Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Acquired Immune Deficuency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit
yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan ditandai dengan imunosupresi
berat yang menimbulkan infeksi oportunistik, neoplasma sekunder, dan manifestasi neurologis
(Vinay Kumar,2007). Pengidap AIDS umumnya berada dalam situasi yang membuat mereka
merasakan menjelang kematian dalam waktu dekat. Situasi tersebut mereka antisipasi secara
khusus. Ketika individu dinyatakan terinfeksi HIV, sebagian besar menunjukkan perubahan
karakter psikososial (hidup dalam stress, depresi, merasa kurangnya dukungan social, dan
perubahan perilaku (Nasronudin, 2005).
Pada suatu studi longitudinal ditemukan hasil dimana jumlah CD4+ limfosit menurun
38% lebih besar pada penderita HIV yang tidak mengalami depresi. Pada suatu studi longitudinal
dilaporkan prevalensi depresi meningkat dari 15-27% pada 36 bulan sebelum diagnosis AIDS
hingga 34% pada saat 6 bulan sebelum diagnosis AIDS dan 43% pada saat 6 bulan sesudah
diagnosis (Tandiono, 2007).
Penolakan terhadap diagnosis HIV akan membuat penderita jatuh pada keadaan stress
berkepanjangan dan berdampak pada penurunan system imun, sehingga
mempercepatprogresivitas HIV ke AIDS. Berdasarkan pendekatan ilmu Psychoneuroimunology
dapat dijelaskan, kondisi emosional berupa penolakan dan stress yang dialami penderita
terinfeksi HIV akan memodulasi system imun melelui jalur Hipothalamus-Pituitary-
Adenocorticol (HPA) axis dan system limbic (control emosi dan Learning Process), melepaskan
neuroleptik Corticotropin Realising Factor (CRF). Counter Regulasi ini mrningkatkan produksi
dari kotekolamin, kortisol dan argininvasopresin (AVP) (Nasronudin, 2005)
Motivasi sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan seseorang baik berupa motivasi
ekstrinsik (dukungan orang tua, teman dan sebagainya) maupun motivasi intrinsic (dari individu
sendiri). Dukungan social mempengaruhi kesehatan dan melindungi seseorang terhadap efek
negative stress berat (Nursalam, 2007). Perawat merupakan faktor yang mempunyai peran
penting pada pengelolaan stres khususnya dalam memfasilitasi dan mengarahkan koping pasien
yang konstruktif agar pasien dapat beradaptasi dengan sakitnya dan pemberian dukungan sosial,

1
berupa dukungan emosional, informasi, dan material (Batuman, 1990; Bear, 1996; Folkman &
Lazarus, 1988).

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu penyakit HIV?


2. Apa saja faktor-faktor psikologis terhadap penyakit HIV

C. Tujuan

1. Mengetahui apa itu penyakit HIV


2. Mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi psikologis penderita HIV

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi HIV/AIDS
Acquired Immune Deficuency Syndrome (AIDS) adalah suatu penyakit retrovirus yang
disebabkan oleh HIV dan ditandai oleh imunosupresi berat yang menimbulkan infeksi
oportunistik, neoplasma sekunder dan manifestasi neurologis (Vinay Kumar, 2007). HIV telah
ditetapkan sebagai agens penyebab AIDS. AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu
yang merupakan hasil akhir dariinfeksi oleh HIV (Sylvia Anderson Price, 2006).

B. Konsep stress dan stressor

Stres sebagai interaksi dan transaksi antara individu dengan lingkungan. Pendekatan ini
telah dibatasi sebagai model psikologi. Varian dari model psikologi ini didominasi teori stres
kontemporer dan terdapat dua tipe tegas yang dapat diidentifikasi: interaksional dan
transaksional. Menggambarkan stres sebagai suatu proses yang meliputi stresor dan strain
(ketegangan) dengan menambahkan dimensi hubungan antara individu dengan lingkungan.
Interaksi antara manusia dengan lingkungan yang saling mempengaruhi disebut sebagai
hubungan transaksional yang didalamnya terdapat proses penyesuaian. Stres bukan hanya suatu
stimulus atau sebuah respons saja, tetapi suatu agent yang aktif yang dapat mempengaruhi
stresor melalui strategi perilaku, kognitif dan emosional. Individu akan memberikan reaksi stres
yang berbeda pada stresor yang sama.
Stres sebagai suatu respons biologis. Hal ini sesuai dengan pemikiran Selye bahwa stres
berfokus pada reaksi seseorang terhadap stresor dan mengambarkan stres sebagai suatu respons.
Respons yang dialami itu mengandung dua komponen yaitu komponen psikologis (meliputi
perilaku, pola pikir, emosi dan perasaan stres) dan komponen fisiologis (berupa rangsangan-
rangsangan fisik yang meningkat). Selye mengemukakan respons tubuh terhadap stres tersebut
sebagai Stress Syndrome atau General Adaptation Syndrome (GAS) yang merupakan
respons umum dari tubuh. GAS menurut Selye terjadi saat organisme mengalami stres yang
panjang atau lama dan organ tubuh yang lain juga ikut dipengaruhi oleh kondisi stres tersebut.
Selye (1983) membagi stressor dalam beberapa tahap:
1. Alarm Stage

3
Merupakan reakisi awal tubuh dalam menghadapi berbagai stresor. Reaksi ini mirip
dengan fight or flight response. Tubuh tidak dapat mempertahankan tahap ini untuk jangka waktu
lama.
2. Adaptation stage (Eustress)
Tubuh mulai beradaptasi dengan adanya stres dan berusaha mengatasi dan membatasi
stresor. Ketidakmampuan beradaptasi akan berakibat orang menjadi lebih rentan terhadap
penyakit (disebut penyakit adaptasi).
3. Exhaustion (distress) stage
Tahap dimana adaptasi tidak bisa dipertahankan, disebabkan karena stres yang berulang
atau berkepanjangan sehingga stres berdampak pada seluruh tubuh.

C. Perkembangan Psikoneuroimunologi
Perkembangan Psikoneuroimunologi di Indonesia diawali oleh penelitian Putra dkk
(1992) pengaruh latihan dan Respons imun dilanjutkan pada tahun 1993 meneliti tentang
pengaruh latihan fisik dan kondisi kejiwaan terhadap ketahanan tubuh. Penelitian tersebut
berdasar pada konsep psikoneuroimunologi. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa
latihan fisik yang dilakukan secara teratur dengan dosis yang intermiten dan dilakukan dalam
kondisi yang menyenangkan akan meningkatkan respons imunitas, yaitu peningkatan IgM, IgG,
IgA, monosit, subset T4 (helper), estrogen, kortisol, testosterone dan ACTH.
Mekanisme peningkatan ketahanan tubuh secara psikoneuroimunologi dapat dilihat dengan
menghubungkan perubahan yang terjadi pada hormon dan neuropeptida yang melibatkan faktor
kondisi kejiwaan (stres) dalam mekanisme perubahan ketahanan tubuh. Kondisi kejiwaan
tersebut digambarkan sebagai status emosi yang mencerminkan dasar konsep kelainan mental.
Berdasar pada pemahaman konsep diatas, maka Psikoneuroimunologi merupakan
neologisme (istilah baru) yang menggambarkan discipline hybride, yang mempunyai paradigma
tersendiri, yaitu imunoregulasi tidak otonom.

4
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian dan Masalah Keperawatan
Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS, sejalan dengan
penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas seluler. Penurunan imunitas biasanya
diikuti adanya peningkatan risiko dan derajat keparahan infeksi oportunistik serta penyakit
keganasan.
Terjadi penurunan imunitas tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, faktor yang
penting menjadi perhatian tenaga kesehatan adalah stresor psikososial. Reaksi pertama kali yang
ditunjukkan setelah didiagnosis mengidap HIV adalah menolak (denial) dan shock (disbelief).
Mereka beranggapan bahwa sudah tidak ada harapan lagi dan merupakan penderitaan sepanjang
hidupnya.
Tabel 1.1: Pengelompokan Masalah Keperawatan Pasien HIV/AIDS (menurut Teori Adaptasi)
Masalah Fisik Masalah Psikis Masalah Sosial Masalah
Ketergantungan
1. Sistem - Intergritas Ego: Perasaan minder dan Perasaan
Pernapasan: Perasaan tak tak berguna di membutuhkan
Dyspnea, TBC, berdaya/ putus asa masyarakat pertolongan orang
Pneumonia) - Faktor stress: baru/ Interaksi Sosial: lain
2. Sistem lama -Perasaan terisolasi/
Pencernaan - Respons psikologis: ditolak
(Nausea-Vomiting, Denial, marah,
Diare, Dysphagia, Cemas, irritable
BB turun 10%/3
bulan)
3. Sistem
Persarafan: letargi,
nyeri sendi,
encepalopathy.
4. Sistem
Integumen: Edema
yg disebabkan

5
Kaposis Sarcoma,
Lesi di kulit atau
mukosa, Alergi.
5. Lain lain :
Demam, Risiko
menularkan

B. Respons Adaptif Psikososial - Spiritual


1. Respons Adaptif Psikologis (penerimaan diri)
Pengalaman suatu penyakit akan membangkitkan berbagai perasaan dan reaksi stres,
frustasi, kecemasan, kemarahan, penyangkalan, rasa malu, berduka dan ketidak pastian menuju
pada adaptasi terhadap penyakit.
Tahapan reaksi psikologis pasien HIV (Grame Stewart, 1997) adalah seperti terlihat pada tabel
berikut:
Tabel 1.2. Reaksi Psikologis Pasien HIV
Reaksi Proses psikologis Hal-hal yang biasa di jumpai

1. Shock (kaget, Merasa bersalah, marah, tidak Rasa takut, hilang akal,
goncangan batin) berdaya frustrasi, rasa sedih, susah,
acting out

2. Mengucilkan diri Merasa cacat dan tidak berguna, Khawatir menginfeksi orang
menutup diri lain, murung

3. Membuka status Ingin tahu reaksi orang lain, Penolakan, stres, konfrontasi
secara terbatas pengalihan stres, ingin dicintai

4. mencari orang lain Berbagi rasa, pengenalan, Ketergantungan, campur


yang HIV positif kepercayaan, penguatan, tangan, tidak percaya pada
dukungan sosial pemegang rahasia dirinya

5. Status khusus Perubahan keterasingan menjadi Ketergantungan, dikotomi kita


manfaat khusus, perbedaan dan mereka (sema orang dilihat
menjadi hal yang istmewa, sebagai terinfeksi HIV dan
dibutuhkan oleh yang lainnya direspon seperti itu), over

6
identification
6. Perilaku Komitmen dan kesatuan Pemadaman, reaksi dan
mementingkan orang kelompok, kepuasan memberi kompensasi yang berlebihan
lain dan berbagi, perasaan sebagi
kelompok

7. Penerimaan Integrasi status positif HIV Apatis, sulit berubah.


dengan identitas diri,
keseimbangan antara
kepentingan orang lain dengan
diri sendiri, bisa menyebutkan
kondisi seseorang

Respons Psikologis (penerimaan diri) terhadap Penyakit menurut Kubler Ross (1974):
a. Pengingkaran (denial)
Pada tahap pertama pasien menunjukkan karakteristik perilaku pengingkaran, mereka
gagal memahami dan mengalami makna rasional dan dampak emosional dari diagnosa.
Pengingkaran ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan pasien terhadap sakitnya atau sudah
mengetahuinya dan mengancam dirinya. Pengingkaran dapat dinilai dari ucapan pasien saya di
sini istirahat. Pengingkaran dapat berlalu sesuai dengan kemungkinan memproyeksikan pada
apa yang diterima sebagai alat yang berfungsi sakit, kesalahan laporan laboratorium, atau lebih
mungkin perkiraan dokter dan perawat yang tidak kompeten. Pengingkaran diri yang mencolok
tampak menimbulkan kecemasan, pengingkaran ini merupakan buffer untuk menerima kenyataan
yang sebenarnya. Pengingkaran biasanya bersifat sementara dan segera berubah menjadi fase
lain dalam menghadapi kenyataan (Achir Yani, 1999).
b. Kemarahan (anger)
Apabila pengingkaran tidak dapat dipertahankan lagi, maka fase pertama berubah
menjadi kemarahan. Perilaku pasien secara karakteristik dihubungkan dengan marah dan rasa
bersalah. Pasien akan mengalihkan kemarahan pada segala sesuatu yang ada disekitarnya.
Biasanya kemarahan diarahkan pada dirinya sendiri dan timbul penyesalan. Yang menjadi
sasaran utama atas kemarahan adalah perawat, semua tindakan perawat serba salah, pasien

7
banyak menuntut, cerewet, cemberut, tidak bersahabat, kasar, menantang, tidak mau bekerja
sama, sangat marah, mudah tersinggung, minta banyak perhatian dan iri hati. Jika keluarga
mengunjungi maka menunjukkan sikap menolak, yang mengakibatkan keluarga segan untuk
datang, hal ini akan menyebabkan bentuk keagresipan (Hudak & Gallo, 1996).
c. Sikap tawar menawar (bargaining)
Setelah marah-marah berlalu, pasien akan berfikir dan merasakan bahwa protesnya tidak
ada artinya. Mulai timbul rasa bersalahnya dan mulai membina hubungan dengan Tuhan,
meminta dan berjanji merupakan ciri yang jelas yaitu pasien menyanggupi akan menjadi lebih
baik bila terjadi sesuatu yang menimpanya atau berjanji lain jika dia dapat sembuh (Achir Yani,
1999).
d. Depresi
Selama fase ini pasien sedih/ berkabung mengesampingkan marah dan pertahanannya serta
mulai mengatasi kehilangan secara konstruktif. Pasien mencoba perilaku baru yang konsisten dengan
keterbatasan baru. Tingkat emosional adalah kesedihan, tidak berdaya, tidak ada harapan, bersalah,
penyesalan yang dalam, kesepian dan waktu untuk menangis berguna pada saat ini. Perilaku fase ini
termasuk mengatakan ketakutan akan masa depan, bertanya peran baru dalam keluarga intensitas
depresi tergantung pada makna dan beratnya penyakit (Netty, 1999).
e. Penerimaan dan partisipasi
Sesuai dengan berlalunya waktu dan pasien beradapatasi, kepedihan dari kesabatan yang
menyakitkan berkurang dan bergerak menuju identifikasi sebagai seseorang yang keterbatasan
karena penyakitnya dan sebagai seorang cacat. Pasien mampu bergantung pada orang lain jika
perlu dan tidak membutuhkan dorongan melebihi daya tahannya atau terlalu memaksakan
keterbatasan atau ketidakadekuatan (Hudak & Gallo, 1996).
Proses ingatan jangka panjang yang terjadi pada keadaan stres yang kronis akan menimbulkan
perubahan adaptasi dari jaringan atau sel. Adaptasi dari jaringan atau sel imun yang memiliki
hormon kortisol dapat terbentuk bila dalam waktu lain menderita stres, dalam teori adaptasi dari
Roy dikenal dengan mekanisme regulator.

2. Respons Adaptif Spiritual


Respons Adaptif Spiritual dikembangkan dari konsep Ronaldson (2000) dan Kauman &
Nipan (2003).
Respons adaptif Spiritual, meliputi:

8
1. Harapan yang realistis
2. Tabah dan sabar
3. Pandai mengambil hikmah

C. Diagnosis Keperawatan Pada HIV/AIDS


Pada klien dengan HIV/AIDS, bisa ditemukan beberapa diagnosis keperawatan berkaitan
dengan respon psikologis dan spiritual antara lain:
1. Kecemasan berhubungan dengan: prognosis yang tidak jelas, persepsi tentang efek penyakit
dan pengobatan terhadap gaya hidup.
2. Gangguan gambaran diri berhubungan dengan: penyakit kronis, alopesia, penurunan berat
badan, dan gangguan seksual.
3. Koping keluarga: tidak mampu berhubungan dengan informasi atau pemahaman yang tidak
adekuat atau tidak tepat keluarga atau teman dekat, penyakit kronis, perasaan yang tidak
terselesaikan secara kronis.
4. Koping tidak efektif berhubungan dengan: kerentanan individu dalam situasi krisis (misalnya
penyakit terminal).
5. Takut berhubungan dengan: ketidakberdayaan, ancaman yang nyata terhadap kesejahteraan
diri sendiri, kemungkinan terkucil, kemungkinan kematian.
6. Berduka, disfungsional/diantisipasi berhubungan dengan: kematian atau perubahan gaya
hidup yang segera terjadi, kehilangan fungsi tubuh, perubahan penampilan, ditinggalkan oleh
orang yang berarti (orang terdekat).
7. Keputusasaan berhubungan dengan: perubahan kondisi fisik, prognosis yang buruk.
8. Harga diri rendah (kronik, situasional) berhubungan dengan penyakit kronis, krisis
situasional.
9. Isolasi sosial berhubungan dengan stigma, ketakutan orang lain terhadap penyebaran infeksi,
ketakutan diri sendiri terhadap penyebaran HIV, moral budaya dan agama, penampilan fisik,
gangguan harga diri dan gambaran diri.
10. Distres spiritual berhubungan dengan: tantangan sistem keyakinan dan nilai, tes keyakinan
spiritual.
11. Risiko kekerasan yang diarahkan pada diri sendiri faktor rsiiko: ide bunuh diri, keputusasaan.
(Sumber: Wilkinson, 2005) .

9
D. Intervensi Keperawatan Pasien Terinfeksi (PHIV)
Prinsip Asuhan keperawatan PHIV dalam mengubah perilaku dalam perawatan dan
meningkatkan respons Imunitas PHIV melalui pemenuhan kebutuhan fisik, psikologis, sosial,
dan spiritual perawat dalam menurunkan stresor. Pasien yang didiagnosis dengan HIV
mengalami stres persepsi (kognisi: penerimaan diri, sosial, dan spiritual) dan respons biologis
selama menjalani perawatan di rumah sakit dan di rumah (home care). Peran perawat dalam
perawatan pasien terinfeksi HIV adalah melaksanakan pendekatan Asuhan Keperawatan agar
pasien dapat beradaptasi dengan cepat. Antara lain adalah:
1. Memfasilitasi strategi koping
a. Memfasilitasi sumber penggunaan potensi diri agar terjadi respons penerimaan sesuai tahapan
dari Kubler-Ross
b. Teknik Kognitif, penyelesaian masalah; harapan yang realistis; dan pandai mengambil hikmah
c. Teknik Perilaku, mengajarkan perilaku yang mendukung kesembuhan: kontrol & minum obat
teratur; konsumsi nutrisi seimbang; istirahat dan aktifitas teratur; dan menghindari konsumsi atau
tindakan yang menambah parah sakitnya

2. Dukungan sosial
1. dukungan emosional, pasien merasa nyaman; dihargai; dicintai; dan diperhatikan
2. dukungan informasi, meningkatnya pengetahuan dan penerimaan pasien terhadap sakitnya
3. dukungan material, bantuan / kemudahan akses dalam pelayanan kesehatan pasien

E. Asuhan keperawatan respon adaptif psikologis (strtegi koping)


Mekanisme koping adalah mekanisme yang digunakan individu untuk menghadapi
perubahan yang diterima. Apabila mekanisme koping berhasil, maka orang tersebut akan dapat
beradaptasi terhadap perubahan tersebut. Mekanime koping dapat dipelajari, sejak awal
timbulnya stresor dan orang menyadari dampak dari stresor tersebut (Carlson, 1994).
Kemampuan koping dari individu tergantung dari temperamen, persepsi, dan kognisi serta latar
belakang budaya/norma dimana dia dibesarkan (Carlson, 1994).
Mekanisme koping terbentuk melalui proses belajar dan mengingat. Belajar disini adalah
kemampuan menyesuaikan diri (adaptasi) pada pengaruh faktor internal dan eksternal

10
(Nursalam, 2003). Menurut Roy, yang dikutip oleh Nursalam (2003) mekanisme belajar
merupakan suatu proses didalam sistem adaptasi (cognator) yang meliputi mempersepsikan
suatu informasi, baik dalam bentuk implisit maupun eksplisit. Belajar implisit umumnya bersifat
reflektif dan tidak memerlukan kesadaran (focal) sebagaimana terlihat pada gambar. Keadaan ini
ditemukan pada perilaku kebiasaan, sensitisasi dan keadaan. Pada habituasi timbul suatu
penurunan dari transmisi sinap pada neuron sensoris sebagai akibat dari penurunan jumlah
neurotransmitter yang berkurang yang dilepas oleh terminal presinap (Bear, 1996;
Notosoedirdjo, 1998). Pada habituasi menuju ke depresi homosinaptik untuk suatu aktivitas dari
luar yang terangsang terus menerus (Bear, 1996). Sensitifitas sifatnya lebih kompleks dari
habituasi, mempunyai potensial jangka panjang (beberapa menit sampai beberapa minggu).
Koping yang efektif menempati tempat yang central terhadap ketahanan tubuh dan daya
penolakan tubuh terhadap gangguan maupun serangan suatu penyakit baik bersifat fisik maupun
psikis, sosial, spiritual. Perhatian terhadap koping tidak hanya terbatas pada sakit ringan tetapi
justru penekanannya pada kondisi sakit yang berat (Notosoedirdjo M, 1998 & Keliat, 1999).
Lipowski membagi koping dalam 2 bentuk , yaitu coping style dan coping strategy.
Coping style merupakan mekanisme adaptasi individu meliputi mekanisme psikologis dan
mekanisme kognitif dan persepsi. Sifat dasar coping style adalah mengurangi makna suatu
konsep yang dianutnya, misalnya penolakan atau pengingkaran yang bervariasi yang tidak
realistis atau berat (psikotik) hingga pada tingkatan yang sangat ringan saja terhadap suatu
keadaan.
Coping strategy merupakan koping yang digunakan individu secara sadar dan terarah
dalam mengatasi sakit atau stresor yang dihadapinya. Terbentuknya mekanisme koping bisa
diperoleh melalui proses belajar dalam pengertian yang luas dan relaksasi. Apabila individu
mempunyai mekanisme koping yang efektif dalam menghadapi stresor, maka stresor tidak akan
menimbulkan stres yang berakibat kesakitan (disease), tetapi stresor justru menjadi stimulan
yang mendatangkan wellness dan prestasi.
a. Strategi Koping (Cara Penyelesaian Masalah)
Beradaptasi terhadap penyakit memerlukan berbagai strategi tergantung ketrampilan
koping yang bisa digunakan dalam menghadapi situasi sulit. Menurut Mooss (1984) yang dikutip
Brunner dan Suddarth menguraikan tujuh koping yang negatif kategori keterampilan.
a. Koping yang negatif

11
1. Penyangkalan (avoidance)
Penyangkalan meliputi penolakan untuk menerima atau menghargai keseriusan penyakit. Pasien
biasanya menyamarkan gejala yang merupakan bukti suatu penyakit atau mengacuhkan beratnya
diagnosis penyakit dan penyangkalan ini merupakan mekanisme pertahanan ego yang
melindungi terhadap kecemasan.
2. Menyalahkan diri sendiri (self-blame). Koping ini muncul sebagai reaksi terhadap suatu
keputusasaan. Pasien merasa bersalah dan semua yang terjadi akibat dari perbuatannya.
3. Pasrah (wishfull thinking). Pasien merasa pasrah terhadap masalah yang menimpanya tanpa adanya
usaha dan motivasi untuk menghadapinya.
b. Mencari informasi
Keterampilan koping dalam mencari informasi mencakup
1. Mengumpulkan informasi yang berkaitan yang dapat menghilangkan
kecemasan yang disebabkan oleh salah konsepsi dan ketidakpastian.
2. Menggunakan sumber intelektual secara efektif
Pasien sering merasa terhibur oleh informasi mengenai penyakit, pengobatan dan perjalanan
penyakit yang diperkirakan terjadi.
c. Meminta dukungan emosional
Kemampuan untuk mendapat dukungan emosional dari keluarga, sahabat dan pelayanan
kesehatan sementara memelihara rasa kemampuan diri sangat penting. Koping ini bermakna
untuk meraih bantuan dari orang lain sehingga akan memelihara harapan melalui dukungan.
d. Pembelajaran perawatan diri
Belajar merawat diri sendiri menunjukkan kemampuan dan efektifitas seseorang,
ketidakberdayaan seseorang akan berkurang karena rasa bangga dalam percepatan membantu
memulihkan dan memelihara harga diri.
e. Menetapkan tujuan kongkrit, terbatas
Keseluruhan tugas beradaptasi terhadap penyakit serius tampak membingungkan pada awalnya
namun tugas tersebut dapat dikuasai dengan membagi-bagi tugas tersebut menjadi tujuan yang
lebih kecil dan dapat ditangani akhirnya mengarah pada keberhasilan. Hal ini dapat dilaksanakan
bila motivasi tetap dijaga dan perasaan tidak berdaya dikurangi.
f. Mengulangi hasil alternatif

12
Selalu saja ada alternatif lain dalam setiap situasi, dengan memahami pilihan tersebut akan
membatu pasien merasa berjurang ketidakberdayaannya. Dengan menggali pilihan tersebut
bersama perawat dalam keluarga akan membatu membuka realitas sebagai dasar untuk membuat
keputusan selanjutnya. Koping ini membantu pasien mengurangi kecemasan dengan cara
mempersiapkan hari esok dengan mengingat kembali bagaimana pasein mampu mengatasi
kesulitan masa lalu dan meningkatkan percaya diri.
g. Menemukan makna dari penyakit
Penyakit merupakan satu pengalaman manusia kebanyakan orang menganggap penyakit serius
sebagai titik balik kehidupan mereka baik spiritual maupun fisiologis, terkadang orang
menemukan kepuasan dalam kepercayaan mereka bahwa pasien mungkin mempunyai makna
atau berguna bagi orang lain. Mereka dapat berpartisipasi dalam proyek penelitian atau program
latihan untuk saat ini, keluarga dapat berkumpul akibat adanya penyakit meskipun menyakitkan
namun dengan cara sangat berarti.

b. Koping yang positif (Teknik Koping)


Ada 3 teknik koping yang ditawarkan dalam mengatasi stress:
a. Pemberdayaan Sumber Daya Psikologis (Potensi diri)
Sumber daya psikologis merupakan kepribadian dan kemampuan individu dalam
memanfaatkannya menghadapi stres yang disebabkan situasi dan lingkungan (Pearlin &
Schooler, 1978:5). Karakterisik di bawah ini merupakan sumber daya psikologis yang penting.
1. Pikiran yang positif tentang dirinya (harga diri)
Jenis ini bermanfaat dalam mengatasi situasi stres, sebagaimana teori dari Colleys
looking-glass self: rasa percaya diri, dan kemampuan untuk mengatasi masalah yg dihadapi.
2. Mengontrol diri sendiri
Kemampuan dan keyakinan untuk mengontrol tentang diri sendiri dan situasi (internal
control) dan external control (bahwa kehidupannya dikendalikan oleh keberuntungan, nasib, dari
luar) sehingga pasien akan mampu mengambil hikmah dari sakitnya (looking for silver lining)
Kemampuan mengontrol diri akan dapat memperkuat koping pasien, perawat harus menguatkan
kontrol diri pasien dengan melakukan:
1. Membantu pasien mengidentifikasi masalah dan seberapa jauh dia dapat mengontrol diri
2. Meningkatkan perilaku menyeleseaikan masalah

13
3. Membantu meningkatkan rasa percaya diri, bahwa pasien akan mendapatkan hasil yang lebih
baik
4. Memberi kesempatan kepada pasien untuk mengambil keputusan terhadap dirinya
5. Mengidentifikasi sumber-sumber pribadi dan lingkungan yang dapat meningkatkan kontrol
diri: keyakinan, agama

b. Rasionalisasi (Teknik Kognitif)


Upaya memahami dan mengiterpretasikan secara spesifik terhadap stres dalam mencari
arti dan makna stres (neutralize its stressfull). Dalam menghadapi situasi stres, respons individu
secara rasional adalah dia akan menghadapi secara terus terang, mengabaikan, atau
memberitahukan kepada diri sendiri bahwa masalah tersebut bukan sesuatu yang penting untuk
dipikirkan dan semuanya akan berakhir dengan sendirinya. Sebagaian orang berpikir bahwa
setiap suatu kejadian akan menjadi sesuatu tantangan dalam hidupnya. Sebagian lagi
menggantungkan semua permasalahan dengan melakukan kegiatan spiritual, lebih mendekatkan
diri kepada sang pencipta untuk mencari hikmah dan makna dari semua yang terjadi.
c. Teknik Perilaku
Teknik perilaku dapat dipergunakan untuk membantu individu dalam mengatasi situasi
stres. Beberapa individu melakukan kegiatan yang bermanfaat dalam menunjang
kesembuhannya. Misalnya, pasien HIV akan melakukan aktivitas yang dapat membantu
peningkatan daya tubuhnya dengan tidur secara teratur, makan seimbang, minum obat anti
retroviral dan obat untuk infeksi sekunder secara teratur, tidur dan istirahat yang cukup, dan
menghindari konsumsi obat-abat yang memperparah keadan sakitnya.
F. Asuhan Keperawatan Respons Spiritual
Asuhan keperawatan pada aspek spiritual ditekankan pada penerimaan pasien terhadap
sakit yang dideritanya (Ronaldson, 2000). Sehingga PHIV akan dapat menerima dengan ikhlas
terhadap sakit yang dialami dan mampu mengambil hikmah. Asuhan keperawatan yang dapat
diberikan adalah:
a. Menguatkan harapan yang realistis kepada pasien terhadap kesembuhan
Harapan merupakan salah satu unsur yang penting dalam dukungan sosial. Orang bijak
mengatakan hidup tanpa harapan, akan membuat orang putus asa dan bunuh diri. Perawat

14
harus meyakinkan kepada pasien bahwa sekecil apapun kesembuhan, misalnya akan memberikan
ketenangan dan keyakinan pasien untuk berobat.
b. Pandai mengambil hikmah
Peran perawat dalam hal ini adalah mengingatkan dan mengajarkan kepada pasien untuk
selalu berfikiran positif terhadap semua cobaan yang dialaminya. Dibalik semua cobaan yang
dialami pasien, pasti ada maksud dari Sang Pencipta. Pasien harus difasilitasi untuk lebih
mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan jalan melakukan ibadah secara terus menerus.
Sehingga pasien diharapkan memperoleh suatu ketenangan selama sakit.
c. Ketabahan hati
Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan ketabahan hati dalam
menghadapi cobaan. Individu yang mempunyai kepribadian yang kuat, akan tabah dalam
menghadapi setiap cobaan. Individu tersebut biasanya mempunyai keteguhan hati dalam
menentukan kehidupannya.
Ketabahan hati sangat dianjurkan kepada PHIV. Perawat dapat menguatkan diri pasien
dengan memberikan contoh nyata dan atau mengutip kitab suci atau pendapat orang bijak; bahwa
Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada umatNYA, melebihi kemampuannya (Al. Baqarah,
286). Pasien harus diyakinkan bahwa semua cobaan yang diberikan pasti mengandung hikmah,
yang sangat penting dalam kehidupannya.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB BUNUH DIRI


Faktor-faktor penyebab

15
Kondisi-kondisi yang memicu bunuh diri di 16 negara bagian Amerika pada tahun 2008.[10]

Faktor-faktor yang memengaruhi risiko bunuh diri antara lain gangguan jiwa, penyalahgunaan
obat, kondisi psikologis, budaya, kondisi keluarga dan masyarakat, dan genetik. Penyakit jiwa
dan penyalahgunaan zat biasanya saling berkaitan. Faktor risiko lain termasuk pernah melakukan
percobaan bunuh diri, adanya sarana yang tersedia untuk melakukan tindakan tersebut, peristiwa
bunuh diri dalam sejarah keluarga, atau adanya luka trauma otak. Contohnya, angka bunuh diri di
keluarga yang memiliki senjata api jumlahnya lebih besar daripada di keluarga yang tidak
memilikinya. Faktor sosial ekonomi seperti pengangguran, kemiskinan, gelandangan, dan
diskriminasi dapat mendorong pemikiran untuk melakukan bunuh diri. Sekitar 15-40% pelaku
meninggalkan sebuah pesan bunuh diri. Faktor genetik sepertinya bertanggung jawab terhadap
perilaku bunuh diri sebesar 38% hingga 55%. Veteran perang memiliki risiko lebih besar untuk
melakukan bunuh diri yang sebagian disebabkan oleh tingginya angka penyakit jiwa dan masalah
kesehatan fisik yang terkait perang.

Gangguan Jiwa

Gangguan jiwa seringkali terjadi pada seseorang saat melakukan bunuh diri dengan angka
kejadian berkisar antara 27% hingga lebih dari 90%.Orang yang pernah dirawat di rumah sakit
jiwa memiliki risiko melakukan tindakan bunuh diri yang berhasil sebesar 8.6% selama
hidupnya. Sebagian dari orang yang meninggal karena bunuh diri bisa jadi memiliki gangguan
depresi mayor. Orang yang mengidap gangguan depresi mayor atau salah satu dari gangguan
keadaan jiwa seperti gangguan bipolar memiliki risiko lebih tinggi, hingga mencapai 20 kali
lipat, untuk melakukan bunuh diri. Kondisi lain yang turut terlibat adalah skizofrenia (14%),
gangguan kepribadian (14%),[22] gangguan bipolar, dan gangguan stres pasca-trauma. Sekitar 5%
pengidap skizofrenia mati karena bunuh diri. Gangguan makan juga merupakan kondisi berisiko
tinggi lainnya.

Riwayat percobaan bunuh diri pada masa lalu merupakan alat prediksi terbaik terjadinya
tindakan bunuh diri yang akhirnya berhasil. Kira-kira 20% bunuh diri menunjukkan adanya
riwayat percobaan pada masa lampau. Lalu, dari sekian yang pernah mencoba melakukan bunuh
diri memiliki peluang sebesar 1% untuk melakukan bunuh diri yang berhasil dalam tempo satu
tahun kemudian dan lebih dari 5% melakukan bunuh diri setelah 10 tahun. Meskipun tindakan
melukai diri sendiri bukan merupakan percobaan bunuh diri, namun adanya perilaku suka
melukai diri sendiri tersebut meningkatkan risiko bunuh diri.

16
Dari kasus bunuh diri yang berhasil, sekitar 80% individu yang melakukannya telah menemui
dokter selama setahun sebelum kematian, termasuk 45% di antaranya yang menemui dokter
dalam satu bulan sebelum kematian. Sekitar 2540% orang yang berhasil melakukan bunuh diri
pernah menghubungi layanan kesehatan jiwa pada tahun sebelumnya.

Penggunaan obat

Penyalahgunaan obat adalah faktor risiko bunuh diri paling umum kedua setelah depresi mayor
dan gangguan bipolar. Baik penyalahgunaan obat kronis maupun kecanduan akut saling
berhubungan satu sama lain. Bila digabungkan dengan kesedihan diri, misalnya ditinggalkan
seseorang yang meninggal, risiko tersebut semakin meningkat. Selain itu, penyalahgunaan obat
berkaitan dengan gangguan kesehatan jiwa. Saat melakukan bunuh diri, kebanyakan orang
berada dalam pengaruh obat yang bersifat sedatif-hipnotis (misalnya alkohol atau
benzodiazepine) dengan adanya alkoholisme pada sekitar 15% sampai 61% kasus. Negara-
negara dengan angka penggunaan alkohol tinggi dan memiliki jumlah bar lebih banyak secara
umum juga memiliki risiko terjadinya bunuh diri lebih tinggi yang keterkaitannya terutama
berhubungan dengan penggunaan minuman beralkohol hasil distilasi ketimbang jumlah total
alkohol yang digunakan. Sekitar 2.23.4% dari mereka yang pernah dirawat karena menderita
alkoholisme pada suatu waktu dalam kehidupan mereka meninggal dengan cara bunuh diri.
Pecandu alkohol yang melakukan percobaan bunuh diri biasanya pria, dalam usia tua, dan pernah
melakukan percobaan bunuh diri pada masa lampau. Antara 3 hingga 35% kematian pada
kelompok pemakai heroin diakibatkan oleh bunuh diri (kira-kira 14 kali lipat lebih besar
dibandingkan kelompok yang tidak memakai heroin). Penyalahgunaan kokain dan
methamphetamine memiliki korelasi besar terhadap bunuh diri. Mereka yang menggunakan
kokain memiliki risiko terbesar saat berada dalam fase sakaw. Mereka yang menggunakan
inhalansia juga memiliki risiko besar dengan sekitar 20% di antaranya mencoba melakukan
bunuh diri pada suatu waktu dan lebih dari 65% pernah berpikir untuk melakukannya. Merokok
memiliki keterkaitan dengan risiko bunuh diri. Tidak ada bukti yang cukup kuat mengapa ada
keterkaitan tersebut; namun hipotesis menyatakan bahwa mereka yang memiliki kecenderungan
merokok juga memiliki kecenderungan untuk melakukan bunuh diri, bahwa merokok
menyebabkan masalah kesehatan sehingga mendorong seseorang untuk mengakhiri hidupnya,
dan bahwa merokok mempengaruhi kimia otak hingga menyebabkan kecenderungan bunuh diri.
Meski demikian, Ganja/Cannabis sepertinya tidak secara tunggal menyebabkan peningkatan
risiko.

Masalah Perjudian

Masalah perjudian pada seseorang dikaitkan dengan meningkatnya keinginan bunuh diri dan
upaya-upaya melakukan tindak bunuh diri dibandingkan dengan populasi umum. Antara 12 dan
24% pejudi patologis berusaha bunuh diri. Angka bunuh diri di kalangan istri-istri mereka tiga
kali lebih besar daripada populasi umum. Faktor lain yang meningkatkan risiko pada mereka
dengan masalah perjudian meliputi penyakit mental, alkohol dan penyalahgunaan narkoba

Kondisi Medis

17
Terdapat hubungan antara bunuh diri dan masalah kesehatan fisik, mencakup: sakit kronis,
cedera otak traumatis, kanker, mereka yang menjalani hemodialisis, HIV, lupus eritematosus
sistemik, dan beberapa lainnya. Diagnosis kanker membuat risiko bunuh diri menjadi kira-kira
dua kali lipat. Angka kejadian bunuh diri yang meningkat tetap tinggi setelah disesuaikan dengan
penyakit depresi dan penyalahgunaan alkohol. Pada orang yang memiliki lebih dari satu kondisi
medis, risiko tersebut sangat tinggi. Di Jepang, masalah kesehatan termasuk dalam daftar utama
diperbolehkannya bunuh diri.

Gangguan tidur seperti insomnia dan apnea tidur merupakan faktor risiko mengalami depresi dan
melakukan bunuh diri. Pada beberapa kasus, gangguan tidur mungkin menjadi faktor risiko
independen timbulnya depresi. Sejumlah kondisi medis lainnya mungkin disertai gejala yang
mirip dengan gangguan suasana hati, termasuk: hipotiroid, Alzheimer, tumor otak, lupus
eritematosus sistemik, dan efek samping dari sejumlah obat (seperti beta blocker dan steroid).

Keadaan psikososial

Sejumlah keadaan psikologis juga meningkatkan risiko bunuh diri, meliputi: keputusasaan,
hilangnya kesenangan dalam hidup, depresi dan kecemasan. Kurangnya kemampuan untuk
memecahkan masalah, hilangnya kemampuan seseorang yang dahulu dimilikinya, dan
kurangnya pengendalian impuls juga berperan. Pada orang dewasa lanjut usia, persepsi tentang
menjadi beban bagi orang lain merupakan hal yang penting.

Stres kehidupan yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir seperti kehilangan anggota keluarga
atau teman, kehilangan pekerjaan, atau isolasi sosial (seperti hidup sendiri) meningkatkan risiko
tersebut. Orang yang tidak pernah menikah juga berisiko lebih besar. Bersikap religius dapat
mengurangi risiko seseorang untuk melakukan bunuh diri. Hal ini dikaitkan dengan pandangan
negatif sebagian besar agama yang menentang perbuatan bunuh diri dan dengan lebih besarnya
rasa keterikatan yang bisa diberikan oleh agama. Muslim, di antara umat beragama, tampaknya
memiliki tingkat yang lebih rendah.

Sejumlah orang mungkin ingin bunuh diri untuk melarikan diri dari intimidasi atau tuduhan.
Riwayat pelecehan seksual pada masa kecil dan dan saat menjadi anak asuh juga merupakan
faktor risiko. Pelecehan seksual diyakini memberi kontribusi sekitar 20% dari keseluruhan risiko.

evolusioner menjelaskan bahwa persoalan bunuh diri bisa meningkatkan kemampuan inklusif.
Hal ini dapat terjadi jika orang yang ingin bunuh diri tidak dapat lagi memiliki anak dan
mengangkat anak dari kerabatnya dengan tetap bertahan hidup. Hal yang tidak dapat disetujui
adalah bahwa kematian pada remaja yang sehat tidak menyebabkan terjadinya kemampuan
inklusif. Proses adaptasi terhadap lingkungan adat nenek moyang yang sangat berbeda mungkin
menjadi proses yang maladaptif dalam kondisi saat ini.

Kemiskinan dikaitkan dengan risiko bunuh diri. Meningkatnya kemiskinan relatif seseorang
yang dibandingkan dengan orang yang ada di sekitarnya dapat meningkatkan risiko bunuh diri.
Lebih dari 200.000 petani di India telah melakukan bunuh diri sejak tahun 1997, yang sebagian
karena persoalan utang. Di Cina, kemungkinan peristiwa bunuh diri terjadi tiga kali lipat di

18
daerah pedesaan di pinggiran kota, yang diyakini akibat kesulitan keuangan di area ini di negara
tersebut.

Media

Media, termasuk internet, memainkan peranan penting. Caranya menyajikan gambaran bunuh
diri mungkin saja memiliki efek negatif dengan banyaknya tayangan yang mencolok dan
berulang yang mengagungkan atau meromantiskan tindakan bunuh diri dan memberikan dampak
terbesar. Bila digambarkan secara rinci tentang cara melakukan bunuh diri dengan menggunakan
cara tertentu, metode bunuh diri mungkin saja meningkat dalam populasi secara keseluruhan.

Pemicu penularan bunuh diri atau peniruan bunuh diri ini dikenal sebagai efek Werther, yang
diberi nama berdasarkan tokoh protagonist dalam karya Goethe yang berjudul The Sorrows of
Young Werther yang melakukan bunuh diri. Risiko ini lebih besar pada remaja yang mungkin
meromantiskan kematian. Sementara media massa memiliki pengaruh yang signifikan, efek dari
media hiburan masih tampak samar-samar. Kebalikan dari efek Werther adalah pengusulan efek
Papageno, yaitu cakupan yang baik mengenai mekanisme cara mengatasi masalah secara efektif,
mungkin memiliki efek perlindungan. Istilah ini didasarkan pada karakter dalam opera Mozart
yang berjudul The Magic Flute yang akan melakukan bunuh diri karena takut kehilangan orang
yang dicintainya sampai teman-temannya menyelamatkannya. Bila media mengikuti pedoman
pelaporan yang sesuai, risiko bunuh diri dapat diturunkan. Namun, kepatuhan dari industri
tersebut bisa saja sulit didapatkan terutama dalam jangka panjang.

Rasional

Bunuh diri rasional adalah tindakan menghilangkan nyawa sendiri yang beralasan, meskipun
sejumlah orang merasa bahwa bunuh diri tidak pernah masuk akal. Tindakan menghilangkan
nyawa sendiri demi kepentingan orang lain dikenal sebagai bunuh diri altruistik. Contohnya
adalah sesepuh yang mengakhiri hidup mereka agar dapat meninggalkan makanan dalam jumlah
yang lebih besar bagi orang yang lebih muda dalam masyarakat. Dalam beberapa budaya
Eskimo, hal ini dianggap sebagai tindakan yang terhormat, berani, atau bijaksana.

Serangan bunuh diri adalah sebuah tindakan politik di mana seorang penyerang melakukan
tindakan kekerasan terhadap orang lain sementara mereka mengerti bahwa hal tersebut akan
mengakibatkan kematian mereka sendiri. Beberapa pelaku bom bunuh diri melakukannya dalam
upaya untuk mendapatkan kesyahidan. Misi Kamikaze dilakukan sebagai kewajiban terhadap
suatu hal yang penting atau tuntutan moral. Bunuh diri-pembunuhan merupakan tindakan
pembunuhan yang diikuti oleh tindakan bunuh diri orang yang melakukan perbuatan
pembunuhan tersebut dalam kurun waktu satu minggu setelahnya. Bunuh diri massal sering
dilakukan di bawah tekanan sosial di mana anggotanya menyerahkan hidupnya kepada seorang
pemimpin. Bunuh diri massal dapat berlangsung sedikitnya dua orang, yang sering disebut
sebagai kesepakatan bunuh diri.

Dalam situasi yang meringankan di mana melanjutkan hidup akan menjadi sesuatu yang tak
tertahankan, beberapa orang memilih bunuh diri sebagai sarana untuk melarikan diri. Sejumlah

19
tahanan Nazi di kamp konsentrasi diketahui telah bunuh diri dengan sengaja menyentuh pagar
beraliran listrik.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

20
A. Kesimpulan
Penurunan imunitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain stressor biologis dan
psikososial. Stres mempengaruhi derajat reaktivitas sistem endokrin dan imun, yaitu peningkatan
sekresi hormon adrenal terutama kortikosteroid dan katekolamin, secara tidak langsung stres
mempengaruhi melalui perilaku yang meningkatkan kemungkinan terjadinya sakit atau
perlukaan, misal mengkonsumsi alkohol dan merokok berlebihan.
Masalah keperawatan pada klien HIV/AIDS dapat dikelompokkan menjadi 4 hal, yaitu
masalah yang berhubungan dengan (1) biologis, (2) psikis, (3) sosial, dan (4) ketergantungan
Peran perawat meliputi pemenuhan kebutuhan biologis, strategi koping, pemberian dukungan
sosial, dan dukungan spiritual kepada pasien secara positif selama menjalani perawatan
Prinsip Asuhan keperawatan pasien HIV dalam meningkatkan Imunitas Klien HIV/AIDS
melalui pemenuhan kebutuhan biologis, psikologis, sosial, dan spiritual perawat dalam
menurunkan stressor.
B. Saran
Penerapan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan HIV/AIDS secara menyeluruh
meliputi kebutuhan biologis, psikologis, social dan spiritual sangat penting dilakukan. Hal ini
ditujukan untuk melindungi pasien terhadap efek negative stress berat yang dapat mengakibatkan
penurunan system imun. Perawat diharapkan memfasilitasi dan mengarahkan koping yang
konstruktif agar pasien dapat beradaptasi dengan sakitnya

DAFTAR PUSTAKA

21
- Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons), Ninuk Dian K, S.Kep.Ners, Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Terinfeksi HIV, Salemba Medika, Jakarta 2007
- Nursalam, S.Kep.Ners dkk, Jurnal Keperawatan edisi bulan November,Fakultas Keperawatan
Universitas Airlangga 2007
- http://kumpulan.info/keluarga/masalah-keluarga/363-bunuh-diri-alasan-tanda-
mencegah.html

22

Anda mungkin juga menyukai