Anda di halaman 1dari 6

Agama dan Kepercayaan

Masyarakat suku Sumbawa mayoritas memeluk agama Islam. Sebagian kecil


masyarakat suku Sumbawa menganut aliran Islam, yaitu wetu telu dan wetu lima.
Dari keduanya mempunyai perbedaan dalam menjalankan agama dan
kepercayaannya, namun terlebih dulu akan di jelaskan mengapa di sebut wetu telu
dan wetu lima. Di sebut wetu telu karena agama wetu telu mengurangi dan meringkas
hampir semua peribadatan islam menjadi hanya 3 kali saja. 3 rukun islam saja, 3
waktu shalat saja, puasa ramadhan 3 kali saja. Disebut wetu lima karena menjalankan
dan mengikuti secara lebih ketat ajaran islam yang sesuai al-quran dan hadits.

Dalam masyarakat Lombok yang awam menyebut kepercayaan ini dengan


sebutan Waktu Telu sebagai akulturasi dari ajaran islam dan sisa kepercayaan lama
yakni animisme,dinamisme,dan kerpercayaan Hindu. Selain itu karena penganut
kepercayaan ini tidak menjalankan peribadatan seperti agama Islam pada umumnya
(dikenal dengan sebutan Waktu Lima karena menjalankan kewajiban sholat Lima
Waktu).Yang wajib menjalankan ibadah-ibadah tersebut hanyalah orang- orang
tertentu seperti kyai atau pemangku adat (sebutan untuk pewaris adat istiadat nenek
moyang). Kegiatan apapun yang berhubungan dengan daur hidup
(kematian,kelahiran,penyembelihan hewan,selamatan dsb) harus diketahui oleh kyai
atau pemangku adat dan mereka harus mendapat bagian dari upacara-upacara tersebut
sebagai ucapan terima kasih dari tuan rumah.

Kepercayaan Islam Wetu Telu yang dianut orang Sasak ini menganut ajaran
yang berbeda dengan ajaran Islam pada umumnya. Seperti yang tersirat dalam
namanya, Wetu Telu, artinya menjalankan sembahyang sebanyak tiga kali dalam
sehari, bukan 5 waktu seperti halnya yang dilakukan umat Muslim. Orang Sasak
hanya menjalankan sholat pada siang hari (duhur), sore hari (asyar), dan saat matahari
terbenam (maghrib). Demikian halnya pada saat menjalankan ibadah puasa di bulan
Ramadhan. Pemeluk Islam Wetu Telu hanya menjalankan ibadah puasa sebanyak 3
hari selama bulan Ramadhan, yaitu pada hari pertama, pertengahan bulan Ramadhan,
dan hari terakhir menjelang Idul Fitri.

Di daerah Lombok ada Masjid Adat Wetu Telu, sebuah Masjid dengan nilai
historis yang sangat tinggi sebagai bukti awal berkembangnya agama Islam di Pulau
Lombok. Dan disana terdapat Juru kunci masjisd wetu telu. Masjid Adat ini memang
hanya dibuka saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Sholat Mayit, dan
Lebaran Topat (Idul Fitri) dan Haji (Idul Adha).

Upacara Adat
Ada beberapa upacara adat yang biasa di lakukan oleh masyarakat NTB untuk
memperingati hari-hari tertentu seperti : Upacara Ua Pua dan Upacara Perang Topat.

1. Upacara Ua Pua merupakan sebuah tradisi masyarakat Lombok yang


dipengaruhi oleh ajaran Islam. Upacara Ua Pua dilaksanakan bersamaan
dengan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang juga dirangkai
dengan penampilan atraksi Seni Budaya masyarakat Suku Mbojo (Bima) yang
berlangsung selama 7 hari.Prosesi Ua Pua diawali dengan Pawai dari Istana
Bima yang diikuti oleh semua Laskar Kesultanan, Keluarga Istana, Group
Kesenian Tradisional Bima dengan dua Penari Lenggo yang dilengkapi
dengan Upacara Ua Pua. Selama proses pawai berlangsung Group Kesenian
terus memainkan Genda Mbojo, Silu dan Genda Lenggo. Ketika memasuki
Istana, Penunggang Kuda menari dengan suka ria (Jara Sarau), Sere, Soka
dan lain-lain sampai Ketua Rombongan bertemu dengan Sultan yang diiringi
dengan Penari Lenggo. Pada saat itu diserahkan Sere Pua dan Al-Quran
kepada Sultan.
2. Upacara Perang Topat adalah salah satu upacara yang dilakukan oleh orang
Sasak. Perang Topat adalah upacara ritual sebagai perwujudan rasa terima
kasih kepada tuhan atas kemakmuran berupa tanah yang subur, banyak hujan.
Upacara Perang Topat ditampilkan di Taman Lingsar oleh Masyarakat Hindu,
Masyarakat Sasak dengan saling melemparkan Topat (Ketupat). Upacara ini
berlangsung setelah selesai Pedande memuja yaitu selama periode Rokok
Kembang Waru sekitar pukul 17.30. Perang Topat dilaksanakan setiap tahun
pada saat purnama ke 6 menurut Kalender Sasak atau sekitar Bulan Nopember
Desember.

3. Budaya rimpu sebuah sebuah identitas kemusliman yang hingga kini nyaris
kehilangan makna. Rimpu merupakan busana adat harian tradisional yang
berkembang pada masa kesultanan, sebagai identitas bagi wanita muslim di
Bima. Rimpu mulai populer sejak berdirinya Negara Islam di Bima pada 15
Rabiul awal 1050 H bertepatan dengan 5 Juli 1640. Masuknya rimpu ke Bima
amat kental dengan masuknya Islam ke Kabupaten bermotokan Maja Labo
Dahu ini. Pedagang Islam yang datang ke Bima terutama wanita Arab menjadi
ispirasi kuat bagi wanita Bima untuk mengidentikkan pakaian mereka dengan
menggunakan rimpu.

4. Sabuk Belo adalah sabuk yang panjangnya 25 meter dan merupakan warisan
turun temurun masyarakat Lombok khususnya yang berada di Lenek Daya.
Sabuk Belo biasanya dikeluarkan pada saat peringatan Maulid Bleq bertepatan
dengan tanggal 12 Rabiul Awal tahun Hijriah. Upacara pengeluaran Sabuk
Bleq ini diawali dengan mengusung keliling kampung secara bersama-sama
yang diiringi dengan tetabuhan Gendang Beleq yang dilanjutkan dengan praja
mulud dan diakhiri dengan memberi makan kepada berbagai jenis makhluk.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat upacara ini dilakukan sebagai
simbol ikatan persaudaraan, persahabatan, persatuan dan gotong royong serta
rasa kasih sayang diantara makhluk yang merupakan ciptaan Allah

5. Ritual Siklus Padi (Adat Bonga Padi)


Dilaksanakan secara besar-besaran. Masyarakat Wetu Telu di Bayan berharap
dengan melakukan ritual-ritual dalam bertani akan membawa hasil panen
yang berlimpah. Pada musim bercocok tanam mereka melaksanakan ngaji
makam turun bibit, pada saat panen dilakukan ngaji makam ngaturang ulak
kaya. Saat melakukan pemupukan ataupun pemberantasan hama mereka
melakukan ngaji makam tunas setamba. Upacara tersebut dilakukan di dalam
kampung penghulu berisi ritual mengosap yaitu membersihkan makam
leluhur, mas doa yaitu mengumpulkan berkah arwah leluhur, menyembek
menerima berkah arwah leluhur. Selain itu secara individu mereka
menyelenggarakan rowah sambi sebelum menyimpan padi dalam lumbung
yang biasa disebut sambi. Upacara ini bertujuan agar padi yang mereka
simpan dalam Sambi akan cukup untuk konsumsi sehari-hari. Sambi ini juga
sebagai identitas sosial, dimana semakin banyak memiliki Sambi maka
semakin tinggi status sosialnya.

6. Rowah Wulan dan Sampek Jumat


Salah satu tradisi penyambutan bulan Ramadan yang dianggap khas bisa
terlihat dari upacara yang dilakukan oleh orang-orang Sasak golongan Wetu
Telu di Lombok, Indonesia. Sejak sebulan sebelum bulan Ramadhan,
penganut Wetu Telu mengadakan rowah wulan dan sampek jumat sebagai
bentuk penyambutan dan pemuliaan bulan Ramadhan, walaupun penganut
Wetu Telu tidak berpuasa selama satu bulan penuh. Rowah Wulan
diselenggarakan pada hari pertama bulan Syaban sedangkan Sampek Jumat
pada Jumat terakhir bulan Syaban atau disebut Jumat penutup.
Walaupun penganut Wetu Telu tidak berpuasa selama satu bulan penuh karena
pemahaman yang berbeda terhadap bulan Ramadhan dan juga karena
pengaruh adat istiadatnya seperti kebiasaan memamah sirih pada pagi, siang,
ataupun sore hari, tetapi ketika bulan puasa menjelang, mereka menahan diri
untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang guna menjaga kesucian bulan
Ramadhan. Penganut Wetu Telu diminta untuk menunda semua upacara (ritus)
peralihan individu (begawe) seperti nguringsang (pemotongan rambut),
nyunatang (khitan), dan ngawinang (perkawinan) karena perayaan tersebut
akan merusak kesucian bulan Ramadhan. Bahkan jika ada salah satu anggota
keluarga yang meninggal dunia, keluarganya harus menyelenggarakan
upacara kematian secara sederhana dan menangguhkan upacara pasca
kematian sesudah bulan Ramadhan.

http://nyimasdewi.blogdetik.com/2012/01/18/suku-sasak-ntb

http://protomalayans.blogspot.co.id/2012/11/suku-sumbawa-nusa-tenggara-barat.html

Anda mungkin juga menyukai