Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

Keratokonjungtivitis Flikten

Disusun Oleh:

Amran Cleo Patra S

506151017

Pembimbing :

dr. Nanda Lessi Hafni Eka Putri, Sp.M.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

PERIODE 5 DESEMBER 7 JANUARI 2016

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIAWI - BOGOR

1
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata

RSUD Ciawi

Fakultas Kedokteran Untar

Nama : Amran Cleo Patra S Tanda Tangan:

NIM : 506151017

Dokter Pembimbing : dr.Nanda Lessi, Sp.M

1. Identitas Pasien

Nama : An. Asti

Umur : 13 tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Pelajar

Alamat : Kp.Munjul, Bogor.

Tanggal pemeriksaan : 21 Desember 2016

Pemeriksa : Amran Cleo Patra S

Moderator : dr. Nanda Lessi, Sp.M

2. Anamnesis
a) Anamnesis tanggal : 21 Desember 2016 pukul 10.00 wib
b) Keluhan Utama : Mata Kiri Merah
c) Keluhan Tambahan : Mata kiri Berair (+), Silau (+), Gatal (+),
Batuk (+), Pilek (+), Rasa mengganjal pada mata kiri, kadang kadang
terasa nyeri
d) Riwayat Penyakit Sekarang :

2
Pasien datang ke poli mata RSUD Ciawi dengan keluhan mata kiri
merah sejak 3 hari SMRS, pasien mengatakan mata kiri sering berair
disertai gatal, silau, rasa mengganjal pada mata dan kadang kadang
terasa nyeri. Pasien juga mengeluhkan batuk dan pilek sejak 1 minggu,
pasien mengatakan mata kiri pernah kemasukan tanah namun tanah
sudah dikeluarkan dari mata pasien. Pasien menyangkal adanya
penglihatan menurun dan pasien mengatakan memiliki alergi terhadap
telur dan seafood. Pasien mengtakan pernah memakai obat tetes mata
namun tidak ada perbaikan.
e) Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien tidak pernah mempunyai keluhan seperti ini sebelumnya
Pasien mengatakan mepunyai alergi terhadap telur dan seafood.
f) Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga lainnya yang mengalami sakit mata
serupa.
Riwayat kencing manis, darah tinggi, asma dan alergi pada
keluarga disangkal.

3. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
a) Keadaan Umum :Tampak sakit sedang
b) Kesadaran : Compos mentis
c) Tekanan darah :120/70 mmHg
d) Frekuensi nadi :84x/menit, reguler, isi cukup
e) Frekuensi napas : 20x/menit, reguler
f) Suhu : 36, 7 C

4. Pemeriksaan Sistem
a) Kepala : Normocephali, deformitas (-), rambuthitam,
distribusi merata.
Mulut : Lembab, karies - , T1-T1
Telinga : Normotia, sekret - , pendengaran baik, KGB pre &
retro aurikular normal
Hidung : Bentuk normal, septum deviasi - , sekret -
b) Leher : Trakea di tengah, tidak ada pembesaran kelenjar
tiroid paratiroid
c) Thorax :
Paru : Suara napas vesikuler, ronki - , wheezing -

3
Jantung : BJ I &II reguler, murmur -, gallop -
d) Abdomen : Flat, supel, bising usus +, nyeri tekan
e) Ekstremitas : edema - , akral hangat +, CRT < 2 detik

5. Pemeriksaan Oftalmologis :

Keterangan OD OS
1. Visus
Axis visus 20/20 20/20
Koreksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Addisi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Distansia pupil Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Kacamata lama Tidak ada Tidak ada
2. Kedudukan bola mata
Eksoftalmus Tidak ada Tidak ada
Enoftalmus Tidak ada Tidak ada
Deviasi Tidak ada Tidak ada
Gerakan bola mata Normal Normal
3. Supersilia
Warna Hitam Hitam
Simetris + +
4. Palpebra superior & inferior
Edema Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Ekteropion Tidak ada Tidak ada
Enteropion Tidak ada Tidak ada
Blefarospasme Tidak ada Tidak ada
Trikiasis Tidak ada Tidak ada
Sikatriks Tidak ada Tidak ada
Punctum Lakrimal Normal Normal
Fissura palpebra Simetris Simetris
Test Annel Tidak dilakukan Tidak dilakukan
5. Konjungtiva superior & inferior
Hiperemis Tidak ada +
Folikel Tidak ada Tidak ada
Papil Tidak ada Tidak ada
Sikatriks Tidak ada Tidak ada
Hordeolum Tidak ada Tidak ada
Kalazion Tidak ada Tidak ada
6. Konjungtiva bulbi
Sekret - -
Injeksi Konjungtiva Tidak ada +
Injeksi Siliar Tidak ada Tidak ada
Perdarahan Tidak ada Tidak ada

4
Subkonjungtiva
Pterigium Tidak ada Tidak ada
Pingekuela Tidak ada Tidak ada
Nevus pigmentosa Tidak ada Tidak ada
Kista dermoid Tidak ada Tidak ada

7. Sklera
Warna Putih Putih
Ikterik Tidak ikterik Tidak ikterik
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
8. Kornea
Kejernihan Jernih Jernih
Permukaan Rata Rata
Ukuran 10 mm 10 mm
Sensibilitas Baik Baik
Infiltrat Tidak ada +
Keratik presipitat Tidak ada Tidak ada
Sikatrik Tidak ada Tidak ada
Ulkus Tidak ada Tidak ada
Perforasi Tidak ada Tidak ada
Arcus senilis Tidak ada Tidak ada
Edema Tidak ada Tidak ada
Vaskularisasi Tidak ada +
Test placido Tidak dilakukan Tidak dilakukan
9. Bilik mata depan
Kedalaman cukup Cukup
Kejernihan Jernih Jernih
Hifema Tidak ada Tidak ada
Hipopion Tidak ada Tidak ada
Efek Tyndal Tidak dilakukan Tidak dilakukan
10. Iris
Warna Kecoklatan Kecoklatan
Vaskularisasi Tidak ada Tidak ada
Sinekia Tidak ada Tidak ada
Koloboma Tidak ada Tidak ada
11. Pupil
Letak Di tengah Di tengah
Bentuk Bulat, regular Bulat, Regular
Ukuran 3 mm 3 mm
Refleks cahaya langsung + +
Refleks cahaya tidak + +
langsung
12. Lensa

5
Kejernihan Jernih Jernih
Letak Di tengah Di tengah
Shadow test - -
13. Badan kaca
Kejernihan jernih Jernih
Perdarahan Vitreus - -
14. Fundus okuli
Papil N II
Batas Tegas Tegas
Warna Kuning kemerahan Kuning kemerahan
Ekskavasio Tidak ada Tidak ada
A/V Ratio - -
C/D Ratio - -
Makula Lutea
Edem - -
Perdarahan tidak ada Tidak ada
Retina
Neovaskularisasi Tidak ada Tidak ada
Hard Eksudat Tidak ada Tidak ada
Perdarahan Tidak ada Tidak ada
Sikatriks Tidak ada Tidak ada
Ablasio Tidak ada Tidak ada
15. Palpasi
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Massa tumor Tidak ada Tidak ada
Tensi okuli Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tonometri Schiotz Tidak di lakukan Tidak dilakukan
16. Kampus visi
Test konfrontasi Tidak normal Normal

6. Pemeriksaan Penunjang
-Slitlamp
-Foto Thorax AP

7. Resume
Telah diperiksa pasien perempun berusia 13 tahun dengan keluhan mata
kiri merah sejak 3 hari SMRS, pasien mengatakan mata kiri sering
berair disertai gatal, silau, rasa mengganjal pada mata dan kadang
kadang terasa nyeri. Pasien juga mengeluhkan batuk dan pilek sejak 1
minggu, pasien mengatakan mata kiri pernah kemasukan tanah namun
tanah sudah dikeluarkan dari mata pasien. Pasien menyangkal adanya

6
penglihatan menurun dan riwayat alergi. Pasien mengtakan pernah
memakai obat tetes mata namun tidak ada perbaikan.

Pada pemeriksaan ophtalmologis didapat :

OD OS
Injeksi Tidak ada +
Konjungtiva
Kornea Jernih Infiltrat (+)
Neuvaskularisasi (+)

8. Diagnosis
Diagnosis kerja : Keratokonjungtivitis OS

Diagnosis banding : Uveitis akut

9. Penatalaksanaan

1. C. Xytrol ed 4 gtt 1 OS

2. Metilprednisolone 2 x 8 mg

7
3. As. Mefenamat 3 x 500 mg

10. Prognosis OD OS
Ad vitam Bonam Bonam
Ad fungsionam Bonam Bonam
Ad sanationam Bonam Bonam

8
TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan

Keratokonjungtivitis yang merupakan peradangan pada kornea dan


konjungtiva yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor dan seringkali mengalami
kekambuhan. Keratoconjunctivitis sicca digunakan ketika peradangan karena
kekeringan. ("Sicca" berarti "kering" dalam konteks medis.) Hal ini terjadi dengan
20% pasien RA; Istilah " Vernal keratokonjunctivitis "(VKC) digunakan untuk
merujuk keratokonjungtivitis terjadi di musim semi , dan biasanya dianggap
karena alergen; Atopik keratokonjunctivitis adalah salah satu manifestasi dari
atopi; Epidemi keratokonjunctivitis disebabkan oleh infeksi adenovirus;
Keratokonjungtivitis limbus superior diduga disebabkan oleh trauma mekanik.
Konjungtivitis sendiri yang merupakan peradangan pada konjungtiva
merupakan penyakit mata yang paling sering di dunia dan menyerang semua usia.
2% dari seluruh kunjungan ke dokter adalah untuk pemeriksaan mata dengan 54%
nya adalah antara konjungtivitis atau abrasi kornea. Untuk konjungtivitis yang
infeksius, 42% sampai 80% adalah bakterial, 3% chlamydial, dan 13% sampai
70% adalah viral. Konjungtivitis viral menggambarkan hingga 50% dari seluruh
konjungtivitis akut di poli umum. konjungtivitis dapat pula bertambah parah
menjadi infeksi akut yang mengganggu penglihatan apabila telah terjadi
komplikasi seperti adanya keterlibatan kornea.
Insidensi keratokonjungtivitis relatif kecil, yaitu sekitar 0,l%--0,5% dari
pasien dengan masalah mata yang berobat, dan hanya 2% dari semua pasien yang
diperiksa di klinik mata. Hal yang perlu mendapat perhatian ialah bagaimana cara
penatalaksanaan kasus ini agar dapat mengalami penyembuhan maksimal dan
mencegah terjadinya rekurensi ataupun komplikasi yang dapat mengurangi
kualitas hidup.

9
DEFINISI

Keratokonjungtivitis adalah peradangan dari kornea dan konjungtiva. Ketika


hanya kornea yang meradang, hal itu disebut keratitis, ketika
hanya konjungtiva yang meradang, hal itu disebut konjungtivitis

Anatomi dan Fisiologi

Kornea
Kornea adalah jaringan transparan yang merupakan selaput bening mata
yang tembus cahaya dan menutup bola mata sebelah depan dan terdiri dari 5
lapisan. lapisan tersebut antara lain lapisan epitel (yang bersambung dengan epitel
konjungtiva bulbaris), lapisan Bowman, stroma, membran Descement dan lapisan
endotel. Batas antara sklera dan kornea disebut limbus kornea. Kornea juga
merupakan lensa cembung dengan kekuatan refraksi sebesar + 43 dioptri. Jika
terjadi oedem kornea akan bertindak sebagai prisma yang dapat menguraikan
sinar sehingga penderita akan melihat halo.
Lapisan epitel
Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel
basal sering terlihat mitosis sel, sel muda terdorong kedepan menjadi
lapisan sel poligonal dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng. Sel
basal berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel poligonal
didepannya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini
menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang merupakan barrier.
Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila
terjadi gangguan akan menghasilkan erosi rekuren. Epitel berasal dari
ektoderm permukaan.
Membran bowman

10
Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan
stroma. Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.

Jaringan stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan yang lainnya. Pada permukaan terlihat anyaman yang teratur,
sedang dibagian perifer serat kolagen ini bercabang. Terbentuknya kembali
serat kolagen memakan waktu yang kadang-kadang sampai 15 bulan.
Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast yang
terletak diantara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan
dasar serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
Membran Descement
Merupakan membran aseluler dan merupakan batas belakang stroma
kornea yang bersifat sangat elastis dan tebalnya sekitar 40 m.
Endotel
Berasal dari mesotelium, bentuk heksagonal, besar 20-40 m. Endotel
melekat pada membran descement melalui hemidoson dan zonula okluden.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensorik terutama berasal dari saraf
siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid,
masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran bowman melepaskan
selubung schwannya. Bulbus krause untuk sensasi dingin ditemukan diantaranya.
Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3
bulan. Sumber nutrisi kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus, humour
aquos dan air mata. Kornea superfisial juga mendapat oksigen sebagian besar dari
atmosfir. Transparansi kornea dipertahankan oleh strukturnya yang seragam,
avaskularitas dan deturgensinya.

11
Gambar 1. Anatomi Kornea Gambar 2. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan
dengan kulit pada tepi kelopak (persambungan mukokutan) dan dengan epitel
kornea di limbus. Konjungtiva terdiri dari tiga bagian:
1. Konjungtiva palpebralis (menutupi permukaan posterior dari palpebra).
2. Konjungtiva bulbaris (menutupi sebagian permukaan anterior bola mata).
3. Konjungtiva forniks (bagian transisi yang membentuk hubungan antara bagian
posterior palpebra dan bola mata)
Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan
melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke
posterior (pada fornices superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera
dan menjadi konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke
septum orbitale di fornices dan melipat berkali-kali. Pelipatan ini memungkinkan
bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. (Duktus-
duktus kelenjar lakrimalis bermuara ke forniks temporal superior.) Kecuali di
limbus (tempat kapsul Tenon dan konjungtiva menyatu sejauh 3 mm), konjungtiva
bulbaris melekat longgar ke kapsul tenon dan sklera di bawahnya. Struktur
epidermoid kecil semacam daging (karunkula) menempel superfisial ke bagian
dalam plika semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung elemen
kulit dan membran mukosa.

12
Konjungtiva forniks struktumya sama dengan konjungtiva palpebra. Tetapi
hubungan dengan jaringan di bawahnya lebih lemah dan membentuk lekukan-
lekukan. Juga mengandung banyak pembuluh darah. Oleh karena itu,
pembengkakan pada tempat ini mudah terjadi bila terdapat peradangan mata. Jika
dilihat dari segi histologinya, lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga
lima lapisan sel epitel silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel
konjungtiva di dekat limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan
mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa. Sel-sel
epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi
mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi
lapisan air mata secara merata di seluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna
lebih pekat daripada sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung
pigmen.
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial)dan satu
lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di
beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum
germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2
atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada neonatus
bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi folikuler. Lapisan
fibrosa tersusun dari Jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus.
Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva. Lapisan
fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar airmata asesori (kelenjar Krause
dan Wolfring), yang struktur dan funginya mirip kelenjar lakrimal, terletak di
dalam stroma. Sebagian besar kelenjar Krause berada di forniks atas, dan sedikit
ada di forniks bawah. Kelenjar Wolfring terletak di tepi atas tarsus atas.

Etiologi

13
Konjungtivitis dapat diakibatkan oleh virus, bakteri, fungal, parasit, toksik,
chlamydia, kimia dan agen alergik. Konjungtivitis viral lebih sering terjadi
daripada konjungtivitis bakterial. Insidensi konjungtivitis meningkat pada awal
musim semi. Etiologi konjungtivitis dapat diketahui berdasarkan klinis pasien.
Pada tingkat seluler terdapat infiltrat seluler dan eksudat pada konjungtiva.
Etiologi keratitis superfisial antara lain adalah infeksi (bakteri, viral, dan fungal),
degeneratif (dry eye, defek neurotropik atau berhubungan dengan penyakit
sistemik), toksik dan alergi. Morfologi dan distribusi lesi pada kornea dapat
membantu mengetahui penyebab keratitis. Ada beberapa penyebab potensial
keratokonjungtivitis yaitu kekeringan, infeksi virus, manifestasi dari atopi atau
allergen maupun trauma mekanik.

Klasifikasi
Keratokonjunctivitis sicca digunakan ketika peradangan karena
kekeringan. ("Sicca" berarti "kering" dalam konteks medis.) Hal ini terjadi
dengan 20% pasien RA.
Istilah " Vernal keratokonjunctivitis "(VKC) digunakan untuk merujuk
keratokonjungtivitis terjadi di musim semi, dan biasanya dianggap
karena alergen.
Atopik keratokonjunctivitis adalah salah satu manifestasi dari atopi.
Epidemi keratokonjunctivitis disebabkan oleh adenovirus infeksi.
Keratokonjungtivitis limbus superior diduga disebabkan oleh trauma
mekanik

Patofisiologi
Konjungtivitis alergika disebabkan oleh respon imun tipe 1 terhadap
alergen. Alergen terikat dengan sel mast dan reaksi silang terhadap IgE terjadi,
menyebabkan degranulasi dari sel mast dan permulaan dari reaksi bertingkat dari
peradangan. Hal ini menyebabkan pelepasan histamin dari sel mast, juga mediator
lain termasuk triptase, kimase, heparin, kondroitin sulfat, prostaglandin,
tromboksan, dan leukotrien. histamin dan bradikinin dengan segera menstimulasi

14
nosiseptor, menyebabkan rasa gatal, peningkatan permeabilitas vaskuler,
vasodilatasi, kemerahan, dan injeksi konjungtiva.

Konjungtivitis infeksi timbul sebagai akibat penurunan daya imun


penjamu dan kontaminasi eksternal. Patogen yang infeksius dapat menginvasi dari
tempat yang berdekatan atau dari jalur aliran darah dan bereplikasi di dalam sel
mukosa konjungtiva. Kedua infeksi bakterial dan viral memulai reaksi bertingkat
dari peradangan leukosit atau limfositik meyebabkan penarikan sel darah merah
atau putih ke area tersebut. Sel darah putih ini mencapai permukaan konjungtiva
dan berakumulasi di sana dengan berpindah secara mudahnya melewati kapiler
yang berdilatasi dan tinggi permeabilitas.

Pertahanan tubuh primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang


menutupi konjungtiva. Rusaknya lapisan ini memudahkan untuk terjadinya
infeksi. Pertahanan sekunder adalah sistem imunologi (tear-film immunoglobulin
dan lisozyme) yang merangsang lakrimasi.

Diagnosis
Gejala penting konjungtivitis adalah sensasi benda asing, yaitu tergores
atau panas, sensasi penuh di sekitar mata, gatal dan fotofobia. Sensasi benda asing
dan tergores atau terbakar sering berhubungan dengan edema dan hipertrofi
papiler yang biasanya menyertai hiperemi konjungtiva. Sakit pada iris atau corpus
siliaris mengesankan terkenanya kornea. Tanda penting konjungtivitis adalah
hiperemia, berair mata, eksudasi, pseudoptosis, hipertrofi papiler, kemosis (edem
stroma konjungtiva), folikel (hipertrofi lapis limfoid stroma), pseudomembranosa
dan membran, granuloma, dan adenopati pre-aurikuler.
Hiperemia adalah tanda paling mencolok pada konjungtivitis akut.
Kemerahan paling nyata pada forniks dan mengurang ke arah limbus disebabkan
dilatasi pembuluh-pembuluh konjungtiva posterior. Warna merah terang
mengesankan konjungtivitis bakteri dan keputihan mirip susu mengesankan
konjungtivitis alergika. Berair mata (epiphora) sering mencolok, diakibatkan oleh
adanya sensasi benda asing, terbakar atau gatal. Kurangnya sekresi airmata yang
abnormal mengesankan keratokonjungtivitis sicca. Eksudasi adalah ciri semua

15
jenis konjungtivitis akut. Eksudat berlapis-lapis dan amorf pada konjungtivitis
bakterial dan dapat pula berserabut seperti pada konjungtivitis alergika, yang
biasanya menyebabkan tahi mata dan saling melengketnya palpebra saat bangun
tidur pagi hari, dan jika eksudat berlebihan agaknya disebabkan oleh bakteri atau
klamidia. Pseudoptosis adalah turunnya palpebra superior karena infiltrasi ke
muskulus muller (M. Tarsalis superior). Keadaan ini dijumpai pada konjungtivitis
berat. Misalnya Trachoma dan keratokonjungtivitis epidemika.
Hipertrofi papila adalah reaksi konjungtiva non-spesifik yang terjadi
karena konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus di bawahnya oleh serabut-
serabut halus. Ketika berkas pembuluh yang membentuk substansi papila (selain
unsur sel dan eksudat) sampai di membran basal epitel, pembuluh ini bercabang-
cabang di atas papila mirip jeruji payung. Eksudat radang mengumpul di antara
serabut-serabut dan membentuk tonjolan-tonjolan konjungtiva. Pada penyakit
yang mengalami nekrosis (mis.,trachoma), eksudat dapat digantikan oleh jaringan
granulasi atau jaringan ikat.

Bila papilanya kecil, konjungtiva umumnya tampak licin mirip beludru.


Konjungtiva papiler merah mengesankan penyakit bakteri atau klamidia
(mis.,konjungtiva tarsal merah mirip beludru adalah khas untuk trachoma akut).
Infiltrasi nyata ke konjungtiva menghasilkan papilla besar dengan atap rata,
poligonal, dan berwarna merah-keputihan. Pada tarsus superior papilla seperti ini
mengesankan keratokonjungtivitis vernal dan konjungtivitis papiler besar dengan
sensitivitas lensa kontak; pada tarsus inferior, mengesankan keratokonjungtivitis
atopik. Papila besar dapat pula timbul di limbus, terutama di daerah yang biasanya
terpapar saat mata dibuka (antara pukul 2 dan 4 dan antara pukul 8 dan 10). Di
sini papila tampak berupa tonjolan-tonjolan gelatinosa yang dapat meluas sampai
ke kornea. Papila limbus khas untuk keratokonjungtivitis vernal tetapi jarang pada
keratokonjungtivitis atopi.

Kemosis dari konjungtiva sangat memberi kesan konjungtivitis alergik


akut tapi dapat juga timbul pada konjungtivitis gonococcal atau meningococcal
akut dan terutama pada konjungtivitis adenoviral. Kemosis dari konjungtiva

16
bulbar terlihat pada pasien dengan trichinosis. Kadang-kadang, kemosis dapat
muncul sebelum infiltrat seluler atau eksudasi terlihat.

Folikel terlihat pada kebanyakan kasus konjungtivitis virus. Pada semua


kasus konjungtivitis klamidia kecuali konjungtivitis inklusi pada neonatus, pada
beberapa kasus konjungtivitis parasitik, dan pada beberapa kasus konjungtivitis
toksik yang disebabkan obat-obatan topikal seperti idoxuridine, dipivefrin, dan
miotic. Foikel pada forniks inferior dan pada batas tarsus mempunyai nilai
diagnostik yang rendah, tapi saat terletak pada tarsus (terutama tarsus atas),
konjungtivitis klamidial, viral, atau toksik (yang menyertai obat-obatan topikal)
harus dicurigai. Folikel terdiri dari hiperplasia limfoid fokal berada dalam lapisan
limfoid konjungtiva dan biasanya mengandung sentrum germinativum. Secara
klinis, folikel dapat dikenali sebagai struktur bulat, putih atau abu-abu avaskuler.
Dengan pemeriksaan slitlamp, pembuluh darah kecil dapat terlihat timbul dari
batas folikel dan mengelilingi folikel.

Pseudomembran dan membran adalah hasil proses eksudatif dan berbeda


derajatnya. Sebuah pseudomembran adalah pengentalan di atas permukaan epitel.
Bila diangkat, epitel tetap utuh. Sebuah membran adalah pengentalan yang
meliputi seluruh epitel dan jika diangkat akan meninggalkan permukaan yang
kasar dan berdarah. Pseudomembran atau membran dapat menyertai
keratokonjungtivitis epidemika, konjungtivitis herpes simplex virus primer,
konjungtivitis streptokokal, difteri, cicatrical pemphigoid, dan eritema multiforme
mayor. Juga mungkin timbul sebagai akibat buruk luka bakar kimiawi, khususnya
basa.

Granuloma konjungtiva selalu mengenai stroma dan yang paling sering


adalah chalazia. Penyebab endogen lain termasuk sarcoid, sifilis, cat-scratch
disease, dan, yang jarang koksidiomikosis. Parinauds oculoglandular syndrome
meliputi granuloma konjungtival dan nodus limfe periaurikuler yang menonjol,
dan kelompok penyakit ini memerlukan pemeriksaan biopsy untuk menegakkan
diagnosa.

17
Limfadenopati periaurikuler adalah tanda penting dari konjungtivitis.
Nodus periaurikuler yang terlihat mencolok tampak pada Parinauds
oculoglandular syndrome dan, yang jarang, pada epidemic keratoconjunctivitis.
Nodus periaurikuler yang besar maupun kecil, kadang sedikit nyeri tekan, muncul
pada konjungtivitis herpes simplex primer, keratokonjungtivitis epidemika,
konjungtivitis inklusi, dan trachoma. Nodus periaurikuler yang kecil dan tidak
nyeri tekan muncul pada demam faringokonjungtival dan konjungtivitis
hemoragik akut. Kadang-kadang limfadenopati periaurikuler dapat terlihat pada
anak dengan infeksi kelenjar meibomian.

Pemeriksaan mata awal termasuk pengukuran ketajaman visus,


pemeriksaan eksternal dan slit-lamp biomikroskopi. Pemeriksaan eksternal harus
mencakup elemen berikut ini:

Limfadenopati regional, terutama sekali preaurikuler


Kulit: tanda-tanda rosacea, eksema, seborrhea
Kelainan kelopak mata dan adneksa: pembengkakan, perubahan warna,
malposisi, kelemahan, ulserasi, nodul, ekimosis, keganasan
Konjungtiva: bentuk injeksi, perdarahan subkonjungtiva, kemosis,
perubahan sikatrikal, simblepharon, massa, secret

Slit-lamp biomikroskopi harus mencakup pemeriksaan yang hati-hati terhadap:


Margo palpebra: inflamasi, ulserasi, sekret, nodul atau vesikel, sisa kulit
berwarna darah, keratinisasi
Bulu mata: kerontokan bulu mata, kerak kulit, ketombe, telur kutu
Punctum lacrimal dan canaliculi: penonjolan, secret
Konjungtiva tarsal dan forniks: Adanya papila, folikel dan ukurannya;
perubahan sikatrikal, termasuk penonjolan ke dalam dan simblepharon;
membran dan psudomembran, ulserasi, perdarahan, benda asing, massa,
kelemahan palpebra
Konjungtiva bulbar/limbus: folikel, edema, nodul, kemosis, kelemahan,
papila, ulserasi, luka, flikten, perdarahan, benda asing, keratinisasi
Kornea: Defek epithelial, keratopati punctata dan keratitis dendritik,
filament, ulserasi, infiltrasi, termasuk infiltrat subepitelial dan flikten,
vaskularisasi, keratik presipitat
Bilik mata depan: rekasi inflamasi, sinekia, defek transiluminasi

18
Corak pewarnaan: konjungtiva dan kornea

Gambar 3. Keratokonjungtivitis epidemika Gambar 4. Keratokonjungtivitis alergi

Gambar 5. Keratokonjungtivitis limbus superior Gambar 6. Keratokonjungtivitis vernalis

19
Diagnosis Banding
Gejala subyektif Glaukom Uveitis Keratitis K Bakteri K. virus K. alergi
dan obyektif a akut akut

PenurunanVisus +++ +/++ +++ - - -

Nyeri ++/+++ ++ ++ - - -

Fotofobia + +++ +++ - - -

Halo ++ - - - - -

Eksudat - - -/++ +++ ++ +

Gatal - - - - - ++

Demam - - - - -/++ -

Injeksi siliar + ++ +++ - - -

Injeksi konjungtiva ++ ++ ++ +++ ++ +

Kekeruhan kornea +++ - +/++ - -/+ -

Kelainan pupil Midriasis Miosis Normal/ N N N


nonrekatif iregular
miosis

Kedalaman COA Dangkal N N N N N

Tekanan Tinggi Rendah N N N N


intraokular

Sekret - + + ++/+++ ++ +

Kelenjar - - - - + -

20
preaurikular

Komplikasi
Kebanyakan konjungtivitis dapat sembuh sendiri, namun apabila
konjungtivitis tidak memperoleh penanganan yang adekuat maka dapat
menyebabkan komplikasi:

a. Blefaritis marginal hingga krusta akibat konjungtivitis akibat


staphilococcus
b. Jaringan parut pada konjungtiva akibat konjungtivitis chlamidia pada
orang dewasa yang tidak diobati adekuat
c. Keratitis punctata akibat konjungtivitis viral
d. Keratokonus (perubahan bentuk kornea berupa penipisan kornea sehingga
bentuknya menyerupai kerucut) akibat konjungtivitis alergi.
e. Ulserasi kornea marginal, perforasi kornea hingga endoftalmitis dapat
terjadi pada infeksi N. gonorrhoeae, N. kochii, N. meningitidis, H.
aegypticus, S. aureus dan M. catarrhalis.
f. Pneumonia terjadi 10-20 % pada bayi yang mengalami konjungtivitis
chlamydia
g. Meningitis dan septikemia akibat konjungtivitis yang diakibatkan
meningococcus.

Penatalaksanaan
Masing-masing jenis konjungtiva memberikan gejala klinis yang berbeda.
Penatalaksanaan keratokonjungtivitis tergantung pada berat ringannya gejala
klinik. Pada kasus ringan sampai sedang, cukup diberikan obat tetes mata
tergantung jenis penyebabnya seperti pada KKV dapat diberikan anti histamin
topikal dan dapat ditambahkan vasokontriktor, kemudian dilanjutkan dengan
stabilasator sel mast. Pada kasus yang berat dapat dikombinasi dalam
pengobatannya ataupun dilakukan pembedahan.
Pada konjungtivitis virus yang merupakan self limiting disease
penanganan yang diberikan bersifat simtomatik serta dapat pula diberikan
antibiotic tetes mata (chloramfenikol) untuk mencegah infeksi bakteri sekunder.
Steroid tetes mata dapat diberikan jika terdapat lesi epithelial kornea, namun

21
pemberian steroid hanya berdasarkan pengawasan dokter spesialis mata karena
bahaya efek sampingnya cukup besar bila digunakan berkepanjangan, antara lain
infeksi fungal sekunder, katarak maupun glaucoma.
Penanganan primer keratokonjungtivitis epidemika ialah dengan kompres
dingin dan menggunakan tetes mata astrigen. Agen antivirus tidak efektif.
Antibiotic topical bermanfaat untuk mencegah infeksi sekunder. Steroid topical 3
kali sehari akan menghambat terjadinya infiltrate kornea subepitel atau jika
terdapat kekeruhan pada kornea yang mengakibatkan penurunan visus yang berat,
namun pemakaian berkepanjangan akan mengakibatkan sakit mata yang
berkelanjutan. Pemakaian steroid harus di tapering off setelah pemakaian lebih
dari 1 minggu.
Penanganan konjungtivitis bakteri ialah dengan antibiotika topical tetes
mata (misalnya kloramfenikol) yang harus diberikan setiap 2 jam dalam 24 jam
pertama untuk mempercepat proses penyembuhan, kemudian dikurangi menjadi
setiap empat jam pada hari berikutnya. Penggunaan salep mata pada malam hari
akan mengurangi kekakuan pada kelopak mata di pagi hari. Antibiotik lainnya
yang dapat dipilih untuk gram negative ialah tobramisin, gentamisin dan
polimiksin; sedangkan untuk gram positif icefazolin, vancomysin dan basitrasin.10
Penanganan infeksi jamur ialah dengan natamisin 5 % setiap 1-2 jam saat
bangun, atau dapat pula diberikan pilihan antijamur lainnya yaitu mikonazol,
amfoterisin, nistatin dan lain-lain.

Prognosis
Prognosis pada kasus keratokonjungtivitis tergantung pada berat ringannya
gejala klinis yang dirasakan pasien, namun umumnya baik terutama pada
kasus yang tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada kornea

KERATITIS

DEFINISI

22
Keratitis adalah perdangan kornea yang ditandai dengan edema kornea,
infiltrasi seluler dan kongesti siliar.

PATOFISIOLOGI KERATITIS

Terdapat beberapa kondisi yang dapat menjadi faktor predisposisi


terjadinya inflamasi pada kornea seperti blefaritis, perubahan pada barrier epitel
kornea (dry eyes), penggunaan lensa kontak, lagopthalmos, gangguan paralitik,
trauma dan penggunaan preparat imunosupresif topical maupun sistemik.Kornea
mendapatkan pemaparan konstan dari mikroba dan pengaruh lingkungan, oleh
sebab itu untuk melindunginya kornea memiliki beberapa mekanisme pertahanan.
Mekanisme pertahanan tersebut termasuk refleks berkedip, fungsi antimikroba
film air mata (lisosim), epitel hidrofobik yang membentuk barrier terhadap difusi
serta kemampuan epitel untuk beregenerasi secara cepat dan lengkap.

Epitel merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme ke


dalam kornea. Pada saat epitel mengalami trauma, struma yang avaskuler dan
lapisan bowman menjadi mudah untuk mengalami infeksi dengan organisme yang
bervariasi, termasuk bakteri, amoeba dan jamur. Streptokokus pneumonia
merupakan pathogen kornea bakterial, patogen-patogen yang lain membutuhkan
inokulasi yang berat atau pada host yang immunocompromised untuk dapat
menghasilkan sebuah infeksi di kornea.Ketika patogen telah menginvasi jaringan
kornea melalui lesi kornea superfisial, beberapa rantai kejadian tipikal akan
terjadi, yaitu:

Lesi pada kornea


Patogen akan menginvasi dan mengkolonisasi struma kornea
Antibodi akan menginfiltrasi lokasi invasi patogen
Hasilnya akan tampak gambaran opasitas pada kornea dan titik invasi
pathogen akan membuka lebih luas dan memberikan gambaran infiltrasi
kornea
Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion (umumnya berupa pus yang
akan berakumulasi pada lantai dari bilik mata depan)
Patogen akan menginvasi seluruh kornea.

23
Hasilnya stroma akan mengalami atropi dan melekat pada membarana
descement yang relatif kuat dan akan menghasilkan descematocele dimana
hanya membaran descement yang intak.
Ketika penyakit semakin progresif, perforasi dari membrane descement
terjadi dan humor aquos akan keluar. Hal ini disebut ulkus kornea
perforata dan merupakan indikasi bagi intervensi bedah secepatnya. Pasien
akan menunjukkan gejala penurunan visus progresif dan bola mata akan
menjadi lunak.

KLASIFIKASI

Terdapat bermacam-macam pembagian dari keratitis yaitu:


a. Keratitis bakterial
Bakteri-bakteri yang biasa menyebabkan keratitis bakterialis, yaitu :

Streptokokus pneumonia
Pseudomonas aeroginosa
Streptokokus hemolitikus
Moraxella liquefaciens
Klebsiella pneumoniae

b. Keratitis viral

Virus lain yang dapat menyebabkan keratitis, yaitu :

Herpes simpleks
Herpes zoster
Variola (jarang)
Vacinia (jarang)
c. Keratitis jamur
Jamur - jamur yang biasa ditemukan pada keratitis, diantaranya :

Candida

24
Aspergilin
Nocardia
Cephalosporum
d. Keratitis lagoftalmus
Keratitis yang terjadi akibat adanya lagoftalmus dimana kelopak
mata tidak dapat menutup dengan sempurna sehingga mata terpapar dan
terjadi kekeringan pada kornea dan konjungtiva yang memudahkan
terjadinya infeksi. Dapat dikarenakan parese Nervus VII.

GEJALA KLINIS

Pasien dengan keratitis biasanya datang dengan keluhan iritasi ringan,


adanya sensasi benda asing, mata merah, mata berair, penglihatan yang sedikit
kabur, dan silau (fotofobia) serta sulit membuka mata (blepharospasme). Penderita
akan mengeluh sakit pada mata karena kornea memiliki banyak serabut nyeri,
sehingga amat sensitif. Kebanyakan lesi kornea superfisialis maupun yang sudah
dalam menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit diperberat oleh kuman
kornea bergesekan dengan palpebra. Karena kornea berfungsi sebagai media
untuk refraksi sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang masuk
ke mata maka lesi pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama
apabila lesi terletak sentral pada kornea.Fotofobia yang terjadi biasanya terutama
disebabkan oleh kontraksi iris yang meradang. Dilatasi pembuluh darah iris
adalah fenomena refleks yang disebabkan iritasi pada ujung serabut saraf pada
kornea. Pasien biasanya juga berair mata namun tidak disertai dengan
pembentukan kotoran mata yang banyak kecuali pada ulkus kornea
yang purulen.

DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, gejala klinik dan hasil


pemeriksaan mata. Dari hasil anamnesis sering diungkapkan riwayat trauma,

25
adnya riwayat penyakit kornea, misalnya pada keratitis herpetic akibat infeksi
herpes simpleks sering kambuh, namun erosi yang kambuh sangat sakit dan
keratitis herpetic tidak, penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari gejalanya.
Anamnesis mengenai pemakaian obat lokal oleh pasien, karena mungkin telah
memakai kortikosteroid, yang dapat merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri,
fungi, atau virus terutama keratitis herpes simpleks. Juga mungkin terjadi
imunosupresi akibat penyakit-penyakit sistemik, seperti diabetes, AIDS, dan
penyakit ganas, selain oleh terapi imunosupresi khusus.
Dalam mengevaluasi peradangan kornea penting untuk membedakan
apakah tanda yang kita temukan merupakan proses yang masih aktif atau
merupakan kerusakan dari struktur kornea hasil dari proses di waktu yang lampau.
Sejumlah tanda dan pemeriksaan sangat membantu dalam mendiagnosis dan
menentukan penyebab dari suatu peradangan kornea seperti: pemeriksaan sensasi
kornea, lokasi dan morfologi kelainan, pewarnaan dengan fluoresin,
neovaskularisasi, derajat defek pada epithel, lokasi dari infiltrat pada kornea,
edema kornea, keratik presipitat, dan keadaan di bilik mata depan. Tanda-tanda
yang ditemukan ini juga berguna dalam mengawasi perkembangan penyakit dan
respon terhadap pengobatan.
Sangat penting untuk melaksanakan penegakan diagnosis morfologis pada
pasien yang dicurigai dengan lesi kornea. Letak lesi di kornea dapat diperkirakan
dengan melihat tanda tanda yang terdapat pada kornea. Pada keratitis epithelial,
perubahan epitel bervariasi secara luas mulai dari edema ringan dan vakuolasi
hingga erosi, pembentukan filament maupun keratinisasi partial. Pada keratitis
stromal, respon struma kornea dapat berupa infiltrasi sel radang, edema yang
bermanifestasi kepada edema kornea yang awalnya bermula dari stroma lalu ke
epitel kornea. Pemeriksaan fisik pada keluhan yang mengarahkan kecurigaan
kepada keratitis dilakukan melalui inspeksi dengan pencahayaan adekuat. Larutan
flouresent dapat menggambarkan lesi epitel superfisial yang mungkin tidak dapat
terlihat dengan inspeksi biasa. Pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) esensial
dalam pemeriksaan kornea, apabila tidak terdapat alat tersebut dapat digunakan
sebuah loup dan iluminasi yang terang. Pemeriksaan harus melihat jalannya

26
refleksi cahaya sementara memindahkan cahaya dengan hati hati ke seluruh
kornea. Dengan cara ini area yang kasar sebagai indikasi dari defek kornea dapat
terlihat.

PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan keratitis adalah mengeradikasi penyebab keratitis,
menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada kornea,
mempercepat penyembuhan defek epitel, mengatasi komplikasi, serta
memperbaiki ketajaman penglihatan. Ada beberapa hal yang perlu dinilai dalam
mengevaluasi keadaan klinis keratitis meliputi: rasa sakit, fotofobia, lakrimasi,
rasa mengganjal, ukuran ulkus dan luasnya infiltrat.Sebagian besar pakar
menganjurkan melakukan debridement sebelumnya. Debridement epitel kornea
selain berperan untuk pengambilan spesimen diagnostik, juga untuk
menghilangkan sawar epitelial sehingga obat lebih mudah menembus. Dalam hal
ini juga untuk mengurangi subepithelial "ghost" opacity yang sering mengikuti
keratitis dendritik. Diharapkan debridement juga mampu mengurangi kandungan
virus epithelial jika penyebabnya virus, konsekuensinya reaksi radang akan cepat
berkurang.

Penatalaksanaan pada ketratitis pada prinsipnya adalah diberikan sesuai


dengan etiologi. Untuk virus dapat diberikan idoxuridine, trifluridin atau
acyclovir. Untuk bakteri gram positif pilihan pertama adalah cafazolin, penisilin G
atau vancomisin dan bakteri gram negatif dapat diberikan tobramisin, gentamisin
atau polimixin B. Pemberian antibiotik juga diindikasikan jika terdapat secret
mukopurulen, menunjukkan adanya infeksi campuran dengan bakteri. Untuk
jamur pilihan terapi yaitu: natamisin, amfoterisin atau fluconazol. Selain itu obat
yang dapat membantu epitelisasi dapat diberikan. Namun selain terapi
berdasarkan etiologi, pada keratitis ini sebaiknya juga diberikan terapi
simptomatisnya agar dapat memberikan rasa nyaman dan mengatasi keluhan-
keluhan pasien. Pasien dapat diberi air mata buatan, sikloplegik dan
kortikosteroid. Pemberian air mata buatan yang mengandung metilselulosa dan
gelatin yang dipakai sebagai pelumas oftalmik, meningkatkan viskositas, dan

27
memperpanjang waktu kontak kornea dengan lingkungan luar. Pemberian tetes
kortikosteroid pada KPS ini bertujuan untuk mempercepat penyembuhan dan
mencegah terbentuknya jaringan parut pada kornea, dan juga menghilangkan
keluhan subjektif seperti fotobia namun pada umumnya pada pemberian steroid
dapat menyebabkan kekambuhan karena steroid juga dapat memperpanjang
infeksi dari virus jika memang etiologi dari keratitis tersebut adalah virus.
Namun pemberian kortikosteroid topikal pada keratitis ini harus terus
diawasi dan terkontrol karena pemakaian kortikosteroid untuk waktu lama dapat
memperpanjang perjalanan penyakit hingga bertahun-tahun dan berakibat
timbulnya katarak dan glaukoma terinduksi steroid, menambah kemungkinan
infeksi jamur, menambah berat radang akibat infeksi bakteri juga steroid ini dapat
menyembunyikan gejala penyakit lain. Penggunaan kortikosteroid pada keratitis
menurut beberapa jurnal dapat dipertimbangkan untuk diganti dengan NSAID.
Dari penelitian-penelitian tersebut telah menunjukan bahwa NSAID dapat
mengurangi keluhan subjektif pasien dan juga mengatasi peradangannya seperti
halnya kortikostroid namun lebih aman dari steroid itu sendiri karena tidak akan
menyebabkan katarak ataupun glaukoma yang terinduksi steroid.9
Lensa kontak sebagai terapi telah dipakai untuk mengendalikan gejala,
supaya dapat melindungi lapisan kornea pada waktu kornea bergesekan dengan
palpebra, khususnya pada kasus yang mengganggu. Pemberian siklopegik
mengakibatkan lumpuhnya otot sfingter iris sehingga terjadi dilatasi pupil dan
mengakibatkan paralisis otot siliar sehingga melemahkan akomodasi. Terdapat
beberapa obat sikloplegia yaitu atropin, homatropin, dan tropikamida.
Namun atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik yang sangat kuat dan juga
bersifat midriatik sehingga biasanya tidak dijadikan pilihan terapi pada keratitis
tertentu misalnya KPS. Efek maksimal atropin dicapai setelah 30-40 menit dan
bila telah terjadi kelumpuhan otot akomodasi maka akan normal kembali dalam 2
minggu setelah obat dihentikan. Atropin juga memberikan efek samping nadi
cepat, demam, merah, dan mulut kering. Homatropin (2%-5%) efeknya hilang
lebih cepat dibanding dengan atropin, efek maksimal dicapai dalam 20-90 menit
dan akomodasi normal kembali setelah 24 jam hingga 3 hari. Sedangkan

28
trokamida (0,5%-1%) memberikan efek setelah 15-20 menit, dengan efek
maksimal dicapai setelah 20-30 menit dan hilang setelah 3-6 jam. Obat ini sering
dipakai untuk melebarkan pupil pada pemeriksaan fundus okuli.
Pada keratitis yang telah mengalami penipisan stroma dapat ditambahkan
lemcyanoacrylate untuk menghentikan luluhnya stroma. Bila tindakan tersebut
gagal, harus dilakukan flap konjungtiva; bahkan bila perlu dilakukan keratoplasti.
Flap konjungtiva hanya dianjurkan bila masih ada sisa stroma kornea, bila sudah
terjadi descemetocele flap konjungtiva tidak perlu; tetapi dianjurkan dengan
keratoplastik lamellar.
Selain terapi medikamentosa sebaiknya diberikan pula edukasi pada pasien
keratitis. Pasien diberikan pengertian bahwa penyakit ini dapat berlangsung
kronik dan juga dapat terjadi kekambuhan. Pasien juga sebaiknya dianjurkan agar
tidak terlalu sering terpapar sinar matahari ataupun debu karena keratitis ini dapat
juga terjadi pada konjungtivitis vernal yang biasanya tercetus karena paparan sinar
matahari, udara panas, dan debu, terutama jika pasien tersebut memang telah
memiliki riwayat atopi sebelumnya. Pasien pun harus dilarang mengucek matanya
karena dapat memperberat lesi yang telah ada.Pada keratitis dengan etiologi
bakteri, virus, maupun jamur sebaiknya kita menyarankan pasien untuk mencegah
transmisi penyakitnya dengan menjaga kebersihan diri dengan mencuci tangan,
membersihkan lap atau handuk, sapu tangan, dan tissue.

KOMPLIKASI & PROGNOSIS


Bila peradangan hanya di permukaan saja, dengan pengobatan yang baik
dapat sembuh tanpa jaringan parut, Bila peradangan dalam, penyembuhan
berakhir dengan pembentukan jaringan parut yang dapat berupa nebula, makula,
leukoma, leukoma adherens dan stafiloma kornea.

Nebula : bentuk parut kornea berupa kekeruhan yang sangat tipis dan hanya dapat
dilihat dengan menggunakan kaca pembesar atau menggunakan slit
lamp.

29
Makula : parut yang lebih tebal berupa kekeruhan padat yang dapat dilihat tanpa
menggunakan kaca pembesar.

Leukoma : kekeruhan seluruh ketebalan kornea yang mudah sekali terlihat dari
jarak yang agak jauh sekalipun.

DAFTAR PUSTAKA

1. Riordan, P, Whitcher, J. P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. EGC.
Jakarta. 2010.

2. Boyd, B. F., Luntz, M. Innovations In The Glaucomas Etiology, Diagnosis, and


Management. Highlights of Ophthalmology International. 2002.

3. Lang, G. K. Ophthalmology A Pocket Textbook Atlas 2nd Edition. Thieme.


Stuttgart-New York. 2006.

4. Schuman, J. S., Christopoulos, V., Dhaliwal, D. K., Kahook, M. Y., et all. Rapid
Diagnoses in Ophthalmology Lens and Glaucoma. Mosby Elsevier. Philadelphia.
2008.

5. Supiandi, S. Cara Pemeriksaan dan Jenis Glaukoma. FKUI. Jakarta. 1986.

6. Sidarta, I. Glaukoma (Tekanan Bola Mata Tinggi) Edisi ke-2. FKUI. Jakarta.
2001.

7. Lee, D. A. Clinical Guide to Comprehensive Ophtalmology. Stuggart. NewYork.


1999.

8. James, B., Benjamin, L. Ophthalmology Investigation and Examination


Techniques. Butterworth Heinemann Elsevier. United Kingdom

9. Paul R.E, John P.W. Cornea.Vaughan & Asburys General Ophthalmology


Sixteenth Edition. United States Of America. 2004. hal 129-153

10. Bruce J, Chris C, Anthony B. Lectures Notes Oftalmologi Edisi Kesembilan.


Blackwell Science. 2003.

11. Sherwood L. Eye:Vision.Human Physiology.Sixth Edition. Hal 190-208.


Thomson Higher Education. United States od America.2007

30
12. Khurana A.K. Comphrehensive Ophtalmology Fourth Edition. New Delhi. 2007.
hal 89 100.

31

Anda mungkin juga menyukai