Pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja Dalam Sektor
Publik (Indonesia Kasus: Studi Literatur )
1.1 latar belakang
Sebagai negara berkembang, isu tentang good governance masih menjadi perhatian utama dalam kaitannya dengan penggunaan wewenang dan manajemen sektor publik. Di banyak negara berkembang membuktikan bahwa budaya korupsi telah begitu melekat dalam birokrasi pemerintah yang justru ditandai oleh kelangkaan sumber daya. Dalam konteks itu, tidak adanya akuntabilitas sangat menonjol dan menjadi karakter dominan budaya administrasi selama periode tertentu. (Wiranto, 2009). Proses transformasi struktural dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern dan dari ekonomi agraris ke ekonomi industri, proses transformasi sistem ekonomi yang didominasi oleh pemerintah terhadap ekonomi pasar, di mana orang-orang semakin berperan sebagai aktor utama pembangunan, perubahan dan pergeseran yang terjadi di tengah dikelilingi masyarakat. Kedua proses internal didorong dan dipengaruhi oleh proses eksternal, yaitu proses globalisasi ekonomi dunia, dengan dua karakteristik dan faktor pendorong yang perdagangan bebas dan kemajuan teknologi. Perubahan dan pergeseran yang terjadi secara dinamis telah menciptakan massa kritis, dan salah satu konsekuensinya adalah kinerja instansi pemerintah menjadi banyak kritik akhir-akhir ini, terutama karena perkembangan yang sangat dinamis masyarakat dan munculnya iklim yang lebih demokratis dalam pemerintahan. Orang-orang telah menjadi lebih kritis dalam menilai pelaksanaan pelayanan publik dan tentu saja mengharapkan implementasi yang baik dan adil serta produk lainnya dan kualitas layanan. Hanya dalam praktek, harapan ini tidak selalu dipenuhi oleh pemerintah, baik di tingkat pusat dan daerah. Sampai saat ini, masih banyak kasus pelayanan publik yang jauh dari harapan masyarakat (Local Governance Support Program, 2009). Dalam enam tahun terakhir, yaitu dari tahun 2009 - 2014, Indonesia masih peringkat sangat rendah untuk Indeks Persepsi Korupsi (CPI), adalah Tingkat Indeks Korupsi di sektor publik yang dikeluarkan oleh Transparency International, sebuah organisasi internasional yang independen, yang dilakukan survei di seluruh dunia. pemerintah Indonesia memberlakukan Undang-Undang Nomor 32 tentang pemerintah daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang telah memberikan perubahan di wilayah pengelolaan keuangan sehingga terjadi reformasi di bidang pengelolaan keuangan. Tujuan utama dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah untuk memberikan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggara otonomi daerah dengan memberikan kebebasan kepada daerah untuk membuat daerah otonom independen. Sedangkan tujuan utama dari Undang-Undang. Nomor 33 Tahun 2004 adalah upaya untuk memberdayakan dan meningkatkan perekonomian daerah, menciptakan sistem pembiayaan yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, akuntabel, dan menciptakan keseimbangan keuangan yang baik antara pusat dan daerah. Di Indonesia, berbagai peraturan dan pedoman telah diterbitkan terkait dengan pelaksanaan kinerja-penganggaran berbasis kepada pemerintah daerah. Termasuk diatur di dalamnya adalah masuknya indikator kinerja dalam dokumen perencanaan dan penganggaran serta penggunaan indikator kinerja dalam proses anggaran pemerintah. (Hendra Cipta, 2011). Pergeseran paradigma ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain, sebagai contoh negara yang tergabung dalam OECD, Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan, yang terdiri dari 31 negara. Berorientasi pada hasil (outcome) paradigma dengan penekanan pada efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas, membuat anggaran berbasis kinerja atau anggaran berbasis kinerja sebagai alat atau alat dalam mencapai tujuan tersebut. Banyak penelitian telah dilakukan, baik di Indonesia maupun di negara lain, pada pelaksanaan anggaran berbasis kinerja.