DALAM ISLAM1
1
Tema yang ditulis dalamn artikel ini, sebagian besar pernah disampaikan dalam sarasehan KNPI
Kota Bogor di auditorium RRI Bogor, 26 Januari 2008, dengan beberapa perubahan dan
penambahan disesuaikan dengan kepentingan tulisan Jurnal. (Penulis)
karyanya, Maqasid al-Falsifah. Setelah ia menganggap dirinya menguasai filsafat,
barulah ia melancarkan kritiknya yang tajam dan jitu terhadap ajaran-ajaran para
filosof dalam karyanya yang lebih dikenal Tahafut al-Falasifah.
Munculnya Perbedaan dikalangan Umat Islam
Sumber utama Islam dan sekaligus sebagai pedoman hidup umat Islam,
adalah sumber yang berdasarkan wahyu Allah yang diturunkan kepada
Rasulullah, Alquran; kemudian Rasulullah mengajarkannya (As-Sunnah). Karena
sebagai sumber kehidupan, maka Alquran dan ajarannya adalah rahmat al-
alamin, yang sudah barang tentu bernilai universal. Prinsip pokok yang diajarkan
dan menjadi doktrin yang harus diyakini kebenarannya terumuskan dalam
paradigma Rukun Iman dan Rukun Islam. Paradigma ini harus menjadi sistem
hidup dan kehidupan umat Islam. Dengan demikian, setiap umat Islam berhak dan
bebas memahami Alquran dan As-Sunnah, selama tidak keluar dari paradigma
tadi.
Sehubungan Alquran adalah wahyu Ilahi yang berisi nilai-nilai universal
kemanusiaan, maka diturunkan bukan hanya untuk sekelompok manusia, tetapi
untuk seluruh manusia hingga akhir zaman. Oleh karena itu pula, nilai-nilai dasar
Al-Quran mencakup berbagai aspek kehidupan manusia secara utuh dan
komprehensif. Tema-tema pokoknya mencakup aspek ketuhanan, manusia sebagai
individu dan anggota masyarakat, alam semesta, kenabian, wahyu, eskatologi, dan
makhluk-makhluk spiritual. Eksistensi, orisinalitas, dan kebenaran ajarannya
dapat dibuktikan oleh sains modern, sedang tuntunan-tuntunannya adalah rahmat
bagi semesta alam.
Namun demikian, Al-Quran tidak boleh ditonjolkan sebagai kitab antik
yang harus dimitoskan, karena hal tersebut bisa menciptakan jarak antara Al-
Quran dengan realitas sosial. Alquran di satu pihak diidealisasi sebagai sistem
nilai sakral dan transendental; sementara di pihak lain realitas sosial yang harus
dibimbingnya begitu pragmatis, rasional, dan materialistis. Seolah-olah nilai-nilai
Al-Quran yang diadreskan untuk manusia berhadap-hadapan dengan realitas itu.
Di sinilah Alquran memberikan motivasi sehingga bisa memunculkan pemikiran
di lingkungan umat Islam. Pemikiran yang di maksud di sini adalah upaya akal
dari para ulama untuk menjelaskan ajaran Islam dari sumbernya, yaitu Alquran
dan As-Sunnah.2 Dengan perkataan lain, bahwa pemikiran Islam merupakan
sesuatu yang dihasilkan oleh pemikiran Muslim sejak Rasulullah SAW.sampai
sekarang, sedangkan Alquran dan As-Sunnah dijadikan sebagai sumber yang
memberikan motivasi manusia untuk berfikir.3 Oleh karena itu, melalui upaya
interpretasi Alquran dan Sunnah inilah pemikiran-pemikiran di lingkungan umat
Islam terus berkembang.
Para ahli dari berbagai bidang disiplin ilmu, hampir semuanya mengarah
kepada suatu kesimpulan, bahwa munculnya perbedaan faham (aliran keagamaan)
di lingkungan umat Islam, adalah ketika teks suci (Alquran dan kemudian
dipraktekkan Rasulullah/As-Sunnah) dikontekstualkan berdasarkan kenyataan-
kenyataan yang sedang berkembang. Oleh karena itu, faktor-faktor 1) Kapasitas
intelektual yang menjadi syarat dalam memahami teks suci; 2) latar belakang
sosial-kultural; dan 3) dinamika kehidupan ekonomi dan politik sangat
mempengaruhi pemikiran, pemahaman atau pun ijtihadi umat Islam. Dengan
demikian, setiap pemahaman sudah barang tentu akan melahirkan pemikiran; dan,
setiap pemikiran, baik langsung maupun tidak langsung, akan dipengaruhi oleh
sosial kultural dimana Islam itu hidup dan berkembang.
Dorongan Alquran melalui banyak ayat4 yang mengandung anjuran,
bahkan perintah agar manusia banyak berfikir dan mempoergunakan akalnya, dan
mencela dengan keras taklid buta, memberi peluang manusia untuk berbeda,
sekalipun keperbedaan ini harus tetap dalam bingkai Alquran dan petunjuk
Rasulullah (As-Sunnah).
Dalam sejarah pemikiran Islam awal, beberapa faktor yang bisa
melahirkan perbedaan pendapat dikalangan umat Islam itu, tidak semata-mata
hanya karena faktor perbedaan dalam memahami teks Alquran dan As-Sunnah.
Namun demikian, faktor politik begitu dominan, terutama setelah wafatnya
Rasulullah. Kemunculan dan perjalanan aliran Khawarij, Murjiah, dan Syiah,
2
Muhammad al-Bahiy, Pemikiran dalam Islam, terjemahan Bambang S, Risalah, Bandung, 1985,
hal. 15
3
Muhsin Abdul Hamid, Tajdid al-Fikr al-Islamy, Dar as-Shofwah, Kairo, 1985, hal. 18
4
Banyak ayat yang menunjukkan ini, misalnya; Qaf 6, Ath-Thariq 5, An-Nahl 69, Yusuf 111; dll.
misalnya, adalah berawal dari pertikaian masalah imamah. Ketiga aliran
pemikiran ini, secara metodologis maupun subtantif masih mewarnai pemikiran
muslim sekarang. Dikalangan para pemikir Muslim, menunjukkan adanya
beberapa faktor dominan yang menjadi penyebab munculnya perbedaan
pemahaman atau aliran-aliran, yaitu : 1) adanya pergolakan politik dalam negeri;
2) Mengalirnya pemikiran non-muslim; dan 3) akibat proses perubahan kultural
dan politik, dari masyarakat/budaya tradisional rural ke budaya/masyarakat maju;
dan dari politik regional ke dunia.5
Ketiga faktor di atas merupakan sebuah realitas historis, sosiologis, dan
kultural, untuk menyatakan bahwa Islam harus teraktualisasi dalam kehidupan
nyata.. Aktualisasi pesan-pesan Islam ini bisa terjadi hanya apabila Alquran telah
ditafsirkan dan diperjelas, tidak saja dengan menggunakan hadis-hadis Nabi
Muhammad SAW, melainkan juga dengan ijtihad para ulama, yang sering
dipengaruhi konteks sosio-historis, dan kultural tertentu. Ketika intervensi seperti
ini terjadi, tidak bisa dihindari muncul berbagai corak paham, aliran, dan mazhab.
Dalam perkembangan lebih lanjut, sebuah paham, aliran, atau mazhab menjadi
mainstream, arus utama, ketika penafsiran tetap berada dalam batas-batas
kerangka universalitas doktrin Islam. Sebaliknya, jika sebuah penafsiran melewati
batas-batas universalitas tersebut, maka ia menjadi penafsiran marginal. Sebagai
konsekuensinya, para pemegang penafsiran yang berbeda ini, yang kemudian
disebut sebagai kelompok marjinal, menjadi sasaran penindasan. Penindasan
tersebut bukan hanya secara sosial, juga secara politik dan kekuasaan.
Bila melihat ke belakang, akibat intensnya persentuhan umat Islam dengan
politik kekuasaan dan perebutan kekuasaan pada masa dan pasca-Dinasti
Abasiyah dan Umayah, perkembangan pemikiran Islam itu menjadi stagnan.
Terlebih lagi, setelah daerah kekuasaan Islam banyak yang jatuh ke tangan bangsa
kolonial lewat Perang Salib ataupun perang saudara. Untuk mengatasi keadaaan
yang semakin terpuruk itu, saat itu para ulama menyerukan agar ijtihad
diberhentikan. Alasannya, jika perbedaaan pemahaman keagamaan diteruskan
5
Lihat; Adeng Muchtar Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik hingga Modern, Pustaka
Setia, Bandung, 2005, hal. 53
berlanjut, umat Islam semakin terpuruk karena terjadi perang saudara. Pada
akhirnya, fikih boleh berkembang dibatasi hanya pada 4 (empat) mazhab:
Hambali, Maliki, Hanafi, dan Syafii, sedangkan kalam (teologi) yang banyak
dianut adalah teologi Asyariah dan tasawuf serta filsafat yang dijadikan rujukan
adalah paham yang dibawa oleh Al-Ghazali.
Penutup
Faktor inilah yang ikut mendorong bagi upaya-upaya pembaruan di
kalangan kaum muslimin, yang pada gilirannya muncul dalam bentuk
modernisme dan reformisme. Bagi kaum reformis dan modernis, bahwa untuk
mengangkat kaum muslimin dari kemunduran dan keterbelakangan, dalam segi-
segi tertentu, perlu dilakukan adopsi pemikiran dan kelembagaan Barat. Namun
sebaliknya, bagi kaum radikal dan ekstrim, justru Barat menjadi faktor
kemunduran umat Islam. Bagi mereka, Barat tidak hanya menjajah wilayah
muslim (dar-al-Islam), tetapi juga telah merusak dan menghancurkan sistem nilai,
budaya, sosial, ekonomi, dan intelektualitas Islam. Mana mungkin mengikuti
kaum Barat yang secara keimanan dan moral telah mengalami kebobrokan.
Daftar Pusataka
1. Adeng Muchtar Ghazali, Pemikiran Islam Kontemporer, Pustaka Setia,
Bandung, 2005
2. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1997.
3. Fazlur Rahman, Islam & Modernity : Transformation of an Intellectual
Tradition, the University of Chicago Press, 1993