Anda di halaman 1dari 30

Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL REFERAT

Fakultas Kedokteran Desember 2016


Universitas Pattimura

PANSINUSITIS

Disusun Oleh:
Hetri Dema Putri Wulandari
2016 84 011

Pembimbing:
dr. Julu Manalu, Sp.THT-KL

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Pada Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL
Fakultas Kedokteran
Universitas Pattimura
Ambon
2016
KATA PENGANTAR

1
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan hidayah-Nya, maka saat ini penulis dapat menyelesaikan pembuatan referat
dengan judul Pansinusitis ini dengan baik. Referat ini dibuat dalam rangka tugas
kepaniteraan klinik pada bagian ilmu kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran
Universitas Pattimura Ambon tahun 2016.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun selalu penulis harapkan, dan semoga referat ini dapat
bermanfaat untuk kita semua.

Akhir kata penulis mengucapkan terima aksih atas segala pihak yang telah
membantu penulis dalam penyelesaian pembuatan referat ini.

Ambon, Desember 2016

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL 1
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN 4
1. Latar belakang 4
2. Tujuan 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6
1. Anatomi dan Fisiologi 6
A. Hidung 6
B. Sinus 8
C. Kompleks Osteomeatal 11
D. Sistem Mukosiliar 12
E. Fisiologi Sinus Paranasal 13
2. Pansinusitis 14
A. Definisi 14
B. Etiologi 15
C.Faktor Resiko 16
D.Klasifikasi 16
E. Patofisiologi 16
F. Diagnosis 18
G. Tatalaksana 26
H. Komplikasi 28
I. Prognosis 30
DAFTAR PUSTAKA 31

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Bila mengenai beberapa sinus
paranasal disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis. Sesuai dengan anatomi sinus yang terkena dapat dibagi menjadi sinusitis

3
maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid. Pada anak hanya sinus
maksila dan sinus etmoid yang berkembang sedangkan sinus frontal dan sinus sfenoid
mulai berkembang pada anak berusia kurang lebih 8 tahun.1,2

Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia 1


Prevalensi sinusitis tinggi di masyarakat. Di Amerika Serikat diperkirakan 0.5% dari
ISPA karena virus dapat menyebabkan sinusitis akut. 1,3 Di Eropa, sinusitis diperkirakan
mengenai 10% - 30% populasi. Sebanyak 14% penduduk Amerika sedikitnya pernah
mengalami episode sinusitis semasa hidupnya. 4 Sinusitis kronik mengenai hampir 31 juta
rakyat AmerikaSerikat.3 Di Indonesia, dimana penyakit infeksi saluran napas akut masih
merupakan penyakit utama di masyarakat, angka kejadiannya belum jelas dan belum
banyak dilaporkan. Insiden kasus baru pada penderita dewasa yang berkunjung di RS
Cipto Mangunkusumo, selama Januari-Agustus 2005 adalah 435 pasien. Di Makassar
sendiri, terutama di rumah sakit pendidikan selama tahun 2003-2007 terdapat 41,5%
penderita rinosinusitis dari seluruh kasus rawat inap di bagian THT.4

Prevalensi sinusitis tertinggi pada usia dewasa 18-75 tahun dan kemudian anak-
anak berusia 15 tahun akibat rentannya usia ini dengan infeksi Rhinovirus. Perempuan
lebih sering terkena sinusitis dibandingkan laki-laki karena mereka lebih sering kontak
dengan anak kecil. Angka perbandingannya 20% perempuan dibanding 11,5% laki-laki.1,3

Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sinusitis juga
disebut rhinosinusitis. Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan
mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Penyebab utamanya ialah infeksi virus
yang kemudian diikuti oleh infeksi bakteri. Rhinitis alergi dan infeksi virus pada saluran
nafas atas yang berkepanjangan akan menyebabkan terjadinya sinusitis.1,3

Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus etmoid dan sinus
maksila.1,5,6 Yang berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan
intrakranial.1,6 Komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor
predisposisi yang tak dapat dihindari, sehingga diperlukan tatalaksana dan pengenalan
dini yang baik untuk mencegah komplikasi yang ditimbulkan.1,3

4
2. Tujuan
Mengingat angka kejadian sinusitis yang tinggi di masyarakat maka refarat ini
bertujuan untuk mengetahui pansinusitis dengan lebih baik mulai dari definisi, etiologi
hingga gejala yang ditimbulkan, serta penanganan yang diberikan pada pasien dengan
pansinusitis.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. ANATOMI DAN FISIOLOGI


A. Hidung
Hidung terdiri dari nasus eksternus (hidung luar) dan cavum nasi.7,8,9
Nasus eksternus
Melekat di dahi melalui radiks nasi atau jembatan hidung. Lubang luar hidung
adalah kedua nares. Setiap nares dibatasi oleh ala nasi dan di medial oleh septum nasi.

Gambar 1. Struktur tulang pada hidung luar.8

Cavum nasi
Cavum nasi terletak dari nares sampai choana. Bagian dari cavum nasi yang
letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut sebagai vestibulum.
Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang memiliki banyak kelenjar sebasea dan rambut-
rambut yang disebut dengan vibrise. Septum nasi membagi dasar, atap, dinding lateral
dan dinding medial.
Dasar dibentuk oleh proc. palatinus maxillae dan horizontal ossis palatini yaitu
permukaan atas palatum durum. Bagian atap sempit dan dibentuk oleh corpus ossis
sphenoid, lamina cribosa, ossis ethmoidalis, os frontale dan cartilagines nasi. Dinding
lateral ditandai dengan tiga tonjolan disebut concha nasalis superior, media dan inferior.
Area dibawah concha disebut meatus.
Terdapat dua membran mukosa yang melapisi cavum nasi, kecuali vestibulum yang
dilapisi oleh kulit yang mengalami modifikasi. Terdapat membran mukosa olfaktorius

6
yang melapisi permukaan atas concha nasalis superior, recessus sphenoidalis serta septum
nasi. Membran ini berfungsi menerima rangsangan penghidu dengan sel penghidu
khusus. Terdapat juga membran mukosa respiratorius yang melapisi bagian bawah cavum
nasi berfungsi untuk menghangatkan, melembabkan dan membersihkan udara inspirasi.
Proses ini ditimbulkan oleh banyaknya sekresi mukus yang diproduksi oleh sel goblet.
Suplai arteri untuk cavum nasi terutama berasal dari cabang a.maxillaris cabang
yang terpenting adalah a.sphenopalatina yang beranastomosis dengan cabang septal
a.labialis superior yang merupakan cabang dari a.facialis di daerah vestibulum. Daerah
ini sering terjadi epistaksis. Vena-vena membentuk plexus yang luas didalam submukosa.
Pleksus ini dialirkan oleh vena yang menyertai arteri.
N. olfaktorius berasal dari sel olfactorius khusus yang sudah dibicarakan diatas.
Saraf ini naik ke atas melalui lamina cribosa dan mencapai bulbus olfactorius. Saraf
sensasi umum berasal dari divisi ophtalmicus dan maxillaris n. trigeminus.
Pembuluh limfe mengalirkan limfe dari vestibulum ke nodi submandibulares.
Bagian lain dari cavum nasi mengalirkan limfenya ke nodi cervicalis profundi superior.

Gambar 2. Struktur lateral dinding hidung.8

B. Sinus9,10
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi
karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal,
mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid

7
kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,
sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke
dalam rongga hidung.

Gambar 3. Sinus Paranasal.9

Gambar 4. Potongan sagittal kepala.9

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung
dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus
frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal
berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun.
Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-
superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia
antara 15-18 tahun.

8
Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi
dan mampu menghasilkan mukus, bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga hidung.
Pada orang sehat, rongga terutama berisi udara.

SINUS MAKSILA
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir, sinus maksila
bervolume 6-8 ml, sinus maksila kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk pyramid.
Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial Os. Maksila yang disebut fosa kanina,
dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah
dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding
inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah
superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum
etmoid.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah 1) dasar
sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan
P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan
akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah
naik ke atas menyebabkan sinusitis; 2) sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi
orbita; 3) ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase
hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang
sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat
radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan
selanjutnya menyebabkan sinusitis.

SINUS FRONTAL
Sinus frontal yang terletak di os. Frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus,
berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Setelah lahir,
sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran
maksimal sebelum usia 20 tahun.

9
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada
lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang
dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak
berkembang.
Ukuran sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2 cm.
sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya
gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen
menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relative
tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah
menjalar ke daerah ini.
Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang
berhubungan dengan infundibulum etmoid.

SINUS ETMOID
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini
dianggap paling penting, karena dapat merupakan focus infeksi bagi sinus-sinus lainnya.
Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti pyramid dengan dasarnya di bagian
posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cm dan lebarnya 0.5 cm
di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior.
Sinus ethmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon,
yang terdapat di dalam massa bagian lateral os. Etmoid, yang terletak di antara konka
media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya,
sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan
sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior
biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan
bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel
sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di
posterior dari lamina basalis.
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus
frontal yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula
etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut

10
infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau
peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di
infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa.
Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus
etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan
sinus sfenoid.

SINUS SFENOID
Sinus sfenoid terletak di dalam Os. Sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah
2 cm tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. volumenya bervariasi dari 5
sampai 7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os.
Sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai
indentasi pada dinding sinus sfenoid.
Batas-batas sinus sfenoid adalah; sebelah superior terdapat fosa serebri media dan
kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya merupakan atap nasofaring, sebelah lateral
berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai
indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah
pons.

C. Kompleks Osteomeatal1,10
Kompleks osteomeatal dideskripsikan sebagai area yang terdapat di dinding lateral
hidung dimana terdapat di meatus medius yang merupakan muara dari sinus paranasalis
(kecuali sinus sfenoid). Kompleks osteomeatal (KOM) merupakan unit fungsional yang
merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu
sinus maksila, sinus etmoid anterior dan sinus frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah
yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus
yang terkait.

11
Gambar 5. Kompleks Osteomeatal.9

Struktur fungsional dari kompleks ini terdiri dari prosesus unicinatus, hiatus
semilunaris, resesus frontalis,bulla etmoid, infundibulum etmoid dan muara dari sinus
maksila.

D. Sistem Mukosiliar1,2,10
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut
lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir
menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya.
Pada sinus maksila sistem transport mukosilier menggerakan sekret sepanjang
dinding anterior, medial, posterior dan lateral serta atap rongga sinus membentuk
gambaran halo atau bintang yang mengarah ke ostium alamiah. Setinggi ostium sekret
akan lebih kental tetapi drainasenya lebih cepat untuk mencegah tekanan negatif dan
berkembangnya infeksi. Kerusakan mukosa yang ringan tidak akan menghentikan atau
mengubah transport, sekret akan melewati mukosa yang rusak tersebut. Tetapi jika sekret
lebih kental, sekret akan terhenti pada mukosa yang mengalami defek.
Gerakan sistem mukosiliar pada sinus frontal mengikuti gerakan spiral. Sekret akan
berjalan menuju septum interfrontal, kemudian ke atap, dinding lateral dan bagian
inferior dari dinding anterior dan posterior menuju resesus frontal. Gerakan spiral menuju
ke ostiumnya terjadi pada sinus sfenoid sedangkan pada sinus etmoid terjadi gerakan

12
rektilinier jika ostiumnya terletak di dasar sinus atau gerakan spiral jika ostium terdapat
pada salah satu dindingnya.
Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran transport mukosilier dari sinus. Lendir
yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid
dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari
kelompok sinus posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring
di postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca nasal
(post nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung.

E. Fisiologi Sinus Paranasal1,2


Sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal.
Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena
terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.1
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain:1
1) Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak
didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus dan rongga hidung.
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus
pada tiap kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total
dalam sinus. Lagi pula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang
sebanyak mukosa hidung.
2) Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan
fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya
sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.

3) Membantu keseimbangan kepala


Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan
tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan
pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak
bermakna.
4) Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi
kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak

13
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagi pula tidak ada
korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
5) Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya
pada waktu bersin atau membuang ingus.
6) Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan
partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus
medius, tempat yang paling strategis.

2. PANSINUSITIS
A. Definisi
Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau dipicu
oleh rhinitis sehingga sering disebut rhinosinusitis. Definisi lain meenyebutkan, sinusitis
adalah inflamasi dan pembengkakan membrane mukosa sinus disertai nyeri lokal. Bila
mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus
paranasal disebut pansinusitis.1,2,12
Sesuai dengan anatomi sinus yang terkena dapat dibagi menjadi sinusitis maksila,
sinusitis ethmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid. Sinus maxilla merupakan sinus
yang paling sering terinfeksi, oleh karena:1,2,11
Merupakan sinus paranasal terbesar,
Letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar sehingga sekret dari sinus maxilla hanya
tergantung dari gerakan silia
Dasar sinus maxilla adalah dasar akar gigi (processus alveolaris), sehingga infeksi
pada gigi dapat menyebabkan sinusitis maxilla
Ostium sinus maxilla terletak di meatus medius, di sekitar hiatus semilunaris yang
sempit, sehingga mudah tersumbat.

B. Etiologi
Seperti yang diketahui, terdapat banyak faktor menjadi penyebab sesuatu penyakit
timbul, antaranya faktor internal seperti daya tahan tubuh yang menurun akibat defisiensi
gizi yang menyebabkan tubuh rentan dijangkiti penyakit dan faktor eksternal seperti
perubahan musim yang ekstrim, terpapar lingkungan yang tinggi zat kimiawi, debu, asap
tembakau dan lain-lain, adapun etiologinya adalah:1-3,11
Virus

14
Sinusitis virus biasanya terjadi selama infeksi saluran napas atas, infeksi virus yang lazim
menyerang hidung dan nasofaring juga menyerang sinus. Mukosa sinus paranasalis
berjalan kontinyu dengan mukosa hidung dan penyakit virus yang menyerang hidung
perlu dicurigai dapat meluas ke sinus. Antara agen virus tersering menyebabkan sinusitis
antara lain: rhinovirus, influenza virus, parainfluenza virus dan adenovirus.
Bakteri
Edema dan hilangnya fungsi silia normal pada infeksi virus menciptakan suatu
lingkungan yang ideal untuk perkembangan infeksi bakteri. Infeksi ini seringkali
melibatkan lebih dari satu bakteri. Organisme penyebab tersering sinusitis akut mungkin
sama dengan penyebab otitis media. Yang sering ditemukan antara lain: Streptococcus
pneumonia, Haemophilus influenza, Branhamella cataralis, Streptococcus alfa,
Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes. Penyebab dari sinusitis kronik
hampir sama dengan bakteri penyebab sinusitis akut. Namun karena sinusitis kronik
berhubungan dengan drainase yang kurang adekuat ataupun fungsi mukosiliar yang
terganggu, maka agen infeksi yang terlihat cenderung bersifat opportunistik, dimana
proporsi terbesar merupkan bakteri anaerob. Bakteri anaerob penyebab sinusitis antara
lain Peptostreptococcus, Corynebacterium, Bacteroides, dan Veillonella.
Jamur
Biasanya terjadi pada pasien dengan diabetes, terapi immunosupresif, dan
immunodefesiensi misalnya pada penderita AIDS. Jamur penyebab infeksi biasanya
berasal dari genus Aspergillus dan Zygomycetes.

C. Faktor Risiko1,2,6,11
ISPA akibat virus, rhinitis alergi, sumbatan KOM, infeksi tonsil, infeksi gigi, hipertofi
adenoid
Gangguan fisik akibat kekurangan gizi, kelelahan, atau penyakit sistemik.
Gagguan faal hidung oleh karena rusaknya aktivitas silia oleh asap rokok, polusi
udara, atau karena panas dan kering.
Kelainan anatomi yang menyebabkan gangguan saluran seperti: atresia atau stenosis
koana, deviasi septum, hipertrofi konka media, polip yang dapat terjadi pada 30%
anak yang menderita fibrosis kistik, tumor atau neoplasma, udem mukosa karena
infeksi atau alergi, benda asing.
Trauma yang menyebakan perdarahan mukosa sinus paranasal.

D. Klasifikasi11

15
Sinusitis akut, yaitu sinusitis yang berlangsung sampai 4 minggu memiliki tanda-tanda
peradangan akut.
Sinusitis sub akut, yaitu sinusitis yang berlangsung antara 4 minggu sampai 3 bulan.
Memiliki tanda-tanda peradangan akut yang telah mereda. Perubahan histologik
mukosa sinus paranasal masih reversibel.
Sinusitis kronis, yaitu sinusitis yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Perubahan
histologik mukosa paranasal sudah irreversibel. Misalnya berubah menjadi jaringan
granulasi dan polipoid.

E. Patofisiologi1,2,11
Sinus paranasal ditemukan normal steril dalam keadaan fisiologis. Sekresi yang
dihasilkan oleh sinus dialirkan melalui silia ostia dan keluar melalui rongga hidung.
Mukus yang dihasilkan juga mengandung substansi antimikroba dan zat-zat yang
berfungsi untuk mekanisme pertahanan tubuh. Pada orang normal laju sekresi selalu
menuju ke ostia yang mencegah adanya kontaminasi pada ruang sinus. Ostium sinus
maksilaris hanya berdiameter 2,5mm, apabila ada edema mukosa sebesar 1-3mm, akan
menyebabkan kongesti (dapat disebabkan oleh alergi, virus iritasi bahan kimia) dan
obstruksi dari sekresi sinus. Keadaan ini menimbulkan tekanan negatif di dalam sinus
yang menyebabkan terjadinya transudasi serosa.
Mukus yang terhambat ini, apabila terinfeksi akan menyebabkan sinusitis. Ada
hipotesa mekanis yang mengatakan bahwa karena rongga sinus ini berhubungan dengan
rongga hidung, maka koloni bakteri dari nasofaring dapat menginfeksi rongga sinus.
Patofisiologi dari rhinosinusitis berhubungan dengan 3 faktor, yaitu:
Obstruksi jalan keluar sekresi sinus
Obstruksi dari ostia sinus mencegah drainase yang baik ostia dapat tertutup oleh
pembengkakan mukosa atau karena penyebab lokal (trauma, rhinitis), dapat juga oleh
infeksi inflamasi yang disebabkan oleh penyakit sistemik dan gangguan imunitas.
Obstruksi mekanik yang disebabkan oleh polip hidung, benda asing, septum deviasi
atau tumor juga dapat menyebabkan obstruksi ostia. Biasanya, batas mukosa yang
edematous memiliki penampilan bergigi, tetapi dalam kasus yang parah, mucus dapat
benar-benar mengisi sinus, sehingga sulit untuk membedakan proses alergi dari sinusitis
infeksi. Secara karakteristik, semua sinus paranasal dan konka yang berdekatan
membengkak. Air fluid level dan erosi tulang tidak ditemukan pada sinusitis alergi

16
ringan, tetapi pembengkakan mukosa disertai bruruknya drainase sinus dapat dicurigai
adanya infeksi sekunder bakteri.
Kelainan pada mukosiliar
Drainase sinus paranasal bergantung pada gerakan mukosiliar, bukan bergantung
pada gravitasi. Koordinasi dari sel epitel kolumner bersilia menyebabkan drainase selalu
menuju ke ostia sinus. Ada beberapa hal yang dapat mengganggu fungsi mukosilia ini,
yaitu berkurang sel epitel bersilia, aliran udara yang tinggi, virus, bakteri, sitotoksin
lingkungan, mediator inflamasi, udara dingin/kering, jaringan parut, asap rokok,
dehidrasi, obat antihistamin dan antikolinergik, serta kartagener sindrom.

Berubahnya kualitas dan kuantitas mucus


Adanya kurangnya sekresi atau hilangnya kelembapan pada permukaan yang tidak
dapat terkompensasi oleh kelenjar mucus dan sel goblet mukus menjadi sangat kental.
Berubahnya konsistensi mukus menjadi lebih kental menyebabkan drainase menuju ostia
berjalan lambat, dan mucus ini akan tertahan untuk beberapa waktu.
Inflamasi akut dari mukosa sinus menyebabkan hyperemia, eksudasi cairan, keluar
sel PMN dan meningkatnya aktivitas dari kelenjar serosa dan mukus. Tergantung pada
virulensi organisme, daya tahan tubuh hist, dan kemampuan dari ostium sinus untuk
drainase. Pada awalnya, eksudat serous lama kelamaan dapat menjadi purulent. Bahkan
pada infeksi yang cukup berat dan lama, dapat menyebabkan perubahan pada muosa
(hipertrofi/atrofi), silia rusak, pembentukan polip dan destruksi dinding tulang yang
berujung pada komplikasi.

F. Diagnosis1,2,11-15
Diagnosis ditegakkan berdasrkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan
nasoendoskopi dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini.
Anamnesis

Sinusitis Akut
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas atas. Gejala subjektif
dibagi menjadi gejala sistemik, yaitu demam dan lesu, serta gejala-gejala lokal, yaitu
hidung tersumbat, ingus kental, post nasal drip, halitosis, sakit kepala yang lebih berat

17
pada pagi hari, nyeri di daerah sinus yang terkena, serta kadang disertai nyeri alih ke
tempat lain.
a) Sinusitis maksilaris
Sinus maksilla disebut juga Antrum Highmore. Pada sinusitis maksila nyeri terasa
di bawah kelopak mata dan kadang menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih
dirasakan di dahi dan depan telinga. Seringkali terdapat nyeri di pipi khas yang tumpul
dan terkadang berbau busuk dan batuk iritatif non produktif.

b) Sinusitis ethmoidalis
Karena dinding lateral labirin ethmoidalis (lamina papirasea) seringkali merekah
dan karena itu cenderung plebih sering menimbulkan selulitis orbita pada anak. Pada
dewasa seringkali bersama-sama dengan sinusitis maksilaris serta dianggap sebagai
penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat dielakkan. Gejala berupa nyeri yang
dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-kadang nyeri dibola mata atau
belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di pelipis, post nasal drip dan
sumbatan hidung.
c) Sinus frontalis
Gejala subjektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri berlokasi di atas alis mata,
biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan
mereda hingga menjelang malam. Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri
bila disentuh dan pembengkakan supra orbita.
d) Sinus sfenoidalis
Pada sinusitis sfenoidalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital di belakang
bola mata dan di daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari
pansinusitis, sehingga gejalanya sering menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya.
Sinusitis Kronik
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang
hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik,
gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba eustachius,
gangguan ke paru seperti bronchitis, brokietasis dan yang penting adalah serangan asma
yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan
gastroenteritis.

Pemeriksaan fisik
Sinusitis Akut

18
Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan kelopak mata bawah, pada
sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas, sinusitis ethmoid jarang timbul
pembengkakan, kecuali bila ada komplikasi.
Pada rhinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada
sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus atau
nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan sinusitis sfenoid
nanah tampak keluar dari meatus superior. Pada sinusitis akut tidak ditemukan polip,
tumor maupun komplikasi sinusitis. Jika ditemukan harus melakukan penatalaksaan yang
sesuai. Pada rhinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).
Pada posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama kurang lebih 5
menit dan provokasi test yakni suction dimasukkan pada hidung, pemeriksa memencet
hidung pasien kemudian pasien disuruh menelan ludah dan menutup mulut dengan rapat,
jika positif sinusitis maksilaris maka akan keluar pus dari hidung. Pada pemeriksaan
transluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan
transluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga tampak lebih suram
dibanding sisi yang normal.
Sinusitis Kronik
Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat akut dan tidak terdapat pembengkakan
pada wajah. Pada rhinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental, purulent dari meatus
medius atau meatus superior, dapat juga ditemuka polip, tumor atau komplikasi sinusitis.
Pada rhinoskopi posterior tampak sekret purulent di nasofaring atau turun ke tenggorok.
Transluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal, yakni pada sinus yang terinfeksi
terlihat suram dan gelap.

Pemeriksaan penunjang13-16
Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan foto kepala dengan berbagai posisi yang khas, pemeriksaan tomogram
dan pemeriksaan CT-Scan. Pemeriksaan foto polos kepala adalah pemeriksaan yang
paling baik dan paling utama untuk mengevaluasi sinus paranasal. Karena banyaknya
unsur-unsur tulang dan jaringan lunak yang tumpang tindih pada daerah sinus paranasal,
kelainan-kelainan jaringan lunak, erosi tulang kadang-kadang sulit dievaluasi.
Pemeriksaan ini dari sudut biaya cukup ekonomis dan pasien hanya mendapat radiasi

19
yang minimal. Pemeriksaan ini dari sudut biaya cukup ekonomis dan pasien hanya
mendapat radiasi yang minimal.
Semua pemeriksaan harus dilakukan dengan proteksi radiasi yang baik, arah sinar
yang cukup teliti dan digunakan fokal spot yang kecil. Posisi pasien yang paling baik
adalah posisi duduk. Pemeriksaan foto kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal atas
berbagai macam polusi antara lain:
a) Foto kepala posisi Waters
Posisi ini paling sering digunakan. Foto ini dilakukan dengan posisi dimana kepala
pasien menengadah keatas menghadap film, garis orbito meatus membentuk sudut 37
dengan film. Pada foto ini, secara ideal piramid tulang petrosum diproyeksikan pada
dasar sinus maxillaris agar proyeksi tulang petrosum terletak di bawah antrum maksila
sehingga kedua sinus maxillaris dapat dievaluasi sepenuhnya. Foto Waters umumnya
dilakukan pada keadaan mulut tertutup. Pada posisi mulut terbuka akan dapat melnilai
dinding posterior sinus sphenoid dengan baik.

Gambar 6. a,b proyeksi sinar oksipitomental menunjukkan sinus maksilaris dan sfenoid. c,d proyeksi
sinar oksipitofrontal lebih baik untuk mengevaluasi sinus etmoid dan sinus frontal.8

b) Foto kepala posisi antero-posterior (AP atau posisi Caldwell)


Foto ini diambil pada posisi kepala menghadap kaset, bidang midsagital kepala
tegak lurus pada film. Posisi ini didapat dengan meletakkan hidung dan dahi diatas meja
sedemikian rupa sehingga garis osteo-meatal (yang menghubungkan kantus lateralis mata
dengan batas superior kanalis auditorius eksterna). Idealnya pada film tampak piramid
tulang petrosum diproyeksi pada 1/3 bawah orbita atau pada dasar orbita. Hal ini dapat

20
tercapai apabila orbito-meatal line tegak lurus pada film dan membentuk sudut 15
derajat.
c) Foto kepala lateral
Foto lateral kepala dilakukan dengan kaset terletak sebelah lateral dengan sentrasi
diluar kantus mata, sehingga dinding posterior dan dasar sinus maksila berhimpit satu
sama lain.

Gambar 7. Gambaran posisi lateral.13


d) Foto kepala posisi submentoverteks
Posisi submentoverteks diambil dengan meletakkan film pada vertex, kepala pasien
menengadah sehingga garis infraorbito meatal sejajar dengan film. Sentrasi tegak lurus
kaset dalam bidang midsagital melalui sella tursika kea rah vertex. Banyak variasi-variasi
sudut sentrasi pada posisi submentoverteks, agar supaya mendapatkan gambaran yang
baik pada beberapa bagian basis kranii, khususnya sinus frontalis dan dinding posterior
sinus maksilaris.

a. b.
Gambar 8. a. gambaran posisi submentoverteks, b. foto kepala posisi submentoverteks.13

e) Foto Rhese

21
Posisi rhese atau oblik dapat mengevaluasi bagian posterior sinus etmoid, kanalis
optikus dan lantai dasar orbita sisi lain.

Gambar 9. Foto Rhese.13


f) Foto proyeksi Towne
Posisi towne diambil dengan berbagai variasi sudut angulasi antara 30-60 derajat
kea rah garis orbitomeatal. Sentrasi dari depan kira-kira 8 cm diatas glabella dari foto
polos kepala dalam bidang midsagital. Proyeksi ini adalah posisi yang paling baik untuk
menganalisis dinding posterior sinus maksilaris, fisura orbita inferior, kondilus
mandibularis dan arkus zigomatikus posterior.

Gambar 10. Foto proyeksi Towne.13

Pemeriksaan CT-Scan
Pemeriksaan CT-Scan sekarang merupakan pemeriksaan yang sangat unggul untuk
mempelajari sinus paranasal, karena dapat menganalisis dengan baik tulang-tulang secara
rinci dan bentuk-bentuk jaringan lunak, irirsan axial merupakan standar pemeriksaan
paling baik yang dilakukan dalam bidang inferior orbitomeatal (IOM). Pemeriksaan ini
dapat menganalisis perluasan penyakit dari gigi geligi, sinus-sinus dan palatum, termasuk
ekstensi intracranial dari sinus frontalis.

22
Pada kasus-kasus sinusitis sphenoid, kira-kira 50% foto polos sinus sphenoidalis
yang normal, tapi apabila dilakukan CT-Scan, maka tampak kelainan pada mukosa
berupa penebalan.

Gambar 11. CT-Scan sinus paranasal.8

Pansinusitis adalah suatu keadaan dimana terdapat perselubungan pada seluruh


sinus-sinus. Apabila perselubungan masih tetap ada sampai 2-3 minggu setelah terapi
konservatif perlu dilakukan pemeriksaan CT-Scan. Hal-hal yang mungkin terjadi pada
kasus tersebut, ialah:
o Kista retensi yang luas, pada pemeriksaan CT-Scan terlihat gambaran air fluid level.
o Polip yang mengisi ruang sinus
o Polip antrakoana
o Masa pada kavum nasi yang menyumbat sinus
o Mukokel, pada foto polos tampak gambaran radioopak berbatas tegas berbentuk
konveks dengan penebalan dinding mukosa disekitarnya. Pada mukokel didaerah sinus
ethmoidalis sukar dideteksi dengan foto polos, tetapi dapat dideteksi dengan
pemeriksaan CT.
o Tumor
Pemeriksaan MRI
MRI memberikan gambaran yang lebih baik dalam membedakan struktur jaringan
lunak dalam sinus. Kadang digunakan dalam kasus suspek tumor dan sinusitis fungal.

23
Sebaliknya, MRI tidak mempunyai keuntungan dibandingkan dengan CT Scan dalam
mengevaluasi sinusitis. MRI memberi hasil positif palsu yang tinggi, penggambaran
tulang yang kurang, dan biaya yang mahal. MRI membutuhkan waktu lama dalam
penyelesaiannya dibandingkan dengan CT Scan yang relative cukup cepat dan sulit
dilakukan pada pasien klaustrofobia.

Gambar 12. Gambaran MRI sinus paranasal.8

MRI mungkin merupakan pilihan terbaik untuk mendeteksi dan mengenali


mukokel. MRI dengan kontras merupakan teknik terbaik untuk mendeteksi empyema
subdural atau epidural.

Pemeriksaan mikrobiologis
Biakan yang berasal dari hidung bagian posterior dan nasofaring biasanya lebih
akurat dibandingkan dengan biakan yang berasal dari hidung bagian anterior. Namun
demikian, pengambilan biakan hidung posterior juga lebih sulit. Biakan bakteri spesifik
pada sinusitis posterior juga lebih sulit. Biakan bakteri spesifik pada sinusitis dilakukan
dengan mengaspirasi pus dai sinus yang terkena.
Pada sinusitis akut dan kronik sering terlibat lebih dari satu jenis bakteri. Dengan
demikian untuk menentukan antibiotik yang tepat harus diketahui benar jenis bakterinya
penyebab sinusitisnya.
Sinuskopi

24
Sinoskopi merupakan satu satunya cara yang memberikan informasi akurat tentang
perubahan mukosa sinus, jumlah sekret yang ada di dalam sinus, dan letak dan keadaan
dari ostium sinus. Yang menjadi masalah adalah pemeriksaan sinoskopi memberikan
suatu keadaan yang tidak menyenangkan buat pasien.

G. Tatalaksana
Tujuan terapi ialah mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi dan
mencegah akut menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di
kompleks ostio-meatal (KOM) sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara
alami.1,2
1. Penatalaksanaan medis
a) Terapi medikamentosa
Tujuan dari terapi sinusitis akut adalah memperbaiki fungsi mukosilia dan
mengotrol infeksi. Terapi sinusitis karena infeksi virus tidak memerlukan antibitoika.
Terapi standart nonantibiotika diantaranya topical steroid, dan atau oral decongestan,
mucolytics, dan intranasal saline spray. Sedangkan untuk terapi sinusitis akut bacterial
diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empiric.
Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau cotrimoxazol dan
terapi tambahan yakni obat dekongestan oral + topical, mukolitik untuk memperlancar
drenase dan analgetik untuk menghilangkan ras nyeri. Pada pasien atopi, diberikan
antihistamin atau kortikosteroid topical. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik
diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka diberikan terapi
antibiotik lini II selama 7 hari yakni amoksisilin klavulanat/ampisilin sulbaktam,
cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi tambahan.

b)Drainase
Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short Wave
Diathermy) sebanyak 5-6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi
sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan pencucian sinus. Untuk sinusitis maxillaris
dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedangkan untuk sinusitis ethmoidalis frontalis dan
sinusitis sphenoidalis dilakukan tindakan pencucian Proetz.

2. Penatalaksanaan bedah

25
Harus dipertimbangkan penatalaksanaan bedah untuk mempermudah drainase sinus
yang terkena serta mengeluarkan mukosa yang sakit. Hal ini diperlukan:
o Bila terancam komplikasi
o Untuk menghilangkan nyeri hebat
o Bila pasien tidak berespon terhadap terapi medis
a) Pembedahan Radikal
Pembedahan radikal yaitu pengangkatan mukosa yang patologik dan membuat
drainase dari sinus yang terkena. Untuk sinus maxillaris membuat drainase dari sinus
yang terkena. Untuk sinus maxillaris dilakukan operasi Caldwell-luc, sedangkan untuk
sinus ethmoidalis dilakukan ethmoidektomi yang bisa dilakukan dari dalam hidung
(intranasal) atau dari luar (ekstranasal). Drainase sekret pada sinus frontalis dapat
dilakukan dari dalam hidung (intranasal) atau dari luar (ekstranasal) seperi dalam operasi
Kilian. Drainase sinus sphenoidalis dilakukan dari dalam hidung (intranasal).
b) Pembedahan Non-Radikal
Akhir-akhir ini dikembangkan metode operasi sinus paranasal dengan
menggunakan endoskop yang disebut Bedah Sinus Endoskop Fungsional (BSEF).
Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal yang
menjadi sumber sumbatan dan infeksi, sehingga ventilasi dan drainase sinus dapat lancer
kembali melalui ostium alami. Dengan demikian mukosa sinus akan kembali normal.

H. Komplikasi1,2,17-19
Komplikasi Orbita
Sinus ethmoidalis merupaka penyebab komplikasi pada orbita yang tersering.
Namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat
menimbulkan infeksi isi orbita.
Terdapat 5 tahapan:
1) Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi
sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena
lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinu ethmoidalis sering kali merekah
pada kelompok umur ini.
2) Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi
orbita namun pus belum terbentuk.
3) Abses subperiosteal, pus terkumpul diantaraperiorbita dan dinding tulang orbita
menyebabkan proptosisdan kemosis.

26
4) Absen orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita.
Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optic dan kebutuhan unilateral yang
lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis
konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga protosis yang makin
bertambah.
5) Thrombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran
vena kedalam sinus kavernosus, kemudia terbentuk suatu tromboflebitis septik.
Secara patognomonik, thrombosis sinus kavernosus terdiri dari:
- Oftalmoplegia
- Kemosis konjungtiva
- Gangguan penglihatan yang berat
- Kelemahan pasien
- Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan dengan
saraf cranial II, III, IV, VI, serta berdekatan juga dengan otak.

Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mucus yang timbul dalam sinus,
kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista
retensi mucus dan biasanya tidak berbahaya.
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kitsta ini dapat membesar dan
melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi
sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke
lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan
penglihatan dengan menekan saraf didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel
meskipun lebih akut dan lebih berat.
Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua
mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus.
Komplikasi Intra Kranial
a. Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang teberat adalah meningitis akut,
infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung

27
dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau
melalui lamina kribiformis di dekat system sel udara ethmoidalis.
b. Abses dura, adalah kumpulan diantara dura dan tabula interna cranium, seringkali
mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya
mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan
tekanan intra kranial. Abses subdural adalah kumpulan pus diatara duramater dan
arachnoid atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
c. Abses otak, setelah system vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat
terjadi perluasan metastatic secara hematogen ke dalam otak. Terapi komplikasi intra
kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara bedah pada ruangan yang
mengalami abses dan pencegahan penyebaran infeksi.
Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomyelitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis
adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik
berupa malaise, demam dan menggigil.
I. Prognosis
Sinusitis akut memiliki prognosis yang sangat baik, dengan perkiraan 70%
penderita sembuh tanpa pengobatan. Sedangkan sinusitis kronik memiliki prognosis yang
bervariasi. Jika penyebabnya adalah kelainan anatomi dan telah diterapi dengan bedah,
maka prognosisnya baik. Lebih dari 90% pasien membaik dengan intervensi bedah,
namun pasien ini kadang mengalami kekambuhan.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan


Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi ke-7 Prof. Dr. Efiaty Arsyad
Soepardi, Sp.THT-KL, Prof Dr. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT-KL, Prof. DR. Dr. Jenny
Bashiruddin, Sp.THT-KL, DR. Dr. Ratna Dwi Restuti, Sp.THT-KL (editor).
Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2012
2. Adams GL, Boies Jr. LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT (BOIES
Fundamentals of Otolaryngology) edisi 6 dr. Harjanto Effendi, dr. R.A.
Kuswidayati Santoso (editor). Jakarta: EGC. 1997
3. Brook I. Acute Sinusitis in Children. Departement of Pediatrics and Medicine.
Washington: Pediatr Clin N Am. 2013. Page 409-424
4. Bubun J, Azis A, Akil A, Perkasa F. Hubungan Gejala dan Tanda Rinosinusitis
Kronik dengan Gambaran CT Scan Berdasarkan Skor Land-Mackay (Laporan
Penelitian). Makassar: Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin.
5. Budiman BJ, Rosalinda R. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Revisi pada
Rinuskopi Kronis. Padang: Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
6. Sambuda A. Korelasi Antara Rhinitis Dengan Sinusitis Pada Pemeriksaan Sinus
Paranasalis Di Instalasi Radiologi RSUD Dr. Moewardi Surakarta [Skripsi].
Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. 2008
7. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran ed. 6. Jakarta: EGC. 2006
8. Probst R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaryngology: A Step-By-Step Learning
Guide. New York: Thieme. 2006
9. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy & Phisiology 13th edition.
Amerika: John Wiley & Sons, Inc
10. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinus Paranasal. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi ke-7 Prof. Dr. Efiaty Arsyad
Soepardi, Sp.THT-KL, Prof Dr. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT-KL, Prof. DR. Dr. Jenny
Bashiruddin, Sp.THT-KL, DR. Dr. Ratna Dwi Restuti, Sp.THT-KL (editor).
Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2012
11. Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
29
12. Davey P. At a Glance Medicine Amalia Safitri (editor). Jakarta: Erlangga. 2005
13. Faradilla N. Diagnosis Radiologi di Bidang THT. Riau: Fakultas Kedokteran
Universitas Riau. 2009
14. Palmer PES, Cockshott WP, Hegedus V, Samuel E. Petunjuk Membaca Foto Untuk
Dolter Umum (Manual of Radiographic Interpretation for General Practitioners)
Hartono L (alih bahasa). Jakarta: EGC. 1995
15. Wilson JF. In The Clinic Acute Sinusitis Turner BJ, Wiliams S, Taichman D
(editors). Annals of Internal Medicine: American College of Physician. 2010
16. Posumah AH, Ali RH, Loho E. Gambaran Foto Waters Pada Penderita Dengan
Dugaan Klinis Sinusitis Maksilaris Di Bagian Radiologi FK UNSRAT/SMF
Radiologi BLU RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado Periode 1 Januari 31
Desember 2011. Jurnal e-Biomedik (eBM) Vol 1,No1. 2013
17. Riyanto H, Desy B, Kaloso HD, Soebagyo. Orbital Cellulitis and Endophthalmitis
Associated with Odontogenic Paranasal Sinusitis (Laporan Kasus). Jurnal
Oftalmologi Indonesia
18. Chua JLL, Cullen JF. Fungal Pansinusitis with Severe Visual Loss in Uncontrolled
Diabetes. Annals Academy of Medicine. 2008
19. Rautaraya B. Panighari R, Tiwari S. Fungal pansinusitis in an immunocompetent
patient: A case report. 2013

30

Anda mungkin juga menyukai