran pada penyediaan air bersih dan lingkungan
Sedangkan prosedur pemeliharaan jamban menurut Depkes RI (2004) adalah sebagai
berikut:
1. Lantai jamban hendaknya selalu bersih dan kering
2. Di sekeliling jamban tidak ada genangan air
3. Tidak ada sampah berserakanan
4. Rumah jamban dalam keadaan baik
5. Lantai selalu bersih dan tidak ada kotoran yang terlihat
6. Lalat, tikus dan kecoa tidak ada
7. Tersedia alat pembersih
8. Bila ada yang rusak segera diperbaiki
2.4. Sumber Air Minum Warga

Mengingat bahwa penyakit diare dapat ditularkan melalui air, maka penyediaan
air bersih baik secara kuantitas dan kualitas mutlak diperlukan dalam memenuhi
kebutuhan air sehari-hari termasuk untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan.
Untuk mencegah terjadinya penyakit tersebut, penyediaan air bersih yang cukup
disetiap rumah tangga harus tersedia. Disamping itu perilaku hidup bersih harus tetap
dilaksanakan.
Sebagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fecal-
oral mereka dapat ditularkan dengan memasukkan kedalam mulut, cairan atau benda
yang tercemar dengan tinja misalnya air minum, jari-jari tangan, makanan yang
disiapkan dalam panci yang dicuci dengan air tercemar (Kemenkes RI, 2011).
Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air yang benar-benar bersih
mempunyai resiko menderita diare lebih kecil dibandingkan dengan masyarakat yang
tidak mendapatkan air bersih (Kemenkes RI, 2011).
Masyarakat dapat mengurangi resiko terhadap serangan diare yaitu dengan
menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi mulai dari
sumbernya sampai penyimpanan di rumah (Kemenkes RI, 2011).
Yang harus diperhatikan oleh keluarga adalah:
a. Air harus diambil dari sumber terbersih yang tersedia.
b. Sumber air harus dilindungi dengan menjauhkannya dari hewan, membuat lokasi
kakus agar jaraknya lebih dari 10 meter dari sumber yang digunakan serta lebih
rendah, dan menggali parit aliran di atas sumber untuk menjauhkan air hujan.
c. Air harus dikumpulkan dan disimpan dalam wadah bersih. Dan gunakan gayung
bersih bergagang panjang untuk mengambil air.
d. Air untuk masak dan minum bagi anak harus dididihkan.
BAB III
KERANGKA KONSEP

3.1. Kerangka Konsep


Sumber air

PENDIDIKAN Jamban Keluarga

PENGETAHUA DIARE LINGKUNGA Pembuangan air


N N limbah
PEKERJAAN Pembuangan sampah

Kebersihan rumah

Keterangan

Variabel yang diteliti

Variable yang tidak


diteliti
3.2. Hipotesis

1. H0 : tidak terdapat hubungan antara kelayakan jamban dengan terjadinya


diare.

H1 : terdapat hubungan antara kelayakan jamban dengan terjadinya diare

2. H0 : tidak terdapat hubungan antara sumber air dengan terjadinya diare

H1 : terdapat hubungan antara sumber air dengan terjadinya diare


BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yang bersifat


cross-setional.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

15 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di rumah penduduk kecamatan Rawa Makmur


Palaran.

16 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan selama 11 hari, dimulai tanggal 21 Agustus hingga 31


Agustus tahun 2015.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian

17 Populasi Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah bangunan tempat tinggal yang berada di
wilayah kerja puskesmas Palaran.

18 Sampel Penelitian

Pengambilan sampel dalam penelitian ini melalui purposive sampling yaitu


bangunan tempat tinggal di kecamatan Rawa Makmur, Palaran. Besar sampel
minimal yang didapatkan dari perhitungan di situs openepi.com adalah sebesar 54
bangunan tempat tinggal.

4.4. Kriteria Subyek Penelitian

19 Kriteria Inklusi
1. Bangunan tempat tinggal yang berada di kecamatan Rawa Makmur,
Palaran.
2. Bersedia untuk menjadi responden

20 Kriteria Eksklusi

1. Bangunan tempat tinggal warga yang penghuninya sedang tidak berada


dirumah saat peneliti datang.

4.5. Definisi Operasional

Tabel 4.1. Definisi Operasional

Definisi
No Variabel Hasil Ukur Skala Ukur
Operasional
1 Diare Pernyataan - ada kategorikal
responden tentang - tidak ada
riwayat pernah
didiagnosis oleh
dokter menderita
penyakit diare
selama tahun 2015
2 Kelayakan penilaian peneliti - Memenuhi syarat Kategorikal
Jamban - tidak memenuhi syarat
3 sumber air Pernyataan - Air minum komersial Kategorikal
minum responden tentang - Galon isi ulang
sumber air yang - PDAM
digunakan untuk - Sumur
minum maupun - Sungai
memasak - lain-lain

4.6. Cara Pengumpulan Data

a. Data Primer
Data diperoleh melalui wawancara terpimpin dan pengisian check-list di
rumah responden.
b. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah check-list

4.7. Analisa Data


21 Analisis Univariat

Dilakukan dengan mendiskripsikan masing-masing karakteristik rumah


responden, yaitu berdasarkan masing-masing variabel penelitian yaitu kelayakan
jamban keluarga dan sumber air (variabel bebas) dan riwayat diare (variabel terikat)
dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase.

22 Analisis Bivariat

Mencari hubungan antara kelayakan jamban keluarga dan sumber air, dengan dan
riwayat diare menggunakan uji Chi-Square atau uji Fisher, dan menghitung rasio
odds. Jika nilai p 0,05 maka berarti terdapat hubungan.
DAFTAR PUSTAKA

AH, M. (1999). Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. Jakarta: Balai Penrbit FKUI.

Avita, A; et al. (2010). Food and Personal Hygiene Perceptions and


Practices among Caregivers Whose Children Have Diarrhea:
AQualitative Study of UrbanMothers in Tangerang, Indonesia. 42.

Azwar, A. (1983.). Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Mutiara.

B, C. (2006). Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: EGC.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2007). RISKESDAS.


Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Daldiyono. (1997). Diare. In A. N. Sulaiman A, Gastrohepatologi (Vols. Hal.


21-32). Jakarta: Sagung Seto.

Departemen Kesehatan RI. (2010). Buku Pedoman Pengendalian Penyakit


Diare.

Depkes RI. (2004). Syarat-syarat Jamban Sehat. Retrieved Agustus 18,


2015, from
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19460/4/Chapter
%20II.pdf

Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur. (2007). Profil Kesehatan


Provinsi Kalimantan Timur. Retrieved Agustus 2015, from Dinas
Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur:
(http://125.160.76.194/data/profil/narasi%20profil%202007.pdf.

Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur. (2013). Profil Kaltim. Profil


Kaltim 2013.

Dirjen PPM & PL. (2003). Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat.
Direktorat Jendreral PPM & PL.
Febriani, E. (2013). Hubungan Lingkungan Sekitar Rumah dengan Kejadian
Diare pada Anak di Wilayah Kerja Puskesmas Sukamerindu Kota
Bengkulu. Stikes Dehasen Bengkulu.

Gunawan, A., Habibie, Wiraputra, O., Rahman, & Muriza, U. (2013).


Surveilans Penyakit Diare Di Wilayah Samarinda. Samarinda:
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman.

Kemenkes RI. (2011). Pengendalian Diare di Indonesia. Buletin Jendela


Data & Informasi Kesehatan, 2, 24-25.

Kemenkes RI. (2011). Situasi Diare di indonesia. Buletin Jendela Data &
Informasi Kesehatan, 2, 1-5.

Kusnoputranto, H. (2000). Kesehatan Lingkungan. Jakarta: FKM-UI.

Muhajirin. (2007). Hubungan antara Praktek Personal Hygiene Ibu Balita


dan Sarana Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Diare pada Anak
Balita di Kecamatan Maos Kabupaten Cilacap. Semarang.

Noerasid H, S. S. (2007). Diare Akut. In S. S, Kapita Selekta


Gastroenterologi (Vols. Hal. 1-15). Jakarta: Sagung Seto.

Nuri, Rafiqah; et al. (2009). Pengaruh Persepsi Ibu Tentang Program


Pemberantasan Diare Terhadap Tindakan Pemberantasan Penyakit
Diare Pada Balita Di Kelurahan Pasar Belakang Kota Sibolga .
Sumatra Utara: Universitas Sumatera Utara.

S, S. (2004). Perilaku Kesehatan. In Sosiologi Kesehatan Beberapa Konsep


Beserta Aplikasinya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Setiawan B, d. (2006). Diare Akut karena Infeksi. In S. AW, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi Keempat Jilid II. (Vols. Hal. 1794-1797).
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Seto, S. (2007). Gastroenterologi Anak. Denpasar: Sagung.


Sinthamurniwaty. (2006). Faktor-faktor Risiko Kejadian Diare Akut Pada
Balita (Studi Kasus di Kabupaten Semarang). Semarang: Program
Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang.

Soekidjo,N. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar. Hal.


37, 118-170.

Soetjiningsih. (1995). Tumbuh Kembang Anak. In R. G, Tumbuh Kembang


Anak. Jakarta: EGC.

World Health Organization. (2013, April). Diarrhoeal Disease. Retrieved 18


Agustus, 2015, from WHO Fact Sheet:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs330/en/

Wulandari, A. P. (2009). Hubungan Antara Faktor Lingkungan dan Faktor


Sosiodemografi dengan kejadian diare pada balita di Desa Blimbing
Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen Tahun 2009. Surakarta:
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Yunus, M. (2003). Perilaku Ibu dengan Kejadian Diare Balita di Wilayah


Puskesmas Kedung Waringin Kec. Kedung Waringin Kab. Bekasi
tahun 2003. In Hubungan Sanitasi Dasar. Jakarta: Program Studi
Epidemiologi Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan
Masyarakat.
LAMPIRAN I
CHECKLIST PENELITIAN
Selamat pagi/siang/sore, Bapak/ Ibu/Saudara/Saudari.
Perkenalkan, kami adalah Dokter Muda (Andreas Tedi SKK, Hardin
Baharuddin, Radhiyana Putri, Marini Tandarto, Famela Asditaliana), Universitas
Mulawarman Samarinda. Kami sedang mengadakan penelitian mengenai
HUBUNGAN KELAYAKAN JAMBAN DAN SUMBER AIR MINUM WARGA
DENGAN KEJADIAN DIARE AKUT PADA KELURAHAN RAWA MAKMUR
KECAMATAN PALARAN SAMARINDA TAHUN 2015
Sehubungan dengan hal tersebut, kami meminta kesedian
Bapak/Ibu/Saudara/Saudari untuk mengisi kuesioner ini dengan baik. Atas kesediaan
Bapak/ Ibu/ Saudara/Saudari untuk mengisi kuesioner ini kami ucapkan terima kasih.

Isi jawaban (untuk pertanyaan no. 1,2,3) atau berilah tanda silang (x) (untuk
pertanyaan 4, 5, 6 dan 7)
1. Nama Responden :
2. Alamat:
3. Usia :
4. Apakah ada anggota keluarga yang pernah didiagnosis oleh dokter menderita
diare selama Tahun 2015 ini? Siapa? Usia? Kapan?
a. Ada, ., ..
b. Tidak ada
5. Dari manakah sumber air yang dikonsumsi didapatkan? (centang yang perlu)

o Air minum komersial


o Galon isi ulang
o PDAM
o Sumur
o Sungai
o lain-lain
6. Jenis jamban keluarga:
O Pit privy (Cubluk)
O Jamban cemplung berventilasi
O Jamban empang
O Jamban pupuk
O Septic tank
7. Penilaian Jamban sesuai syarat-syarat jamban keluarga sehat menurut Depkes
RI, 2004:
Indikator Ya Tidak
Tidak mencemari sumber air minum
letak lubang penampung berjarak 10-15 meter dari sumber air bersih
Tidak berbau
Tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus
Cukup luas (ukuran > 1 x 1 m)
Landai/miring
Mudah dibersihkan
aman digunakan
Dilengkapi dinding dan atap pelindung dinding kedap air dan berwarna
Cukup penerangan
Lantai kedap air
Ventilasi cukup baik
Tersedia air dan alat pembersih

Anda mungkin juga menyukai