Anda di halaman 1dari 11

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang
terletak di daerah khatulistiwa. Indonesia memiliki potensi yang
sangat besar di bidang perikanan dan kelautan. Potensi
sumberdaya ikan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,26 juta
ton per tahun ysng terdiri dari potensi di perairan Indonesia
sekotar 4,4 juta ton per tahun dan potensi perairan ZEE sekitar
1,86 juta ton per tahun. Potensi perikanan dan kelautan tersebut
menjadi terancam saat banyak sumberdaya perikanan yang
mengalami kelebihan tangkap (overfishing). Permasalahan ini
tidak hanya menjadi permasalahan Indonesia saja, namun
permasalahan ini terjadi di berbagai negara.
Kesadaran masyarakat akan pentingnya sumberdaya
perikanan yang berkelanjutan, mendorong munculnya konsep
regionalisasi wilayah laut. Konsep regionalisasi ini kemudian
diadopsi dalam United Nation Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS) pada tahun 1982. Setelah adanya UNCLOS 1982
tersebut, lahirlah berbagai macam instrumen hukum
internasional dan lembaga perikanan regional. Instrumen hukum
internasional yang lahir setelah adanya UNCLOS 1982 adalah
FAO Compliance Agreement 1993, Fish Stock Agreement 1995,
CCRF 1995 dan IPOA.
Bentuk penerapan dari instrumen hukum internasional
melahirkan organisasi-organisai pengelolaan perikanan regional
atau Regional Fisheries Management Organizations (RFMO). Saat
ini berbagai RFMO sudah memiliki wilayahnya masing-masing
yang tersebar di semua samudra. Masing masing RFMO tersebut
dibebaskan untuk mengatur sendiri kegiatan perikanan yang ada
di wilayahnya. RFMO juga berhak untuk mengelola sumberdaya
ikan yang ada di wilayahnya.
Dua aspek penting yang ada di setiap RFMO adalah besar
kuota penangkapan dan aturan-aturan. Aturan-aturan yang ada
di dalam setiap RFMO menuntut konsistensi dan komitmen setiap
negara anggota untuk mematuhi kesepakatan atau peraturan-
peraturan yang telah dibuat. Beberapa RFMO menetapkan sanksi
perdagangan, khususnya terhadap kapal-kapal yang melakukan
illegal fishing.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO)
yang ada di dunia?
2. Bagaimana keikutsertaan Indonesia di berbagai organisasi
regional pengelolaan perikanan (RFMO)?
3. Apa dampak yang ditimbulkan akibat keikutsertaan Indonesia
di berbagai organisasi regional pengelolaan perikanan (RFMO)?
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional (RFMO)


yang ada di Dunia
Kesepakatan United Nations Convention on the Law of the
Sea (UNCLOS) pada tahun 1982 membawa dampak yang
signifikan terhadap aturan perikanan di dunia. Salah satu
dampak dari UNCLOS 1982 adalah munculnya Regional Fisheries
Management Organizations (RFMO) atau organisasi pengelolaan
perikanan regional.
RFMO dibentuk karena sifat ikan yang selalu berpindah-
pindah tempat (migrasi) dan melintasi batas negara
(transboundary). Akibatnya, kegiatan penangkapan ikan yang
berlebihan di suatu negara dapat mengakibatkan kepunahan
ikan di negara lain. RFMO memiliki fungsi untuk mengelola
sumberdaya perikanan di regionalnya masing-masing.
Secara garis besar, RFMO terbagi menjadi dua yaitu RFMO
yang dibawahi oleh FAO dan non FAO. RFMO yang berada
dibawah PBB adalah Indian Ocean Tuna Commision (IOTC). RFMO
non FAO adalah Commision for the Conservation of Southern
Bluefin Tuna (CCSBT), Western Central Pacific Fisheries
Commision (WCPFC), Inter-American Tropical Tuna Commision
(IATTC) dan International Commision for the Conservation of
Atlantic Tunas (ICCAT).
1. Indian Ocean Tuna Commision (IOTC)
IOTC merupakan organisasi yang bertugas untuk
mengelola dan memanajemen sumberdaya Ikan Tunayang ada di
Samudra Hindia dan wilayah sekitarnya. IOTC menjalankan
koordinasi dan kerjasama yang berkaitan dengan konservasi dan
langkah efektif mengenai keberlanjutan Ikan Tunayang ada di
Samudra Hindia. IOTC disahkan oleh FAO pada tahun 1994 dan
perjanjian IOTC mulai berlaku efektif pada bulan Maret tahun
1996.
Berdasarkan artikel V Kesepakatan IOTC, fungsi dari IOTC
adalah:
- Meninjau kondisi dan kecenderungan dari stok perikanan,
mengumpulkan, menganalisa dan menyebarluaskan informasi
yang berkaitan dengan jumlah tangkapan, usaha penangkapan
dan data lain yang bersangkutan dengan penangkapan ikan.
- Mendorong, merekomendasikan dan mengkoordinasikan
pengembangan kegiatan mengenai jumlah dan penangkapan
yang tercakup dalam kesepakatan.
- Melakukan konservasi dan perhitungan sumberdaya
berdasarkan bukti-bukti ilmiah.
- Mengawasi aspek sosial dan ekonomi dari perikanan
khususnya kepentingan untuk pengembangan negara-negara
pesisir.
2. Commision for the Conservation of Southern Bluefin Tuna
(CCSBT)
CCSBT adalah organisasi yang memiliki fungsi untuk
melakukan tindakan pengelolaan dan konservasi terhadap Tuna
Sirip Biru Selatan. Pembentukan CCSBT didasari karena
menurunnya jumlah Ikan TunaSirip Biru Selatan dan penurunan
hasil tangkapan pada tahun 1960-an. Penurunan hasil tangkapan
semakin meningkat pada tahun 1980-an. Hal inilah yang
menuntut Australia, Jepang dan Selandia Baru mengambil
tindakan cepat dengan membatasi kuota hasil tangkapan kapal
ikannya.
Australia, Jepang dan Selandia Baru menandatangani
Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna pada
tanggal 10 Mei 1993. Konvensi ini baru efektif berlaku pada
tanggal 20 Mei 1994 setelah ketiga negara tersebut melakukan
formalisasi pembentukan Commision for the Conservation of
Southern Bluefin Tuna. Efektifitas pelaksanaan konvensi ini
dihadapkan pada beberapa negara yang melakukan
penangkapan Tuna Sirip Biru, namun belum menjadi anggota
seperti Korea, Taiwan dan Indonesia.
3. Western Central Pacific Fisheries Commision (WCPFC)
Negara-negara pantai di Pasifik Barat dan Pasifik Tengah
dan negara-negara yang menangkap ikan di sekitarnya
melakukan negosiasi selama empat tahun dan berhasil
menyepakati Convention on the Conservation and Management
of Highly Migratory fish Stocks in the Western and Central Pacific
Ocean yang ditandatangani pada tanggal 5 September 2000 di
Honolulu, Amerika Serikat. Dasar pembentukan WCPFC adalah
UNCLOS 1982 dan UN Fish Stocks Agreement 1995. Tujuan dari
pembentukan WCPFC adalah melakukan konservasi jangka
panjang dan memastikan keberlanjutan ikan-ikan yang
bermigrasi di Samudra Pasifik dengan manajemen yang efektif.

4. Inter-American Tropical Tuna Commision (IATTC)


Tujuan dari pembentukan IATTC adalah konservasi jangka
panjang dan keberlanjutan spesies Ikan Tunadan spesies ikan lain
yang ditangkap oleh kapal penangkap Tuna di Samudra Pasifik
bagian timur. IATTC didirikan pada tanggal 31 Mei 1949. Dasar
pembentukan IATTC adalah Convention for the Establishment of
an Inter-American Tropical Tuna Commission yang ditandatangani
oleh Amerika Serikat dan Kosta Rika. Tahun 2003, anggota IATTC
menandatangani Konvensi Antigua untuk memperkuat IATTC.
Konvensi ini kemudian diratifikasi oleh sebagian besar anggota
IATTC.
5. International Commision for the Conservation of Atlantic Tunas
(ICCAT)
ICCAT adalah organisasi yang bertanggung jawab terhadap
konservasi dan keberlanjutan spesies Ikan Tunayang berada di
Samudra Atlantik. ICCAT dibentuk pada tahun 1969 di Rio de
Janeiro, Brazil.

Gambar 1. Wilayah-wilayah Pengelolaan RFMO

2.2Keikutsertaan Indonesia di Berbagai Organisasi


Pengelolaan Perikanan Regional (RFMO)
Indonesia merupakan negara yang diapit oleh dua samudra
yaitu Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Hal ini menjadikan
Zona Ekonomi Eksklusiff Indonesia berdampingan atau
berhadapan dengan 3 RFMO yaitu IOTC, CCSBT dan WCPFC.
Wilayah Indonesia yang berdampingan dengan wilayah IOTC
adalah Pulau Sumatera bagian timur dan selatan. Wilayah
Indonesia yang berdampingan dengan wilayah CCSBT adalah
Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara bagian selatan. Wilayah
Indonesia yang berdampingan dengan wilayah WCPFC adalah
Maluku dan Papua bagian utara. Indonesia menjadi anggota IOTC
pada tahun 2007 melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun
2007. Indonesia menjadi anggota IOTC yang ke-27.
Indonesia menjadi anggota CCSBT pada tahun 2007. Dasar
keikutsertaan Indonesia dalam CCSBT adalah Peraturan Presiden
Nomor 109 Tahun 2007. Sebagai negara yang menjadi anggota
CCSBT, Indonesia berhak melakukan penangkapan Tuna Sirip Biru
sesuai dengan kuota yang telah disepakati. Indonesia juga
berhak untuk melakukan ekspor Tuna Sirip Biru ke berbagai
negara importir.
Indonesia menjadi anggota WCPFC pada tahun 2013 dalam
pertemuan Dissemination of Indonesia Membership Status in
WCPFC yang diselenggarakan di Jakarta. Hasil pertemuan
tersebut kemudian diratifikasi dalam Peraturan Presiden Nomor
61 Tahun 2013. Bergabungnya Indonesia sebagai anggota
WCPFC mendorong Indonesia untuk mematuhi dan
melaksanakan semua resolusi yang telah ditetapkan oleh WCPFC.
Indonesia juga berkewajiban untuk menghadiri semua sidang
komite dan komisi yang ditetapkan oleh WCPFC.
Sebagai anggota IOTC, CCSBT dan WCPFC Indonesia
memiliki kewajiban untuk melakukan dan menjalankan
konservasi demi perikanan berkelanjutan. Pemerintah Indonesia
mengeluarkan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
perikanan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai perikanan tangkap. Aturan ini sebagai salah satu
implementasi pemerintah dalam upaya penegakkan hukum laut
internasional dan juga sebagai upaya untuk menjaga
keberlangsungan produksi ikan tangkap domestik.

3.3Dampak Keikutsertaan Indonesia di Berbagai


Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional (RFMO)
Bergabungnya Indonesia di berbagai organisasi
pengelolaan perikanan regional (RFMO) membawa dampak yang
cukup signifikan bagi kegiatan perikanan. Dampak yang
ditimbulkan dari keikutsertaan Indonesia di RFMO tidak hanya
dari segi perikanan saja namun, dampak yang ditimbulkan juga
merambah aspek-aspek lain. Dampak yang ditimbulkan antara
lain:
A. Dampak Politik
Sebelum menjadi anggota RFMO seperti IOTC, CCSBT dan
WCPFC cakupan wilayah penangkapan ikan Indonesia hanya
sampai batas ZEE saja. Indonesia tidak diperbolehkan melakukan
operasi penangkapan ikan di laut lepas karena bukan merupakan
anggota RFMO tersebut. Setelah bergabung menjadi anggota
RFMO seperti IOTC dan CCSBT pada tahun 2007, cakupan
wilayah penangkapan ikan Indonesia semakin luas. Indonesia
diperbolehkan melakukan penangkapan ikan hingga ke Samudra
Hindia.
Kapal-kapal Indonesia yang beroperasi di wilayah RFMO
juga wajib didaftarkan. Kapal yang tidak memiliki izin operasi
maka, hasil tangkapan ikan yang diperoleh kapal tersebut tidak
bisa diterima di pasar internasional. Tahun 2013 pemerintah
Indonesia telah mendaftarkan 1281 kapal khususnya kapal yang
beroperasi di wilayah IOTC.
Beberapa RFMO seperti IOTC dan CCSBT memberlakukan
Trade Related Measures yang berkaitan dengan pemaksaaan
atas penataan tindakan konservasi dan pengelolaan sumberdaya
perikanan. Indonesia sebelum menjadi anggota IOTC dan CCSBT,
terkena aturan Trade Related Measures atau pembatasan
perdagangan dengan negara anggota organisasi tersebut.
Peraturan ini menandakan bahwa Indonesia terkena embargo
perdagangan ikan, khususnya ikan Tuna di pasar internasional.
Setelah Indonesia menjadi anggota IOTC dan CCSBT pada tahun
2007, embargo perdagangan tersebut kemudian dicabut.

B. Dampak Ekonomi
Bergabungnya Indonesia di berbagai RFMO memberikan
dampak yang luar biasa khususnya pada sektor ekonomi. Salah
satu dampaknya yaitu perkembangan ekspor Tuna Indonesia.
Tujuan ekspor Tuna Indonesia adalah Jepang, Amerika Serikat dan
Uni Eropa. Terdaftarnya Indonesia sebagai anggota RFMO seperti
IOTC memberikan banyak peluang kepada Indonesia untuk
memajukan sektor perikanan Indonesia. Hal ini karena pasar
yang tersedia bagi Indonesia semakin luas.
Indonesia bergabung menjadi anggota IOTC, maka secara
otomatis Indonesia memiliki akses pasat yang resmi dalam
pemasaran yang bersifat monopsoni. Monopsoni, yaitu jumlah
penjual lebih banyak daripada jumlah pembeli. Sifat monopsoni
ini membuat peran organisasi semacam IOTC sangat besar
dalam pengalokasian hasil tangkapan negara anggota terhadap
pasar internasional
Sebelum bergabung dengan RFMO seperti CCSBT dan IOTC,
Tuna ekspor dari Indonesia sempat ditolak oleh negara
pengimpor karena dianggap ilegal (black list). Setelah Indonesia
bergabung, perikanan Tuna Indonesia sudah bisa berkembang.
Data yang diolah dari perkembangan Tuna Indonesia
menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan terkait
produksi ikan Tuna Indonesia. Tahun 2007 Indonesia mengalami
peningkatan produksi yang cukup banyak dari tahun 2006. Ini
adalah bukti bahwa setelah Indonesia bergabung dengan IOTC
dan CCSBT perikanan Tuna Indonesia meningkat.
BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Organisasi perikanan regional (RFMO) yang ada di dunia
adalah Indian Ocean Tuna Commision (IOTC), Commision for
the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), Western
Central Pacific Fisheries Commision (WCPFC), Inter-American
Tropical Tuna Commision (IATTC) dan International Commision
for the Conservation of Atlantic Tunas (ICCAT).
2. Wilayah Indonesia berdampingan dengan IOTC, CCSBT dan
WCPFC. Sebagai anggota RFMO tersebut Indonesia memiliki
kewajiban untuk melakukan dan menjalankan konservasi demi
perikanan berkelanjutan.
3. Dampak yang ditimbulkan dari keikutsertaan Indonesia di
berbagai organisasi regional pengelolaan perikanan adalah
dampak politik dan ekonomi. Dampak politik yang didapatkan
adalah terlepasnya embargo perdagangan dari dunia
internasional. Dampak ekonomi yang didapat adalah semakin
meningkatnya ekspor perikanan khusunya Tuna dari Indonesia.

5.2 Saran
Indonesia hendaknya memanfaatkan keikutersertaan di
berbagai RFMO untuk memajukan sektor perikanan. Indonesia
juga harus aktif memperjuangkan upaya pelestarian sumberdaya
perikanan.
DAFTAR PUSTAKA

Mardia. 2011. Manfaat Keanggotaan Indonesia dalam Indian


Ocean Tuna Commission (IOTC). Bogor: Mayor Teknologi
dan Manajemen Perikanan Tangkap Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Solihin, Akhmad, Eko Sri Wiyono. 2015. Politik Hukum
Pengelolaan Perikanan Tuna di Laut Lepas oleh RFMO.
Jakarta: WWF-Indonesia.
Tranggana, Angga Ulung. 2015. Keikutsertaan Indonesia dalam
Indian Ocean Tuna Commission (IOTC). Jember: Jurusan
Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Jember.
https://en.wikipedia.org/wiki/Indian_Ocean_Tuna_Commission
(Diakses tanggal 6 April 2017).
http://www.fao.org/fishery/rfb/iattc/en (Diakses tanggal 7 April
2017).
http://www.fao.org/fishery/rfb/iotc/en (Diakses tanggal 6 April
2017).
http://www.fao.org/fishery/rfb/iccat/en (Diakses tanggl 6 April
2017).
http://www.fao.org/fishery/rfb/wcpfc/en (Diakses tanggal 6 April
2017).

Anda mungkin juga menyukai