Dalam forum perdana ini, kita akan membahas mengenai dinamika pendidikan pancasila di
Indonesia melalui artikel berikut:
Pendidikan Pancasila
Jumat, 26 April 2013 | 02:24 WIB
Rancangan Kurikulum 2013 mengembalikan Pancasila seperti Kurikulum 1994, yaitu sebagai
mata pelajaran PendidikanPancasila dan Kewarganegaraan.
Keberadaan Pancasila dalam kurikulum senantiasa timbul tenggelam, bergantung pada situasi
kebangsaan. Pada Kurikulum 1968, di awal Orde Baru, Pancasila menjadi kategori pertama
bidang pembelajaran Pembinaan Jiwa Pancasila yang terdiri atas pendidikan agama,
pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan pendidikan olahraga.
Ketika Reformasi tiba, Pancasila yang lama menjadi alat legitimasi turut mengalami deapresiasi
sehingga UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tak
mewajibkan Pancasila ada dalam kurikulum pendidikan. Karena itu, dalam Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK, 2004) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006), Pancasila raib
dan PPKn menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
Kevakuman
Proses ideologisasi Pancasila semasa Orde Baru dengan tafsir dan asas tunggalnya telah
memaksa mayoritas masyarakat Indonesia berideologikan Pancasila secara semu. Praktik
represif dan doktrinal yang ditempuh justru menimbulkan sinisme terhadapPancasila sebagai
personifikasi penguasa. Maka, saat Orba jatuh,Pancasila seperti ikut melindap.
Sekarang, Pancasila mengalami kekosongan makna karena pemaknaan oleh Orde Baru berupa
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) beserta 36 butir nilai-nilai seolah
gosong. Kita perlu rekonstruksi tafsir yang mampu menerangkan bagaimana berbagai gagasan
dalam Pancasila saling berhubungan dan mampu mengantarkan bangsa ini pada kehidupan
lebih baik, seperti janji kemerdekaan.
Pada hari-hari ini, kita juga tak menyaksikan adanya upaya internalisasi nilai-nilai Pancasila dan
kebangsaan secara mendasar dan sistemis. Memang ada upaya sosialisasi Empat Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, tetapiselain Pancasilasebagai pilar dipersoalkan
hanya sayup-sayup sampai kepada publik. Barangkali kita tinggal mengandalkan kecakapan
para guru mengajarkan Pancasila di sekolah. Itu pun, sekarang ini, Pancasiladiajarkan sebatas
dasar administrasi negara.
Menguatnya semangat aliran belakangan ini di ranah politik dan sosial merupakan indikator kian
lemahnya apresiasi masyarakat terhadap Pancasila sebagai landasan hidup bersama.
Kenyataan ini tak boleh dibiarkan, dan seyogianya pemerintah serius merevitalisasi Pancasila.
Mengilmiahkan Pancasila
Butir penting untuk reaktualisasi yakni merumuskan konstelasi pembelajaran dan transformasi
nilai-nilai Pancasila dalam proses pendidikan.
Sebagai substansi pembelajaran, Pancasila selama ini dikenalkan lebih sebagai mitos ketimbang
sesuatu yang ilmiah. KeberadaanPancasila seperti tak melekat dalam kesadaran dan hanya
muncul sebagai perilaku artifisial. Agar mengejawantah sebagai perilaku otentik, Pancasila harus
diakarkan di dalam pikiran dan ditumbuhkan sebagai sikap di dalam jiwa.
Karena itu, Pancasila perlu diilmiahkan dengan mengobyektivikasi makna-makna normatif dan
simbolisnya secara logis-empiris. Pembahasan Pancasila harus mampu mengantarkan kita
kepada situasi logika dan fakta yang tak terelakkan sehingga pilihannya harus diterima.
Pembahasan Pancasila tidak cukup dan berhenti sebatas konsep-konsep universal, tetapi harus
berlanjut ke tataran operasional dan kontekstual berdasarkan situasi, kebutuhan, dan
pengalaman kebangsaan kita sendiri. Ibarat pohon, Pancasila tunduk pada hukum pertumbuhan
universal, tetapi sejatinya ia tetumbuhan tropis.
Reinterpretasi untuk reaktualisasi Pancasila telah dimulai Yudi Latif dengan karyanya Negara
Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2010). Yudi
mengobyektivikasi Pancasiladengan fakta historis dan pendekatan teoritis-komparatif, disusul
gagasan rasional bagaimana sila demi sila seharusnya diaktualkan.
Pendidikan, tafsir, dan pemikiran tentang Pancasila perlu dikemas sedemikian rupa agar menjadi
nilai-nilai kepribadian (kompetensi) lulusan.
Problem metodologi
Selain persoalan substansi, pembelajaran Pancasila di sekolah sering kali terkendala faktor
metodologi. Pada satu sisi disampaikan terlampau akademisdiajarkan hanya sebagai fakta
pengetahuandan pada sisi lain terlewat ideologis (memaksakan nilai-nilai sebagai doktrin).
Pembelajaran harus menjadi upaya penyadaran pentingnya nilai-nilai Pancasila bagi kehidupan
bersama sebagai bangsa. Metode ini seharusnya dapat diturunkan dari UU No 20 Tahun 2003
Pasal 1 Ayat (1) yang menekankan pentingnya penciptaan suasana dan proses pembelajaran,
keaktifan, dan berpusat pada murid. Sayangnya, rancangan Kurikulum 2013 tak mengelaborasi
metode pembelajaran secara utuh dan menyeluruh. Elemen perubahan terkait proses
pembelajaran hanya menambahkan kata teknis: mengamati, menanya, dan mengolah.
Sementara pendekatan tematik-integratif dikhususkan untuk SD karena sebelumnya pelajaran
IPA akan diintegrasikan di semua kelas SD.
Pendidikan Pancasila mendatang potensial mengalami disorientasi karena ada reduksi dan
kesenjangan logika pada kompetensi kurikulum. Kompetensi inti sebagai sublimasi perolehan
dari seluruh mata pelajaran mengerutkan fungsi pendidikan hanya dalam empat kategori yang
rancu, yakni sikap keagamaan, sikap sosial, pegetahuan, dan penerapan pengetahuan.
Sebagai tujuan akhir pembelajaran, kompetensi inti, selain tampak begitu miskin, juga
menimbulkan masalah tautan logis dengan kompetensi dasar dan sesi-sesi pembelajaran,
terlebih untuk Pendidikan Pancasila. Menyaksikan situasi kebangsaan yang kian
mengkhawatirkan akhir-akhir ini, perumusan Pendidikan Pancasilaharus berspektrum luas dan
menjadi bagian dari strategi nation building.
Mohammad Abduhzen Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina,
Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI
Sumber: http://bola.kompas.com/read/2013/04/26/02240329/pendidikan.pancasila
Saya setuju dengan penjelasan ini "pembelajaran Pancasila di sekolah sering kali terkendala
faktor metodologi. Pada satu sisi disampaikan terlampau akademisdiajarkan hanya sebagai
fakta pengetahuandan pada sisi lain terlewat ideologis (memaksakan nilai-nilai sebagai
doktrin)".
Karena pada dasarnya selama ini ilmu yang diterima dibangku sekolah hanya terfokus pada
materi semata dan kurang adanya pemahaman yang lebih mengenai inti dasar dari pancasila itu
sendiri. Sehingga nilai-nilai pancasila yang sebenarnya justru terabaikan.
saya setuju pada poin Problem metodologi, menurut saya saat ini Pancasila yang disampaikan
tidak sepenuhnya tertanam pada jiwa anak bangsa karena mereka hanya menganggap hal
tersebut hanyalah sebagai teori saja dan salah satu hal yang perlu diselesaikan untuk
pendidikannya. sehingga makna yang sebenarnya dari pancasila pun terabaikan.
Saya setuju dengan Pendidikan, tafsir, dan pemikiran tentang Pancasila perlu dikemas
sedemikian rupa agar menjadi nilai-nilai kepribadian (kompetensi) lulusan. Menurut pendapat
saya memang sudah saatnya bagi bangsa indonesia untuk kembali menerapkan dan
mengaplikasikan serta membangkitkan semangat pancasila di mulai dari pendidikan dari dini,
Karena dengan pemahaman pancasila yang baik juga akan membantu pembentukan
kepribadian anak yang baik pula. Kurikulum memang perlu adanya suatu perubahan, namun
perubahan ke arah yang lebih baik tentunya, dengan tidak lupa mengikuti perkembangan zaman
sehingga pendidikan Pancasila atau apapun itu namanya akan selalu fleksibel untuk semua
zaman. Pancasila pun seharusya mampu dianalogikan menjadi sesuatu yang mudah di cerna
oleh anak didik dan mampu membuat mereka tertarik dengan pancasila. Dengan kata lain perlu
adanya suatu metode pembelajaran secara utuh dan menyeluruh, tidak bersifat parsial, serta
mengaplikasikan pancasila dengan tema-tema yang terintegrasi dengan pelajaran lain yang
sedang dipelajari.
Terimakasih