Anda di halaman 1dari 13

Literasi Media di Era Konvergensi Media:

Sebuah Rumusan Awal

Makalah Mata Kuliah Media Digital dan Konvergensi Kreatif

Oleh:

NAMA : M. NURUL ANWAR

NIM : 004138299413749

DIGITAL COMMUNICATION STUDY PROGRAM

GREEN ECONOMY AND DIGITAL COMMUNICATION FACULTY

SURYA UNIVERSITY

SERPONG

2015
1. Pendahuluan
Melalui internet, saat ini kita mampu melakukan berbagai aktivitas hanya
dengan melalui seperangkat teknologi. Transaksi, belajar, berbisnis hingga
berpolitik pun saat ini dapat dilakukan melalui internet. Memang banyak sekali
keuntungan yang dapat kita manfaatkan dengan adanya internet ini. Banyak
pengusaha sukses dan masuk daftar orang terkaya yang memanfaatkan internet
sebagai bisnisnya. Sebut saja Andrew Darwis, pendiri dan CEO Kaskus yang
mengklaim sebagai The Largest Indonesian Community kurang lebih
pendapatannya Rp1,9 triliun setiap bulannya (bisnis.ilmuwebsite.com 2015).
Kemudian, siapa yang tidak mengenal Mark Zuckerberg, pendiri sekaligus CEO
Facebook, di awal tahun 2014 saja telah mendapat penghasilan Rp29 triliun (Trisno
Heriyanto-detikinet 2014). Tidak hanya bisnis, internet juga dapat dimanfaatkan
untuk menunjang kemajuan kesejahteraan suatu daerah, wilayah ataupun negara.
Contohnya, Singapura yang telah memanfatkan internet dalam berbagai sektor
untuk penataan kotanya.
Memang banyak sekali hal yang dapat kita manfaatkan dari adanya internet
karena internet telah melingkupi seluruh kehidupan manusia serta mampu
mengubah dan membentuk ulang kehidupan kita. Layaknya suatu teknologi,
internet juga memiliki dua mata pedang, selain banyak manfaatnya di berbagai
sektor juga memiliki kerugian atau dapat mengakibatkan kerusakan pada berbagai
sektor. Baru baru ini, di tahun 2015, pihak Kepolisian Indonesia banyak
menangkap bisnis prostitusi online hingga melibatkan beberapa artis Indonesia
(Marselinus Gual-merdeka.com 2015). Tidak hanya prostitusi, judi online pun
sudah marak dilakukan. Hal ini merpukan contoh pemanfaatan internet yang illegal
dan melanggar hukum.
Seperti halnya media konvensional (TV, radio, koran), dari sisi penggunaan
media baru ini juga memiliki dampak kepada para penggunanya. Dengan
kemampuannya yang lebih interaktif dan partisipatif, membuat permainan seperti
game online gemar dimainkan oleh anak-anak hingga orang dewasa. Dengan
interaktifitasnya, game online ini memberikan sensasi tersendiri bagi penggunanya
seakan mempunyai dunia sendiri yang disebut oleh Gibson sebagai cyberspace
(Narullah 2013). Pada akhrirnya hal ini membuat penggunanya merasa candu dan

2
ketagihan. Sebenarnya banyak juga game online yang mampu memberikan dampak
yang positif bagi anak, tetapi juga tidak sedikit game yang berbahaya bagi anak.
Berbagai kasus telah terjadi akibat game online, seperti penggunaan waktu yang
berlebihan oleh anak dalam bermain game online hingga membuat resah para orang
tuanya (metro.tempo.co 2012). Hingga terdapat kasus yang memberitakan bahwa
ada seorang pria asal Taiwan tewas di depan PCnya setelah tiga hari non-stop
bermain game online (liputan6.com 2015). Semua ini merupakan contoh
pemanfaatan dan penggunaan media baru yang tidak tepat dan merugikan.
Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, media baru akan tetap ada dan
selalu berkembang. Perkembangan dari media baru saat ini adalah konvergensi
media yakni penggabungan dari media-media baik konevensional maupun baru
yang ada untuk digunakan dan diarahkan ke dalam satu titik tujuan yang berbentuk
media digital (Alatas 2013). Dengan konvergensi media ini, seseorang akan mampu
mengakses banyak media dan konten hanya dalam satu perangkat saja. Konvergensi
media sebagai bagian dari media baru akan memberikan variasi penggunaan yang
lebih banyak lagi karena kemudahan akses sudah tergabung tersebut. Sehingga,
akan ditemui tidak hanya prostitusi online melalui web saja, melainkan akan ada
prostitusi online melalui Facebook, Twitter, Line, BBM, Whatshapp dan
sebagainya. Semua media tersebut saat ini dapat diakses dengan satu perangkat saja.
Konvergensi media mampu memberikan kemungkinan-kemungkinan yang
semakin banyak dalam penggunaan media sehingga dampak dan pengaruhnya pula
akan semakin bervariasi. Tetapi, tetap akan ada dua kemungkinan yakni
penggunaan yang bermanfaat dan merugikan. Oleh karena itu, kita sebagai
pengguna harus mampu meminimalisir dampak yang merugikan dan mampu juga
untuk memanfaatkan keuntungannya. Untuk mencapainya, bukan hanya
pengetahuan mengenai media baru saja tetapi juga dibutuhkan pemahaman, sikap
kritis serta kemamapuan dalam menggunakannya. Hal ini biasa disebut sebagai
literasi media. Menurut Potter (2014), literasi media merupakan kesatuan perspektif
kita yang selalu aktif digunakan dalam dalam menginterpretasi makna yang kita
hadapi dari media massa (Potter 2014). Sedangkan, menurut Devito (2008), literasi
media merupakan kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan memproduksi
pesan-pesan komunikasi massa (Rahardjo 2012). Oleh karena itu, sangat

3
dibutuhkan literasi media untuk setiap orang dalam menggunakan media agar dapat
memanfaatkannya dengan baik dan berdampak baik pula bagi yang menggunakan.
Dalam konteks media baru saat ini, literasi media konvensional (media
massa broadcast) kurang tepat jika diterapkan karena memiliki perbedaan
medianya sendiri. Munculnya unsur partisipasi, interaktivitas, kreasi konten media
yang menjadikan penggunanya tidak hanya sebagai konsumen, melainkan juga
sebagai distributor dan produsen sekaligus. Oleh karena itu batasan mengenai
literasi media baru ini menjadi berkembang jauh (Guntarto 2014). Oleh karena itu,
perlunya rumusan mengenai literasi media baru sebagai pedoman dan acuan dalam
memahami media baru.

2. Literasi Media
Literasi media merupakan sebuah topik yang populer, tidak saja di anatara
para akademisi, tetapi juga masyarakat pada umumnya, termasuk orang tua, guru,
penggiat sosial, dan pembuat kebijakan. Para akademisi memunculkan beragam
pemikiran tentang literasi media. Mereka menegaskan bahwa literasi media
seharusnya diperlakukan sebagai isu kebijakan publik, isu budaya kritikal,
seperangkat alat pedagogis untuk guru sekolah dasar, saran untuk orang tua atau
sebuah topik kajian ilmiah. Namun, apa yang sebenarnya dapat dipahami dari
literasi media ini (Rahardjo 2012) ?
Banyak dari para akademisi yang mendifinisikan mengenai apa itu literasi
media. Menurut Potter, hal tersebut menunjukkan bahwa topik mengenai literasi
media merupakan sesuatu yang penting. Para akademisi juga setuju bahwa literasi
media merupakan topik yang penting. Aufderheide (1993), berpendapat bahwa
literasi media harus diperlakukan terutama sebagai masalah kebijakan publik.
Alvarado & Boyd Barret (1992), sebagai isu budaya kritis. Houk & Bogart (1974),
sebagai satu set alat pedagogis guru sekolah dasar. DeGaetano & Bander (1996),
sebagai saran orang tua. Sholle & Denski (1994), sebagai bagian dari pendidikan
media (indonesia-medialiteracy.net 2014).
Berikut beberapa definisi dari literasi media dalam bentuk tabel (indonesia-
medialiteracy.net 2014):

4
No. Siapa Definisi
1. Action Mendorong pemikiran kritis dan kebebasan berekpresi,
Coalition mengkaji sistem korporasi media, dan mendorong partisipasi
for Media aktif dalam masyarakat.
Education
2. Alliance for Membangun pertanyaan kritis dan belajar tentang media
Media dibanding hanya menyalahkan media.
Literate
America
3. American Daripada membiarkan media mempromosikan cara yang
Psychiatric tidak tepat dalam menyelesaikan kekerasan, keterampilan
Association memecahkan konflik yang melibatkan kesabaran dan
negosiasi haruslah diajarkan.
4. Center for Sebuah kerangka kerja untuk mengakses, menganalisis,
Media mengevaluasi, dan menciptakan isi pesan media.
Literacy Perkembangan pemikiran kritis dan keterampilan
memproduksinya sangat diperlukan untuk dapat hidup
sepenuhnya di abad budaya media ke-21.
Juga didefinisikan sebagai kemampuan untuk
berkomunikasi secara kompeten dalam segala bentuk media
baik cetak maupun elektronik, dan kemampuan untuk
mengakses, memahami, menganalisis dan mengevaluasi
kekuatan imej, serta kata-kata dan suara yang membentuk
budaya media massa kontemporer kita.
5. Children Literasi media adalah cara untuk mendorong keterampilan
Now menggunakan media secara kritis pada pemirsa muda.
6. Adams dan Literasi media dapat dianggap sebagai kemampuan untuk
Hamm menciptakan makna pribadi dari simbol-simbol visual dan
(2001) verbal yang ada di televisi, iklan, film, dan media digital. Ini
tidak sekedar bagaimana siswa memahami informasi.
Mereka harus dapat berpikir kritis sehingga dapat

5
memahami dan menghasilkan dalam kultur media yang
berputar di sekitar mereka.
7. Anderson Sekumpulan keterampilan, interpretasi, pengujian, dan
(1981) penerapan informasi terlepas dari media yang digunakan
atau representasi untuk tindakan yang disengaja.
8. Sholle dan Penulis ini berpendapat bahwa literasi media harus
Denski dikonseptualisasikan dalam pedagogi kritis, dan dengan
(1995) demikian harus dipahami sebagai praktik politik, sosial, dan
budaya.
9. Silverblatt Mereka mendefinisikan literasi media sebagai keterampilan
dan Eliceiri berpikir ktiritis yang memungkinkan khalayak media untuk
(1997) menguraikan informasi yang mereka terima melalui saluran
komunikasi massa dan memberdayakan mereka untuk
mengembangkan penilaian independen tentang konten
media.
10. Hobbs Literasi adalah kemampuan untuk mengakses,
(2001) menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan
pesan dalam berbagai bentuk (hal. 7). Hobbs mengatakan
definisi ini menunjukkan karakteristik sebagai berikut:
pendidikan berbasis inquiry, pembelajaran yang berpusat
pada siswa, pemecahan masalah dalam kerjasama tim,
alternatif untuk pengujian standar, dan kurikulum yang
terintegrasi.
Dari banyaknya definisi di atas, dapat disimpulkan mengenai batasan dari
literasi media. Pertama, literasi media mendorong munculnya pemikiran kritis dari
masyarakat terhadap program-program yang disajikan media. Kedua, literasi media
memungkinkan terciptanya kemampuan untuk berkomunikasi secara kompeten
dalam semua bentuk media, lebih bersikap proaktif daripada reaktif dalam
memahami program-program media (Rahardjo 2012).
Literasi media tidak hanya sebatas berpikir kritis terhadap media, melainkan
penggunanya juga dituntut agar mampu memproduksinya dan menghasilkan pesan-
pesan. Dalam catatan Devito (2008), literasi media merupakan sebuah bentuk

6
pemberdayaan (empowerment), karena bisa membantu kita untuk menggunakan
media dengan lebih cerdas; kita bisa memahami, menganalisis, dan mengevaluasi
pesan-pesan media lebih efektif; kita bisa mempengaruhi pesan-pesan yang akan
disampaikan oleh media; dan kita bisa menciptakan pesan-pesan yang dimediasi
oleh kita sendiri (Rahardjo 2012).

3. Konvergensi Media
Menurut Jenskins (2006), Konvergensi media adalah:
the flow content across multiple media platform, the cooperation between
multiple media industries, and the migratory behavior of media audience who will
go almost anywhere in search of kinds of entertainment experience they want.
Menurut Van Dijk (2006), konvergensi merupakan karakteristik dari new
media. Karakteristik new media menurutnya adalah integration, interactivity, dan
digital code. Hal ini dalam karakteristik integration, konvergensi berarti integrasi
telekomunikasi, data komunikasi, dan komunikasi massa dalam satu medium.
Menurutnya konvergensi dapat terjadi pada salah satu level berikut:
1. infrastructure contohnya menggabungkan link transmisi dan peralatan
yang berbeda untuk telepon dan komputer (data) komunikasi;
2. transportation contohnya telepon internet dan Web TV melalui kabel
dan satelit televisi;
3. management contohnya perusahaan TV kabel yang memanfaatkan
saluran telepon dan perusahaan telepon yang memanfaatkan televisi
kabel;
4. service contohnya kombinasi dari informasi dan jasa komunikasi di
internet;
types of data menyatukan suara, data, teks dan gambar.
Konvergensi media merupakan fitur dalam media baru yang memiliki
kemampuan untuk menggabungkan bentuk dan fungsi komputasi, elektronik,
komunikasi elektronik, media dan informasi. Sebagaimana Chen dan Zhang (dalam
Alatas 2013), fungsi konvergen media baru tercermin dalam tiga aspek. Pertama,
konvergensi fungsional yang secara bertahap menyampaikan informasi melalui
teknologi informasi komputer dan jaringan komunikasi broadband. Kedua,

7
konvergensi industri yang dapat mendorong aliansi, akuisisi dan penggabungan
industri media. Ketiga, konvergensi produk dan layanan, merujuk kepada bentuk
terintegrasi industri media dan informasi yang menggunakan kekuatan
menggabungkan fasilitas broadband, fungsi digitalisasi, dan produk layanan untuk
memenuhi kebutuhan pelanggan (Alatas 2013).
Contoh yang sempurna dari konvergensi media adalah internet (Alatas
2013). Melalui Internet seseorang dapat mengakses berbagai media, data dan teks-
teks dengan format digital. Berbeda dengan media konvensional, melalui internet
seseorang tidak hanya pasif menerima informasi dan pesan-pesan dari media,
melainkan juga turut berperan aktif dalam penggunaanya. Hal ini kemudian
menimbulkan budaya partisipatif dari para penggunanya. Jenskin (2006),
berpendapat bahwa proses konvergensi media ini menimbulkan budaya partisipatif
karena adanya media baru yang memungkinkan pengguna dapat mengkonsumsi
sekaligus memproduksi konten media.

4. Upaya Merumuskan Literasi Media di Era Konvergensi Media


Di era konvergensi saat ini, seseorang dapat mengakses suatu konten
sekaligus memproduksinya. Dalam urusan mengakses atau mengkonsumsi, literasi
media konvensional sudah membahasnya. Sedangkan, pera pengguna yang menjadi
partisipator, creator, kolaborator, penghubung sekaligus komunikator belum ada
dalam literasi media konvensional. Kedua pera tersebut, dalam era konvergensi
media saat ini menjadi dibutuhkan keduanya. Oleh karena itu literasi media di era
konvergensi saat ini merupakan suatu konvergensi dari literasi media yang lama
(literasi media konvensional) dan literasi media baru (adanya unsur partisipasi).
Arus informasi yang semakin cepat dan luas jangkauannya membuat pengguna
dituntut untuk tetap kritis dalam menerimanya. Sedangkan, dalam proses produksi
dan distribusi pengguna dituntut untuk lebih memahami prosesnya dan dampak
yang akan ditimbulkannya. Dalam hal ini Der-Thanq Victor CHEN Jing WU dan
Yu-mei WANG (2013) menawarkan suatu framework literasi media baru.

8
Figure 1Framework Literasi Media (WU dan WANG 2013)

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa dalam level konsumsi, pengguna
dituntut untuk dapat mengakses, menganalisis dan mengevaluasi dampaknya serta
dapat mengkritisi konten sehingga dapat kita kontruks dan terima sesuai diri kita.
Sedangkan, dalam level prosuming1 pengguna dapat menggunakan berbagai fitur
di media baru, dapat ikut berpartisipasi dan dapat membuat konten media sekaligus
memahami dampak sosial yang akan timbul. Kedua kompetensi tersebut harus
dapat dimiliki oleh pengguna media baru agar dapat memanfaatkan dan
menggunakannya dengan baik dan dapat meminimalisir dampak yang buruk untuk
diri dan lingkungan sosialnya.
Dalam literasi media baru ini, pengguna dituntut lebih kritis dibanding
menguasai kompetensi teknis semata karena menurut Gilster (dalam Guntarto
2014), sebagai inti dari literasi digital (media baru). Litersi media baru ini juga
disebut sebagai literasi digital. Istilah ini dipopulerkan oleh Paul Gilster, yang

1
Istilah untuk menggambarkan ciri media baru yang pengguna dapat mengkonsumsi sekaligus
produksinya

9
menjelaskan sebagai kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi
dalam berbagai format dari berbagai sumber yang disajikan melalui komputer.
Untuk memahami literasi media baru lebih lanjut, Martin (dalam, Guntarto
2014), menunjukkan bahwa literasi media baru dapat dilihat dan dibayangkan pada
tiga tingkatan. Pertama, merupakan penguasaan teknis kompetensi digital yang
berupa ketrampilan, konsep, pendekatan, dan sikap. Pada tingkat kedua berupa
penggunaan digital yang mempertimbangkan aplikasi konstekstual. Ketiga, pada
tingkat refleksi kritis yakni pemahaman tentang dampak manusia dan sosial
transformatif dari tindakan digital. Berikut bagannya:

Figure 2 Tingkatan Literasi Media Digital (Martin dalam Guntarto 2014)

Dari bagan tersebut dapat dilihat bahwa kita dapat mengukur tingkat melek
media baru seseorang melalui tingkatan tersebut. semakin tinggi levelnya, semakin
matang pula seseorang dalam memanfaatkan media baru. Namun, literasi bukanlah
sesuatu hal bisa diukur dengan tidak melek dan melek karena literasi adalah
prorses kontinu atau berkelanjutan yang memungkinkan setiap orang untuk
meningkatkannya.
Mengukur seorang yang melek media memang bukanlah hal yang mudah,
namun Jenskin (dalam Guntarto 2014) menawarkan suatu identifikasi ketrampilan
atau kemampuan yang ada pada seseorang yang melek media baru, yaitu:
1. Bermain (play) kapasitas untuk bereksperimen dengan lingkungan
seseorang sebagai bentuk pemecahan masalah.

10
2. Kinerja (performance) kemampuan untuk mengadopsi identitas alternatif
untuk tujuan improvisasi dan penemuan.
3. Simulasi
(simulation) kemampuan untuk menafsirkan dan membangun mod
dinamis dari proses dunia nyata.
4. Kecocokan (appropriation) kemampuan untuk memaknai informasi dan
mengemas ulang konten media.
5. Multitasking (multitasking) kemampuan untuk memindai lingkungan dan
seringkali berpindah fokus perhatian.
6. Kognisi Terdistribusi (distirbuted cognition) kemampuan untuk
berinteraksi secara bermakna dengan peralatan yang dapat memperluas
kapasitas mental.
7. Kecerdasan Kolektif (collective intelligence) kemampuan pengetahuan
kolam renang dan membandingkan catatan dengan lain menuju tujuan
bersama Penghakiman kemampuan untuk mengevaluasi keandalan dan
kredibilitas informasi yang berbeda sumber.
8. Penilaian (judgment) kemampuan untuk mengevaluasi sumber informasi
9. Navigasi transmedia (transmedia navigation) kemampuan untuk
mengikuti alur cerita dan informasi dalam berbagai modalitas.
10. Jaringan (networking) kemampuan untuk mencari, mensintesis,
menyebarkan informasi.
11. Negosiasi (negotiation) kemampuan untuk mendekati komunitas yang
beragam, memahami berbagai perspektif, dan memegang serta mengikuti
norma-norma.

Uraian di atas menunjukkan bahwa kerangka literasi media baru lebih rumit
dan menyangkut berbagai aspek yang dulu tidak ada pada literasi media
konvensional. Hal ini karena media baru memungkinkan penggunaanya menjadi
lebih aktif ketimbang pasif, menjadi lebih presuming daripada sebatas consuming
dan pengguna bisa menjadi konsumer, distributor, dan produsen sekaligus. Oleh
karena itu perlu adanya pengkajian lebih lanjut dan meyeluruh agar dapat
dirumuskan literasi media baru.

11
5. Kesimpulan
Sebagai sebuah gagasan awal, makalah ini mencoba untuk mencari dan
merumuskan suatu literasi media di era konvergensi saat ini. Dari makalah ini dapat
diketahui bahwa di era konvergensi, para pengguna media baru khususnya,
dimungkinkan untuk mengakses berbagai media dengan hanya satu perangkat
teknologi serta pengguna tidak hanya dapat menggunakan atau mengkomsumsi
konten media, melainkan juga dapat memproduksinya. Oleh karena itu, media baru
memunculkan adanya budaya partisipatif dari para penggunanya. Budaya
partisipatif yang tidak ditemui di media konvensional ini mengakibatkan
berubahnya juga kerangka literasi medianya. Dapat disimpulkan bahwa literasi
media baru ini menyangkut dua hal utama yakni kemampuan dan pemahaman
seseorang dalam menerima (menganalisis, mengevaluasi dan mengkritisi) dan
memproduksi konten media agar dapat bermanfaat untuk diri sendiri maupun
lingkungan sosialnya.

Daftar Pustaka

Alatas, Salim. "Dampak Konvergensi Media Terhadap Akulturasi Budaya Lokal."


Konferensi Nasional Komunikasi 2013. Depok, 2013. 1-22.
bisnis.ilmuwebsite.com. Rujukan belajar berbisnis memanfaatkna IT, internet
marketing. April 28, 2015. http://bisnis.ilmuwebsite.com/2015/04/orang-it-
kerja-nggak-perlu-ngantor.html (accessed July 6, 2015).

Dijk, Jan van. The Network Society. California: Sage Publications, 2006.

Guntarto, B. "Catatan tentang Literasi Media di Indonesia." indonesia-


medialiteracy.net. October 12, 2014.
http://indonesiamedialiteracy.net/2014/10/12/inisiatifawalpengembangan-
indikatortingkatliterasimediabaru/ (accessed July 3, 2015).

indonesia-medialiteracy.net. "Catatan tentang Literasi Media Indonesia." Potter:


Media Literacy. October 11, 2014. http://i ndonesi a medi al i ter
acy.net/2014/10/11/2/ (accessed July 3, 2015).

12
Jenskin, Henry. Convergence Culture: Where Old and New Media Collide. New
York: New York University Press, 2006.

liputan6.com. tekno.liputan6.com. January 20, 2015.


http://tekno.liputan6.com/read/2162968/3-hari-non-stop-main-game-pria-
ini-tewas-di-depan-pc (accessed July 6, 2015).

Marselinus Gual-merdeka.com. merdeka.com. May 11, 2015.


http://www.merdeka.com/peristiwa/5-cerita-soal-ra-mucikari-yang-punya-
200-artis-seksi.html (accessed July 6, 2015).

metro.tempo.co. tempo.co. April 1, 2012.


http://metro.tempo.co/read/news/2012/04/01/214393930/anak-kecanduan-
game-online-para-ibu-resah (accessed July 6, 2015).

Narullah, Rulli. "Media Siber dalam Kajian Teori." Jurnal Fikomers, 2013: 4-5.

Potter, W. James. Media Literacy. London: SAGE Publication, 2014.

Rahardjo, Turnomo. "Memahami Literasi Media (Perspektif Teoritis)." In Literasi


Media & Kearifan Lokal: Teori dan Aplikasi, by Rini Darmastuti, & Fajar
Junaedi, 1-14. Yogyakarta: Mata Padi Pressindo, 2012.

Trisno Heriyanto-detikinet. Detikinet. April 24, 2014.


http://inet.detik.com/read/2014/04/24/141138/2564441/319/berapa-
pendapatan-facebook (accessed July 6, 2015).

13

Anda mungkin juga menyukai