Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Walaupun penampakan klinis dari appendisitis tidak berubah sejak


pertamakali di deskripsikan pada tahun 1886 oleh Reginald Fitz, mortalitasnya
berkurang secara dramatis sejak Willard Packard melakukan operasi pertamanya
pada tahun 1867. Appendisitis merupakan penyakit bedah tersering, yang
menyerang 233 per 100.000 orang di Amerika Serikat setiap tahunnya ( Myers
Jonathan A, et al, 2008). Pada tahun 1889, Chester McBurney mendeskripsikan
karakteristik nyeri yang berpindah dan terlokalisir pada garis oblik dari spina
iliaca anterior superior menuju umbilicus. McBurney juga mendeskripsikan insisi
pada kuadran kanan bawah untuk membuang appendiks pada tahun 1894. Tingkat
mortalitas dari appendisitis semakin membaik setelah penggunaan antibiotika
spektrum luas pada tahun 1940an (Acosta Jose, et al. 2007).
Penatalaksanaan bedah untuk appendisitis adalah salah satu kemajuan
dalam bidang kedokteran di masyarakat pada 150 tahun terakhir. Appendektomi
untuk appendisitis adalah operasi emergensi yang paling sering dilakukan di
dunia. Appendisitis adalah penyakit pada usia muda, dengan 40% kasus terjadi
pada usia antar 10 sampai 29 tahun. (Brunicardi Charles F, et al, 2006).
Appendisitis dapat terjadi karena beberapa alasan, seperti infeksi usus
buntu, tetapi faktor yang paling penting adalah obstruksi lumen usus buntu Bila
tidak segera ditangani, radang usus buntu memiliki potensi untuk komplikasi yang
berat, termasuk perforasi atau sepsis, dan bahkan dapat menyebabkan kematian.
Namun, diagnosis diferensial usus buntu seringkali sulit secara klinis karena usus
buntu dapat meniru kondisi beberapa macam penyakit pada abdomen (Craig
Sandy, 2011).
Operasi pengobatan dengan usus buntu tetap satu-satunya pengobatan
kuratif radang usus buntu. Tujuan dokter bedah adalah untuk mengevaluasi pasien
yang dirujuk dengan diagnosa suspek usus buntu dan untuk meminimalkan tingkat
kejadian perforasi pada usus buntu. Pada Unit Gawat Darurat (UGD), klinisi harus
dapat mengevaluasi kelompok pasien yang lebih besar yang datang ke UGD
dengan keluhan sakit perut dari semua etiologi dengan sensitivitas mendekati

1
100% untuk diagnosis, biaya yang, dan konsultasi dalam waktu yang singkat
(Craig Sandy, 2011).

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Appendiks

Gambar 2.1 Anatomi Appendiks (Sumber : Coloproctology)

Appendiks vermiformis adalah organ seperti tabung dengan lumen sempit,


vermian (berbentuk seperti cacing) yang timbul dari dinding caecum bagian
posteromedial, 2 cm dibawah ileum bagian akhir. Bisa menempati salah satu dari
berbagai posisi berikut (Standring Susan, et al, 2005) :

1. Retrocaecal
2. Retrocolic (dibelakang caecum atau bagian bawah ascending colon),
3. Pelvic atau descending (jika tergantung pada tepi pelvis, dekat dengan
tuba uterina dan ovarium kanan pada wanita). Itu merupakan posisi
paling umum yang sering terdapat pada praktek kilinik. Posisi lainnya
jarang ditemukan terutama jika ada appendiks mesenter panjang yang
dapat meyebabkan mobilitas appendiks yang lebih tinggi.
4. Subcaecal (dibawah caecum),
5. Promontorik
6. Preilial (anterior terhadap ileum terminal)
7. Postileal (dibelakang ileum terminal).

3
Gambar 2.2 Berbagai Posisi Appendiks

Tiga taenia coli pada colon ascendens dan caecum bersatu pada basis
appendiks, dan bergabung menuju otot longitudinalnya. Taenia caecal anterior
biasanya terpisah dan bisa ditelusuri munuju appendiks, yang dapat dipakai
sebagai panduan untuk mencari lokasi appendiks pada praktek kilinis. Ukuran
appendiks bervariasi panjangnya, dari 2 cm sampai 20cm; sering ditemukan relatif
lebih panjang pada anak-anak dan mungkin mengalami atrofi dan memendek
seiring bertambahnya usia (Standring Susan, et al, 2005).

Lumen appendiks sempit dan membuka ke caecum melalui orifisium yang


terletak dibawah dan sedikit posterior terhadap orifisium ileocaecal. Orifisium
tersebut kadang dijaga oleh lipatan mukosa semilunaris yang membentuk katup.
Lumen mungkin akan paten pada awal kehidupan anak-anak dan sering hilang
pada dekade akhir kehidupan (Standring Susan, et al, 2005).

4
Vaskularisasi appendiks.

Arteri utama appendiks, cabang dari divisi bawah arteri ileocolic, berjalan
dibelakang ileum terminal dan memasuki mesoappendiks dengan jarak yang dekat
dari basis appendiks dan beranastomosis dengan cabang dari arteri caecal
posterior (Standring Susan, et al, 2005).

Gambar 2.3 Vaskularisasi appendiks. A dan B. Usual type with a single


appendicular artery; C. Paired appendicular artery.

5
2.2 Appendisitis akut

2.2.1 Definisi
Appendisitis adalah peradangan bakterial appendiks vermiformis.
Appendisitis akut adalah appendisitis dengan onset akut yang memerlukan
intervensi bedah dan biasanya ditandai dengan nyeri di abdomen kuadaran
kanan bawah dengan nyeri tekan lokal dan nyeri alih, spasme otot yang ada
diatasnya, dan hiperestesia kulit (Koesoemawati Herni, et al, 2000).

2.2.2 Epidemiologi
Insidens appendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang. Penyakit ini jarang pada daerah yang higienitasnya kurang dan
konsumsi diet tinggi seratnya tinggi. Insiden appendisitis meningkat seiring
meningkatnya kebersihan (Livingston, 2011). Namun, dalam tiga-empat
dasawarsa terakhir kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini diduga
disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu
sehari-hari (Sjamsuhidajat R, 2007).

Appendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang
dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidens tertinggi pada kelompok umur 20-30
tahun, setelah itu menurun. Insidens pada lelaki dan perempuan umumnya
sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, ketika insidens pada lelaki lebih
tinggi (Sjamsuhidajat R, 2007).

2.2.3 Etiologi

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan


rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendisitis. Konstipasi
akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon
biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya appendisitis akut
(Sjamsuhidajat R, 2007). Obstruksi lumen appendiks merupakan faktor etiologis
utama dalam appendisitis akut, berikut merupakan berbagai penyebab dari

6
obsruksi (Brunicardi Charles F, et al, 2006; Acosta Jose, et al, 2007) :

1. Fecaliths atau Appendicolith, merupakan penyebab utama obstruksi,


ditemukan pada 40% kasus appendisitis akut sederhana, 65% kasus
appendisitis ganggrenosa tanpa ruptur, dan mendekati 90% kasus
appendisitis ganggrenosa dengan ruptur.
2. Hipertrofi Jaringan Limfoid
3. Barium tersisa dari pemeriksaan x-ray terdahulu
4. Tumor
5. Biji buah-buahan
6. Parasit intestinal

Obstruksi lumen appendiks disertai dengan sekresi yang terus-menerus dari


mukosa appendiks menyebabkan distensi. Distensi dari appendiks menstimulasi
nerve endings karena peregangan serat saraf aferen visceral, menyebabkan nyeri
tumpul yang diffus pada mid-abdomen atau epigastrium bawah. Peristaltik juga
distimulasi oleh distensi yang timbul mendadak, sehingga kram dapat menyertai
nyeri visceral awal pada appendicits (Brunicardi Charles F, et al, 2006).

Distensi yang terus berlanjut karena sekresi dari mukosa yang terus-menerus
dan dari multiplikasi bakteri di appendiks. Distensi ini menyebabkan refleks mual
dan muntah, dan nyeri visceral akan semakin parah. Seiring dengan penekanan pada
organ yang meningkat, tekanan pada vena juga meningkat. Kapiler dan vena
menjadi tertutup, tetapi aliran arteriol akan terus berlanjut, menyebabkan pelebaran
dan kongestif vascular. Proses inflamasi segera melibatkan serosa pada appendiks
dan peritoneum parietal regional, memproduksi perpindahan nyeri yang khas
menuju kuadran kanan bawah (Brunicardi Charles F, et al, 2006).

Gangguan terhadap aliran limfatik dan vena akan menyebabkan iskemia


pada mukosa. Mukosa appendiks rawan dengan gangguan suplai darah, dan bila
integritasnya terganggu, akan memudahkan terjadinya invasi bakteri. Selama
distensi semakin progresif maka akan semakin menekan aliran balik vena dan
kemudian aliran arteriol sehingga menyebabkan infark pada area dengan suplai
darah yang buruk. Seiring peningkatan distensi, invasi bakterial, terganggunya
aliran darah, dan progresi infark, kombinasi ini akan menyebabkan proses inflamasi
yang lebih terlokalisir dan menyebabkan ganggren serta perforasi, biasanya pada
salah satu area infark pada batas antimesenterik. Perforasi biasanya terjadi setelah

7
setidaknya 48 jam sejak onset timbulnya gejala. (Acosta Jose, et al. 2007;
Brunicardi Charles F, et al, 2006).

Flora normal yang terdapat pada appendiks sangat mirip dengan yang
terdapat di kolon, dengan variasi jumlah dan macam bakteri fakultatif aerob dan
bakteri anaerob. (Acosta Jose, et al. 2007). Flora pada appendiks yang mengalami
keradangan berbeda dari flora pada appendiks normal. Hasil aspirasi dari appendiks
yang mengalami inflamasi ditemukan bahwa kuman anaerob sebanyak 60%
dibandingkan kuman anaerob pada appendiks normal yang hanya 25%. Diduga,
lumen yang intergritasnya terganggu karena peningkatan tekanan lumen atau
iskemia intramural dapat menjadi sumber lokasi invasi organisme (Norton Jeffrey
A, et al, 2003). Appendisitis akut merupakan infeksi bakteri. Escherecia coli,
Streptoccocus viridans, dan Bacteroides. (Sjamsuhidajat R, 2007)

ANAEROBIC PATIENTS (%)


Bacteroides fragilis 80%
Bacteroides thetaiotaomicron 61%
Bilophila wadsworthia 55%
Peptostreptococcus species 46%
AEROBIC
Escherichia coli 77%
Streptotococcus viridans 43%
Group D streptococcus 27%
Pseudomonas aeriginosa 18%
Tabel 2.1 Bakteri yang diisolasi dari appendiks yang mengalami perforasi (Acosta
Jose, et al, 2007).

2.2.4 Patologi

Patologi appendisitis dapat dimulai di mukosa dan kemudian melibatkan


seluruh lapisan dinding appendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Upaya
pertahanan tubuh berusaha membatasi proses radang ini dengan menutup
appendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa
periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat appendiks.

8
Di dalamnya, dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami
perforasi. Jika tidak terbentuk abses, appendisitis akan sembuh dan massa
periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara
lambat. (Sjamsuhidajat R, 2007)
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi
membentuk jaringan parut yang melengket dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah.
Suatu saat, organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami
eksaserbasi akut. (Sjamsuhidajat R, 2007).

Proses Perubahan Patologis Manifestasi Klinis


Permulaan inflmasi, sering karena Nyeri abdomen tengah yang akut dan
obstruksi oleh fekalit diffus atau tidak terlokalisir
Inflamasi akut nukosa Nyeri abdomen akut yang berlanjut
kemudian disertai dengan mual dan
muntah (karena stimulasi autonomic)
Perluasan inflamasi melewati dinding Gejala dan tanda mulai terlokalisir
appendiks karena keterlibatan peritoneum parietal
(inervasi somatic)
Inflamasi mencapai serosa (peritonitis Gejala Klasik : Nyeri tekan, nyeri lepas,
visceral) dan tahanan pada fosa iliaka kanan
Demam, facial flush, dan takikardia
Penyebaran peritonitis ke struktur Nyeri meluas ke seluruh abdomen
sekitar (tergantung dari posisi dengan peningkatan rigiditas dan gejala
appendiks) sistemik yang lebih jelas (peningkatan
Ganggren pada dinding appendiks
demam, apatis dan dehidrasi)
Perforasi
Usaha oleh omentum dan struktur Pembentukan massa apenndiks atau
terdekat dari appendika untuk menutupi yg salah dikenal dengan infiltrat
perforasi appendiks
Bila tidak berhasil akan menyebabkan
peritonitis yang menyebar
Tabel 2.2 Sumber : Coloproctology

2.2.5 Gambaran Klinis

9
Appendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
terjadinya peradangan mendadak pada umbai cacing yang memberikan tanda
setempat, baik disertai maupun tidak disertai dengan rangsang peritoneum lokal.
Gejala klasik appendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan
nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering
disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya, nafsu makan menurun.
Dalam beberapa jam, nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik McBurney.
Di sini, nyeri dirasa lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga rnerupakan
nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat
konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu
dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat
perangsangan peritoneum, biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau
batuk. (Sjamsuhidajat R, 2007)
Bila appendiks terletak retrosekal retroperitoneal, tanda nyeri perut
kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal karena
appendiks terlindung oleh sekum. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan
atau nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi otot psoas mayor yang
menegang dari dorsal. (Sjamsuhidajat R, 2007)
Radang pada appendiks yang terletak di rongga pelvis dapat
menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga
peristaltik meningkat dan pengosongan rektum menjadi lebih cepat serta
berulang sehingga dapat memberikan keluahn diare atau tenesmus. Jika
appendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan
frekuensi kencing ataupun disuria akibat rangsangan appendiks terhadap dinding
kandung kemih.. (Myers Jonathan A, et al. 2008; Sjamsuhidajat R, et al, 2007)

Gejala appendisitis akut pada anak tidak spesifik. Pada awalnya, anak
sering hanya menunjukkan gejala rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak
bisa melukiskan rasa nyerinya. Beberapa jam kemudian, anak akan muntah
sehingga menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi,
appendisitis sering baru diketahui setelah terjadi perforasi. Pada bayi, 80-90%
appendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi (Sjamsuhidajat R, 2007). Pada
anak yang lebih besar bisa terdapat riwayat baru saja terserang penyakit bakterial

10
maupun viral, yang dapat meyebabkan pembesaran folikel appendiks dan obstruksi
(Myers Jonathan A, et al. 2008).
Pada beberapa keadaan, appendisitis agak sulit didiagnosis sehingga
tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya, pada orang
berusia lanjut, gejalanya sering samar-samar saja sehingga lebih dari separuh
penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi (Sjamsuhidajat R, 2007).
Gejala pada orang tua biasanya berupa malaise, nyeri yang tidak khas, konstipasi,
atau bahkan perubahan status mental (Myers Jonathan A, et al. 2008).
Pada kehamilan, keluhan utama appendisitis adalah nyeri perut, mual,
dan muntah. Hal ini perlu dicermati karena pada kehamilan trimester pertama
sering juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan
appendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di perut
kanan bawah tetapi lebih di regio lumbal kanan. (Sjamsuhidajat R, 2007)

2.2.6 Pemeriksaan
Demam biasanya ringan dengan suhu sekitar 37,5 - 38,5C. Bila suhu
lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu
aksilar dan rektal sampai 1C. Pada inspeksi perut, tidak ditemukan gambaran
spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi
perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses
periapendikuler. (Sjamsuhidajat R, 2007)
Pada palpasi, didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa
disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah yang terutama terletak pada
titik McBurney merupakan kunci diagnosis. Appendiks normal sifatnya mobile,
sehingga lokasu inflamasi bisa saja terdapat di berbagai tempat pada area lingkaran
360 dari sekitar basis dari sekum. Pada penekanan perut kiri bawah, akan
dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing. Pada
appendisitis retrosekal atau retroileal, diperlukan palpasi dalam untuk
menentukan adanya rasa nyeri. Karena terjadi pergeseran sekum ke kraniolatero-
dorsal oleh uterus, keluhan nyeri pada appendisitis sewaktu hamil trimester II
dan III akan bergeser ke kanan sampai ke pinggang kanan. Tanda pada ke-

11
hamilan trimester I tidak berbeda dengan pada orang tidak hamil karena itu
perlu dibedakan apakah keluhan nyeri berasal dari uterus atau appendiks. Bila
penderita miring ke kiri, nyeri akan berpindah sesuai dengan pergeseran
uterus, terbukti proses bukan berasal dari appendiks. (Myers Jonathan A, et al.
2008; Sjamsuhidajat R, 2007)
Peristalsis usus sering normal tetapi juga dapat menghilang akibat adanya
ileus paralitik pada peritonitis generalisata yang disebabkan oleh appendisitis
perforata. (Sjamsuhidajat R, 2007)
Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi dapat
dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada appendisitis pelvika. (Sjamsuhidajat
R, 2007)
Pada appendisitis pelvika, tanda perut sering meragukan, maka kunci
diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Pemeriksaan uji
psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk
mengetahui letak appendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot
psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul
kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel
di otot psoas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator
digunakan untuk melihat bilamana appendiks yang meradang bersentuhan
dengan otot obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan
fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan
nyeri pada appendisitis pelvika (Sjamsuhidajat R, 2007).

2.2.7 Diagnosis
Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis
klinis appendisitis akut masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus.
Kesalahan diagnosis lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan dengan
lelaki. Hal ini dapat disadari mengingat pada perempuan, terutama yang masih
muda, sering timbul gangguan yang menyerupai appendisitis akut. Keluhan itu
berasal dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis, atau
penyakit ginekologik lain. (Sjamsuhidajat R, 2007)
Appendisitis perlu dipikirkan sebagai diagnosa banding pada setiap

12
pasien dengan nyeri abdomen akut. Diagnosis awal merupakan tujuan klinis
paling penting pada pasien dengan dugaan appendisitis dan pada kebanyakan
kasus bisa ditegakkan melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik. Gejala awal
biasanya dimulai dengan nyeri periumbilikal (karena aktivasi neuron aferen
visceral) dan kemudian dilanjutkan oleh anorexia dan nausea (Acosta Jose, et
al, 2007).
Nyeri kemudian terlokalisir pada kuadran kanan bawah karena proses
inflamasi yang progresif dan melibatkan peritoneum parietal diatas appendiks.
Muntah bisa didapatkan. Demam menyertai, diikuti oleh perkembangan
leukositosis. Gejala klinis bisa bervariasi. Contohnya, tidak semua pasien
menjadi anoreksia. (Acosta Jose, et al, 2007). Untuk menurunkan angka
kesalahan diagnosis appendisitis akut, bila diagnosis meragukan, sebaiknya
penderita diobservasi di rumah sakit dengan frekuensi setiap 1;2 jam.
(Sjamsuhidajat R, 2007)
Foto barium kurang dapat dipercaya. Ultrasonografi dapat meningkatkan
akurasi diagnosis. Demikian pula laparoskopi pada kasus yang meragukan.
(Sjamsuhidajat R, 2007)
Untuk meminimalkan kesalahan diagnosa appendisitis, terdapat suatu
sistem scoring yang dinamakan Alvarado Score. Pasien dengan skor 9 atau 10
hampir pasti menderita appendisitis, pasien dengan skor 7 atau 8 memiliki
kemungkinan besar menderita appendisitis, skor 5 atau 6 memiliki gejala yang
mirip dengan appendisitis, tetapi bukan didiagnosa appendisitis ( Brunicardi
Charles F, et al. 2006).

13
Tabel 2.3 : Alvarado Score (Brunicardi Charles F, et al, 2010)

2.2.8 Laboratorium
Pemeriksaan jumlah leukosit membantu menegakkan diagnosis
appendisitis akut. Pada kebanyakan kasus terdapat leukositosis, terlebih pada
kasus dengan komplikasi (Sjamsuhidajat R, 2007). Leukosit yang tinggi
(>20.000/mL) dapat menandakan terdapatnya komplikasi appendisitis, bisa berupa
ganggren ataupun perforasi. Urinalisis dapat berguna untuk menyingkirkan
pyelonefritis atau nefrolitiasis. Pyuria minimal, sering terdapat pada wanita usia tua,
tetapi tidak dapat digunakan untuk menyingkirkan apppendisitis dari diagnosa
banding karena ureter bisa saja mengalami iritasi karena appendiks yang mengalami
inflamasi. Walaupun hematuria miskroskopis umum dijumpai pada appendisitis,
gross hematuria tidaklah umum dan dapat mengindikasikan adanya batu pada ginjal
(Acosta Jose, et al, 2007). Pada penderita wanita sebaiknya juga diperiksa Beta-
HCG untuk menyingkirkan kemungkinan kehamilan (Myers Jonathan A, et al,
2008).

14
2.2.9 Radiologi
Foto polos abdomen, walaupun sering didapatkan sebagai bagian dari
evaluasi umum pasien dengan akut abdomen, tetapi jarang berguna untuk
mendiagnosa appendisitis akut. Foto polos abdomen berperan penting dalam
menyingkirkan keadaan patologi lainnya (Brunicardi Charles F, et al, 2010).
Kegagalan dari barium enema untuk memenuhi lumen appendiks berhubungan
dengan appendisitis, tetapi temuan ini kurang sensitif dan spesifik karena 20%
appendiks normal tidak terisi dengan barium enema (Acosta Jose, et al, 2007).
Pada pasien dengan nyeri abdomen, ultrasonography memiliki sensitifitas
sekitar 85% dan spesifitas lebih dari 90% dalam mendiagnosa appendisitis akut.
Temuan sonografi yang konsisten dengan appendisitis akut antara lain ukuran
appendiks 7 mm atau lebih pada diameter anteroposterior, dinding yang tebal,
struktur lumen yang tidak tertekan dapat dilihat pada cross section yang dikenal
sebagai target lesion, atau tampaknya appendicolith (Acosta Jose, et al, 2007).
CT scan sering dipakai untuk mengevaluasi pasien dewasa dengan dugaan
appendisitis akut. CT scan memiliki sensitivitas sekitar 90% dan spesifitas 80%-
90% dalam mendiagnosa appendisitis akut pada pasien dengan nyeri abdomen
akut (Acosta Jose, et al, 2007).

Tabel 2.4 Modalitas pencitraan dalam diagnosis appendicitis akut (Norton Jeffrey A,
et al, 2003).

15
2.2.10 Diagnosis banding
Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai
diagnosis banding (Sjamsuhidajat R, 2007)
1) Gastroenteritis.
Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa nyeri. Nyeri
perut sifatnya lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Sering dijumpai adanya
hiperperistalsis. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan
appendisitis akut.
2) Demam Dengue
Dapat dimulai dengan nyeri perut mirip peritonitis. Pada penyakit ini,
didapatkan hasil tes positif untuk Rumpel Leede, trombositopenia, dan
peningkatan hematokrit.
3) Limfadenitis mesenterika.
Limfadenitis Inesenterika yang biasa didahului oleh enteritis atau
gastroenteritis, ditandai dengan nyeri perut, terutama perut sebelah kanan, serta
perasaan mual dan nyeri tekan perut yang sifatnya samar, terutama perut sebelah
kanan.
4) Kelainan Ovulasi
Folikel ovarium yang pecah pada ovulasi dapat menimbulkan nyeri pada
perut kanan bawah di tengah siklus menstruasi. Pada anamnesis, nyeri yang
sama pernah timbul lebih dahulu. Tidak ada tanda radang, dan nyeri biasa hilang
dalam waktu 24 jam, tetapi mungkin dapat mengganggu selama dua hari.
5) Infeksi Panggul.
Salpingitis akut kanan sering di kacaukan dengan appendisitis akut. Suhu
biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut
lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi
urin. Pada colok vagina, akan timbul nyeri hebat di panggul jika uterus
diayunkan. Pada gadis dapat dilakukan colok dubur jika perlu untuk diagnosis
banding.
6) Kehamilan Di Luar Kandungan.
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak me-
rientu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan

16
perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan
mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan vagina, didapatkan nyeri
dan penonjolan rongga Douglas dan pada kuldosentesis didapatkan darah.
7) Kista Ovarium Terpuntir.
Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa
dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vagina, atau colok rektal.
Tidak terdapat demam. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menentukan
diagnosis
8) Endometriosis Externa
Endometrium di luar rahim akan menimbulkan nyeri di tempat
endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena
tidak ada jalan ke luar.
9) Urolitiasis Pielum/Ureter Kanan
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut yang menjalar ke inguinal
kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan. Foto
polos perut atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut.
Pielonefritis sering disertai dengan demam tinggi, menggigil, nyeri
kostovertebral di sebelah kanan, dan piuria.
10) Penyakit Saluran Cerna Lainnya.
Penyakit lain yang perlu dipikirkan adalah peradangan di perut,
seperti divertikulitis Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung,
kolesistitis akut, pankreatitis, divertikulitis kolon, obstruksi usus awal,
perforasi kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid, dan mukokel
appendiks.

17
2.2.11 Komplikasi
Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah mengalami
pendindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan appendiks,
sekum, dan lekuk usus halus (Sjamsuhidajat R, 2007).
1) Massa Periapendikular
Massa appendiks terjadi bila appendisitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus
halus. Pada massa periapendikuler dengan pembentukan dinding yang belum
sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika
perforasi diikuti oleh peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa
periapendikuler yang masih bebas (mobile) sebaiknya segera dioperasi untuk
mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasinya masih mudah. Pada anak,
dipersiapkan operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa
periapendikuler yang terpancang dengan pendindingan yang sempurna
sebaiknya dirawat terlebih dahulu dan diberi antibiotik sambil dilakukan
pemantauan terhadap suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila
sudah tidak ada demam, massa periapendikuler hilang, dan leukosit normal,
penderita boleh pulang dan apendektomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan
kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin.
Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses appendiks. Hal ini ditandai dengan
kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan
massa, serta bertambahnya angka leukosit (Sjamsuhidajat R, 2007).
Riwayat klasik appendisitis akut, yang diikuti dengan adanya massa yang
nyeri di regio iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke massa
atau abses periapendikuler. Kadang keadaan ini sulit dibedakan dari karsinoma
sekum, penyakit Crohn, dan amuboma. Perlu juga disingkirkan kemungkinan
aktinomikosis intestinal, enteritis tuberkulosa, dan kelainan ginekologik
sebelum memastikan diagnosis massa appendiks. Kunci diagnosis biasanya
terletak pada anamnesis yang khas (Sjamsuhidajat R, 2007).
Apendektomi dilakukan pada infiltrat periapendikuler tanpa pus yang
telah ditenangkan. Sebelumnya, pasien diberi antibiotik kombinasi yang aktif

18
terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar
6-8 minggu kemudian, dilakukan apendektomi. Pada anak kecil, wanita hamil,
dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau
berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya (Sjamsuhidajat R,
2007).
Bila sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja; apendektomi
dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika, pada saat dilakukan drainase
bedah, appendiks mudah diangkat, dianjurkan sekaligus dilakukan apendektomi
(Sjamsuhidajat R, 2007).
2) Appendisitis Perforata
Adanya fekalit di dalam lumen, umur (orang tua atau anak kecil), dan
keterlambatan diagnosis, merupakan faktor yang berperanan dalam terjadinya
perforasi appendiks. Insidens perforasi pada penderita di atas usia 60 tahun
dilaporkan sekitar 60% (Sjamsuhidajat R, 2007).
Faktor yang memengaruhi tingginya insidens perforasi pada orang tua
adalah gejalanya yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi
appendiks berupa penyempitan lumen, dan arteriosklerosis. Insidens tinggi pada
anak disebabkan oleh dinding appendiks yang masih tipis, anak kurang
komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis, dan proses pendindingan
kurang sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepaL dan omentum anak
belum berkembang (Sjamsuhidajat R, 2007).
Perforasi appendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang
ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut,
dan perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler terjadi
di seluruh perut, mungkin disertai dengan pungtum maksimum di regio iliaka
kanan; peristalsis usus dapat menurun sampai menghilang akibat adanya ileus
paralitik. Abses rongga peritoneum dapat terjadi bila pus yang menyebar
terlokalisasi di suatu tempat, paling sering di rongga pelvis dan
subdiafragma. Adanya massa intraabdomen yang nyeri disertai demam harus
dicurigai sebagai abses. Ultrasonografi dapat membantu mendeteksi adanya
kantong nanah. Abses subdiafragma harus dibedakan dengan abses hati,
pneumonia basal, atau efusi pleura. Ultrasonografi dan foto Roentgen dada akan

19
membantu membedakannya (Sjamsuhidajat R, 2007).
Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk
kurnan Gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa
nasogastrik perlu dilakukan sebelum pembedahan (Sjamsuhidajat R, 2007).
Perlu dilakukan laparatomi dengan insisi yang panjang, supaya dapat
dilakukan pencucian rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin
yang adekuat secara mudah serta pembersihan kantong nanah. Akhir-akhir
ini, mulai banyak dilaporkan pengelolaan appendisitis perforasi secara
laparoskopi apendektomi. Pada prosedur ini, rongga abdomen dapat dibilas
dengan mudah. Hasilnya dilaporkan tidak berbeda jauh dibandingkan dengan
laparatomi terbuka, tetapi keuntungannya adalah lama rawat lebih pendek dan
secara kosmetik lebih baik (Sjamsuhidajat R, 2007).
Karena terdapat kemungkinan terjadi infeksi luka operasi, sebaiknya
dilakukan pemasangan penyalir subfasia; kulit dibiarkan terbuka dan nantinya
akan dijahit bila sudah dipastikan tidak ada infeksi. Pemasangan penyalir
intraperiton.eal tidak perlu dilakukan pada anak karena justru lebih sering me-
nyebabkan komplikasi infeksi (Sjamsuhidajat R, 2007).

2.2.12 Penatalaksanaan
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan
satu-satunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Pada appendisitis tanpa
komplikasi, biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada
appendisitis gangrenosa atau appendisitis perforata. Penundaan tindak bedah
sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi
( Sjamsuhidajat R, 2007).
Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka atau dengan laparoskopi.
Bila apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli
bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas, sebaiknya dilakukan
observasi terlebih dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi dapat
dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia
laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat
segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak (Sjamsuhidajat R, 2007).

20
Appendisektomi atau Appendektomi ialah suatu tindakan pembedahan
membuang appendiks.
Indikasi Appendiktomi
1) Appendisitis akut.
2) Appendisitis subakut.
3) Appendisitis infiltrat (appendikular mass) yang sudah dalam stadium
tenang (afroid).
4) Appendisitis perforata
5) Appendisitis kronis

1. Persiapan pembedahan
1) Penderita harus dipuasakan sedikitnya 4 sampai 6 jam sebelum
operasi.
2) Pemberian antibiotika (spektrum luas). Bilamana ada peritonitis umum
perlu memperbaiki keadaan umum dengan memberi infus serta
pemasangan kateter.
3) Pemberian premedikasi anestesi.
4) Mempersiapkan lapangan pembedahan dengan membersihkan
(mencuci) dan bilamana perlu dicukur.
2. Teknik Pembedahan
Penderita ditidurkan dengan posisi terlentang den ahli Bedah berdiri di sisi
kanan penderita.
1) Desinfeksi
Lapangan pembedahan didesinfeksi dengan bahan Iodiom 3% dan Alkohol
70% atau dengan betadin 10%, kemudian lapangan pembedahan
dipersempit dengan pemasangan kain (duk) steril.
2) Membuka Dinding perut
o Irisan kulit dengan arah oblique melalui titik Mc Burney tegak lurus garis
antara S.I.A.S. dan umbilikus disebut juga irisan Gridiron (Gambar
2.11; A dan Gambar 2.12; A)). Irisan lain yang dapat dilakukan ialah
irisan tranversal atau irisan paramedian Gambar 2.11; B). Bila pasien wanita
dan evaluasi laparoskopik tidak tersedia, banyak ahli bedah memilih insisi

21
midline (Gambar 2.12; B). Irisan diperdalam dengan memotong lemak
dan akhirnya sampai tampak aponeurosis muskulus Obliqus Abdominis
Externus (M.O.E.).

Gambar 2.11 Gambar 2.12


o M.O.E. dibuka sedikit dengan skalpel searah dengan seratnya,
kemudian diperlebar ke lateral dan ke medial dengan pertolongan pinset
anatomi (Gambar 2.13). Wound haak tumpul dipasang di bawah M.O.E.,
tampak di bawah M.O.E. Muskulus Obliqus Abdominis Internus
(M.O.I.).

Gambar 2.13
o M.O.I. dan otot di bawahnya (musculus transversus abdominis) dibuka
secara tumpul dengan gunting atau klem arteri yang bengkok, searah
dengan seratnya sampai tampak lemak peritoneum yang berwarna kuning
(Gambar 2.14). Dengan alat Langenbeck otot-otot tersebut dipisahkan
searah dengan seratnya. Haak dipasang di bawah musculus transversus
abdominis.

22
Gambar 2.14
o Preperitoneal fat disingkirkan dan peritoneum yang berwarna putih
mengkilap dipegang dengan 2 pinset Chirurgis dan dibuka dengan
gunting (Gambar 2.15). Pada waktu peritoneum terbuka, harus diperhatikan
apa yang keluar pus, udara atau cairan lain (darah, faeces dan
sebagainya); perlu diperiksa kultur dan test kepekaan kuman. Dari cairan
yang keluar itu. Pembukaan peritoneum diperlebar dengan gunting atau
scalpel dengan melindungi usus atau organ lain di bawah peritoneum
dengan 2 jari atau sonde kocher. Arah irisan peritoneum sesuai dengan arah
irisan kulit (Gambar 2.16). Wond haak diletakkan di bawah peritoneum.

Gambar 2.15

23
Gambar 2.16
3) Melakukan appendektomi
Sekum dicari dan dikeluarkan (luxir). Untuk itu kita harus mengetahui
tanda-tanda sekum yaitu (Gambar 2.17) :
a) Warnanya lebih putih.
b) Mempunyai taenia coli.
c) Adanya haustrae.
d) Adanya apendices epiploicae

Gambar 2.17
Appendiks yang basisnya terletak pada pertemuan tiga tinea mempunyai
bermacam - macam posisi antara lain antececal, retrocecal, anteileal, retroileal
dan pelvinal (Gambar 2.17).
o Setelah sekum diketemukan, kita pegang dengan pinset usus (darm pinset)
dan kita tarik keluar. Kemudian dengan kasa steril dan basah sekum
dikeluarkan dengan menarik ke arah mediokaudal. Setelah keluar
sekum ditarik ke kraniolateral, biasanya appendiks akan ikut keluar dan

24
tampak dengan jelas (Gambar 2.18).

Gambar 2.18
o Dengan memakai kasa yang basah sekum dipegang oleh asisten dengan ibu
jari berada di atas.
o Mesenterium pada ujung appendiks dipegang dengan klem Kocher
kemudian meso appendiks dipotong dan diligasi sampai pada basis
appendiks dengan mempergunakan benang sutera 3/0 (Gambar 2.19 dan
Gambar 2.20). Pangkal appendiks di crush dengan appendiks klem Kocher
dan pada bekas crush tersebut diikat dengan chromic catgut No. 1 atau
1/0 (Gambar 2.21 dan Gambar 2.22). Dibuat jahitan tabakzaaknaad (kantong
tembakau) atau jahitan pursestring pada serosa sekitar pangkal appendiks
dengan menggunakan benang sutera halus 3/0 (Gambar 2.23).

Gambar 2.19 Gambar 2.20

25
Gambar 2.21 Gambar 2.22

Gambar 2.23
o Dibagian distal dari ikatan pada pangkal appendiks diklem dengan
Kocher dan di antara klem Kocher dan ikatan tersebut appendiks dipotong
dengan pisau yang telah diolesi iodium (Gambar 2.24).

Gambar 2.24 Gambar 2.25


o Sisa appendiks (appendiks stump) ditanam di dalam dinding sekum

26
dengan pertolongan pinset anatomis didorong ke dalam dan jahitan
tabakzaak dieratkan. Kemudian dibuat jahitan penguat di atasnya
(overhechting), memakai benang sutera halus. Setelah kita perhatikan ada
tidaknya perdarahan sekum dimasukkan kembali ke dalam rongga perut.

4. Penutupan Luka Operasi (Dinding Perut).


o Peritoneum ditutup dengan jahitan delujur Feston dari bahan catgut Plain
Nomor 1 atau 1/0 (Gambar 2.26)

Gambar 2.26
o Muskulus obligus abdominis internus dan muskulus transversus
abdominis ditutup dengan catgut chromic nomor 1 secara simpul (Gambar
2.27)

Gambar 2.27
o Muskulus obliges abdominis externus dan aponeurosisnya ditutup
dengan jahitan catgut chromic secara simpul (Gambar 2.28).

27
Gambar 2.28
o Lemak ditutup dengan jahitan simpul catgut plain 3/0, dan kulit dijahit
dengan benang sutera 2/0 atau 3/0 secara simpul.
o Dalam beberapa hal sekum sukar diidentifikasi atau sukar dicari, untuk
mendapatkan sekum maka ileum atau usus halus yang terlihat kita
keluarkan sedikit demi sedikit sampai akhirnya tampak ileocecal
junction. Kemudian sekum dikeluarkan dan ileum dikembalikan ke
dalam rongga perut, dan appendisektomi dapat dikerjakan.
o Bilamana sekum sukar dikeluarkan misalnya karena perlekatan atau
sekum letaknya tinggi, dalam hal ini kita dapat memperlebat irisan atau
memotong otot untuk mencapai atau mengeluarkan sekum.
o Apabila ujung appendiks melekat ke dalam, dan sukar dicari maka
appendisektomi dapat dilakukan dengan cara retrograde, yaitu
melakukan appendisektomi dimulai dari pangkal appendiks. Sebagai
petunjuk untuk mencari pangkai appendiks ialah pertemuan antara 3 tenia
coli.

5. Appendisektomi secara Retrograde


o Mencari pangkal appendiks yakni pada pertemuan ketiga tenia coli
(Gambar 2.29)

28
Gambar 2.29 Gambar 2.30
o Dengan mempergunakan kromme klem (klem bengkok) atau zonde,
pangkal appendiks dipisahkan dari sekum dengan cara, blunt
dissection. Kemudian kita ikat pangkal appendiks dengan
catgut chromic setelah dilakukan crush (Gambar 2.30).
o Appendiks di bagian distal dari ikatan dikocher dan dipotong
dengan pisau yang telah kita olesi Iodium. Pangkal appendiks
ditanam di dalam dinding sekum dalam jahitan kantong tembakau (Gambar
2.31, Gambar 2.32, dan Gambar 2.33).

Gambar 2.31 (Crush, pengikatan da pemotongan basis appendiks)

Gambar 2.32 (Membuka tabakzaknaad)

29
Gambar 2.33 (Ujung proksimal appendiks ditanam)
o Kemudian appendiks dibebaskan ke arah ujung (distal) dengan hati-hati
terutama pada waktu. memotong meso appendiks (Gambar 2.34 dan
Gambar 2.35)

Gambar 2.34 (Membebaskan appendiks)

Gambar 2.35 (Memotong dan mengikat mesoappendiks)


o Pada waktu operasi ternyata keadaan appendiks tidak menunjukkan
tanda-tanda keradangan atau tidak sesuai dengan klinis maka kita harus
memeriksa atau melakukan eksplorasi adakah kelainan atau penyakit
lain sebagai penyebab keluhan dan gejala appendisitis di antaranya
adalah :
1) Adakah keradangan pada divertikel Meckel, yang dapat kita ketahui
dengan mengeluarkan ileum sejauh 1 meter dari ileocecal junction.

30
2) Ileum terminale, kemungkinan adanya ileitis terminalis atau adanya
perforasi ileum karena tifus abdominalis.
3) Keadaan genetalia interna (adnexitis, obarial abses dan lain-lain).
4) Kelainan pada sekum berupa keradangan atau divertikulitis.
5) Adakah perforasi duodenum atau lambung dan adakah perforasi
kantong empedu yaitu adanya cairan yang berwarna kehijauan di
rongga perut bagian atas.

Penyulit Appendisektomi :
1) Durante operasi :
a) Perdarahan intra peritoneal yaitu dari arteria appendicularis atau dari
omentum.
b) Perdarahan pada dinding perut (dari otot-otot).
c) Adanya robekan dari sekum atau usus lain.
2) Pasca Bedah dini :
a) Perdarahan.
b) Infeksi dinding perut.
c) Hematoom dinding perut.
d) Peralitik ileus.
e) Peritonitis.
f) Fistel usus.
g) Abses di dalam rongga peritoneum.

3) Penyulit pasca bedah lanjut :


a) Streng ileus oleh karena adanya band.
b) Hernia sikatrikalis.

Perawatan Paska Bedah :


o Pada hari operasi penderita diberi infus menurut kebutuhan sehari
(maintenance) kurang lebih 2 sampai 3 liter cairan Ringer lactat dan
Dextrosa.
o Mobilisasi secepatnya setelah penderita sadar dengan menggerakkan

31
kaki (flexi dan extensi), miring ke kiri dan ke kanan bergantian dan duduk.
Penderita boleh jalan pada hari pertama pasca bedah.
o Pemberian makanan peroral dimulai dengan memberi minum
sedikit-sedikit (50 cc) tiap jam apabila sudah ada aktivitas usus yaitu
adanya flatus, dan bising usus. Bilamana dengan pemberian minum bebas
penderita tidak kembung maka pemberian makanan peroral dimulai.
Lazimnya pada hari pertama atau hari kedua pasca bedah penderita boleh
diberi makan.

2.3 Appendisitis Kronik Eksaserbasi Akut


Diagnosis appendisitis rekurens baru dapat dipikirkan jika ada riwayat
serangan nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukannya
apendektomi, dan hasil patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini
terjadi bila serangan appendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun,
appendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan
jaringan parut. Risiko terjadinya serangan berulang adalah sekitar 50%. Insidens
appendisitis rekurens adalah 10% dari spesimen apendektomi yang diperiksa
secara patologik (Sjamsuhidajat R, 2007).
Pada appendisitis rekurens, biasanya dilakukan apen dektomi karena
penderita sering kali datang dalam serangan akut (Sjamsuhidajat R, 2007).

2.4 Appendisitis Kronik


Diagnosis appendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika semua syarat
berikut terpenuhi: riwayat nyeri perut kanan bawah yang lebih dari dua
mingau, terbttkti terjadi radang kronik appendiks baik secara makroskopik maupun
mikroskopik, dan keluhan menghilang pascaapendektomi.
Kriteria mikroskopik appendisitis kronik meliputi adanya fibrosis
menyeluruh pada dinding appendiks, sumbatan parsial atau total pada lumen
appendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan infiltrasi sel
inflamasi kronik. Insidens appendisitis kronik adalah sekitar 1-5% (Sjamsuhidajat
R, 2007).

32
DAFTAR PUSTAKA

Acosta Jose, et al. 2007. Townsend : Sabiston Textbook of Surgery, 18th ed.
New York : Elsevier.

Brunicardi Charles F, et al. 2010. Schwartzs Principle of Surgery, Ninth


Edition. New York : McGrawHill.

Brunicardi Charles F, et al. 2006. Schwartzs Manual of Surgery, Eighth


Edition. New York : McGrawHill.

Craig Sandy, et al, 2011. Appendisitis.


www.emedicine.medscape.com/article/773895-overview Updated : Jul 13, 2011.

Koesoemawati Herni, et al, 2000. Kamus Kedokteran Dorland, E/29.


Jakarta : Penerbit Kedokteran EGC.

Livingston Edward H, et al. 2011. Epidemiological Similarities Between


Appendisitis and Diverticulitis Suggesting a Common Underlying Pathogenesis.
Arch Surg. 2011;146(3):308-314.

Myers Jonathan A, et al. 2008. Common Surgical Diseases : An


Algorithmic Approach to Problem Solving, Second Edition. New York : Springer.

Norton Jeffrey A, et al. 2003. Essential Practice of Surgery : Basic Science


and Clinical Evidence. New York : Springer.

Sjamsuhidajat R, et al. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat


Sjamsuhidajat R, et al. 2007, Ed.3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Standring Susan, et al. 2005. Grays Anatomy : The Anatomical Basis of


Clinical Practice. Thirty-Ninth Edition. New York : Elsevier.

Wibowo Soetamto, et al. 2008. Pedoman Teknik Operasi OPTEK.


Surabaya : Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP).

33
Zollinger Robert M Jr, Ellison E Christopher. 2011. Zollingers Atlas of
Surgical Operations. New York : McGrawHill Medical.

34

Anda mungkin juga menyukai