Anda di halaman 1dari 44

ANESTESI REGIONAL

3.4.1. Definisi

Anestesi regional memiliki berbagai macam teknik penggunaan salah satu


teknik yang dapat diandalkan adalah melalui tulang belakang atau anestesi spinal 1,3.
Anestesi spinal adalah pemberian obat antestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid 4.
Anestesi spinal diindikasikan terutama untuk bedah ekstremitas inferior, bedah
panggul, tindakan sekitar rektum dan perineum, bedah obstetri dan ginekologi, bedah
urologi, bedah abdomen bawah dan operasi ortopedi ekstremitas inferior1.

3.4.2. Anatomi Tulang Belakang dan Medulla Spinalis

Tulang belakang itu terdiri atas tulang punggung dan diskus intervertebral
(Gambar 161). Ada 7 cervical (bhb.dg.tengkuk), 12 ruas vertebrae torakal, dan 5
ruas verbrae lumbalis dan 5 ruas tulang Sakralis dan 5 ruas koksigeal yang bersatu
satu sama lain (Gambar 162). Tulang belakang secara keselruhan berfungsi sebagai
tulang penyokong tubuh terutama tulang-tulang lumbalis.selain itu tulang belakang
juga berfungsi melindungi medula spinalis yang terdapat di dalamnya6.
Di sepanjang medulla spinalis melekat 31 pasang nervus spinalis melalui radix
anterior atau motorik dan radix posterior atau sensorik. Masingmasing radix melekat
pada medulla spinalis melalui sederetan radices (radix kecil),yang terdapat di
sepanjang segmen medulla spinalis yang sesuai. setiap radix mempunyai sebuah
ganglion radix posterior, yang axon selselnya memberikan serabutserabutsaraf
perifer dan pusat7.

1
Dari batang otak berjalan suatu silinder jaringan saraf panjang dan ramping,
yaitu medulla spinalis, dengan ukuran panjang 45 cm (18 inci) dan garis tengah 2 cm
(seukuran kelingking). Medulla spinalis, yang keluar dari sebuah lubang besar di
dasar tengkorak, dilindungi oleh kolumna vertebralis sewaktu turun melalui kanalis
vertebralis. Dari medulla spinalis spinalis keluar saraf-saraf spinalis berpasangan
melalui ruang-ruang yang dibentuk oleh lengkung-lengkung tulang mirip sayap
vertebra yang berdekatan7.
Saraf spinal berjumlah 31 pasang dapat diperinci sebagai berikut: 8 pasang
saraf servikal (C), 12 pasang saraf thorakal (T), 5 pasang saraf lumbal (L), 5 pasang
saraf sakral (S), dan 1 pasang saraf koksigeal (Co)7.
Selama perkembangan, kolumna vertebra tumbuh sekitar 25 cm lebih panjang
daripada medulla spinalis. Karena perbedaan pertumbuhan tersebut, segmen-segmen
medulla spinalis yang merupakan pangkal dari saraf-saraf spinal tidak bersatu dengan
ruang-ruang antar vertebra yang sesuai. Sebagian besar akar saraf spinalis harus turun
bersama medulla spinalis sebelum keluar dari kolumna vertebralis di lubang yang
sesuai. Medulla spinalis itu sendiri hanya berjalan sampai setinggi vertebra lumbal
pertama atau kedua (setinggi sekitar pinggang), sehingga akar-akar saraf sisanya
sangat memanjang untuk dapat keluar dari kolumna vertebralis di lubang yang sesuai.
Berkas tebal akar-akar saraf yang memanjang di dalam kanalis vertebralis yang lebih
bawah itu dikenal sebagai kauda ekuina ekor kuda karena penampakannya.7

2
Gambar 1. Medula Spinalis 6

Walaupun terdapat variasi regional ringan, anatomi potongan melintang dari


medulla spinalis umumnya sama di seluruh panjangnya. Substansia grisea di medulla
spinalis membentuk daerah seperti kupu-kupu di bagian dalam dan dikelilingi oleh
substansia alba di sebelah luar. Seperti di otak, substansia grisea medulla spinalis
terutama terdiri dari badan-badan sel saraf serta dendritnya antarneuron pendek, dan
sel-sel glia. Substansia alba tersusun menjadi traktus (jaras), yaitu berkas serat-serat
saraf (akson-akson dari antarneuron yang panjang) dengan fungsi serupa. Berkas-
berkas itu dikelompokkan menjadi kolumna yang berjalan di sepanjang medulla

3
spinalis. Setiap traktus ini berawal atau berakhir di dalam daerah tertentu di otak, dan
masing-masing memiliki kekhususan dalam mengenai informasi yang
disampaikannya7.
Perlu diketahui bahwa di dalam medulla spinalis berbagai jenis sinyal
dipisahkan, dengan demikian kerusakan daerah tertentu di medulla spinalis dapat
mengganggu sebagian fungsi tetapi fungsi lain tetap utuh. Substansia grisea yang
terletak di bagian tengah secara fungsional juga mengalami organisasi. Kanalis
sentralis, yang terisi oleh cairan serebrospinal, terletak di tengah substansia grisea.
Tiap-tiap belahan substansia grisea dibagi menjadi kornu dorsalis (posterior), kornu
ventralis (anterior), dan kornu lateralis. Kornu dorsalis mengandung badan-badan sel
antarneuron tempat berakhirnya neuron aferen. Kornu ventralis mengandung badan
sel neuron motorik eferen yang mempersarafi otot rangka. Serat-serat otonom yang
mempersarafi otot jantung dan otot polos serta kelenjar eksokrin berasal dari badan-
badan sel yang terletak di tanduk lateralis7.
Saraf-saraf spinalis berkaitan dengan tiap-tiap sisi medulla spinalis melalui akar
spinalis dan akar ventral. Serat-serat aferen membawa sinyal datang masuk ke
medulla spinalis melalui akar dorsal; serat-serat eferen membawa sinyal keluar
meninggalkan medulla melalui akar ventral. Badan-badan sel untuk neuron-
neuronaferen pada setiap tingkat berkelompok bersama di dalam ganglion akar
dorsal. Badan-badan sel untuk neuron-neuron eferen berpangkal di substansia grisea
dan mengirim akson ke luar melalui akar ventral7.
Akar ventral dan dorsal di setiap tingkat menyatu membentuk sebuah saraf
spinalis yang keluar dari kolumna vertebralis. Sebuah saraf spinalis mengandung
serat-serat aferen dan eferen yang berjalan diantara bagian tubuh tertentu dan medulla
spinalis spinalis. Sebuah saraf adalah berkas akson neuron perifer, sebagian aferen
dan sebagian eferen, yang dibungkus oleh suatu selaput jaringan ikat dan mengikuti
jalur yang sama. Sebagaian saraf tidak mengandung sel saraf secara utuh, hanya
bagian-bagian akson dari banyak neuron. Tiap-tiap serat di dalam sebuah saraf
umumnya tidak memiliki pengaruh satu sama lain. Mereka berjalan bersama untuk

4
kemudahan, seperti banyak sambungan telepon yang berjalan dalam satu kabel,
nemun tiap-tiap sambungan telepon dapat bersifat pribadi dan tidak mengganggu atau
mempengaruhi sambungan yang lain dalam kabel yang sama8.
Dalam medulla spinalis lewat dua traktus dengan fungsi tertentu, yaitu traktus
desenden dan asenden. Traktus desenden berfungsi membawa sensasi yang bersifat
perintah yang akan berlanjut ke perifer. Sedangkan traktus asenden secara umum
berfungsi untuk mengantarkan informasi aferen yang dapat atau tidak dapat mencapai
kesadaran. Informasi ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu (1) informasi
eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh, seperti rasa nyeri, suhu, dan raba, dan (2)
informasi proprioseptif, yang berasal dari dalam tubuh, misalnya otot dan sendi9.

Gambar 2. Traktus Desnden dan Asenden6

Traktus desenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari: 9

5
Traktus kortikospinalis, merupakan lintasan yang berkaitan dengan
gerakan-gerakan terlatih, berbatas jelas, volunter, terutama pada bagian
distal anggota gerak.
Traktus retikulospinalis, dapat mempermudah atau menghambat aktivitas
neuron motorik alpha dan gamma pada columna grisea anterior dan karena
itu, kemungkinan mempermudah atau menghambat gerakan volunter atau
aktivitas refleks.
Traktus spinotektalis, berkaitan dengan gerakan-gerakan refleks postural
sebagai respon terhadap stimulus verbal.
Traktus rubrospinalis bertidak baik pada neuron-neuron motorik alpha dan
gamma pada columna grisea anterior dan mempermudah aktivitas otot-otot
ekstensor atau otot-otot antigravitasi.
Traktus vestibulospinalis, akan mempermudah otot-otot ekstensor,
menghambat aktivitas otot-otot fleksor, dan berkaitan dengan aktivitas
postural yang berhubungan dengan keseimbangan.

Gambar 3. Jaras kortikospinalis9

6
Gambar 4. Jaras Traktus kortiko-bulbar9

Traktus asenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari: 9

7
Kolumna dorsalis, berfungsi dalam membawa sensasi raba, proprioseptif, dan
berperan dalam diskriminasi lokasi.
Traktus spinotalamikus anterior berfungsi membawa sensasi raba dan tekanan ringan.
Traktus spinotalamikus lateral berfungsi membawa sensasi nyeri dan suhu.
Traktus spinoserebellaris ventralis berperan dalam menentukan posisi dan
perpindahan, traktus spinoserebellaris dorsalis berperan dalam menentukan
posisi dan perpindahan.
Traktus spinoretikularis berfungsi membawa sensasi nyeri yang dalam dan lama9.

Gambar 5. Jaras Spinotalamikus9


Setelah keluar dari foramen intervertebrale, masingmasing nervus spinalis
segera bercabang dua menjadi ramus anterior yang besar dan ramus posterior yang
lebih kecil, yang keduanya mengandung serabut serabut motorik dan sensorik7.

8
Gambar 6.
Jaras

Dorsalcolumna Lemiskus Medialis

Gambar 7. Jaras Spinoserebelar

Spinal cord pada umumnya berakhir setinggi L2 pada dewasa dan L3 pada
anak-anak. Fungsi dural yang dilakukan diatas segment tersebut berhubungan dengan
resiko kerusakan spinal cord dan sebaiknya tidak dilakukan. Secara anatomis dipilih
segemen L2 ke bawah pada penusukan oleh karena ujung bawah daripada medula
spinalis setinggi L2 dan ruang interegmental lumbal ini relatif lebih lebar dan lebih
datar dibandingkan dengan segmen-segmen lainnya. Lokasi interspace ini dicari
dengan menghubungkan crista iliaca kiri dan kanan. Maka titik pertemuan dengan
segmen lumbal merupakan processus spinosus L4 atau L4-58.

9
Neuron simpatis preganglion dan postganglion
Saraf simpatis berbeda dengan saraf motorik skeletal dalam hal berikut: setiap
jaras simpatis dari medula spinalis ke jaringan yang terangsang terdiri atas dua
neuron,yaitu neuron praganglion dan posganglion. Badan sel setiap neuron
preganglion terletak di kornu intermediolateral medula spinalis dan serabut-
serabutnya bejalan melewati radiks anterior medula menuju saraf spinal terkait8.

Gambar 8. Jaras saraf simpatis


Di semua ketinggian medula, beberapa serabut postganglion berjalan kembali
dari rantai simpatis menuju saraf-saraf spinal melalui rami abu-abu.srabut simpatis ini
semuanya menrupakan serabut tipe C yang sangat kecil,dan serabut tersebut dengan
menggunakan saraf skeleta menyebar ke seluruh bagian tubuh. Serabut ini mengatur
pembuluh darah, kelenjar keringat, dan otot piloerktal rambut. Kira-kira 8 persen
serabut dan saraf skeletal adalah serabut simpatis, hal ini menunjukkan betapa
pentingnya serabut simpatis8.

10
Jaras simpatis yang berasal dari berbagai segmen medula spinalis tak perlu
didistribusikan ke bagian tubuh yang sama seperti halnya saraf-saraf spinal somatik
dari segmen yang sama. Justru saraf simpatis dari medula pada segmen T-1 umumnya
melewati rantai simpatis naik untuk berakhir di daerah kepala, dari T-2 untuk
berakhir di daerah leher dari T-3,T-4,T-5 dan T-6 di daerah thoraks, dari T-7,T-8, T-
9,T-10, dan T-11 ke abdomen, dan dari T-12, L-1 dan L-2 ke daerah tungkai.
Pembagian ini kuran lebih demikian dan sebagian besar tumpang tindih.Di medula
adrenal serabut-serabut saraf ini langsung berakhir pada sel-sel neuron khusus yang
menyekresikan epinefrine dan norepinefrine ke dalam aliran darah8.

Gambar 9. Target organ saraf simpatis dan parasimpatis

11
12
Penting untuk mengingat struktur yang akan ditembus oleh jarum spinal
sebelum bercampur dengan CSF2.

Kulit

Lemak subcutan dengan ketebalan berbeda dan lebih mudah


mengidentifikasi ruang intervertebra pada pasien kurus

Ligament Supraspinosa

Ligament interspinosa yang merupakan ligament yang tipis diantara


prosesus spinosus

Ligamentum Flavum yang sebagian besar terdiri dari jaringan elastic yang
berjalan secara vertical dari lamina ke lamina.

Ruang epidural yang terdiri dari lemak dan pembuluh darah

Duramater

Ruang Subarachnoid yang terdiri dari spinal cord dan akar saraf yang
dikelilingi oleh CSF. Injeksi dari anestesi local akan bercampur dengan CSF
dan secara cepat memblok akar syaraf yang berkontak.

13
Gambar 10. Potongan sagittal vertebra lumbalis6

Gambar 11. Dermatom tubuh

14
Dermatom adalah area kulit yang diinervasi oleh serabut saraf sensoris yang
berasal dari satu saraf spinal. Gambar 11 memperlihatkan segmen dermatom tubuh
yang penting untuk anestesi dalam pembedahan, efek anestesi spinal harus mencapai
segmen dermatom tertentu agar dapat memblok persarafan di daerah pembedahan
tersebut14.

15
Tabel 1. Ketinggian segmen dermatom dalam anestesi spinal untuk prosedur
pembedahan4,14
Tindakan Pembedahan Ketinggian Segment Dermatom Kulit

Tungkai bawah T12

Panggul T10

Uterus-vagina T10

Buli-buli, prostat T10

Testis ovarium T8

Intraabdomen bawah T6

Intraabdomen atas T4

Paha dan tungkai bawah L1

3.4.3. Anestesi Spinal

Anestesia spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke


dalam ruang subarakhnoid di region antara lumbal 2 dan 3, lumbal 3 dan 4, lumbal 4
dan 5 dengan tujuan untuk mendapatkan blokade sensorik, relaksasi otot rangka dan
blokade saraf simpatis10. Beberapa nama lain dari anestesia spinal diantaranya adalah
analgesia spinal, analgesia subarakhnoid, blok spinal, blok arakhnoid, anestesi
subarakhnoid dan anestesi lumbal11. Teknik ini sederhana, cukup efektif dan mudah
dikerjakan4.
Anestesi spinal mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan anestesia
umum, khususnya untuk tindakan operasi abdomen bagian bawah, perineum dan
ekstremitas bawah. Anestesia spinal dapat menumpulkan respons stress terhadap
pembedahan, menurunkan perdarahan intraoperatif, menurunkan kejadian

16
tromboemboli postoperasi, dan menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien bedah
dengan risiko tinggi11.
3.4.4. Indikasi dan Kontraindikasi Anestesi Spinal

Indikasi anestesi spinal4


Bedah ekstremitas bawah
Bedah panggul
Tindakan sekitar rektukm dan perineum
Bedah obstetri dan ginekologi
Bedah urologi
Bedah abdomen bawah
Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya dikombinasi dengan
anestesi umum ringan.

Kontraindikasi anestesi spinal4

Tabel 3.1. Kontraindikasi Anestesi Spinal


Kontraindikasi absolut Kontraindikasi relatif
Pasien menolak Infeksi sistemik (sepsis, bakterimia)
Infeksi pada tempat suntikan Infeksi sekitar tempat suntikan
Hipovolemia berat atau syok Hipovolemia ringan
Koagulopati atau mendapat terapi Kelainan neurologis dan kelainan
antikoagulan psikis
Tekanan intrakranial meninggi Bedah lama
Fasilitas resusitasi minim Penyakit jantung
Kurang pengalaman Nyeri punggung kronis

17
3.4.5. Farmakologi Obat Anestetik Lokal

Anestetik lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau blokade
saluran natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsangan transmisi
sepanjang saraf, jika digunakan pada saraf sentral atau perifer. Anestetik lokal setelah
keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara spontan dan lengkap
tanpa diikuti kerusakan struktur saraf4. Obat-obat anestesi lokal yang digunakan pada
pembedahan harus memenuhi syarat-syarat yaitu blokade sensorik dan motorik yang
adekuat, mula kerja yang cepat, tidak neurotoksik, dan pemulihan blokade motorik
yang cepat pascaoperasi sehingga mobilisasi lebih cepat dapat dilakukan dan risiko
toksisitas sistemik yang rendah11.
Obat anestesi lokal adalah suatu senyawa amino organik atau gabungan
alkaloid larut lemak dan garam larut air 11. Rumus bangun terdiri dari bagian kepala
cincin aromatik tak jenuh bersifat lipofilik, bagian badan cincin hidrokarbon sebagai
penghubung, bagian ekor amino tersier bersifat hidrofilik 4,11. Bagian aromatik
mempengaruhi kelarutan dalam air dan rantai penghubung menentukan jalur
metabolisme obat anestetik lokal11. Struktur umum dari obat anestetik lokal tersebut
mencerminkan orientasi dari tempat bekerja yaitu membran sel saraf. Jika dilihat
susunan dari membran sel saraf yang terdiri dari dua lapisan lemak dan satu lapisan
protein di luar dan dalam, maka struktur obat anestetik lokal gugus hidrofilik berguna
untuk transport ke sel saraf sedangkan gugus lipofilik berguna untuk migrasi ke
dalam sel saraf11.
Obat anestesi lokal yang digunakan dibagi ke dalam dua macam, yakni
golongan ester seperti kokain, benzokain, prokain, kloroprokain, ametokain, tetrakain
dan golongan amida seperti lidokain, mepivakain, prilokain, bupivakain, etidokain,
dibukain, ropivakain, levobupivakain. Perbedaannya terletak pada kestabilan struktur
kimia. Golongan ester mudah dihidrolisis dan tidak stabil dalam cairan, sedangkan
golongan amida lebih stabil. Golongan ester dihidrolisa dalam plasma oleh enzim
pseudo-kolinesterase dan golongan amida dimetabolisme di hati 4,12. Di Indonesia

18
golongan ester yang paling banyak digunakan ialah prokain, sedangkan golongan
amida tersering ialah lidokain dan bupivakain2,4.

Tabel 2. Jenis Anestesi Lokal2


Prokain Lidokain Bupivakain
Golongan Ester Amida Amida
Mula kerja 2 menit 5 menit 15 menit
Lama kerja 30-45 menit 45-90 menit 2-4 jam
Metabolisme Plasma Hepar Hepar
Dosis maksimal 12 6 2
(mg/kgBB)
Potensi 1 3 15
Toksisitas 1 2 10

Farmakokinetik Dalam Plasma


Berat jenis cairan serebrospinal pada suhu 37C ialah 1,003-1,008. Anestetik
lokal dengan berat jenis sama dengan cairan serebrospinal disebut isobarik. Anestetik
lokal dengan berat jenis lebih besar dari cairan serebrospinal disebut hiperbarik.
Anestetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari cairan serebrospinal disebut
hipobarik. Anestetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik yaitu
campuran antara anestetik lokal dengan dekstrosa4.

Absorpsi2
Absorpsi sistemik dari anestesi lokal yang diinjeksikan bergantung pada aliran
darah, yang ditentukan dari beberapa faktor dibawah ini:
Lokasi injeksi; kecepatan absorpsi sistemik sebanding dengan ramainya vaskularisasi
tempat suntikan: absorbsi intravena > trakeal > interkostal > kaudal >
paraservikal > epidural > pleksus brakialis > ischiadikus > subkutan.
Adanya vasokontriksi dengan penambahan epinefrin menyebabkan vasokonstriksi
pada tempat pemberian anestesi yang akan menyebabkan penurunan

19
absorpsi sampai 50% dan peningkatan pengambilan neuronal, sehingga
meningkatkan kualitas analgesia, memperpanjang durasi, da meminimalkan
efek toksik. Efek vaskonstriksi yang digunakan biasanya dari obat yang
memiliki masa kerja pendek. Epinefrin juga dapat meningkatkan kualitas
analgesia dan memperlama kerja lewat aktivitasnya terhadap reseptor
adrenergik alfa 2.
Agen anestesi lokal, anestesi lokal yang terikat kuat dengan jaringan lebih lambat
terjadi absorpsi dan agen ini bervariasi dalam vasodilator intrinsik yang
dimilikinya.

Distribusi2
Distribusi dipengaruhi oleh ambilan organ dan ditentukan oleh faktor-faktor
seperti perfusi jaringan, koefisien partisi jaringan, dan massa jaringan.
Perfusi jaringan-organ dengan perfusi jaringan yang tinggi (otak, paru, hepar,
ginjal, dan jantung) bertanggung jawab terhadap ambilan awal yang cepat (fase ),
yang diikuti redistribusi yang lebih lambat (fase ) sampai perfusi jaringan moderat
(otot dan saluran cerna).
Koefisien partisi jaringan/darah ikatan protein plasma yang kuat cenderung
mempertahankan obat anestesi di dalam darah, dimana kelarutan lemak yang tinggi
memfasilitasi ambilan jaringan.
Massa jaringanotot merupakan reservoar paling besar untuk anestesi lokal
karena massa dari otot yang besar.

Fiksasi13
Anestetik lokal berikatan dengan protein plasma dengan berbagai derajat. Hal
ini menunjukkan bahwa obat yang berikatan kuat dengan protein plasma mengurangi
toksisitasnya karena hanya sebagian kecil dari jumlah total plasma yang bebas
berdifusi ke dalam jaringan yang dapat menghasilkan efek toksik. Namun obat yang
berikatan dengan protein juga masih mampu berdifusi kedalam plasma mengikuti

20
gradien konsentrasi, karena bagian yang terikat protein memiliki keseimbangan yang
sama dengan yang terlarut dalam plasma. Dengan demikian, ikatan dengan protein
tidak berhubungan dengan efek toksisitas akut obat.

Metabolisme dan ekskresi2


Metabolisme dan ekskresi dari lokal anestesi dibedakan berdasarkan
strukturnya:
Golongan ester. Metabolisme oleh enzim pseudo-kolinesterase (kolinesterase
plasma). Hidrolisa ester sangat cepat dan kemudian metabolitnya yang larut
air diekskresikan melalui urin.
Golongan amida. Metabolisme terutama oleh enzim mikrosomal P-450 di hati.
Kecepatan metabolisme tergantung kepada spesifikasi obat anestetik lokal.
Metabolisme lebih lambat dari hidrolisa ester. Metabolit diekskresi lewat
urin dan sebagian kecil diekskresikan dalam bentuk utuh.

Farmakokinetik dalam cairan serebrospinal


Setelah penyuntikkan obat anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid maka
akan terjadi proses difusi obat ke dalam cairan serebrospinal sebelum menuju target
lokal sel saraf5. Selanjutnya obat akan diabsorbsi ke dalam sel saraf (akar saraf spinal
dan medulla spinalis)14. Ada empat faktor yang mempengaruhi absorbsi anestetik
lokal di ruang subarakhnoid, yaitu (1) konsentrasi anestetik lokal, konsentrasi terbesar
ada pada daerah penyuntikkan. Akar saraf spinal sedikit mengandung epineurium dan
impulsnya mudah dihambat, (2) luas permukaan saraf yang terpajan akan
memudahkan absorpsi dari anestetik lokal, semakin luas daerah sel saraf yang
terpajan dengan anestetik lokal maka akan semakin besar juga absorbsi anestetik
lokal oleh sel saraf. Oleh karena itu semakin jauh penyebaran anestetik lokal dari
tempat penyuntikkan, maka akan semakin menurun konsentrasi anestetik lokal dan
absorpsi ke sel saraf juga menurun, (3) lapisan lemak pada serabut saraf, (4) aliran
darah ke sel saraf14,15. Absorbsi dan distribusi anestetik lokal setelah penyuntikkan

21
spinal ditentukan oleh banyak faktor antara lain dosis, volume dan barisitas dari
anestetik lokal serta posisi pasien14.
Medula spinalis mempunyai dua mekanisme untuk absorbsi anestetik lokal
yakni (1) difusi dari dairan serbrospinal ke pia meter lalu masuk ke medulla spinalis,
dimana proses difusi ini terjadi lambat. Hanya area superfisial atau permukaan dari
medulla spinalis yang dipengaruhi oleh anestetik lokal. (2) absorbsi terjadi ruang
Virchow-Robin, dimana daerah piameter banyak dikelilingi oleh pembuluh darah
yang berpenetrasi ke sistem saraf pusat. Ruang Virchow-Robin terhubung dengan
celah perineuronal yang mengelilingi badan sel saraf di medulla spinalis dan
menembus sampai ke daerah terdalam medulla spinalis14.

Gambar 12. Ruang periarterial Virchow-Robin yang mengelilingi medulla


spinalis14.
Kadar lemak juga menentukan absorbsi anestetik lokal. Semakin bermielin
memerlukan konsentrasi anestetik lokal yang lebih tinggi untuk dapat memblok
impuls, karena ada kadar lemak yang tinggi di selubung mielin tersebut14.
Distribusi anestetik lokal pada ruang subarahnoid atau cairan serebrospinal
dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut:
a. Faktor utama4
1. Berat jenis atau barisitas dan posisi pasien.
Barisitas merupakan faktor utama yang menentukan penyebaran lokal anestetik di
ruang subarakhnoid dan dipengaruhi juga oleh gravitasi serta posisi pasien 4,15.
Larutan hipobarik ialah larutan yang lebih ringan dari cairan serbrospinal bersifat
melawan gravitasi, larutan isobarik ialah larutan yang sama berat dengan cairan

22
serbrospinal bersifat menetap pada tingkat daerah penyuntikkan, larutan
hiperbarik ialah larutan yang lebih berat daripada cairan otak bersifat mengikuti
gravitasi setelah pemberian14. Larutan hiperbarik biasanya menghasilkan tingkat
blok yang lebih tinggi.
Contoh pengaruh barisitas dan posisi pasien terhadap penyebaran anestetik lokal:
15

- Posisi kepala kebawah maka larutan hiperbarik akan menyebar ke arah


cephalad, sedangkan larutan hipobarik akan menyebar ke arah kaudal.
- Posisi kepala keatas maka larutan hiperbarik akan menyebar ke arah
kaudal, sedangkan larutan hipobarik akan menyebar ke arah cephalad.
- Posisi lateral maka larutan hiperbarik akan menyebar mengikuti posisi
lateral dan sebaliknya untuk larutan hipobarik.
- Posisi apapun dengan larutan isobarik akan berada pada daerah sekitar
penyuntikkan.
- Saat pasien dalam posisi supinasi maka setelah penyuntikkan larutan
hiperbarik, anestetik lokal akan menyebar ke area T4-T8 dan puncaknya
akan mengikuti lekukan normal dari vertebra yaitu di T4.
Pada umumnya semakin jauh penyebaran lokal anestetik maka semakin
singkat durasi blok sensorik obat tersebut karena menurunnya konsentrasi
obat di daerah injeksi15.
2. Dosis dan volume anestetik lokal
Semakin besar jumlah dan kadar konsentrasi dari anestetik lokal, maka akan
semakin tinggi juga area hambatan4,11.
b. Faktor tambahan
1. Umur11
Umur pasien berpengaruh terhadap level analgesi spinal. Ruang arakhnoid dan
epidural menjadi lebih kecil dengan bertambahnya umur yang membuat
penyebaran obat analgetika lokal lebih besar atau luas, dengan hasil penyebaran
obat analgetika lokal ke cephalad lebih banyak sehingga level analgesia lebih
tinggi dengan dosis sama dan tinggi badan sama. Sehingga dosis hendaknya
dikurangi pada umur tua. Cameron dkk telah melakukan penelitian pengaruh

23
umut pada penyebaran obat analgetika lokal, ternyata ada korelasi yang bermakna
antara umur dan level analgesia.
2. Tinggi badan
Makin tinggi tubh makin panjang medula spinalisnya, sehingga penderita yang
tinggi memerlukan dosis lebih banyak daripada yang pendek11.
3. Berat badan
Kegemukan berhubungan dengan penumpukan lemak dalam rongga epidural
yang akan mengurangi volume cairan serebrospinal. Pengalaman klinis
mengindikasikan bahwa kegemukan berpengaruh sedikit terhadap penyebaran
obat anastetik lokal dalam cairan serebrospinal11.
4. Tekanan intraabdomen
Tekanan intraabdomen yang meninggi menyebabkan tekanan vena dan isi darah
vertebral meningkat yang menyebabkkan berkurangnya isi cairan serebrospinal.
Akibatnya hasil anastetik lokal yang dicapai lebih tinggi seperti pada ibu hamil,
obesitas, dan tumor abdomen11,13.
5. Anatomi kolumna vertebralis
Lekukan kolumna vertebralis akan mempengaruhi penyebaran obat anastetik
lokal dalam cairan serebrospinal. Ini akan tampak pada cairan yang bersifat
hiperbarik atau hipobarik pada posisi terlentang horizontal. Penyuntikkan di atas
L3 dengan posisi pasien supinasi setelah penyuntikkan akan membuat penyebaran
anestetik lokal kerah cephalad dan mencapai kurvatura T411,13.
6. Tempat penyuntikkan
Kurang berperan terhadap tingginya analgesia. Tusukan pada lumbal 2-3 atau
lumbal 3-4 memudahkan penyebaran obat ke arah torakal, sedangkan tusukan
pada lumbal 4-5 karena bentuk vertebral memudahkan obat berkumpul di daerah
sakral11.
7. Arah penyuntikkan
Bila anestetik lokal disuntikkan kearah kaudal maka pennyebaran oat akan
terbatas dibandingkan dengan penyuntikkan kearah cephalad18.
8. Barbotase atau kecepatan penyuntikkan
Kecepatan penyuntikan yang lambat menyebabkan difusi lambat dan tingkat
analgesia yang dicapai rendah11
Selain itu, volume dan berat jenis cairan serebrospinal juga mempengaruhi
penyebaran atau tingginya blok saraf. Dimana volume cairan serebrospinal yang

24
menurun akan meninggikan tingkat blok saraf, sedangkan bila volume cairan
serebrospinal yang meningkat akan menurunkan tingkat blok saraf. Kedua yaitu berat
jenis cairan serebrospinal yang tinggi akan mengurangi penyebaran tingkat blok saraf,
sedangkan berat jenis cairan sererbospinal yang rendah akan menghasilkan
penyebaran obat anestetik lokal yang besar15.
Ketika pemberian obat anestetik lokal diberikan secara spinal, obat memiliki
akses bebas ke jaringan medula spinalis dan bekerja langsung pada target lokal di
membran sel saraf serta sebagian kecil dosis dapat memberikan efek yang cepat.
Anestetik lokal di cairan serebrospinal ini tidak berikatan dengan protein, karena
konsentrasi protein di cairan serebrospinal rendah13.
Eliminasi anestetik lokal dari ruang subarakhnoid terjadi melalui absorbsi oleh
pembuluh darah di ruang subarakhnoid dan ruang epidural. Anestetik lokal juga
berdifusi ke dalam ruang epidural dan setelah di ruang epidural akan berdifusi ke
dalam pembuluh darah epidural sama seperti halnya pada ruang subarakhnoid 14,15.
Aliran darah menentukan laju eliminasi anestetik lokal dari medula spinalis. Semakin
cepat aliran darah di medula spinalis, maka akan semakin cepat juga anestetik lokal
dieliminasi. Hal inilah yang menjelaskan mengapa konsentrasi anestetik lokal lebih
besar pada bagian posterior medula spinalis dibandingkan dengan anterior medula
spinalis, walaupun bagian anterior lebih banyak terhubung dengan ruang Virchow-
Robin. Setelah anestetik lokal diberikan, aliran darah dapat ditingkatkan atau
diturunkan ke medula spinalis, bergantung pada sifat anestetik lokal tersebut, sebagai
contoh tetrakain meningkatkan aliran darah medula spinalis tapi lidokain dan
bupivakain menurunkan aliran darah, yang akan berpengaruh terhadap eliminasi dari
anestetik lokal14.
Vaskularisasi medula spinalis terdiri dari pembuluh darah yang ada di medula
spinalis dan di pia meter. Absorbsi anestetik ini terjadi pada pembuluh darah di
piameter dan medulla spinalis. Akibat perfusi ke medula spinalis bervariasi, maka laju
eliminasi anestetik lokal juga bervariasi14,15.

Farmakodinamik

25
Pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid di regio vertebra.
Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid dari luar yaitu
kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum
flavum, durameter, dan arakhnoid. Ruang subarakhnoid berada diantara arakhnoid
dan piameter, sedangkan ruang antara ligamentum flavum dan durameter merupakan
ruang epidural11,14.
Lokal anestetik yang dimasukkan ke dalam ruang subarakhnoid akan
memblok impuls sensorik, autonom dan motorik. Lokasi target dari anestesi spinal
adalah akar saraf spinal dan medulla spinalis5. Dalam anestesi spinal konsentrasi obat
lokal anestetik di cairan serebrospinal memiliki efek yang minimal pada medula
spinalis14.

26
Mekanisme Obat Anestetik Spinal
Mekanisme aksi obat anestesi lokal adalah mencegah transmisi impuls saraf
atau blokade konduksi dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang
ion natrium selektif pada membran saraf2. Obat bekerja pada reseptor spesifik pada
saluran natrium, mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium
dan kalium, sehingga hasilnya tak terjadi konduksi saraf4. Obat anestesi lokal setelah
masuk cairan serebrospinal, berdifusi menyebrang selubung saraf dan membran,
tetapi hanya yang dalam bentuk basa yang bisa menembus membran lipid ini. Ketika
mencapai akson terjadi ionisasi dan dalam bentuk kation yang bermuatan bisa
mencapai reseptor pada saluran natrium. Akibatnya terjadi blokade saluran natrium,
hambatan konduksi natrium, penurunan kecepatan dan derajat fase depolarisasi aksi
potensial, dan terjadi blokade saraf12.
Obat anestesi lokal juga memblok kanal kalsium dan potasium dan reseptor N-
methyl-D-aspartat (NMDA) dengan derajat berbeda-beda. Tidak semua serabut saraf
dipengaruhi sama oleh obat anestesi lokal. Sensitivitas terhadap blokade ditentukan
dari diameter aksonal dan derajat mielinisasi serta berbagai faktor anatomi dan
fisiologi lain2. Pada umumnya, serabut saraf kecil dan bermielin lebih mudah diblok
dibandingkan serabut saraf besar tak bermielin14. Anestetik lokal lebih mudah
menyekat serabut yang berukuran kecil karena jarak propragasi pasif suatu impuls
listrik melalui serabut tadi lebih pendek. Semakin besar dan tebal suatu serabut saraf
(misalnya, neuron motorik), nodusnya makin terpisah jauh satu sama lain sehingga
sulit diblokade16. Diameter yang kecil dan sedikit atau tidak memiliki mielin
meningkatkan sensitivitas terhadap anestesi lokal dan akan lebih mudah untuk
diblok2,16. Sedangkan diameter yang besar dan mielin yang tebal seperti pada saraf
motorik akan lebih sulit untuk diblok. Saraf simpatis dan sensoris mempunyai lebih
sedikit mielin dibandingkan saraf motorik16. Dengan demikian, sensitivitas saraf
spinalis terhadap anestesi lokal mulai dari autonom, sensorik, dan motorik 2. Serabut
saraf autonom terblok pertama kali dan serabut saraf motorik yang terakhir12.

27
Secara umum tingginya blokade simpatis kira-kira 2-3 segmen lebih tinggi
daripada tingginya blokade sensorik dan tingginya blokade sensorik 2-3 segmen lebih
tinggi daripada blokade motorik. Hal ini dimungkinkan karena konsentrasi obat
anestesi lokal di dalam cairan serebrospinal semakin kearah cephalad menjauh tempat
injeksi akan berkurang, disamping serabut saraf bermielin memerlukan paling tidak
tiga nodus ranvier yang berurutan harus diblok secara komplit untuk menghambat
konduksi12. Maka dari itu, urutan hilangnya fungsi sel saraf pada anestesi lokal
sebagai berikut: (1) simpatis (vasomotor) berupa dilatasi pembuluh darah arteri dan
vena, (2) sensoris suhu dan nyeri, (3) sensoris raba dan tekanan, (4) proprioseptif
berupa kesadaran akan posisi tubuh, (5) fungsi motorik14. Bila anestetik lokal ini telah
habis bekerja, maka fungsi-fungsi ini akan kembali dalam urutan terbalik yakni
fungsi motorik akan kembali dulu, kemudian sensasi raba dan nyeri, serta terakhir
respon simpatis akan normal kembali seperti tekanan darah16.
Untuk kepentingan klinis, anestesi lokal dibedakan berdasarkan potensi dan
lama kerja menjadi 3 grup. Grup I meliputi prokain, kloroprokain yang memiliki
potensi dan lama kerja yang singkat. Grup II meliputi lidokain, mepivakain dan
prilokain yang memiliki potensi dan lama kerja sedang. Grup III meliputi tetrakain,
bupivakain, etidokain yang memiliki potensi kuat dan lama kerja yang panjang.
Anestesi lokal juga dibedakan berdasarkan pada mula atau awal kerjanya seperti
kloroprokain, lidokain, mepivakain, prilokain, etidokain memiliki mula kerja yang
relatif cepat, bupivakain memiliki mula kerja sedang, sedangkan prokain dan
tetrakain bermula kerja lambat2.
Potensi dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin poten,
karena itu merupakan kemampuan anestesi lokal untuk menembus membran yang
hidrofobik2,4. Secara umum, potensi dan kelarutan lemak meningkat dengan
meningkatnya jumlah total atom karbon pada molekul2.

28
3.4.6. Patofisiologi

Pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid di regio vertebra.


Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid dari luar yaitu
kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum
flavum, durameter, dan arakhnoid. Ruang subarakhnoid berada diantara arakhnoid
dan piameter, sedangakan ruang antara ligamentum flavum dan durameter merupakan
ruang epidural11,13.
Lokal anestetik yang dimasukkan ke dalam ruang subarakhnoid akan
memblok impuls sensorik, autonom dan motorik pada serabut saraf anterior dan
posterior yang melewati cairan serebrospinal. Serabut akar saraf merupakan tempat
aksi kerja utama pada anestesi spinal dan epidural, selain itu bisa bekerja pada serabut
akar saraf spinal dan akar ganglion dorsal. Dalam anestesi spinal konsentrasi obat
lokal anestetik di cairan serebrospinal memiliki efek yang minimal pada medula
spinalis13, 14.
Ada empat faktor yang mempengaruhi absorbsi anestetik lokal pada ruang
subarakhnoid, yaitu (1) konsentrasi anestetik lokal, konsentrasi terbesar ada pada
daerah penyuntikkan. Akar saraf spinal sedikit mengandung epineurium dan
impulsnya mudah dihambat, (2) daerah permukaan saraf yang terpajan akan
memudahkan absorpsi dari anestetik lokal. Oleh karena itu semakin jauh penyebaran
anestetik lokal dari tempat penyuntikkan, maka akan semakin menurun konsentrasi
anestetik lokal dan absorpsi ke sel saraf juga menurun, (3) lapisan lipid pada serabut
saraf, (4) aliran darah ke sel saraf14. Absorbsi dan distribusi anestetik lokal setelah
penyuntikkan spinal ditentukan oleh banyak faktor antara lain dosis, volume dan
barisitas dari anestetik lokal serta posisi pasien 14. Selanjutnya obat memiliki akses
bebas ke jaringan medula spinalis dan bekerja langsung pada target lokal di membran
sel saraf serta sebagian kecil dosis dapat memberikan efek yang cepat. Anestetik lokal
di cairan serebrospinal ini tidak berikatan dengan protein terlebih dahulu13.
Daerah utama dari aksi blokade neuraksial adalah akar saraf. Anestesi lokal
disuntikkan ke CSF (anestesi spinal) atau ruang epidural (anestesi epidural dan

29
kaudal) dan menggenangi akar saraf dalam ruang subarachnoid atau ruang epidural.
Injeksi langsung anestesi lokal ke CSF untuk anestesi spinal memungkinkan dosis
yang relatif kecil dan volume anestesi lokal untuk mencapai blokade sensorik dan
motorik. Sebaliknya, anestesi lokal pada epidural anestesi pada akar saraf
memerlukan volume dan dosis yang jauh lebih tinggi. Selain itu, tempat suntikan
untuk anestesi epidural harus dekat dengan akar saraf yang harus diblok. Blokade
transmisi saraf (konduksi) dalam pada serabut saraf posterior akan menghambat
somatik dan viseral, sedangkan blokade serabut akar saraf anterior mencegah eferen
motorik dan outflow otonom6.

Blokade Somatik
Dengan mengganggu transmisi rangsangan nyeri dan menghilangkan tonus
otot rangka, blok neuraksial dapat memberikan kondisi operasi yang sangat baik.
Blok sensori menghambat stimulus nyeri baik pada somatik dan viseral, sedangkan
blokade motorik menghasilkan relaksasi otot rangka. Pengaruh anestesi lokal pada
serabut saraf bervariasi sesuai dengan ukuran serabut saraf, apakah itu bermielin,
konsentrasi yang dicapai dan lama kontak. Akar saraf tulang belakang terdiri dari
berbagai tipe serat saraf. Serat lebih kecil dan bermielin umumnya lebih mudah
diblokir daripada yang lebih besar dan tidak bermielin. Fakta bahwa konsentrasi
anestesi lokal menurun dengan meningkatnya jarak dari level injeksi, menjelaskan
fenomena blokade diferensial. Diferensial blokade biasanya menghasilkan blokade
simpatik (dinilai oleh sensitivitas suhu) yang mungkin dua segmen lebih tinggi dari
blok sensorik (nyeri, sentuhan ringan), dan dua segmen lebih tinggi dari blokade
motorik6.

30
Blokade Otonom
Interupsi dari transmisi eferen pada nervus spinal dan menyebabkan blokade
dari simpatik dan parasimpatik. Simpatik outflow spinal cord bisa dideskripsikan
sebagai torakolumbal dan parasimpatis disebut kraniosakral. Serabut saraf
praganglion simpatis (kecil, serabut termielinisasi tipe B) keluar dari spinal cord dari
T1 sampai L2 dan bisa menyebabkan rantai simpatis ke atas maupun ke bawah
sebelum bersinap dengan posganglion sel pada ganglia simpatik. Anestesi neuroaksial
tidak memblok nervus vagus. Respon fisiologi dari anestesi ini adalah menurunkan
kerja simpatis6.
Blok neuroaksial tipikal menyebabkan penurunan tekanan darah yang disertai
dengan penurunan detak jantung dan kontraktilitas jantung. Tonus vasomotor secara
primer ditentukan oleh serabut simpatik yang muncul dari T5 dan L1, yang
menginervasi otot polos arteri dan vena. Blokade dari nervus ini menyebabkan
vasodilatasi dari pembuluh vena, penurunan pengisian darah dan menurunkan venous
return ke jantung. Untuk beberapa kasus vasodilatasi ateria dapat menyebabkan
penurunan resistensi sistemik pembuluh darah. Efek dari vasodilatasi atrial dapat
diminimalisir dengan cara mengkompensasi vasokonstriksi diatas blok. Blok simpatis
yang tinggi tidak hanya mengkompensasi vasokonstriksi tapi juga memblok serabut
akselarator jantung yang berasal dari T1-T4. Hipotensi bisa disebabkan oleh
bradikardi dan penurunan kontraktili jantung. Hal ini dapat diperbaiki dengan cara
meningkatkan venous return dengan meninggikan kepala6.
Efek kardiovaskular harus diantisipasi untuk meminimalkan hipotensi. Hal ini
diantisipasi dengan cara pemberian cairan intravena 10-20 mL/Kg pada pasien sehat
akan secara parsial berkompensasi untuk pengisian vena. Walaupun dengan usaha ini
hipotensi masih tetap terjadi dan harus ditangani dengan tepat. Penanganan cairan
dapat ditingkatkan dan autotransfusi dapat dilakukan dengan cara menurunkan
kepala pasien. Bradikardi berlebih dan simptomatik harus ditangani dengan
pemberian atropin dan hipotensi diterapi menggunakan vasopresor. Direct -
adrenergic agonis (seperti fenilefrin) meningkatkan tonus vena dan menyebabkan

31
konstriksi arteriolar, yang menyebabkan peningkatan aliran balik vena dan resistensi
sistemik vaskular. Efek langsung penggunaan efedrin adalah meningkatkan denyut
jantung dan kontraktilitas, sedangkan efek tidak langsung menghasilkan beberapa
vasokonstriksi. Jika hipotensi dan atau bradikardia bertahan meskipun intervensi ini,
epinefrin (5-10 g intravena) harus diberikan segera6.
Perubahan klinis yang signifikan dari fisiologi paru biasanya minimal dengan
blok neuraksial karena diafragma dipersarafi oleh saraf frenikus yang berasal dari C3-
C5. Bahkan dengan segmen thorakal tinggi, volume tidal tidak berubah, hanya ada
sedikit penurunan kapasitas vital, yang disebabkan oleh hilangnya kontribusi otot
perut 'untuk ekspirasi paksa6.
Pada prosedur pembedahan yang menyebabkan trauma menyebabkan
neuroendokrin trauma melalui respon inflamasi lokal dan aktivasi serat saraf aferen
somatik dan viceral. Respon ini termasuk peningkatan hormon adrenokortikotropik,
kortisol, epinefrin, norepinefrin, dan level vasopresin melalui sistem aktivasi renin-
angiotensin-aldosteron. Neuroaksial blokade dapat menurunkan sebagian atau secara
total respon stres ini6.
Eliminasi anestetik lokal terjadi melalui penyerapan oleh pembuluh darah
dalam ruang subarakhnoid dan epidural. Penyerapan ini terjadi pada pembuluh darah
di piameter dan medulla spinalis. Laju penyerapan berhubungan dengan luas
permukaan pembuluh darah yang kontak dengan anestetik lokal. Anestetik lokal yang
mempunyai kelarutan lemak yang tinggi akan meningkatkan absorpsi kedalam
jaringan, sehingga mengurangi konsentrasi. Anestetik lokal juga berdifusi ke dalam
ruang epidural dan setelah di ruang epidural akan berdifusi ke dalam pembuluh darah
epidural10.

32
3.4.7. Efek Samping Obat Anestetik Lokal Terhadap Sistem Tubuh4

1. Sistem kardiovaskular
Depresi automatisasi, kontraktilitas, dan kecepatan konduksi miokard.
Dilatasi arteriolar karena relaksasi otot polos.
Dosis besar dapat menyebabkan disritmia atau kolaps sirkulasi.
Injeksi bupivakain intravena mengakibatkan reaksi kardiotoksik yang berat
termasuk hippotensi, blok atrioventrikular, irama idioentrikular, dan aritmia yang
dapa mengancam jiwa seperti takikardia ventrikular dan fibrilasi.
2. Sistem pernafasan
Relaksasi otot polos bronkus.
Henti nafas akibat paralisis saraf frenikus di C3-5, paralisis interkostal atau
depresi langsung pusat pengaturan nafas.
Blokade saraf torakal akan menurunkan aktivitas otot interkostal. Ini hanya
berpengaruh kecil pada volume tidak karena adanya kompensasi diafragma, tapi
hal ini akan menimbulkan penurunan kapasitas vital akibat penurunan signifikan
dari expiratory reserve volume. Pasien ini akan mengalami dispnea dan kesulitan
untuk inspirasi maksimal serta batuk. Blokade torakal juga memicu penurunan
cardiac output dan tekanan arteri pulmonal serta peningkatan ventilasi atau
ketidakseimbangan perfusi yang akan menyebabkan penurunan tekanan oksigen
arteri. Pasien dengan blokade torakal saat bangun harus diberikan oksigen yang
tinggi untuk membantu pernafasan13.
3. Sistem pencernaan14
Inervasi simpatis pada organ-organ abdomen mulai dari T6-L2. Akibat
blokade simpatis, maka kerja parasimpatis meningkat seperti
peningkatan sekresi, relaksasi sfingter dan konstriksi usus. Sekitar 20%
pasien mual dan muntah setelah anestesi spinal dan faktor risiko
terjadinya karena blokade saraf diatas T5, hipotensi, penggunaan
opioid dan riwayat mual muntah sebelumnya. Peningkatan aktivitas
vagal setelah blokade simpatis menyebabkan peningkatan peristaltik
usus yang memicu mual. Dengan demikian, atropine berguna untuk
mengatasi mual setelah blokade spinal yang tinggi.

33
4. Sistem saraf pusat
Sistem saraf pusat rentan terhadap toksisitas obat anestetik lokal
dengan tanda-tanda awal rasa kebas, parestesi lidah, pusing. Keluhan
sensorik berupa tinitus dan pandangan kabur. Tanda eksitasi seperti
kurang istirahat, agitasi, gelisah, paranoid. Tanda adanya depresi
sistem saraf pusat misal bicara tidak jelas/pelo, mudah mengantuk,
kejang, depresi pernafasan, tidak sadar, koma.
5. Imunologi
Golongan ester lebih sering menyebabkan alergi, karena merupakan
derivat para-amino-benzoic acid (PABA) yang dikenal sebagai alergen.
6. Sistem muskuloskeletal
Bersifat miotoksik (bupivakain > lidokain > prokain). Secara histologi,
hiperkontraksi miofibril menyebabkan degenerasi litik, edema, dan
nekrosis. Regenerasi biasanya timbul setelah 3-4 minggu.
7. Ginjal dan hepar
Aliran darah ginjal dipengaruhi oleh tekanan arterial. Bila tidak terjadi
vasokonstriksi di ginjal maka aliran darah ginjal tidak akan menurun
sampai tekanan arteri rata-rata menurun dibawah 50 mmHg. Dengan
begitu, bila tidak terjadi hipotensi berat maka alirah darah ginjal serta
urin output masih dalam batas normal selama anestesi spinal.
Sedangkan aliran darah hepar akan menurun mengikuti derajat dari
hipotensi9.
8. Endokrin dan metabolisme
Anestesi spinal akan menghambat respon hormonal dan respon stres
metabolik yang berhubungan dengan pembedahan. Respon ini berupa
peningkatan ACTH, kortisol, epinefrin, norepinefrin dan vasopresin
serta renin angiotensin aldosteron.

3.4.8. Managemen Efek Samping Pada Anestesi Spinal

34
Efek kardiovaskular harus diantisipasi untuk meminimalkan hipotensi. Hal ini
diantisipasi dengan cara pemberian cairan intravena 10-20 mL/kg pada pasien sehat
akan secara parsial berkompensasi untuk pengisian vena. Walaupun denganusaha ini
hipotensi masih tetap terjadi dan harus ditangani dengan tepat. Penanganan cairan
dapat ditingkatkan dan autotransfusi dapat dilakukan dengan cara menurunkan
kepala pasien. Bradikardi berlebih dan simptomatik harus ditangani dengan
pemberian atropin dan hipotensi diterapi menggunakan vasopresor. Direct -
adrenergic agonis (seperti fenilefrin) meningkatkan tonus vena dan menyebabkan
konstriksi arteriolar, yang menyebabkan peningkatan aliran balik vena dan resistensi
sistemik vaskular. Efek langsung penggunaan efedrin adalah meningkatkan denyut
jantung dan kontraktilitas, sedangkan efek tidak langsung menghasilkan beberapa
vasokonstriksi. Jika hipotensi dan atau bradikardia bertahan meskipun telah intervensi
ini, epinefrin (5-10 g intravena) harus diberikan segera.
Untuk mencegah terjadinya hipotensi maka sebaiknya tetap membatasi
ketinggian blokade simpatis dibawah T1-5 karena saraf simpatis yang keluar dari
segmen tersebut menginervasi simpatis jantung12. Bila terjadi hipotensi maka
penyebab dari hipotensi tersebut harus ditangani dengan baik. Penurunan cardiac
output dan aliran balik vena harus ditangani dan bolus kristaloid sering digunakan
untuk meningkatkan volume vena11. Untuk meminimalkan hipotensi saat anestesi
spinal maka diberikan cairan kristaloid 500-1000 ml intravena sebelum atau saat
blokade saraf12. Penanganan hipotensi sangat penting agar miokardium dan otak tetap
mendapatkan perfusi yang baik. Pemantauan hati-hati terhadap tekanan darah seperti
pemberian oksigen tambahan harus dilakukan saat anestesi spinal. Pemberian cairan
juga harus diawasi dari kelebihan cairan yang akan memicu terjadinya penyakit
jantung kongestif, edema paru yang memerlukan pemasangan kateter setelah
pembedahan. Kateter kandung kemih sendiri juga dapat menimbulkan masalah
infeksi saluran kemih.
Penanganan farmakologi terhadap hipotensi yang utama adalah menggunakan
vasopresor. Gabungan alfa dan beta adrenergik akan lebih baik dibandingkan hanya

35
alfa adrenergik untuk penanganan hipotensi dan ephedrine adalah salah satu
pilihannya11. Atrophine juga bermanfaat namun obat simpatomimetik akan lebih
efektif dibandingkan vagolitik12. Cardiac output dan resistensi vaskular perifer akan
ditingkatkan oleh ephedrine dan akan meningkatkan tekanan darah 11. Jadi pada pasien
dengan hipotensi dan bradikardia sebaiknya digunakan ephedrine, sedangkan
phenylephrine baik untuk pasien dengan hipotensi dan takikardia. Bradikardia
refrakter dengan atau tanpa hipotensi sebaiknya digunakan epinephrine dan dapat
diulang serta ditingkatkan dosisnya sampai efek yang diinginkan9. Selain itu, cara
yang paling efektif dan praktis adalah dengan memposisikan pasien Trendelenburg
atau kepala lebih rendah. Posisi ini tidak boleh lebih dari 20 karena dengan
Trendelenburg yang ekstrim akan memicu penurunan perfusi serebral dan aliran
darah karena meningkatnya tekanan vena jugular. Posisi Trendelenburg ini juga
mengubah ketinggian blok anestesi spinal pada pasien dengan larutan hiperbarik. Hal
ini dapat ditangani dengan meninggikan bagian atas tubuh dengan bantal yang
diletakkan dibawah bahu sementara tetap menjaga bagian bawah tubuh lebih tinggi
dari jantung.

36
Gambar 13. Algoritma penanganan hipotensi setelah anestesi spinal14

37
Tabel 6. Manajemen hipotensi12

Posisi kepala lebih rendah 5


Menjaga volume cairan
Denyut jantung :
<60 kali per menit Atropine 0,3 mg
60-80 kali per menit Ephedrine 3 mg
>80 kali per menit Metaraminol 0,5 mg

Blok saraf frenikus mungkin tidak terjadi bahkan dengan anestesi spinal total,
kejadian apnea dapat diselesaikan dengan resusitasi hemodinamik, hal menunjukkan
bahwa hipoperfusi batang otak lebih bertanggung jawab dari pada blok saraf
frenikus.6
Pasien dengan penyakit paru kronis yang berat dapat mengandalkan otot
aksesori pernapasan (otot interkostal dan abdominal) secara aktif untuk inspirasi atau
ekspirasi. Tingginya level blokade saraf akan merusak otot-otot ini. Demikian pula,
batuk dan pembersihan sekresi memerlukan otot ini untuk ekpirasi. Untuk alasan ini,
blok neuraksial harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan cadangan
pernapasan terbatas. Efek ini perlu dipertimbangkan untuk tidak menggunakan
instrumen jalan napas yang berlebih dan ventilasi tekanan positif . Untuk prosedur
bedah di atas umbilikus , teknik lokal anesteasi murni mungkin tidak menjadi pilihan
terbaik bagi pasien dengan penyakit paru yang parah.6

38
3.4.9.
Komplikasi
Komplikasi dapat dibagi menjadi beberapa kategori sebagai berikut:
ketinggian blokade saraf, lokasi jarum penyuntikkan dan toksisitas obat15.

Ketinggian Blokade Saraf


Dapat menimbulkan hipotensi sampai cardiac arrest dan retensi urin.
Ketinggian blokade saraf bisa terjadi akibat dosis lebih dari anestetik lokal, kegagalan
untuk mengurangi dosis pada pasien-pasien yang rentan terhadap penyebaran berlebih
anestetik lokal (usia tua, hamil, obesitas dan pendek), peningkatan sensitifitas,
penyebaran obat yang berlebih. Gejala awal yang muncul berupa dispnea, rasa kebal
atau kelemahan pada lengan, mual bisa dikarenakan hipoperfusi otak, dan hipotensi
ringan sampai sedang9. Jika penyebaran anestetik lokal sampai pada cervical maka
akan muncul gejala hipotensi berat, bradikardia, gagal nafas. Bila timbul gangguan
kesadaran dan apnea, maka penanganan airway dan breathing berupa pemberian
oksigen, intubasi dan ventilasi mekanik diperlukan. Selanjutnya penangan sirkulasi
berupa pemberian cairan intravena, posisi trendelenburg dan vasopresor15.
1. Hipotensi14
Efek blokade simpatis dari anestesi spinal akan mengubah hemodinamik.
Ketinggian dari blokade saraf akan meninggikan blokade simpatis, yang dapat dilihat
dari perubahan kardiovaskular terutama blokade simpatis T1-L2. Hipotensi dan
bradikardia adalah efek samping yang diakibatkan oleh denervasi simpatis. Faktor
risiko hipotensi antara lain hipovolemia, hipertensi preoperatif, ketinggian blokade
sensoris, usia diatas 40 tahun, obesitas, kombinasi anestesia umum dan regional.
Konsumpsi alkohol kronis, riwayat hipertensi, BMI lebih, ketinggian blokade
sensoris, kedaruratan pembedahan akan meningkatkan hipotensi setelah anestesi
spinal. Hipotensi terjadi berkisar 33% pada populasi non obstetri.
Dilatasi arteri dan vena pada anestesi spinal akan menimbulkan hipotensi.
Dilatasi arteri tidak terjadi maksimal setelah blokade spinal dan otot polos pembuluh
darah akan tetap mempertahankan tonus otonom setelah denervasi simpatis. Karena

39
pertahanan tonus otonom masih ada tersebut, maka resistensi total pembuluh darah
perifer menurun hanya 15-18%, selanjutnya MAP menurun 15-18% bila cardiac
output tidak menurun. Pada pasien dengan penyakit arteri koroner, resistensi
pembuluh darah sistemik akan menurun sampai 33% setelah anestesi spinal.
Sebaliknya setelah anestesi spinal akan terjadi dilatasi vena yang maksimal
bergantung pada letak vena tersebut. Jika vena terletak dibawah atrium kanan,
gravitasi akan mempengaruhi pengisian darah vena perifer. Sedangkan jika vena
terletak diatas atrium kanan, maka aliran balik darah ke jantung akan meningkat.
Aliran balik vena ke jantung atau preload bergantung pada posisi pasien saat anestesi
spinal.
Sebagian besar pasien tidak mengalami perubahan denyut jantung yang
signifikan setelah anestesi spinal, namun usia muda < 50 tahun dan sehat atau ASA 1
mempunyai risiko tinggi untuk bradikardia. Penggunaan beta blocker juga
meningkatkan risiko bradikardia. Insidensi bradikardi pada populasi non obstetri
berkisar 13%. Serabut saraf simpatis yang mengatur denyut jantung keluar dari
segmen T1-T4 dan blokade pada serabut saraf ini akan menimbulkan bradikardia.
Penurunan aliran balik vena juga akan menyebabkan bradikardia karena tekanan
pengisian jantung berkurang dan memicu reseptor regangan intracardiac untuk
menurunkan denyut jantung. Maka dari itu, monitoring terhadap pasien dengan
anestesi spinal penting dan bila terjadi efek samping dapat ditangani dengan cepat
dan tepat.
2. Retensi urin15
Ini terjadi akibat blokade saraf S2-4 yang menurunkan tonus otot kandung
kemih dan menghambat refleks berkemih. Pemasangan kateter urin bermanfaat pada
pembedahan yang cukup lama. Penilaian postoperatif terhadap retensi urin sangat
berguna karena bila terdapat retensi urin yang lama merupakan tanda adanya
kerusakan saraf yang serius9.

Lokasi Penyuntikkan

40
1. Nyeri punggung15
Saat penyuntikkan dengan jarum pada bagian punggung akan memicu repon
peradangan yang akan menghasilkan kekakuan sementara. Gejala dapat berlanjut
lebih dari seminggu. Nyeri punggung ini bisa merupakan tanda awal dari komplikasi
hematoma spinal dan abses.
2. Postdural puncture headache15
Nyeri kepala terjadi akibat kebocoran cairan serebrospinal melewati lubang
pada durameter. Adanya penurunan tekanan intrakaranial akibat kebocoran cairan
serebrospinal. Ketika pasien dalam posisi tegak akan ada traksi pada dura, tentorium
dan pembuluh darah yang menimbulkan nyeri. Gejala berupa nyeri kepala pada posisi
duduk atau berdiri dan berkurang bila berbaring, nyeri kepala bilateral, frontal, retro
orbita, oksipital dan menjalar ke leher. Onset nyeri ini 12-72 jam setelah prosedur.
3. Hematoma spinal15
Insidensi hematoma spinal pada anestesi spinal 1:220.000. adapun faktor yang
meningkatkan risiko hematoma spinal antara lain pemakaian antikoagulan atau
penyakit yang berhubungan dengan koagulasi darah, penyuntikkan anestesi spinal
berulang kali. Perdarahan pada ruang subarachnoid akan mengompresi saraf dan
menimbulkan iskemia dan kerusakan sel saraf. Onset gejala berjalan cepat berupa
nyeri punggung dan tungkai bawah, hilang rasa dan kelemahan progresif, disfungsi
sfingter.

Toksisitas Obat
1. Transcient neurological symptoms15
Gejala dan tanda berupa nyeri punggung bawah menjalar ke tungkai bawah.
Gejala umumnya timbul setelah anestesi spinal lalu berkurang dan kembali menjadi
normal. Ini terjadi antara 1 sampai 24 jam dan bisa terjadi setelah beberapa hari.
Mekanisme pasti belum dapat diketahui namun secara teoritis bahwa lidokain lebih
neurotoksik pada serabut saraf tak bermielin dibandingkan anestetik lokal lainnya.
TNS lebih sering pada pasien dengan anestesi spinal dan posisi litotomi. Posisi ini

41
membuat peregangan pada serabut akar saraf lumbosacral, perfusi menurun dan
membuat saraf lebih mudah mendapatkan efek toksik dari anestetik lokal. Pecegahan
berupa pemakaian bupivakain sebagai alternatif lainnya.
2. Sindrom cauda equina15
Sindrom ini berhubungan dengan teknik kateter spinal dan lidokain 5%.
Sindrom cauda equina bersifat permanen dan berupa disfungsi sfingter, defisit
sensorik-motorik dan parese. Tingkat neurotoksisitas pada anestetik lokal yakni
lidokain = tetrakain > bupivakain > ropivakain.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia 2009.
2. Omuigui . The Anaesthesia Drugs Handbook, 2nd ed, Mosby year Book Inc,
1995.
3. Said A, Kartini A, Ruswan M. Petunjuk praktis anestesiologi: anestetik lokal dan
anestesia regional. Edisi ke-2. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI; 2002.
4. Morgan GE. Clinical Anesthesiology: 44th Edition.
5. Wirawan AY. Perbandingan onset dan durasi blok syaraf spinal antara
penambahan fentanyl 12,5g dengan neostigmin 50 g pada subarachnoid blok
dengan bupivakain 0,5% 12,5 mg hiperbarik untuk operasi daerah panggul dan
ekstremitas bawah [Karya tulis ilmiah akhir]. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran
UGM; 2011.
6. Naiborhu FT. Perbandingan penambahan midazolam 1 mg dan midazolam 2 mg
pada bupivakain 15 mg hiperbarik terhadap lama kerja blokade sensorik anestesi
spinal [Tesis]. Medan: Fakultas Kedokteran USU; 2009.
7. Saleh A. Perbandingan efektivitas pemberian efedrin intramuscular dengan infus
kontinyu dalam mencegah hipotensi pada anestesi spinal [Skripsi]. Surakarta:
Fakultas Kedokteran UNSEMAR; 2009.
8. Samodro R, Sutiyono D, Satoto HH. Mekanisme kerja obat anestesi lokal.
Dalam: Jurnal Anestesiologi Indonesia. Bagian anestesiologi dan terapi intensif
FK UNDIP/RSUP Dr.Kariadi. 2011; 3(1): 48-59.
9. Aitkenhead A, Smith G, Rowbotham D. Texbook of anaesthesia. Fifth edition.
United Kingdom: Churchill livingstone elsevier; 2007
10. Aitkenhead A, Smith G, Rowbotham D. Texbook of anaesthesia. Sixth edition.
United Kingdom: Churchill livingstone elsevier; 2010.
11. The New York School of Regional Anesthesia. Spinal anesthesia. 2013. [Diakses
31 Maret 2015]. (Diakses dari http://www.nysora.com/techniques/neuraxial-and-
perineuraxial-techniques/landmark-based/3423-spinal-anesthesia.html).

43
12. Moos DD. Basic guide to anesthesia for developing countries. Volume 2. 2008.
[Diakses 31 maret 2015]. (Diakses dari http://www.ifna-
int.org/ifna/e107_files/downloads/DCAnesthesiaVolume2Final.pdf).
13. Naiborhu FT. Perbandingan penambahan midazolam 1 mg dan midazolam 2 mg
pada bupivakain 15 mg hiperbarik terhadap lama kerja blokade sensorik anestesi
spinal [Tesis]. Medan: Fakultas Kedokteran USU; 2009.
14. Liu SS, McDonald SB. Current issues in spinal anesthesia. Dalam: Review
article American Society of Anesthesiologist. Anesthesiology. 2001; 94 (5): 888-
906.
15. Matras PJ, Poulton B, Derman S. Self learning package: Pain physiology and
assessment, patient controlled analgesia, epidural and spinal analgesia, nerve
block catheters. Fraserhealth. 2012: 12-13.

44

Anda mungkin juga menyukai