Oleh:
Setya Budi Permadi, S.ked.
15710260
Pembimbing:
dr. Fitri Sriyani Sp.P
SMF ILMU PENYAKIT PARU
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA
SURABAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN SIDOARJO
2017
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat dan karunianya lah penulis mampu menyelesaikan tugas laporan
kasus yang berjudul Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) dengan tepat pada
waktunya. tugas ini diajukan untuk memenuhi tugas dalam rangka menjalani
kepanitraan klinik di SMF Ilmu Penyakit dalam di RSUD Sidoarjo.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada:
1. Ayah, ibu, kakak, dan adik-adik yang selalu memberikan doa serta dukungan
kepada penulis.
2. dr. Fitri Sriyani, Sp.P, selaku dr pembimbing SMF Paru RSUD Sidoarjo.
3. Kepada tenaga paramedis yang membantu penulis selama menjalankan
kepanitraan klinik di poli Ilmu Penyakit paru RSUD Sidoarjo, dan semua pihak
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu terwujudnya
laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, maka
dari itu penulis mengharapkan kritik serta saran yang membangun guna kemajuan
karya penulis yang akan datang. Semoga tugas ini bermanfaat untuk dokter muda
yang melaksanakan kepanitraan klinik di Ilmu Penyakit paru RSUD Sidoarjo, serta
pembaca umum. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
2
BAB I
LAPORAN KASUS
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : petani
Pendidikan : SD
Status : Menikah
1.2 ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Sesak nafas
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 3 hari yang lalu ,
ngongsrong, tidak di pengaruhi suhu, dan perubahan posisi. Bila di buat nafas terasa
3
bunyi mengi, sesak semakin berkurang bila di buat istirahat. biasanya pasien tidur
dengan dua bantal. Pasien juga mengeluh batuk yang tidak berdahak, tidak ada bercak
darah. Disertai dengan Demam sejak 1 minggu yang lalu, keringat malam hari, nafsu
makan menurun disertai dengan berat badan menurun, BAB dan BAK biasa.
Empat bulan SMRS pasien mengeluh sesak nafas, sesak dipengaruhi aktivitas bila
di buat nyangkul di sawah, tidak dipengaruhi cuaca, sering terbangun di malam hari
karena sesak yang di rasakan pasien, pasien tidur dengan dua bantal, terasa bunyi
mengi, disertai dengan batuk yang tidak berdahak, tidak ada bercak darah, di sertai
dengan demam tetapi tidak terlalu tinggi , tidak mengeluhkan nyeri dada , dada
berdebar dan kaki bengkak, semejak itu nafsu makan turun pasien, dan sering
mengeluh keringat malam. BAB dan BAK biasa. Satu bulan ini pasien di beri obat
dari dokter dan di uap bila sesak.
Riwayat MRS pada bulan agustus 2016 dengan keluhan sesak, saat itu pasien
di diagnose dengan paru paru molor dan di rawat selama 4 hari.
Riwayat DM : disangkal
Riwayat DM : disangkal
4
Riwayat OAT : disangkal
Penderita adalah suami dari 1 istri dan ayah dari 3 anak, bekerja sebagai
petani dan buruh bangunan. Pasien menjadi tulang punggung keluarga.
Pasien berobat dengan menggunakan Jamkesmas
Pendidikan terakhir SMP.
Pasien perokok berat lebih dari 20 tahun pada waktu muda dan berhenti
merokok selama 6 tahun terakhir.
Rumah pasien berada di dekat persawahan dan tambak.
Obat hipertensi
F. Riwayat Alergi
A. Status Generalis
5
3. Vital Sign :
TD : 140/70
Nadi : 92x/menit
Respirasi : 25x/menit
Suhu : 37 C
BB : 49 kg
TB : 167 cm
4. Kepala : konjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-), reflek cahaya +/+,
isokor
Hidung : tidak ada pendarahan
Mulut : bibir tidak kering, faring tidak hiperemis, tonsil tidak
membesar
5. Leher : tidak ada benjolan, tidak ada tanda-tanda trauma, tidak ada
pembesaran kelenjar limfonodi, tidak ada tanda peradangan.
6. Thorak
Jantung : suara jantung normal, irama jantung regular, nyeri dada (-)
Paru :
Inspeksi : jejas (-) memar (-) simetris (-), bekas oprasi (-), gerak
nafas tertinggal(-) hipertropi otot bantu nafas.
7. Abdomen
6
Inspeksi : perut datar
Auskultasi : bising usus normal
Palpasi : hepar tidak teraba dan splenomegali, nyeri tekan
epigastrium
Perkusi : timpanik
Genitalia : dalam batas normal
Ekstremitas : superior:
Akral hangat kering merah +/+
Edema -/-
Jejas -/-
Clubbing finger -/-
Eritema palmaris -/-
Inferior:
Akral hangat kering merah +/+
Edema -/-
Jejas -/-
Clubbing finger (-)
7
ALB 3,6* 4.0-4,9 g/Dl
Natrium 135* 136-145 mmol/ I
Kalium 3,7 3,5-5,1 mmol/ I
Foto thorax
Anamnesis:
Sesak nafas
Batuk sejak 1 minggu yang lalu
Nafsu makan menurun
Berat badan turun
Demam sumer sumer
Pemeriksaan fisik:
Paru:
Auskultasi : ronkhi basah kasar pada kedua apeks paru, wheezing (+)
ekspirasi memanjang (+)
Pemeriksaan penunjang:
8
Foto Thorax : Tampak gambaran emfisematus lung pada kedua paru.
1. Sesak nafas
2. PPOK
BAB II
PEMBAHASAN
Penyakit paru obstuktif kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronis yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif
nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK ditandai dengan adanya emfisema dan
bronkitis kronis. menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD, 2013). PPOK adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai
dengan limitasi aliran udara yang persisten dan progresif, akibat respons inflamasi
kronis pada jalan napas dan parenkim paru yang disebabkan gas atau partikel
9
beracun. Bronkitis kronis merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh
pembentukan mukus yang meningkat dan bermanifestasi sebagai batuk kronis.
Emfisema merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai oleh
pembesaran alveoulus dan duktus alveolaris serta destruksi dinding alveolar. 1
10
Orang yang merokok mengalami penurunan FEV 1: secara fisiologis,
penurunan FEV1 diperkirakan sekitar 20-30 ml/tahun, tetapi pada pasien PPOK
biasanya menurun 60 ml/tahun atau lebih besar. Sebuah studi menyimpulkan
bahwa gangguan fungsi paru dan perubahan struktural paru sudah muncul pada
perokok sebelum tanda klinis obstruksi muncul.
2. Faktor Lingkungan
PPOK juga dapat terjadi pada individu yang tidak pernah merokok.
Walaupun peran polusi udara sebagai etiologi PPOK tidak jelas, efeknya lebih
kecil bila dibandingkan dengan merokok. Pada negara berkembang, penggunaan
bahan bakar biomass (memasak dan memanaskan dalam ruangan kemungkinan)
juga menjadi penyumbang terbesar dalam prevalensi PPOK.
3. Hiperesponsif jalan napas
Pasien PPOK juga memiliki kecenderungan adanya hiperesponsif jalan
napas, seperti pada asma. Tetapi PPOK dan asma benar-benar berbeda. Asma
dilihat sebagai fenomena alergi, sedangkan PPOK merupakan hasil dari kerusakan
dan radang karena rokok. Studi longitudinal yang membandingkan kepekaan
saluran napas pada awal studi yang kemudian mengalami penurunan fungsi paru
telah menunjukkan bahwa peningkatan kepekaan saluran napas secara jelas
merupakan prediktor penurunan fungsi paru di waktu mendatang. Tetapi studi ini
masih belum jelas.
4. Defisiensi Alfa-1 antitripsin (AAT)
Alfa-1-antitripsin merupakan salah satu fraksi protein serum yang dapat
dipisahkan melalui elektroforesis dan dapat menetralisir elastase netrofil di
interstisium paru sehingga melindungi paru dari penghancuran elastolisis. Pada
keadaan defisiensi, maka mekanisme perlindungan terhadap elastolisis ini
berkurang, sehingga bisa menyebabkan emfisema. Penelitian Erikson tahun 1963
menyatakan bahwa defisiensi AAT diwariskan secara autosomal-kodominan dan
keadaan ini menyebabkan emfisema. Defisensi AAT disebabkan karena mutasi
pada gen AAT.
11
5. Sindroma Imunodefisiensi
Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan faktor resiko
untuk PPOK, bahkan setelah mengontrol variabel pengganggu seperti merokok,
obat IV, ras dan usia. Pada pasien defisiensi autoimun dan infeksi Pneumocystis
carinii terjadi kerusakan paru yang kortikal dan apikal.
6. Gangguan Jaringan Ikat
Cutis laxa adalah gangguan elastin yang digambarkan terutama dengan penuaan
prematur. Penyakit ini biasanya kongenital dengan bermacam bentuk penurunan (mis.
dominan, resesif). Emfisema prekoks dihubungkan dengan cutis laxa sejak dari
periode neonatus atau bayi. Patogenesis penyakit ini karena defek sintesis elastin atau
tropoelastin. Sindrom Marfan yaitu penyakit autosomal dominan kolagen tipe I,
ditemukan sekitar 10% pasiennya mengalami abnormalitas paru, termasuk emfisema.
Faktor faktor yang dapat meningkatkan resiko munculnya PPOK pada pasien ini
adalah :
1. Kebiasaan merokok
2. Polusi udara
3. Paparan debu, asap, dan gas gas kimiawi akibat kerja.
4. Riwayat infeksi saluran nafas.
5. Umur
12
c. FEV1 /FVC adalah rasio FEV1 terhadap FVC yang dinyatakan dalam
fraksi.
Kriteria spirometri yang diperlukan dalam kriteria GOLD untuk diagnosis derajat
keparahan PPOK adalah FEV1 /FVC setelah pemberian bronkodilator 1.
Derajat Karakteristik
13
Hipotesis proteinase-antiproteinase didasarkan pada asumsi bahwa kerusakan
jaringan dan emfisema terjadi karena ketidakseimbangan proteinase dan
inhibitornya. Telah dinyatakan bahwa ada peningkatan kuantitas enzim
pendegradasi elastik dibandingkan inhibitornya pada emfisema. Konsep ini
diusulkan untuk emfisema yang digambarkan dengan defisienasi AAT. Pasien
dengan defisiensi AAT mengalami mutasi pada gen AAT. Mutasi Z adalah mutasi
paling umum dan mutasi ini menggangu sekresi protein dari hepatosit. Hasilnya
ditandai dengan penuruan level penghambat serin protease di sirkulasi. Dilaporkan
bahwa PiZ-1 AT cenderung mengalami polimerisasi yang dapat menghambat
sekresi hepatik, menggangu inhibisi elastase netrofil dan menyebabkan inflamasi.
Matrix metalloproteinases (MMP) memiliki kemampuan untuk membelah protein
struktural seperti kolagen dan elastin, sehingga berperan dalam patogenesis PPOK.
Peningkatan banyak Matrix Metalloprotein dilaporkan pada emfisema karena
rokok dan 3 MMP (MMP-2, -9, dan 12) mendegradasi elastin Protease lain yang
berperan penting dalam patogenesis PPOK adalah cathapsins S, L (dalam
makrofag), dan G, serta proteinase-3 (dalamnetrofil)
2. Mekanisme Imunologis
PPOK berhubungan dengan respon inflamasi paru yang abnormal terhadap
partikel atau gas berbahaya, terutama rokok. .Pasien dengan PPOK dilaporkan
mengalami peningkatan netrofil di sputum, jaringan paru dan bronchoalveolar
lavage (BAL) dan neutrofil berperan penting dalam patogensis PPOK. Level
serum immunoglobulin free light chains (IgLC) meningkat pada PPOK karena
rokok. IgLC mengikat netrofil dan cross-linking IgLC pada netrofil menghasilkan
peningkatan produksi IL8yang merupakan atraktan selektif untuk netrofil. Sel B
juga meningkat pada pasien PPOK dan sel ini memproduksi IgCL, selain
memproduksi IgG dan IgA. Level serum IgE juga meningkat dan berhubungan
dengan merokok.
3. Keseimbangan Oksidan-antioksidan
14
Stress oksidatif dapat menggangu vasodilatasi dan pertumbuhan sel endotel.
Ketika oksidan melebihi antioksidan paru; modifikasi protein, lemak, karbohidrat,
dan DNA terjadi dan menghasilkan kerusakan jaringan. Oksidan tersebut dapat
memodifikasi elastin, sehingga lebih rentan terhadap pembelahan proteolitik.
Merokok dapat menginaktivasi histone deacetylase (HDAC2) dan menyebabkan
transkripsi kemokin/sitokin netrofil (TNF- dan IL-8) dan MMP sehingga terjadi
degradasi matriks yang mendukung terbentuknya emfisema.
4. Inflamasi Sistemik
PPOK juga memiliki manifestasi ekstrapulmomal. Dinyatakan bahwa
inflamasi pulmonal persisten dapat menyebabkan pelepasan kemokin dan sitokin
proinflamasi ke sirkulasi. Mediator ini dapat menstimulasi liver, jaringan adiposa
dan sumsum tulang untuk melepaskan sejumlah leukosit, CRP, interleukin (IL)-6,
IL-8, fibrinogen dan TNF- ke sirkulasi dan menyebabkan inflamasi sistemik.
Inflamasi sistemik dapat memulai atau memperburuk penyakit komorbid, seperti
penyakit jantung iskemik, osteoporosis, anemia normositik, kanker paru, depresi,
dan lain-lain.
5. Apoptosis
Studi terbaru menyatakan bahwa apoptosis terlibat dalam perkembangan
PPOK dan telah ditunjukkan adanya peningkatan apoptosis epitel alveolar dan sel
endotel di paru pasien PPOK. Karena tidak diimbangi dengan peningkatan
proliferasi protein struktural, maka hal ini akan berakhir dengan kerusakan
jaringan paru dan emfisema.
6. Perbaikan yang Tidak Efektif
Ada perbaikan yang tidak efektif pada emfisema dan keterbatasan
kemampuan paru dewasa untuk memperbaiki alveolus yang rusak.
Pada pasien ini, berdasarkan anamnesis yang sudah dilakukan didapatkan gejala
pasien yang mengarah pada keluhan yang sering didapatkan pada PPOK yaitu
15
mempunyai riwayat merokok selama lebih dari 20 tahun, pasien dahulu adalah
perokok aktif kemudian berhenti merokok selama 6 tahun terakir semenjak pasien
sering mengeluhkan sesak bila di buat aktivitas sehari hari. Selain itu juga ditemukan
nafas mengi pada keseharian pasien, disertai dengan batuk berulang tanpa adanya
dahak dan bercak darah yang berlangsung bersamaan dengan keluhan sesak pasien
sebelum masuk rumah sakit.
Pada Pemeriksaan fisik pasien PPOK ditemukan dengan Pursed - lips
breathing (mulut setengah terkatup mencucu), Barrel chest (diameter antero -
posterior dan transversal sebanding), Penggunaan otot bantu napas, hipertropi otot
bantu napas, Perlebaran sela iga. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat
denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai. Pada emfisema fremitus melemah,
sela iga melebar, Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah suara napas vesikuler normal atau
melemah, terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang, bunyi jantung terdengar jauh. Pada pasien ini
didapatkan pemeriksaan fisik yang mengarah pada PPOK yaitu terdapat Hipertropi
otot bantu nafas, Sela ICS melebar, Hipersonor pada kedua lapangan paru,
Ronkhi basah sedang pada kedua apeks paru, wheezing, ekspirasi memanjang.
16
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah:
1. Gagal napas
a. Gagal napas kronik :
Hasil analisis gas darah P02 < 60 mmHg dan PC02 > 60 mmHg, dan pH normal,
penatalaksanaan:
a. Jaga keseimbangan P02 dan PC02
b. Bronkodilator adekuat
c. Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
d. Antioksidan
e. Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
17
Mencegah dan mengobati komplikasi
Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang
Mencegah dan meminimalkan efek samping obat
Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
Meningkatkan kualitas hidup penderita
Menurunkan angka kematian
Program berhenti merokok sebaiknya dimasukkan sebagai salah satu tujuan
selama tata laksana PPOK.2,7,8
A. TERAPI FARMAKOLOGIS
Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat
berefek panjang (long acting).
Macam-macam bronkodilator:
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).
- Golongan agonis beta-2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan
dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya
18
digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan
untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka
panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.
Kortikosteroid
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti
uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP 1 paskabronkodilator
meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan:
Lini I: amoksisilin
Makrolid
Lini II: amoksisilin dan asam kluvanat
Sefalosporin, kuinolon, makrolid baru
Antioksidan
19
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, digunakan N-
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.
Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.3,5,7
B. TERAPI NON-FARMAKOLOGIS
Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat
penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik
di otot maupun organ-organ lainnya. Manfaat oksigen:
1. Mengurangi sesak
2. Memperbaiki aktivitas
3. Mengurangi hipertensi pulmonal
4. Mengurangi vasokonstriksi
5. Mengurangi hematokrit
6. Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
7. Meningkatkan kualitas hidup
Indikasi:
Pa02 < 60 mmHg atau Sat O2 < 90%
Pa02 diantara 55-59 mmHg atau Sat O 2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan
Pulmonal, Ht > 55% dan tanda-tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru
lain.
Ventilasi mekanik
20
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut,
gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat
dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU
atau di rumah. Ventilasi mekanik dapat digunakan dengan cara:
1. Ventilasi mekanik dengan intubasi
3. Digunakan pada PPOK dengan gagal napas kronik dan dapat digunakan
selama di rumah.
4. Ventilasi mekanik tanpa intubasi
Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah Noninvasive Intermitten Positif
Pressure (NIPPV) atau Negative Pressure Ventilation (NPV).
Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena
hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadinya hipermetabolisme.
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan
derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah.
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan:
1. Penurunan berat badan
2. Kadar albumin darah
3. Antropometri
4. Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot
pipi)
5. Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
Rehabilitasi
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualitas hidup pendita PPOK. Program rehabilitasi terdiri dari 3
komponen yaitu9:
21
1. Latihan fisik
2. Latihan pernapasan dan latihan endurance
3. Rehabilitasi psikososial
DAFTAR PUSTAKA
1. GOLD, 2013. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention
of Chronic Obstructive Pulmonary Disease Updated 2013. Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease, 10-17
22
5. World Health Organization. 2012. Chronic obstructive pulmonary disease fact
sheet. WHO Media Center [Online]. [Cited 2014 Aug 8]. Available from: URL:
http://www.who.int/mediacentre
6. Mosenifar, Zab., 2013. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/297664-overview. [Accessed 10 April
2013].
7. Vijayan, V.K., 2013. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Indian J Med
Res, 137: 251-269
8. Putra, G.N.W, Artika, I.D.M, 2013. Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Paru
Obstruktif Kronis. E-Jurnal Medika Udayana, 2(1)
9. Omeati, R. 2013 Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK). Media Litbangkes 23(2): 82-88
23