Anda di halaman 1dari 27

MEMAHAMI UNSUR-UNSUR ESENSIAL DARI FPI

Manusia adalah makhluk yang berhadapan dengan diri sendiri dan juga berhadapan dengan alam
kodrat. Manusia adalah makhluk badani yang harus bersikap, bertindak, bergerak dan bekerja
untuk mengolah dunianya. Pertumbuhan badan manusia merupakan prasarana atau infrastruktur
perkembangan rohani. Badan manusia merupakan cerminan pribadi manusia itu sendiri. Jika
pribadinya luhur, maka badan dalam sikap dan gerak-geriknya akan mencerminkan keluhuran
itu. Sebaliknya, jika manusia ingin memiliki kepribadian yang luhur, maka ia harus mengatur
segi-segi luar dari hidupnya.
Dalam diri manusia pada hakikatnya terdapat sifat dan unsur-unsur ketuhanan karena dalam
proses kejadiannya kepada manusia telah ditiupkan ruh dari Tuhan. Sifat dan unsur ketuhanan
dalam diri manusia tersebut berupa potensi-potensi pembawaan yang dalam proses kehidupannya
manusia merealisir dan menjabarkannya dalam tingkah laku dan perbuatan nyata.
Ayat-ayat Al-Quran banyak menjelaskan tentang hakikat manusia. Firman Allah SWT yang
pertama kali diturunkan justru mengawali karakter manusia untuk berpendidikan melalui proses
membaca (lihat Q.S. Al-Alaq:1-5). Proses belajar ini telah dilakukan oleh Nabi Adam ketika
Allah SWT mengajarkan kepadanya nama-nama segalanya (lihat Q.S. Al-Baqarah:31). Lalu
manusia pun merespons proses belajar tersebut dengan mengajar (lihat Q.S. Luqman:13).
Ada tiga kata yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada manusia, yaitu:
1. Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun, dan sin semacam insan, ins, nas, atau
unas.
2. Menggunakan kata basyar.
3. Menggunakan kata Bani Adam, dan zuriyat Adam.
Hasil penelitian yang dilakukan Musa Asyari menjelaskan bahwa kata insan dalam Al-Quran
digunakan untuk menunjuk kata manusia dalam bentuk tunggal, yakni sama dengan pemakaian
kata ins. Sedangkan untuk jamaknya dipakai kata al-nas, unasi, insiyya, anasi. Sedangkan kata
basyar dipakai untuk tunggal dan jamak. Kata insan dalam Al-Quran disebut sebanyak 65 kali
dalam 32 ayat, sedangkan kata ins disebut 18 kali dalam 17 ayat. Selanjutnya kata al-nas disebut
241 kali dalam 225 ayat. Kata unasi disebut lima kali dalam lima ayat. Kata anasi dan insiyya
masing-masing disebut 1 kali dalam 1 ayat. Adapun kata basyar disebut 36 kali dalam 36 ayat.
Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik
dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai
basyar karena kulitnya tampak jelas, berbeda dengan kulit binatang yang lain.
Kata basyar yang disebut Al-Quran sebanyak 36 ayat dipakai untuk menyebut manusia dalam
proses lahiriahnya. Satu ayat diantaranya menyebutkan kata basyar dalam pengertian kulit
manusia. Pengertian basyar tidak lain adalah manusia dalam kehidupannya sehari-hari yang
berkaitan dengan aktivitas lahiriahnya yang dipengaruhi oleh dorongan kodrat alamiahnya,
seperti makan, minum, bersetubuh, dan akhirnya mengakhiri kegiatannya. Melalui aktivitas
basyariyah-nya yaitu aktivitas tubuhnya, maka gagasan dan pemikiran manusia dapat
diwujudkan dalam bentuk kongkret, yaitu bentuk-bentuk sebagai hasil karya cipta manusia, yang
menempati ruang tertentu, dapat diraba dan difoto, seperti lukisan, tari-tarian, dan kegiatan
mengolah hasil pada industri logam.
Kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis, dan tampak. Pendapat ini
jika ditinjau dari sudut pandang Al-Quran lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil
dari kata nasiya (lupa), atau nasa-yanusu (berguncang).
Informasi Al-Quran tentang kata insan mengacu kepada manusia sebagai makhluk yang
memiliki potensi intelektual dan kejiwaan yang pada perkembangan selanjutnya potensi-potensi
ini menjadi alat utama dalam memperoleh pengajaran dan pendidikan.
Dengan demikian, penggunaan kata insan dan basyar dalam Al-Quran jelas menunjukkan
konteks dan makna yang berbeda, meskipun sama-sama menunjuk pada pengertian manusia.
Manusia dalam konteks insan adalah manusia yang berakal yang memerankan diri sebagai
subyek kebudayaan dalam pengertian ideal, sedangkan kata basyar menunjuk pada manusia yang
berbuat sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian material seperti yang terlihat pada
aktivitas fisiknya.
Jadi, manusia merupakan makhluk yang memiliki kelengkapan jasmani dan rohani. Dengan
kelengkapan jasmaninya, ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang memerlukan dukungan fisik,
dan dengan kelengkapan rohaninya ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang memerlukan
dukungan mental. Selanjutnya, agar kedua unsur tersebut dapat berfungsi dengan baik dan
produktif, maka perlu dibina dan dibimbing melalui pendidikan.
Dalam konsep Islam, manusia dianggap sebagai khalifah (pengganti) Allah di muka bumi yang
bertindak sesuai dengan perintah Allah. Sebagai khalifah yang mengemban tanggung jawab yang
besar, manusia dibekali dengan potensi-potensi yang istimewa yang membedakannya dari
makhluk lain. Potensi-potensi tersebut berupa fithrah yang baik, roh, kebebasan dalam
berkemauan, dan akal. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia sebagai khalifah bersifat
kreatif, yang memungkinkan dirinya mengolah serta mendayagunakan apa yang ada di muka
bumi untuk kepentingan hidupnya sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Allah SWT.
Disamping peran manusia sebagai khalifah Allah SWT. Di muka bumi yang memiliki kebebasan,
ia juga sebagai hamba Allah (abdullah). Seorang hamba Allah SWT harus taat dan patuh kepada
perintah Allah SWT. Kekuasaan manusia sebagai khalifah Allah SWT dibatasi oleh aturan-aturan
dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh yang diwakilinya, yaitu hukum-hukum
Tuhan baik yang tertulis dalam Al-Quran, maupun yang tersirat dalam kandungan alam semesta
(al-kaun).
Dua peran yang diemban manusia di muka bumi sebagai khalifah dan abd merupakan
keterpaduan tugas dan tanggung jawab yang melahirkan dinamika hidup yang sarat dengan
kreativitas dan amaliah yang selalu berpihak pada nilai-nilai kebenaran. Kualitas kemanusiaan
sangat bergantung pada kualitas komunikasinya dengan Allah SWT melalui ibadah dan kualitas
interaksi sosialnya dengan sesama manusia melalui muamalah.

B. Konsep Pengetahuan Menurut Islam


Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Quran. Kata ini digunakan
dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. Ilm dari segi bahasa berarti
kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan.
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang telah diketahui. Cara mengetahui sesuatu dapat
dilakukan dengan cara mendengar, melihat, merasa, dan sebagainya yang merupakan bagian dari
alat indra manusia. Semua pengetahuan yang didasarkan secara indrawi dikategorikan sebagai
pengetahuan empirik, artinya pengetahuan yang bersumber dari pengalaman. Oleh karena itu,
pengalaman menjadi bagian penting dari seluk-beluk adanya pengetahuan yang secara filosofis
menjadi bagian dari epistemologis.
Setiap manusia memiliki pengetahuan karena setiap manusia pernah mengalami sesuatu dan
setiap pengalamannya dapat dijadikan landasan dalam berpikir dan bertindak. Akan tetapi,
karena manusia memiliki pengalaman yang berbeda-beda, maka dalam menyelesaikan
masalahnya bersumber pada pengalaman yang beragam sehingga pengetahuan pun menjadi
semakin banyak.
Ilmu pengetahuan adalah kebutuhan mutlak manusia. Ilmu adalah bekal yang diperlukan
manusia untuk mempertahankan dan meningkatkan derajat kemanusiaan. Manusia membutuhkan
ilmu pengetahuan untuk menjangkau kehidupan duniawi dan ukhrawinya. Ilmu digapai manusia
untuk mendapatkan kebenaran. Kebenaran bagi ilmuwan mempunyai kegunaan khusus, yakni
kegunaan universal bagi umat manusia dalam meningkatkan martabat kemanusiaannya.
Di dalam Al-Quran terdapat ratusan ayat yang menerangkan ilmu, ajakan untuk berpikir dan
melakukan penalaran (mengamati, memperhatikan, memikirkan, dan menyelidiki dengan
seksama), serta sanjungan kepada orang-orang yang suka menggunakan akal pikirannya. Tercatat
ada 80 ayat yang mengandung kata ilmu, 63 ayat yang mengandung ajakan untuk berpikir, 45
ayat yang mangajak untuk melakukan penalaran (mengamati, memperhatikan, memikirkan, dan
menyelidiki dengan seksama), 16 ayat yang menyanjung orang-orang yang suka menggunakan
akalnya, dan 24 ayat yang memberikan lampu merah terhadap kebodohan.
Salah satu ayat yang menunjukan keutamaan orang yang berilmu pengetahuan adalah firman
Allah dalam Surat Al-Mujadilah ayat 11 berikut ini:


Artinya:
Hai orang-orang beriman! apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis",
maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan:
"Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S.Al-Mujadilah:11).
Sejarah islam telah mencatat bahwa ilmuwan muslim telah mamperlihatkan kepada kita tentang
pentingnya ilmu dalam dunia kehidupan dan pendidikan. Nama-nama seperti Ar-Razi (Rhases,
856-925 M), Ali Abbas (wafat 944 M), Ibnu Sina (Avicenna, 930-1037 M), dan Ibnu Rusyd
(Avenrroes, wafat 1198 M) adalah para ilmuwan muslim yang karya-karyanya memiliki
pengaruh besar dalam ilmu pengetahuan. Misalnya buku karangan Ibnu Sina yang berjudul Al-
Qanun fit-Thib (Canon of Medicine) yang diterjemahkan ke berbagai bahasa Eropa. Buku
tersebut menjadi buku induk mahasiswa kedokteran pada masa itu. Buku tersebut tak henti-
hentinya dibaca, dipelajari, diterjemahkan, diterbitkan, dan didiskusikan sampai abad ke-18 M.
Ibnu Sina juga mendapat julukan Father of Doctors.
Derajat kehidupan manusia akan sangat ditentukan oleh ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
Tanpa ilmu, derajatnya akan rendah. Akan tetapi, ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia wajib
dilindungi oleh keimanan karena yang manusia berilmu, tetapi tidak beriman, maka
kehidupannya akan porak poranda. Dengan demikian, ilmu dan iman adalah kajian mendasar
dari filsafat pendidikan Islam yang hakikatnya semua ilmu digunakan untuk memperkuat
keimanan dan keimanan harus ditingkatkan oleh ilmu pengetahuan.
Asy-Syaibani mengatakan bahwa pengetahuan yang sebenarnya ialah yang cukup keyakinan dan
pasti, merendah diri di depan keagungan Allah dan luasnya ilmu-Nya, sesuai dengan jiwa agama
dan prinsip akhlak yang mulia yang telah ditentukannya sehingga menimbulkan rasa tenang dan
tenteram dalam jiwa, tepat dan obyektif, dan meneguhkan amal yang baik, pengalaman yang
berjaya dan memudahkan jalan kemajuan dan kekuatan masyarakat. Hal-hal tersebut ialah
syarat-syarat dan unsur-unsur pengetahuan yang terpenting dalam islam.
Dengan memperhatikan motivasi Al-Quran untuk menuntut ilmu, cara-cara mendapatkan ilmu
dalam islam, dan Al-Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan, maka lembaga pendidikan islam
harus selalu menggali ilmu pengetahuan yang terdapat di dalam Al-Quran. Al-Quran tidak
ubahnya seperti suatu samudera ilmu pengetahuan, makin sanggup manusia mengarunginya
semakin banyak hasil yang diperolehnya. Di dalam pengembangan ilmu, lembaga pendidikan
islam harus menggali ilmu pengetahuan dari sumbernya berupa ayat Quraniyah dan ayat
Kauniyah. Lembaga pendidikan islam juga harus selalu menanamkan terhadap peserta didiknya
bahwa usaha untuk mempelajari, menggali dan mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya itu
dalam rangka pengabdian kepada Allah swt sebagai Khaliq (pencipta) ilmu pengetahuan.

C. Konsep Alam Menurut Islam


Alam berjalan sesuai dengan hukum-hukum yang ditetapkan Allah. Alam dapat menjadi subjek
maupun objek pendidikan dan pembelajaran. Kita bisa melihat bagaimana matahari konsisten
untuk terbit dan terbenam sesuai dengan hukumnya. Hukum Allah juga berlaku pada bumi, air,
api, angin, daratan, lautan, gunung-gunung, hutan, dan pepohonan.
Bumi dan segala sesuatu yang terdapat di dalamnya sebagai tempat manusia beraktivitas adalah
karunia Allah yang sangat besar dan wajib disyukuri. Allah berfirman dalam QS. Al-Mulk ayat
15 yang berbunyi:


Artinya:
Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan
makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu dibangkitkan.(Q.S.Al-
Mulk:15).

Dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, alam adalah guru manusia. Kita semua wajib belajar
dari sikap alam semesta yang tunduk mutlak pada hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah.
Alam semesta bagaikan literatur yang amat luas dan kaya dengan informasi yang aktual. Alam
mempertontonkan karyanya yang dinamis kepada manusia yang berniat belajar seumur hidup.
Alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan untuk kepentingan manusia dan untuk dipelajari
manusia sehingga manusia dapat menjalankan fungsi dan kedudukannya dimuka bumi. Hal
tersebut ditegaskan di dalam ayat-ayat Al-Quran yang menyeru dan mengundang manusia untuk
mengamati dan merenungi wajah dan rahasia alam. Beberapa ayat yang berkaitan dengan hal
tersebut adalah Q.S. Al-Jatsiyah: 13, Q.S.An-Nahl: 12, Q.S.An-Nahl: 14, Q.S.An-Nahl: 18,
Q.S.Al-Anam: 97, dan Q.S.Yunus:5.
Kedudukan manusia terhadap alam adalah sebagai pemanfaat dan penjaga kelestariannya
(Q.S.Al-Jumuah:10 dan Q.S. Al-Baqarah:60), sebagai peneliti alam (Q.S.Al-Baqarah:164), dan
sebagai khalifah yang mengatur alam (Q.S.Al-Anam:165).
Manusia harus memanfaatkan akalnya untuk berpikir tentang pemberdayaan alam bagi manusia.
Akal yang dimiliki manusia merupakan kecakapan untuk menciptakan alat-alat kerja bagi
dirinya. Akal itu timbul karena penyesuaian manusia dengan dunia sekitarnya.
Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa manusia harus senantiasa belajar kepada alam. Manusia
yang tidak mau belajar dari konsistensi kehidupan alam, maka sifatnya akan berubah bagaikan
binatang, saling menipu, saling membunuh, dan sebagainya. Rusaknya kehidupan alam
disebabkan oleh perilaku manusia yang tidak mau belajar dari alam semesta. Misalnya, kasus
penebangan hutan liar yang mengakibatkan hutan gundul, erosi, banjir, dan sebagainya.
Unsur Esensial Perkembangan Manusia

A. Perpektif Al-Quran Tentang Perkembangan Manusia


Istilah perkembangan yaitu serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat
dari proses kematangan dan pengalaman. Ini berarti bahwa perkembangan bukan sekedar
penambahan berapa sentimeter tinggi badan seseorang atau peningkatan kemampuan seseorang
melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks.1[1]

Firman Allah surat Al-Hajj : 5







Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), Maka
(ketahuilah) Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani,
kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan
yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa
yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu
sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di
antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya
sampai pikun, supaya Dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya.
dan kamu Lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah
bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.(QS.
Al-Hajj:5)2[2]
Demikianlah konsep al-Quran tentang penciptaan manusia dari keturunannya yang dapat
kita mengerti secara terang-terangan. Dengan mempelajari konsep-konsep Al-Quran tentang
penciptaan manusia, secara otomatis telah menolak teori evolusi Darwin yang menyatakan
bahwa manusia itu berevolusi dari bentuk yang sangat sederhana kemudian meningkat menjadi
binatang kera dsan akhirnya menjadi Homo Sapien yang mempunyai akal budi.3[3]

2
Nenek moyang manusia adalah Adam. Dalam Al-Quran sudah jelas bahwa Allah
menciptakan Adam dari tanah. Sedangkan Bani Adam melajutkan perkembangbiakannya dengan
terjadinya proses biologis.
B. Proses Perkembangan Manusia dalam Pandangan Islam
Tuhan menciptakan manusia dari ruh dan jasad. Proses penciptaannya pun rumit dan penuh
misteri sebanding dengan jati dirinya yang unik, misteri dan tak terduga. Ruh dan jasad adalah
dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain dan keduanya merupakan satu kesatuan dan
saling menyempurnakan dalam pembentukan yang namanya manusia.
Asal manusia dibagi menjadi dua yakni Adam sebagai nenek moyang manusia dan
manusia pada umumnya sebagai keturunan Adam. Penyebutan asal usul penciptaan Adam
beragam dalam Al-Quran. Al-Quran memakai terma tin, turab, shalshal,seperti fakhkhar, dan
shalshal yang berasal dari hama masnun. Hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kata Tin
Kata tin antara lain terdapat dalam Q.S Al-Mumimun (23):12; Al-Sajadah (32):7; Al-
Anam(6):2; Al-Araf (7):12; As-Shoffat (37):11; Al-Isra (17):61; Shad (38):71. Pada umumnya
para mufassir kata tin dengan sari pati tanah lumpur atau tanah liat. Menurut ibnu Katsir, Ahmad
Mustofa, Jamal dan Maghnujah bahwa kata tin menupakan bahan penciptaan Adam dari saripati
tanah. Menurut Baharudin bahwa tin dalam QS.As-Sajadah (32):7 adalah tanah yakni atom zat
air (hidrohenium) dan kata tin lazim pada Q.S As-Shaffat (37):11adalah zat besi (ferrum). 4[4]
2. Kata Turab
Kata Turab terdapat dalam Q.S Al-Kahfi(18):37; Al-Hajj (22):5; Ali Imron(3):59; Ar-
Rum(30):20; Fatir(35):11. Menurut Nazwar Syamsu bahwa semua ayat yang mengandung kata
turab berarti saripati tanah. Muhammad Jawwad membagi asal usul manusia menjadi dua yakni
langsung dari saripati tanah tanpa perantara dan yakni asal usul Adam dan tidak langsung dari
tanah seperti menciptakan Bani Adam.5[5] Maksudnya tidak langsung ini adalah manusia
terbentuk dari nutfah (air mani), dan air mani itu terbentuk dari makanan-makanan yang di
konsumsi manusia dan makanan-makanan tersebut berkaitan dengan air dan tanah.
3. Shalshal seperti fakhkhar yang berasal dari hama masnun.

5
Kata shalshal terdapat dalam QS. Ar-rahman:14, Al-hijr: 26,28 dan 33. Menurut Fachrur Razy
maksud dengan shalshal adalah tanah kering yang bersuara dan belum dimasak. Jika shalshal itu
telah dimasak, jadilah ia tembikar (fakhkhar). Sebagai komponen penciptaan Adam.6[6]
Proses perkembangan manusia di dalam rahim menurut QS. Al-Muminun:12-14, Al-
Hajj:5, dan Al-Mumin:67
1. Benih (ovarium, female nucleus) yang berasal dari saripati tanah.
2. Sperma (spermatozoon) yang berasal dari saripati tanah.
3. Benih (ovum) dan spermatozoon dalam rahim.
4. Segumpal darah (alaqoh).
5. Segumpal daging (mudhghoh).
6. Tulang belulang.
7. Tulang belulang yang dibungkus daging, dan roh ditiupkan.
8. Menjadi makhluk hidup.
9. Menanti kelahiran.
10. Saat kelahiran.
11. Rahim kembali seperti semula.7[7]
Di dalam Al-Quran dijelaskan secara sosiologis dan fisiologis tentang perkembangan
manusia, antara lain:



Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui."(QS. Al-Baqarah:30)8[8]
Dalam ayat itu dijelaskan bahwa manusia diciptakan di muka bumi sebagai khalifah atau
wakil Allah di muka bumi dengan menjaga kelestarian alam sebagai karunia Allah dan saling
menjaga antar saudara.





6

8
Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan
sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa
yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan
Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. Al-Anam: 165)9[9]
Setiap manusia diciptakan Tuhan untuk beribadah kepada-Nya. Manusia akan diuji Allah
untuk meninggikan kedudukannya di dunia maupun di akhirat.
Secara rasional kita tidak dapat mengingkari bahwa manusia ini tidak dapat hidup dengan
baik tanpa bermasyarakat. Aristoteles mengatakan, Zoon Politicon, dan di dalam hidup
bermasyarakat ini tidak dapat ketenteraman dan kedamaian serta keadilan tanpa adanya
pemimpin masyarakat yang taat pada Allah. 10[10]

C. Manusia dan Fitrah Perkembangan


Manusia diciptakan Allah selain menjadi hamba-Nya, juga menjadi penguasa (khalifah) di
bumi. Selaku menjadi hamba dan khalifah, manusia telah diberi kelengkapan kemampuan
jasmaniah (fisiologi) dan rohaniah (psikologi) yang dapat dikembangkan semaksimal mungkin,
untuk melaksanakan tugas pokoknya di dunia. Kemampuan dasar jasmaniah dan rohaniah
tersebut dapat dikembangkan melalui pendidikan. Dalam hal ini, pendidikan dijadikan alat
(sarana) yang menentukan sampai dimana titik optimal kemampuan-kemampuan tersebt dapat
dicapai.
Namun, proses pengembangan kemampuan manusia melalui pendidikan tidaklah menjamin
akan terbentuknya watak dan bakat seseorang untuk menjadi baik menurut kehendak pencipta-
Nya. Karena mengingat Allah yang telah menggaris bawahkan, bahwa manusia itu mempunyai
kecenderungan dua arah, yaitu: kearah perbuatan fasik (menyimpang dari peraturan) dan kearah
perbuatan takwa (mentaati peraturan), seperti firman Allah dalam Surah AS Syams ayat 7-10
berikut ini:

. . .
.
Dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-Nya maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikkan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang ang menyucikan jiwanya dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (AS Syams ayat 7-10)

10
Dengan demikian, manusia diberi kemungkinan untuk mendidik diri sendiri dan orang lain
untuk menjadi sosok pribadi yang beruntung sesuai kehendak Allah melalui berbagai usaha.
Manusia diberi kebebasan untuk menentukan dirinya melalui upayanya sendiri. Ia tidak akan
mendapatkan sesuatu kecuali melalui usahanya.11[11]
1. Individualisasi dan Sosialisasi
Bilamana tujuan pendidikan islam itu diarahkan kepada pembentukan manusia seutuhnya,
berarti proses kependidikan yang dikelola oleh para pendidik harus berjalan di atas pola dasar
dari fitrah manusia yang telah dibentuk oleh Allah dalam setiap pribadi manusia itu. Salah satu
aspek potensial dari fitrah manusia tersebut adalah kemampuan berfikir manusia, dimana rasio
dan kecerdasan menjadi pusat perkembangannya. Para pendidik muslim sejak dahulu
menganggap bahwa kemampuan berfikir inilah yang menjadi pembada antara manusia dengan
makhluk-makhluk yang lainnya.
Dalam kaitannya dengan kemampuan dasar tersebut, Abul Ala Al-Maududi, menyatakan
bahwa manusia telah dibentuk oleh Tuhan dalam dua suasana kegiatan yang berbeda . Pertama,
ia berada di dalam suasana dimana dirinya secara menyeluruh diatur oleh hukum Tuhannya.
Kedua, manusia telah dianugerahi kemampuan akal dan kecerdasan. Dia dapat berfikir dan
membuat pertimbanan dengan akalnya untuk memilih dan menolak serta menerima ataupun
membuangnya. Dia telah diberi kemampuan bebas berkehendak dan dapat menetapkan arah
perbuatannya sendiri.
Jadi, manusia disini tidak seperti makhluk lainnya, karena manusia telah diberi kebebasan
oleh Tuhan untuk berfikir, berbuat, dan memilih. Namun, pada hakekatnya manusia dilahirkan
sebagai seorang muslim, dalam arti bahwa segala gerak dan tingkah lakunya cenderung berserah
diri kepada Penciptanya. Tetapi dilain pihak, manusia diberi kebebasan memilih dan
berkehendak untuk menentuka apakah ia akan menjadi seorang muslim atau non muslim. Itu
tergantung pada pengalaman dan lingkungan manusia tersebut.
Tuhan tidak sekaligus menjadikan manusia di bumi ini untuk beriman kepada-Nya, karena
hal tersebut bukanlah proses manusiawi atau alami. Untuk menjadikan manusia mukmin harus
melalui proses kependidikan yang berkeimanan dan islami, begitu pula untuk menjadi manusia
non muslim (misalnya: Kristen dan Yahudi) juga melalui proses pengalaman kependidikan yang
seirama dengan ideologinya.

11
Jadi, faktor ikhtiarlah yang mengandung nilai pedagogis yang menentukan kedudukan atau
martabat kemanusiaanya selaku hamba Allah yang secara individual dan sosial senantiasa
membina hubungan dengan Allah dan hubungan dengan masyarakatnya.12[12]
2. Pengembangan Kepribadian
Dengan melalui proses kependidikan yang terencana dengan baik, maka kepribadian
manusia dapat dikembangkan sesuai dengan tujuan yang diteapkan atau paling tidak dapat
mendekati tujuan tersebut. Sifat-sifat unik yang menggejala pada seseorang yang memiliki
kepribadian tertentu menggambarkan aspirasi dan arah tujuan hidup tertentu. Sehingga dalam
pengamatan jangka panjang kita dapat melihat bahwa seseorang tersebut telah memiliki
pandangan hidupnya (filsafat). Pandangan hidupnya ini berlangsung dalam perilakunya yang
konsisten dalam berfikir, berbuat dan bersikap sepanjang waktu.
Dalam hubungannya dengan pendidikan islam, pengembangan kepribadian manusia
merupakan perwujudan nilai-nilai dan norma-norma islami. Nilai dan norma islami yang harus
diacu kedalam pribadi peserta didik dijabarkankedalam sistem kependidikan secara makro dan
mikro. Secara makro, berarti nilai dan norma islami mendasari proses penetapan kebijaksanaan
umum yang mengarah dan memberi ruang lingkup perencanaan program operasional
kependidikan, baik secara instusional maupun secara psikologis. Sedangkan secara mikro, berarti
pendidikan secara operasional sebagai proses yang melaksanakan program-program
kependidikan yang bertujuan merealisasikan nilai-nilai dan norma-norma islami itu.
DR. Fadhil Al-Djamaly menggambarkan kepribadian muslim sebagai muslim yang
berbudaya, yang hidup bersama Allah dalam tiap langkah hidupnya. Bagi Ibnu Sina, seorang
filosof pendidikan islam ilmuyang dididikkan bukan hanya yang diajarkan pada pribadi peserta
didik, tetapi merupakan esensi kepribadiannya. Pendidikan sebagai proses menginternalisasikan
nilai-nilai dalam pribadi peserta didik yang bertumpu pada kemampuan atau kapasitas belajar
dalam setiap pribadi peserta didik. Untuk proses internalisasi nilai tersebut dapat dilakukan
melalui pendidikan yang dilakukan oleh dirinya sendiri atau melalui pendidikan dari orang lain.
Namun, kedua proses belajar tersebut pada hakikatnya selalu terjadi saling mempengaruhi,
karena orang yang mengajar orang lain senantiasa memberikan stimulasi atau motivasi agar ia
belajar sendiri yang didorong dari dalam diri seseorang tersebut.13[13]
D. Kedudukan Manusia Dalam Alam Semesta
12

13
1. Potensi yang Dimiliki manusia
Al Quran memperkenalkan dua kata kunci untuk memahami manusia secara komprehensif.
Kedua kata kunci tersebut adalah kata al-insan dan al-basyar. Kata insan yang dibentuk
jamaknya al-nas dari segi semantic (ilmu tentang akar kata), dapat dilhat dariasal kata anasa
yang mempunyai arti melihat, mengetahui dan meminta ijin. Atas dasar kata tersebut
mengandung kata petunjuk adanya kaitan substansial antara manusia dengan kaitan penalarannya
itu manusia dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya, ia dapat pula mengetahui apa
yang benar dan apa yang salah, dan terdorong untuk meminta izin menggunakan sesuatu yang
bukan miliknya. Selanjutnya kata insan jika dilihat dari asalnya nasiya yang artinya
lupa,menunjukkan adanya kaitan yang erat antara manusia dengan kesadaran dirinya.
Dengan demikian, penggunaan insan dan basyar dalam al Quran jelas menunjukkan
konteks dan makna yang berbeda, meskipun sama-sama menunjuk pada pengertian manusia.
Mannusia dalam konteks insan adalah manusia yang berakal yang memerankan diri sebagai
subyek budaya dalam pengertian ideal, sedangkan kata basyar menunjuk pada manusia yang
berbuat sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian material seperti yang terlihat pada aktifitas
fisiknya.14[14]
Ulama menyimpulkan bahwa manusia itu merupakan perpaduan antara unsur jasmani dan
rohani, unsur fisik dan jiwa yang antara satu dengan yang lain saling berhubungan. Dengan kata
lain, bahwa manusia itu memiliki kelengkpan jasmani dan rohani, dan dengan kelengkapan
jasmaninya ia dapat melaksanakan tugas-tugasnya yang memerlukan dukungan fisik. Serta
dengan kelengkapan rohaninya ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang dapat berfungsi dengan
baik dan produktif, maka perlu dibina dan diberikan bimbingan. Dengan hubungan ini,
pendidikan sangat memegang peranan yang sangat penting.
2. Kedudukan manusia dan alam semesta
Kedudukan manusia di alam semesta ini di samping sebagai khalifah yang memiliki
kekuasaan untuk mengolah alam dengan menggunakan segenap daya dan potensi yang
dimilikinya, juga sekaligus sebagai abd, yaitu seluruh usaha dan aktivitasnya itu harus
dilaksanakan dalam rangka untuk beribadah kepada Allah.
Dengan pandangan yang terpadu ini, maka sebagai seorang khalifah tidak akan berbuat
sesuatu yang mencermnkan kemungkaran atau bertentangan dengan kehendak Tuhan. Untuk
dapat melaksanakan fungsi kekhalifahan dan ibadah yang baik, manusia perlu diberikan

14
pendidikan, penngajaran, pengalaman, keterampilan, teknolgi, dan sarana pendukun lainnya. Hal
ini menunjukkan bahwa konsep kekhalifahan dan ibadah dalam al Quran erat kaitannya ngan
pendidikan. 15[15]
Alam kodrat ini bukannya memusihi manusia, ia sesekali tidak menghambat usaha insan
untuk maju. Ia tidak kikir, muka bumi yang permai yang mendekati wujud manusia bukanlah
tempat buangan seperti yang diungkapkan oleh setengah penulis cendekiawan.
Alam yang terbentang luas ini adalah teman yang setia bagi manusia. Ia boleh digunakan
untuk maju. Untuk memberi pengkhidmatan dan memudahkan hidup insan dan keturunannya.
Alam boleh menjadi sumber ilham dan tanda untuk menolong akal manusia berfikir mencari
kebenaran.16[16]
Amatlah besar keuntungan insan andainya ia mengerti bagaimana memanfaatkan hasil
buminya. Bagaiman membelanjakan sumber kemewahan dengan bijak dan demi kepentingan
manusia seluruhnya. Berbahagialah insan yang dalam kesibukan hidupnya senantiasa mengingat
kebesaran dan karunia Allah kepadanya. Dengan keinsyafan itu ia tidak pula sampai berlebih-
lebihan dan mubazir.

15

16
MEMAHAMI PENDIDIKAN ISLAM

A. Kurikulum Pendidikan Islam


1. Pengertian Kurikulum
Menurut bahasa, kurikulum berasal dari bahasa Latin curriculum yang berarti bahan pengajaran.
Ada pula yang mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari bahasa Perancis courier yang berarti
berlari. Selanjutnya kata kurikulum berkembang menjadi suatu istilah yang digunakan untuk
menunjukkan pada sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar
atau ijazah, serta ada beberapa pendapat lain tentang kurikulum, yang akhirnya disimpulkan
bahwa kurikulum pada hakekatnya merupakan rancangan mata pelajaran bagi suatu kegiatan
jenjang pendidikan tertentu, dan dengan menguasainya seseorang dapat dinyatakan lulus dan
berhak memperoleh ijazah. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, definisi dari kurikulum
pun mengalami perkembangan pemaknaan, seperti yang diungkapkan oleh S. Nasution yang
menyebutkan bahwa kurikulum bukan hanya sekedar memuat mata pelajaran, akan tetapi
termasuk pula di dalamnya segala usaha sekolah untuk mencapai tujuan yang diinginkan, baik
usaha tersebut dilakukan di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.
Pendapat S. Nasution tersebut sejalan dengan pemikiran Hasan Langgulung yang berpendapat
bahwa kurikulum merupakan sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan, sosial, olah raga,
dan kesenian, baik yang berada di dalam maupun di luar kelas yang dikelola oleh sekolah.
2. Cakupan Kurikulum
Dengan semakin berkembangnya pengertian dari kurikulum, maka cakupan bahan pengajaran
yang terdapat di dalam kurikulum juga semakin luas. Adapun cakupan dari kurikulum meliputi
empat bagian, yaitu, pertama, bagian yang berkenaan dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai
oleh proses belajar-mengajar, kedua, bagian yang berisi pengetahuan, informasi-informasi, data,
aktivitas-aktivitas, dan pengalaman-pengalaman yang merupakan bahan bagi penyusunan
kurikulum yang isinya berupa mata pelajaran yang kemudian dimasukkan dalam silabus. ketiga,
bahan yang berisi metode atau cara menyampaikan mata pelajaran, dan yang keempat, bagian
yang berisi metode atau cara melakukan penilaian dan pengukuran atas hasil pengajaran dan
pelajaran tertentu.
3. Asas-asas Kurikulum
Asas-asas kurikulum merupakan bagian yang perlu diperhatikan dengan cermat dalam menyusun
kurikulum. Menurut S. Nasution, ada beberapa asas dalam penyusunan kurikulum. Empat asas
tersebut antara lain adalah asas filosofis, sosiologis, organisatoris, dan psikologis. Asas filosofis
berperan sebagai penentu tujuan umum pendidikan. Asas sosiologis berperan memberikan dasar
untuk menentukan apa saja yang akan dipelajari sesuai dengan kebutuhan masyarakat,
kebudayaan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan asas organisatoris
berfungsi memberikan dasar-dasar dalam bentuk bagaimana bahan pelajaran disusun, dan
bagaimana penentuan luas dan urutan mata pelajaran. Kemudian asas psikologis berperan
memberikan berbagai prinsip-prinsip tentang perkembangan anak didik dalam berbagai
aspeknya, serta cara menyampaikan bahan pelajaran agar dapat dicerna dan dikuasai oleh anak
didik sesuai dengan tahap perkembangannya.
Selanjutnya dilihat dari segi peran dan orientasinya, kurikulum dapat dibagi menjadi empat
macam, yaitu kurikulum yang bercorak humanistik, rekonstruksi sosial, teknologis, dan
akademis. Kelompok yang berorientasi pada humanistik berpendapat bahwa kurikulum
seharusnya memberikan pengalaman kepada setiap pribadi secara memuaskan, dan memandang
kurikulum sebagai proses yang memberikan kebutuhan bagi pertumbuhan dan integritas pribadi
seseorang secara bebas dan bertanggungjawab. Kelompok yang berorientasi pada rekonstruksi
sosial melihat kurikulum sebagai alat untuk mempengaruhi perubahan sosial dan menciptakan
masa depan yang lebih baik bagi masyarakat. Kemudian bagi yang berorientasi pada teknologis
memandang kurikulum sebagai teknologi untuk mewujudkan tujuan yang dikehendaki oleh
pembuat kebijaksanaan. Sedangkan bagi yang berorientasi pada akademik melihat kurikulum
sebagai upaya peningkatan intelektual dengan cara memperkenalkan siswa pada berbagai macam
pelajaran yang terorganisir dengan baik.

4. Kurikulum dalam Pendidikan Islam


Menurut Omar Muhammad al-Taoumy al-Syainaby, kurikulum dalam Pendidikan Islam
memiliki lima ciri, yaitu antara lain sebagai berikut:
a. Menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada berbagai tujuan dan kandungan, metode, alat, dan
tekniknya bercorak agama.
b. Meluas cakupannya dan menyeluruh kandungannya.
c. Seimbangan di antara berbagai ilmu yang dikandung dalam kurikulum yang digunakan.
d. Menyeluruh dalam menata seluruh mata pelajaran yang diperlukan anak didik.
e. Kurikulum yang disusun selalu disesuaikan dengan bakat dan minat anak didik.
5. Prinsip Kurikulum Pendidikan Islam
Selain memiliki lima ciri, kurikulum dalam Pendidikan Islam juga memiliki beberapa prinsip,
antara lain sebagai berikut:
a. Prinsip pertautan yang sempurna dengan agama, termasuk ajaran dan nilai-nilainya.
b. Prinsip menyeluruh (universal) pada tujuan-tujuan dan kandungan kurikulum.
c. Prinsip keseimbangan yang relatif antara tujuan-tujuan dan kandungan kurikulum.
d. Prinsip perkaitan antara bakat, minat, kemampuan, dan kebutuhan pelajar.
e. Prinsip pemeliharaan perbedaan-perbedaan individual anak didik, baik dalam bakat maupun
minatnya.
f. Prinsip menerima perkembangan dan perubahan sesuai dengan perkembangan zaman dan
tempat.
g. Prinsip keterkaitan antara berbagai mata pelajaran dengan pengalaman-pengalaman dan
aktivitas yang terkandung dalam kurikulum.
Selain ketujuh prinsip di atas, kurikulum dalam Pendidikan Islam juga memiliki landasan yang
meliputi dasar agama, filsafat, psikologis, dan dasar sosial.
B. Hakekat Pendidik
1. Pengertian Pendidik
Pendidik adalah orang yang mendidik. Pengertian ini memberi kesan bahwa pendidik adalah
orang yang bertugas di lembaga pendidikan yaitu untuk mendidik anak didik, atau orang yang
berfungsi untuk mendidik. Dalam pendidikan formal baik dari tingkat dasar sampai menengah
pendidik disebut guru, sedangkan di perguruan tinggi disebut dengan dosen dan/atau guru besar.
Dalam bahasa Arab, juga ditemukan beberapa istilah yang memiliki makna pendidik, yaitu
ustadz, mudarris, muallim, dan muaddib.
Perbedaan tersebut juga berangkat dari penggunaan istilah pendidikan yang digunakan. Bagi
orang yang berpendapat bahwa istilah yang tepat untuk menggunakan pendidikan adalah
tarbiyah, maka seorang pendidik disebut murabbi, jika talm yang dianggap lebih tepat, maka
pendidiknya disebut muallim, dan jika tadb yang dianggap lebih cocok untuk makna
pendidikan, maka pendidik disebut dengan muaddib.
Dari banyak istilah tentang pendidik di atas, kata pendidik yang beraneka macam ini tidak akan
mempengaruhi makna pendidik yang sebenarnya, yaitu pendidik tidak hanya sebagai orang yang
menyampaikan materi kepada peserta didik (transfer of knowladge), tetapi juga bertugas untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik secara optimal (tranformation of knowladge) serta
menanamkan nilai (internalitation of values) yang berlandaskan kepada ajaran Islam.
2. Kedudukan Pendidik
Dalam konteks Islam secara eksplisit tidak ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang pendidik,
tetapi ketika kita telusuri secara implisit dalam al-Quran disebutkan mengenai ilmu dan
kedudukan orang yang berilmu. Ketika kita membicarakan mengenai orang berilmu tentunya
memiliki hubungan erat dengan pendidik, dimana pendidik adalah orang yang memiliki dan
mengajarkan ilmu. Dalam al-Quran ditemukan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah
memposisikan pendidik pada tempat terhormat. Seperti firman-Nya:

Artinya: Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah


dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan
apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-
orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Mujadilah: 11)
Selain dari ayat di atas, juga terdapat firman Allah dalam surat az-Zumar tentang posisi seorang
pendidik dengan ilmu yang dimilikinya. Firman-Nya:

Artinya: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Q.S. az-
Zumar: 9).
Berdasarkan analisa di atas, tampak bahwa apa yang disebutkan dalam al-Quran mengenai
kedudukan pendidik yang demikian tinggi itu. Menurut al-Ghazali seorang sarjana yang bekerja
mengamalkan ilmunya adalah lebih baik daripada seorang yang hanya beribadat saja. Sejalan
dengan pendapat al-Ghazali, Athiyah al-Abrasy mengatakan, seseorang yang berilmu dan
kemudian ia mengamalkan ilmunya itu, maka orang itulah yang dinamakan orang yang berjasa
besar di dunia ini. Orang tersebut bagaikan matahari yang menyinari orang lain dan juga
menerangi dirinya sendiri, ibarat minyak kasturi yang yang baunya dinikmati orang lain dan
dirinya sendiri. Sedangkan para ulama menjelaskan tentang kedudukan guru, yaitu sebagai bapak
spiritual bagi seorang murid baik dalam konsep pendidikan informal dan formal. Karena semua
guru pada dasarnya sama-sama menanamkan akhlak yang baik yang dapat memberikan
kedamaian hidupnya, dan juga memberikan ilmu dan nilai pengetahuan untuk bekal hidupnya di
dunia dan di akhirat.
3. Tugas Pendidik
Menurut Raka Joni ( Conny R. Semiawan dan Soedijarto, 1991) hakikat tugas guru pada
umumnya adalah berhubungan dengan pengembangan sumber daya manusia yang pada akhirnya
akan paling menentukan kelestarian dan kejayaan kehidupan bangsa. Dengan kata lain, bahwa
guru mempunyai tugas membangun dasar-dasar dari corak kehidupan manusia di masa yang
akan datang.
Sementara Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali, seperti yang dikutip Samsul Nizar, bahwa tugas
pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, mensucikan, serta membawa hati
manusia untuk taqarrub ila Allah. Para pendidik hendaknya mengarahkan peserta didik untuk
mengenal Allah lebih dekat melalui seluruh ciptaannya. Begitu pula an-Nahlawi berpendapat
bahwa selain bertugas mengalihkan berbagai pengetahuan dan keterampilan kepada peserta
didik, tugas utama yang perlu dilakukan pendidik adalah tazkiyat an-nafs yaitu mengembangkan,
membersihkan, mengangkat jiwa peserta didik kepada Khaliq-Nya, menjauhkan dari kejahatan,
dan menjaganya agar tetap berada pada fitrah-Nya yang hanif.
Dalam al-Quran juga disinggung bahwa tugas pendidik dalam konteks pendidik sebagai
waratsatul an-biya memang bertugas sebagai sekaligus muallim sebagai muzakky. Hal ini
sesuai dengan tugas Rasul dalam firman-Nya:

Artinya: Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni'mat Kami kepadamu) Kami telah
mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan
mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan
kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (Q.S. al-Baqarah: 151).
4. Karakteristik Pendidik yang Baik dan Ideal
a. Menurut al-Ghazali
1) Guru harus mencintai muridnya seperti mencintai anak kandungnya sendiri
2) Guru jangan mengaharapkan materi(upah) sebagai tujuan utama dari pekerjaannya
(mengajar), karena mengajar adalah tugas yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan upahnyaterletak pada terbentuknya anak didik yang mengamalkan ilmu yang
diajarkannya.
3) Guru harus mengingatkan muridnya agar tujuannya dalam menuntut ilmu bukan untuk
kebanggan diri atau mencari keuntungan pribadi, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah.
4) Guru harus mendorong muridnya agar mencari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang
membawa kebahagiaan dunia akhirat.
5) Dihadapan muridnya guru harus memberikan contoh yang baik, seperti berjiwa halus, sabar,
lapang dada, rendah hati, sopan dan berakhlak terpuji lainnya.
6) Guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat intelektual dan daya tangkap
anak didik.
7) Guru harus mengamalkan yang diajarkannya, karena guru menjadi idola dimata murid-
muridnya.
8) Guru harus memahami minat, bakat dan jiwa anak didiknya, sehingga tidak akan salah dalam
mendidik, juga akan terjalin hubungan yang akrab dan baik antara guru dengan muridnya.
9) Guru harus dapat menanamkan keimanan kedalam pribadi anak didiknya, sehingga akal piker
anak didiknya tersebut akan dijiwai oleh keimanan tersebut.
Jika tipe guru yang dikehendaki al Ghazali tersebut dilihat dari perspektif guru sebagai profesi,
tampak diarahkan pada aspek moral dan kepribadian, sedangkan aspek keahlian dan
profesionalnya nampaknya kurang diperhatikan.
b. Menurut Ikhwan al-Safa
Sejalan dengan yang mengatakan bahwa ilmu itu harus diusahakan, maka dalam usaha tersebut
memerlukan guru. Nilai seorang guru menurutnya tergantung pada caranya menyampaikan ilmu
pengetahuan. Untuk ini mereka mensyaratkan agar guru memiliki syarat-syarat yang sesuai
dengan persyaratan pendidik.
C. Peserta Didik Menurut Filsafat Pendidikan
1. Pengertian Peserta Didik
Dilihat dari segi kedudukannya, anak didik adalah makhluk hidup yang sedang berada dalam
proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing yang memerlukan
bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya.
Dalam pandangan yang lebih modern, anak didik tidak hanya dianggap sebagai obyek atau
sasaran pendidikan, melainkan juga harus diperlakukan sebagai subyek pendidikan. Dalam
bahasa Arab dikenal tiga istilah yang sering digunakan untuk menunjukan pada anak didik kita.
Tiga istilah tersebut adalah, murid yang secara harfiah berarti orang yang menginginkan atau
membutuhkan sesuatu; tilmidz (jamaknya) talamidz yang berarti murid, dan thalib al-ilm yang
menuntut ilmu, pelajar, atau mahasiswa. Ketiga istilah tersebut seluruhnya mengacu kepada
seseorang yang tengah menempuh pendidikan. Perbedaannya hanya pada penggunaannya.
Berdasarkan pengertian di atas, maka anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah
memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan, dan pengarahan. Dalam pandangan Islam,
hakikat ilmu berasal dari Allah, sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar
kepada guru. Selain memerlukan bantuan guru, seorang anak didik yang sedang belajar juga
memerlukan kawan tempat mereka berbagi rasa dan belajar bersama.
2. Hakikat Anak Didik
Dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, hakikat anak didik terdiri dari beberapa macam,
yaitu:
a. Anak didik adalah darah daging sendiri, orang tua adalah pendidik bagi anak-anaknya maka
semua keturunannya menjadi anak didiknya di dalam keluarga.
b. Anak didik adalah semua anak yang berada di bawah bimbingan pendidik di lembaga
pendidikan formal maupun nonformal, seperti sekolah, pondok pesantren, tempat pelatihan,
sekolah keterampilan, tempat pengajian anak-anak TPA, majelis taklim, dan sejenis.
c. Anak didik secara khusus adalah orang-orang yang belajar di lembaga pendidikan tertentu
yang menerima bimbingan, pengarahan, nasihat, pembelajaran, dan berbagai hal yang berkaitan
dengan proses kependidikan.
Bagi para pendidik, anak didik adalah anaknya sendiri. Oleh karena itu, para pendidik
bertangung jawab melihat perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan anak didiknya,
terutama akhlaknya, serta berkewajiban menjaga nama baik lembaga pendidikan dengan
mengajarkan pendidikan akhlak kepada anak didiknya, para pendidik membina anak didiknya
dengan materi pengetahuan yang sesuai dengan tujuan lembaga pendidikan yang dimaksudkan.
3. Akhlak Anak Didik
Asma Hasan Fahmi menyebutkan empat akhlak yang harus dimiliki anak didik, yaitu:
a. Seorang anak didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa sebelum ia
menuntut ilmu, karena belajar merupakan ibadah yang tidak sah dikerjakan kecuali dengan hati
yang bersih.
b. Seorang anak didik harus mempunyai tujuan menuntut ilmu dalam rangka menghiasi jiwa
dengan sifat keutamaan, mendekatkan diri kepada Tuhan, dan bukan untuk mencari kemegahan
dan kedudukan.
c. Seorang pelajar harus tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan bersedia pergi
merantau. Selanjutnya apabila ia menghendaki pergi ke tempat yang jauh untuk memperoleh
seorang guru, maka ia tidak boleh ragu-ragu untuk itu.
d. Seorang anak didik wajib menghormati guru dan berusaha agar senantiasa memperoleh
kerelaan guru, dengan mempergunakan bermacam-macam cara.
4. Perbedaan Anak Didik
Seorang anak adalah individu yang memiliki ciri-ciri dan bakat tertentu, yang membedakan satu
anak dari anak lainnya dalam lingkungan sosial. Lingkungan sosial di sini adalah lingkungan
sosial masyarakat dalam arti luas. Jenis kelamin, raut muka, bentuk tubuh anak adalah faktor
pembawaan yang dibawa sejak lahir. Ciri-ciri ini dapat menjadi tolok ukur perbedan anak didik
sebagai individu. Pendekatan filosofis dalam memahami karakteristik anak didik membedakan
tiga perbedaan anak didik yang dihadapi. Tiga perbedaan itu yaitu sebagai berikut:
a. Perbedaan biologis
Perbedaan biologis berkaitan dengan keadaan jasmani anak didik karena tidak semua anak didik
memiliki jasmani yang normal. Jika pendidik kurang memperhatikan perihal tersebut, pendidikan
berjalan kurang sempurna.
b. Perbedaan intelektual
Menurut Syaiful Bahri Djamarah, intelegensi adalah satu aspek yang aktual untuk dibicarakan
dalam dunia pendidikan, karena intelegensi adalah unsur yang ikut mempengaruhi keberhasilan
belajar anak didik.
Intelegensi adalah kemampuan memahami dan beradaptasi dengan situasi yang baru dengan
cepat dan efektif, kemampuan untuk menggunakan konsep yang abstrak secara efektif, dan
kemampuan untuk memahami hubungan dan mempelajarinya dengan cepat.
c. Perbedaan psikologis
Keadaan psikologis anak didik dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, lingkungan sosial, dan
oleh lingkungan sekolahnya. Para pendidik secara langsung dapat mempengaruhi psikologis
anak didik, misalnya pendidik yang terkesan galak, mudah tersinggung, dan kurang kreatif, akan
menyebabkan anak didiknya kurang menyukai mata pelajaran yang disampaikan atau kurang
menyukai pendidiknya secara pribadi.
5. Dimensi-Dimensi Peserta Didik
Pada hakekatnya dimensi adalah salah satu media yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk
membentuk diri, sikap, mental, sosial, budaya, dan kepribadian di masa yang akan datang
(kedewasaan). Dimensi-dimensi itu antara lain sebagai berikut:
a. Dimensi fisik (jasmani)
Fisik manusia terdiri dari dua unsur, yaitu unsur biotik dan unsur abiotik. Manusia sebagai
peserta didik memiliki proses penciptaan yang sama dengan makhluk lain seperti hewan. Namun
yang membedakan adalah manusia lebih sempurna dari hewan, hal ini dikarenakan manusia
memiliki nafsu yang dibentengi oleh akal sedangkan hewan hanya memiliki nafsu dan insthink
bukannya akal.
b. Dimensi akal
Akal pada diri manusia tidak dapat berdiri sendiri, ia membutuhkan bantuan qolb (hati) agar
dapat memahai sesuatu yang bersifat ghoib seperti halnya ketuhanan, mujizat, wahyu dan
mempelajarinya lebih dalam. Akal yang seperti ini adalah potensi dasar manusia yang ada pada
diri manusia sejak lahir. Potensi ini perlu mendapatkan bimbingan serta didikan agar tetap
mampu berkembang kearah yang positif.
c. Dimensi keberagamaan
Manusia sejak lahir telah menerima kodrat sebagai homodivinous atau homo religius yaitu
makhluk yang percaya adanya Tuhan atau makhluk yang beragama. Dalam Islam diyakini bahwa
pada saat janin manusia berada dalam kandungan ibu, dan ketika ditiupkan nyawa ke dalam
janin, maka janin mengatakan bahwa aku akan beriman (Allah). Dari sinilah manusia
mempunyai fitrah sebagai makhluk yang memiliki kepercayaan adanya Tuhan sejak lahir.
d. Dimensi akhlak
Kata akhlak dalam pendidikan Islam adalah seuatu yang sangat diutamakan dan sangat erat
kaitannya dengan pendidikan agama sehingga dikatakan bahwa akhlak tidak dapat lepas dari
pendidikan agama.
e. Dimensi rohani (kejiwaan)
Dimensi rohani adalah dimensi yang sangat penting karena rohani (kejiwaan) harus dapat
mengendalikan keadaan manusia untuk hidup bahagia, sehat, merasa aman dan tenteram.
Penciptaan manusia tidak akan sempurna sebelum ditiupkan oleh Allah sebagian ruh baginya.
f. Dimensi seni (keindahan)
Seni merupakan salah satu potensi rohani yang terdapat pada diri manusia. Sehingga seni dalam
diri manusia harus lah dikembangkan. Seni dalam diri manusia merupakan sarana untuk
mencapai tujuan hidup. Namun tujuan utama seni pada diri manusia adalah untuk beribadah
kepada Allah dan menjalankan fungsi kekhalifahannya serta mendapatkan kebahagiaan spiritual
yang menjadi rahmat bagi sebagian alam dan keridhoan Allah SWT.
g. Dimensi sosial
Dimensi sosial bagi manusia erat kaitannya dengan sebuah golongan, kelompok, maupun
lingkungan masyarakat. Lingkungan terkecil dalam dimensi sosial adalah keluarga, yang
berperan sebagai sumber utama peserta didik untuk membentuk kedewasaan. Di dalam Islam
dimensi sosial dimaksudkan agar manusia mengetahui bahwa tanggung jawab tidak hanya
diperuntukkan pada perbuatan yang bersifat pribadi namun perbuatan yang bersifat umum.
D. Lingkungan dalam Pendidikan Islam
1. Pengertian Lingkungan Tarbiyah Islamiyah
Salah satu sistem yang memungkinkan proses kependidikan Islam berlangsung secara konsisten
dan berkesinambungan dalam rangka mencapai tujuannya adalah instiuisi atau kelembagaan
pendidikan Islam. Lingkungan tarbiyah Islamiyyah itu adalah suatu lingkungan yang di
dalamnya terdapat ciri-ciri keislaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam
dengan baik.
Al-Quran tidak mengemukakan penjelasan mengenai lingkungan pendidikan Islam tersebut,
kecuali lingkungan pendidikan yang dalam praktek sejarah digunakan sebagai tempat
berlangsungnya kegiatan pendidikan, yaitu rumah, masjid, sanggar kegiatan para sastrawan,
madrasah dan universitas.
2. Fungsi Lingkungan Tarbiyah Islamiyah
Sebagai lingkungan tarbiyah Islamiyyah, ia mempunyai fungsi antara lain menunjang terjadinya
proses kegiatan belajar mengajar secara aman, tertib, berkelanjutan.
Pada perkembangan selanjutnya institusi lembaga pendidikan ini disederhanakan menjadi
lingkungan sekolah pendidikan dan pendidikan luar sekolah.
a. Satuan Pendidikan Luar Sekolah
Di antara satuan pendidikan di luar sekolah adalah keluarga yang berlangsung di rumah. Secara
literal keluarga merupakan unit sosial terkecil yang terdiri dari orang yang berada dalam seisi
rumah yang sekurang-kurangnya terdiri dari suami istri. Sedangkan dalam arti normatif, keluarga
adalah kumpulan beberapa orang yang karena terikat oleh suatu ikatan perkawinan, lalu mengerti
dan merasa berdiri sebagai suatu gabungan yang khas dan bersama-sama memperteguh
gabungan itu untuk kebahagiaan, kesejahteraan, dan ketentraman semua anggota yang ada di
dalam keluarga tersebut.
Terciptanya keluarga dalam pandangan Al-Quran dianggap sebagai sesuatu yang suci dan tidak
sepantasnya dijadikan sarana untuk bermain-main atau pemuas hawa nafsu biologis seksual
semata, melainkan digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan mulia, seperti saling membina kasih
sayang, tolong-menolong, mendidik anak, berkreasi, berinovasi. Dengan demikian keluarga amat
berfungsi dalam mendukung terciptanya kehidupan yang beradab. Keluarga diharapkan dapat
memainkan peranannya dalam membina masa depan anak-anaknya secara berkualitas dan
berdaya guna. Harta benda dan anak-anaknya yang tumbuh dalam keluarga dipandang sebagai
fitrah atau ujian dari Tuhan yang harus dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan.
Begitu pentingnya peranan yang harus dimainkan oleh keluarga dalam mendidik, maka dalam
berbagai sumber bacaan mengenai kependidikan, keluarga selalu disinggung dan diberi peran
yang penting. Ki Hajar Dewantara, misalnya mengatakan bahwa alam keluarga itu buat tiap-tiap
orang adalah alam pendidikan yang permulaan. Pendidikan disitu pertama kalinya bersifat
pendidikan dari orang tua yang berkedudukan sebagai guru (penuntun), sebagai pengajar dan
sebagai pemimpin pekerjaan (pemberi contoh). Dalam Islam, pendidikan luar sekolah selain
pendidikan dalam keluarga juga pendidikan di masjid-masjid, seperti adanya pengajian dan TPA.
b. Lingkungan Pendidikan Sekolah
Sekolah sebagai tempat belajar sudah tidak dipersoalkan lagi keberadaanya. Secara historis
keberadaan sekolah merupakan perkembangan dari keberadaan masjid, karena adanya di antara
mata pelajaran yang untuk mempelajarinya diperlukan soal jawab, perdebatan dan pertukaran
pikiran.
c. Lingkungan Masyarakat
Manusia membutuhkan masyarakat di dalam pertumbuhan dan perkembangan kemajuannya
yang dapat meninggikan kualitas hidupnya. Kebutuhan manusia yang diperlukan dari masyarakat
tidak hanya yang menyangkut bidang material melainkan juga bidang spiritual, termasuk ilmu
pengetahuan, pengalaman, keterampilan, dan sebagainya. Dalam memenuhi kebutuhan
pendidikan manusia memerlukan lingkungan sosial masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai