Anda di halaman 1dari 16

Otitis Media Akut

DEFINISI
Otitis Media Akut adalah infeksi telinga tengah oleh bakteri atau virus. Otitis media akut bisa terjadi pada semua usia,
tetapi paling sering ditemukan pada anak-anak terutama usia 3 bulan- 3 tahun.

PENYEBAB
Penyebabnya adalah bakteri atau virus. Biasanya penyakit ini merupakan komplikasi dari infeksi saluran pernafasan atas
(common cold). Virus atau bakteri dari tenggorokan bisa sampai ke telinga tengah melalui tuba eustakius atau kadang
melalui aliran darah. Otitis media akut juga bisa terjadi karena adanya penyumbatan pada sinus atau tuba eustakius
akibat alergi atau pembengkakan amandel.

GEJALA
Biasanya gejala awal berupa sakit telinga yang berat dan menetap. Bisa terjadi gangguan pendengaran yang bersifat
sementara. Anak-anak yang lebih muda bisa mengalami mual, muntah, diare dan demam sampai 40,5? Celsius. Gendang
telinga melami peradangan dan menonjol. Jika gendang telinga robek, akan keluar cairan yang pada awalnya mengandung
darah lalu berubah menjadi cairan jernih dan akhirnya berupa nanah.

KOMPLIKASI

Komplikasi yang serius adalah:

Infeksi pada tulang di sekitar telinga tengah ( mastoiditis atau petrositis)

Labirintitis (infeksi pada kanalis semisirkuler)

Kelumpuhan pada wajah

Tuli

Peradangan pada selaput otak (meningitis)

Abses otak.

Tanda-tanda terjadinya komplikasi:


- sakit kepala
- tuli yang terjadi secara mendadak
- vertigo (perasaan berputar)
- demam dan menggigil.

DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan telinga dengan otoskop. Untuk menentukan organisme
penyebabnya dilakukan pembiakan terhadap nanah atau cairan lainnya dari telinga.

PENGOBATAN
Infeksi diobati dengan antibiotika per-oral (melalui mulut). Pilihan pertama adalah amoxicillin, tetapi untuk penderita
dewasa bisa diberikan penisilin dosis tinggi. Obat flu yang mengandung phenilephrine bisa membantu membuka tuba
eustakius dan jika terdapat alergi bisa diberikan antihistamin.

Miringotomi dilakukan jika nyerinya menetap atau hebat, demam, muntah atau diare atau jika gendang telinga menonjol.
Pada prosedur ini dibuat sebuah lubang pada gendang telinga untuk mengeluarkan cairan dari telinga tengah. Pembuatan
lubang ini tidak akan mengganggu fungsi pendengaran penderita dan nantinya akan menutup kembali dengan sendirinya.
ASKEP KEJANG DEMAM

DEFINISI KEJANG DEMAM


Kejang demam adalah kebangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 380C) yang
disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai
pada anak, terutama pada golongan umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3% daripada anak yang berumur di bawah 5
tahun pernah menderitanya (Millichap, 1968) (Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2002).
Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang mengakibatkan suatu kerusakan kesadaran,
gerak, sensasi atau memori yang bersifat sementara (Hudak and Gallo,1996).
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada suhu badan yang tinggi yang disebabkan oleh kelainan ekstrakranial.
Derajat tinggi suhu yang dianggap cukup untuk diagnosa kejang demam adalah 380C atau lebih (Soetomenggolo, 1989;
Lumbantobing, 1995). Kejang terjadi akibat loncatan listrik abnormal dari sekelompok neuron otak yang mendadak dan
lebih dari biasanya, yang meluas ke neuron sekitarnya atau dari substansia grasia ke substansia alba yang disebabkan oleh
demam dari luar otak (Freeman, 1980).
ETIOLOGI
Semua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang
demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas, otitis media
akut(cairan telinga yang tidak segera dibersihkan akan merembes ke saraf di kepala pada otak akan menyebabkan kejang
demam), pneumonia(Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus. Saat ini makin banyak saja
virus yang berhasil diidentifikasi. Meski virus-virus ini kebanyakan menyerang saluran pernapasan bagian atas-terutama
pada anak-anak- gangguan ini bisa memicu pneumonia. Untunglah, sebagian besar pneumonia jenis ini tidak berat dan
sembuh dalam waktu singkat. Namun bila infeksi terjadi bersamaan dengan virus influensa, gangguan bisa berat dan
kadang menyebabkan kematian, Virus yang menginfeksi paru akan berkembang biak walau tidak terlihat jaringan paru
yang dipenuhi cairan. Gejala Pneumonia oleh virus sama saja dengan influensa, yaitu demam, batuk kering sakit kepala,
ngilu diseluruh tubuh. Dan letih lesu, selama 12 ? 136 jam, napas menjadi sesak, batuk makin hebat dan menghasilkan
sejumlah lendir. Demam tinggi kadang membuat bibir menjadi biru), gastroenteritis akut, exantema subitum (Penyakit
eksantema virus yang sering menyerang bayi (infants) dan anak-anak (young children). Ditandai dengan demam tinggi yang
mendadak dan sakit tenggorokan ringan. Beberapa hari kemudian terdapat suatu faint pinkish rash yng berlangsung
selama beberapa jam hingga beberapa hari.
) salah satu komplikasinya adalah kejang demam, bronchitis, dan infeksi saluran kemih (Goodridge, 1987; Soetomenggolo,
1989). Selain itu juga infeksi diluar susunan syaraf pusat seperti tonsillitis, faringitis, forunkulosis serta pasca imunisasi
DPT (pertusis) dan campak (morbili) dapat menyebabkan kejang demam.
Faktor lain yang mungkin berperan terhadap terjadinya kejang demam adalah :
1. Produk toksik mikroorganisme terhadap otak (shigellosis, salmonellosis)
2. Respon alergi atau keadaan imun yang abnormal oleh karena infeksi.
3. Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit.
4. Gabungan dari faktor-faktor diatas.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kejang demam berulang antara lain:
1. Usia < 15 bulan saat kejang demam pertama
2. Riwayat kejang demam dalam keluarga
3. Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam atau saat suhu sudah relatif normal
4. Riwayat demam yang sering
5. Kejang pertama adalah complex febrile seizure
Perbedaan kejang demam dengan epilepsi yaitu pada epilepsi, tidak disertai demam. Epilepsi merupakan faktor bawaan
yang disebabkan karena gangguan keseimbangan kimiawi sel-sel otak yang mencetuskan muatan listrik berlebihan di otak
secara tiba-tiba. Penderita epilepsi adalah seseorang yang mempunyai bawaan ambang rangsang rendah terhadap cetusan
tersebut. Cetusan bisa di beberapa bagian otak dan gejalanya beraneka ragam. Serangan epilepsi sering terjadi pada saat
ia mengalami stres, jiwanya tertekan, sangat capai, atau adakalanya karena terkena sinar lampu yang tajam.
PATOFISIOLOGI
1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler
2. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi, atau aliran listrik dari sekitarnya
3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan

Pada keadaan demam, kenaikan suhu 10C akan menyebabkan kenaikan metabolisme basal (jumlah minimal energi yang
dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi vital tubuh) sebanyak 10-15% dan kebutuhan oksigen meningkat 20%. Pada anak
balita aliran darah ke otak mencapai 65% dari aliran darah ke seluruh tubuh, sedangkan pada orang dewasa aliran darah
ke otak hanya 15%. Jadi, pada balita dengan kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari
membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun natrium melalui membran sel
neuron tadi, sehingga mengakibatkan terjadinya pelepasan muatan listrik. Besarnya muatan listrik yang terlepas sehingga
dapat meluas/menyebar ke seluruh sel maupun ke membran sel lainnya dengan bantuan bahan yang disebut
neurotransmitter. Akibatnya terjadi kekakuan otot sehingga terjadi kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seorang anak.
Ada anak yang ambang kejangnya rendah, kejang telah terjadi pada suhu 380C, sedangkan pada anak dengan ambang
kejang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 400C.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan laboratorium
Perlu diadakan pemeriksaan laboratorium segera, berupa pemeriksaan gula dengan cara dextrosfrx dan fungsi lumbal. Hal
ini berguna untuk menentukan sikap terhadap pengobatan hipoglikemia dan meningitis bakterilisasi. Selain itu pemeriksaan
laboratorium lainnya yaitu:
1. Pemeriksaan darah rutin ; Hb, Ht dan Trombosit. Pemeriksaan darah rutin secara berkala penting untuk memantau
pendarahan intraventikuler.
2. Pemeriksaan gula darah, kalsium, magnesium, kalium, urea, nitrogen, amonia dan analisis gas darah.
3. Fungsi lumbal, untuk menentukan perdarahan, peradangan, pemeriksaan kimia. Bila cairan serebro spinal berdarah,
sebagian cairan harus diputar, dan bila cairan supranatan berwarna kuning menandakan adanya xantrokromia. Untuk
mengatasi terjadinya trauma pada fungsi lumbal dapat di kerjakan hitung butir darah merah pada ketiga tabung yang diisi
cairan serebro spinal
4. Pemeriksaan EKG dapat mendekteksi adanya hipokalsemia
5. Pemeriksaan EEG penting untuk menegakkan diagnosa kejang. EEG juga diperlukan untuk menentukan pragnosis pada
bayi cukup bulan. Bayi yang menunjukkan EEG latar belakang abnormal dan terdapat gelombang tajam multifokal atau
dengan brust supresion atau bentuk isoelektrik. Mempunyai prognosis yang tidak baik dan hanya 12 % diantaranya
mempunyai / menunjukkan perkembangan normal. Pemeriksaan EEG dapat juga digunakan untuk menentukan lamanya
pengobatan. EEG pada bayi prematur dengan kejang tidak dapat meramalkan prognosis.
6. Bila terdapat indikasi, pemeriksaan lab, dilanjutkan untuk mendapatkan diagnosis yang pasti yaitu mencakup :
MANIFESTASI KLINIK
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat
yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat, otitis media akuta, bronkitis, furunkulosis dan lain-lain.
Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan
dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Namun anak akan
terbangun dan sadar kembali setelah beberapa detik atau menit tanpa adanya kelainan neurologik.
Gejala yang mungkin timbul saat anak mengalami Kejang Demam antara lain : anak mengalami demam (terutama demam
tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang terjadi secara tiba-tiba), kejang tonik-klonik atau grand mal, pingsan yang
berlangsung selama 30 detik-5 menit (hampir selalu terjadi pada anak-anak yang mengalami kejang demam).
Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya berlangsung selama 10-20 detik), gerakan klonik
(kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama, biasanya berlangsung selama 1-2 menit), lidah atau pipinya tergigit,
gigi atau rahangnya terkatup rapat, inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya), gangguan
pernafasan, apneu (henti nafas), dan kulitnya kebiruan.
Saat kejang, anak akan mengalami berbagai macam gejala seperti :
1. Anak hilang kesadaran
2. Tangan dan kaki kaku atau tersentak-sentak
3. Sulit bernapas
4. Busa di mulut
5. Wajah dan kulit menjadi pucat atau kebiruan
6. Mata berputar-putar, sehingga hanya putih mata yang terlihat.
Livingston membuat kriteria dan membagi kejang demam atas 2 golongan, yaitu:
1. Kejang demam sederhana (simple febrile confulsion)
2. Epilepsi yang di provokasi oleh demam (epilepsy triggered of by fever)
Kriteria livingston tersebut setelah dimodifikasi dipakai sebagai sebuah pedoman untuk membuat diagnosa kejang demam
sederhana yaitu:
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit
3. Kejang bersifat umum
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang demam normal
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak menunjukan kelainan
7. Frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali
Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria modifikasi Livingston di atas digolongkan
pada epilepsi yang diprovokasi oleh demam, kejang ini mempunyai suatu dasar kelainan yang menyebabkan timbulnya
kejang, sedangkan demam hanya merupakan faktor pencetus saja.
1. PENATALAKSANAAN MEDIS DAN KEPERAWATAN
Dalam penanggulangan kejang demam ada 6 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu :
1. Mengatasi kejang secepat mungkin
2. Pengobatan penunjang
3. Memberikan pengobatan rumat
4. Mencari dan mengobati penyebab
5. Mencegah terjadinya kejang dengan cara anak jangan sampai panas
6. Pengobatan akut
7. Mengatasi kejang secepat mungkin
Sebagai orang tua jika mengetahui seorang kejang demam, tindakan yang perlu kita lakukan secepat mungkin adalah
semua pakaian yang ketat dibuka. Kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung. Penting sekali
mengusahakan jalan nafas yang bebas agar oksigenasi terjamin. Dan bisa juga diberikan sesuatu benda yang bisa digigit
seperti kain, sendok balut kain yang berguna mencegah tergigitnya lidah atau tertutupnya jalan nafas. Bila suhu penderita
meninggi, dapat dilakukan kompres dengan es/alkohol atau dapat juga diberi obat penurun panas/antipiretik
ASUHAN KEPERAWATAN
1. 1. Pengkajian
1. Aktivitas / istirahat : keletihan, kelemahan umum, perubahan tonus / kekuatan otot. Gerakan involunter
2. Sirkulasi : peningkatan nadi, sianosis, tanda vital tidak normal atau depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan
3. Integritas ego : stressor eksternal / internal yang berhubungan dengan keadaan dan atau penanganan, peka
rangsangan.
4. Eliminasi : inkontinensia episodik, peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus spinkter
5. Makanan / cairan : sensitivitas terhadap makanan, mual dan muntah yang berhubungan dengan aktivitas kejang,
kerusakan jaringan lunak / gigi
6. Neurosensor : aktivitas kejang berulang, riwayat truma kepala dan infeksi serebra
7. g. Riwayat jatuh / trauma
1. 2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
1) Resiko tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi otot.
2) Resiko tinggi terhadap inefektifnya bersihan jalan nafas b/d kerusakan neoromuskular
3) Resiko kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh
Intervensi
Diagnosa 1
Resiko tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi otot
Tujuan:Cidera/trauma tidak terjadi
Kriteria hasil:Faktor penyebab diketahui, mempertahankan aturan pengobatan, meningkatkan keamanan lingkungan
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri
1. Kaji dengan keluarga berbagai stimulus pencetus kejang.
2. Observasi keadaan umum, sebelum, selama, dan sesudah kejang.
3. Catat tipe dari aktivitas kejang dan beberapa kali terjadi.
4. Lakukan penilaian neurology, tanda-tanda vital setelah kejang.
5. Lindungi klien dari trauma atau kejang.
6. Berikan kenyamanan bagi klien.
Kolaborasi
7. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi anti compulsan 1. Demam, berbagai obat dan stimulasi lain (spt
kurang tidur, lampu yang terlalu terang) dapat meningkatkan aktivitas otak, yang selanjutnya meningkatkan risiko
terjadinya kejang.
2. membedakan tanda dan gejala kejang sebelum, selama, dan sesudah kejang untuk mengetahui seberapa besar tingkat
kerusakan pada klien
3. membantu untuk melokalisasi daerah otak yang terkena
4. mencatat keadaan posiktal dan waktu penyembuhan pada keadaan normal
5. mencegah terjadinya cedera pasca kejang
6. dengan adanya rasa nyaman klien akan merasa lebih tenang dan dengan adanya rasa nyaman ini akan membantu dalam
proses penyembuhan.
7. untuk mencegah terjadinya kejang berulang
Evaluasi
Trauma tidak terjadi
Diagnosa 2
Resiko tinggi terhadap inefektifnya bersihan jalan nafas b/d kerusakan neuromuskular
Tujuan:Inefektifitasnya bersihan jalan napas
Kriteria hasil :Jalan napas bersih dari sumbatan, suara napas vesikuler, sekresi mukosa tidak ada, RR dalam batas normal
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri
1. Observasi tanda-tanda vital, atur posisi tidur klien fowler atau semi fowler.
2. Lakukan penghisapan lendir,
3. hindari hiperekstensi leher
Kolaborasi
4. kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi O2 1.. tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum
pasien, posisi fowler/semifowler dapat meningkatkan ekspansi dada maksimal, membuat mudah bernapas sehingga
meningkatkan kenyamanan.
2. mencegah terjadinya penumpukan lendir, dan mempermudah jalan napas.
3. dapat menghambat jalan napas
4. pemberian terapi bertujuan untuk mempertahankan PaO2 di atas 60 mmHg.
Evaluasi
Inefektifnya bersihan jalan napas tidak terjadi
Diagnosa 3
Resiko kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh
Tujuan:Aktivitas kejang tidak berulang
Kriteria hasil:Kejang dapat dikontrol, suhu tubuh kembali normal
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji factor pencetus kejang.
2. Libatkan keluarga dalam pemberian tindakan pada klien.
3. Observasi tanda-tanda vital.
4. Lindungi anak dari trauma.
5. Berikan kompres dingin pada daerah dahi dan ketiak. 1. mencegah terjadinya peningkatan aktifitas otak yang
selanjutnya dapat meningkatkan risiko terjadinya kejang.
2. keterlibatan keluarga sangat berarti dalam proses penyembuhan pasien anak dan mempererat hubungan psikologis anak
dengan orang tua 3.tanda-tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
4.mencegah terjadinya cedera pasca kejang 5kompres dingin dapat atau akan
menurunkan suhu tubuh
Definisi dan Anatomi Telinga

Otitis media adalah infeksi atau inflamasi (inflamasi: peradangan) di telinga tengah.1,2

Telinga sendiri terbagi menjadi tiga bagian: telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam (ilustrasi pembagian telinga
dapat dilihat dihttp://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/imagepages/1092.htm).1,3 Telinga tengah adalah daerah yang
dibatasi dengan dunia luar oleh gendang telinga. Daerah ini menghubungkan suara dengan alat pendengaran di telinga
dalam. Selain itu di daerah ini terdapat saluran Eustachius yang menghubungkan telinga tengah dengan rongga hidung
belakang dan tenggorokan bagian atas. Guna saluran ini adalah:

menjaga keseimbangan tekanan udara di dalam telinga dan menyesuaikannya dengan tekanan udara di dunia luar.

mengalirkan sedikit lendir yang dihasilkan sel-sel yang melapisi telinga tengah ke bagian belakang hidung.

Bagaimana Otitis Media Terjadi

Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang tenggorokan atau pilek yang menyebar ke
telinga tengah lewat saluran Eustachius.1 Saat bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di
saluran tersebut sehingga terjadi pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya saluran, dan datangnya sel-sel darah
putih untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri dengan mengorbankan diri mereka sendiri.
Sebagai hasilnya terbentuklah nanah dalam telinga tengah. Selain itu pembengkakan jaringan sekitar saluran Eustachius
menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah terkumpul di belakang gendang telinga.

Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu karena gendang telinga dan tulang-tulang kecil
penghubung gendang telinga dengan organ pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas. Kehilangan
pendengaran yang dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan halus). 2Namun cairan yang lebih banyak dapat
menyebabkan gangguan pendengaran hingga 45 desibel (kisaran pembicaraan normal). Selain itu telinga juga akan terasa
nyeri.1 Dan yang paling berat, cairan yang terlalu banyak tersebut akhirnya dapat merobek gendang telinga karena
tekanannya.

Sebagaimana halnya dengan kejadian infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), otitis media juga merupakan salah satu
penyakit langganan anak. Di Amerika Serikat, diperkirakan 75% anak mengalami setidaknya satu episode otitis media
sebelum usia tiga tahun dan hampir setengah dari mereka mengalaminya tiga kali atau lebih. Di Inggris, setidaknya 25%
anak mengalami minimal satu episode sebelum usia sepuluh tahun. 4 Di negara tersebut otitis media paling sering terjadi
pada usia 3-6 tahun.

Penyebab

Penyebab otitis media akut (OMA) dapat merupakan virus maupun bakteri. 4,5 Pada 25% pasien, tidak ditemukan
mikroorganisme penyebabnya. Virus ditemukan pada 25% kasus dan kadang menginfeksi telinga tengah bersama bakteri.
Bakteri penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus pneumoniae, diikuti oleh Haemophilus influenzae dan
Moraxella cattarhalis. Yang perlu diingat pada OMA, walaupun sebagian besar kasus disebabkan oleh bakteri, hanya
sedikit kasus yang membutuhkan antibiotik. Hal ini dimungkinkan karena tanpa antibiotik pun saluran Eustachius akan
terbuka kembali sehingga bakteri akan tersingkir bersama aliran lendir.

Mengapa Anak Lebih Mudah Terserang OMA

Anak lebih mudah terserang otitis media dibanding orang dewasa karena beberapa hal. 1

sistem kekebalan tubuh anak masih dalam perkembangan.

saluran Eustachius pada anak lebih lurus secara horizontal dan lebih pendek sehingga ISPA lebih mudah menyebar
ke telinga tengah.
adenoid (adenoid: salah satu organ di tenggorokan bagian atas yang berperan dalam kekebalan tubuh) pada anak
relatif lebih besar dibanding orang dewasa. Posisi adenoid berdekatan dengan muara saluran Eustachius sehingga adenoid
yang besar dapat mengganggu terbukanya saluran Eustachius. Selain itu adenoid sendiri dapat terinfeksi di mana infeksi
tersebut kemudian menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius.

Diagnosis

Diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut. 6

1. Penyakitnya muncul mendadak (akut)

2. Ditemukannya tanda efusi (efusi: pengumpulan cairan di suatu rongga tubuh) di telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan
adanya salah satu di antara tanda berikut:

a. menggembungnya gendang telinga

b. terbatas/tidak adanya gerakan gendang telinga

c. adanya bayangan cairan di belakang gendang telinga

d. cairan yang keluar dari telinga

3. Adanya tanda/gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut:

a. kemerahan pada gendang telinga

b. nyeri telinga yang mengganggu tidur dan aktivitas normal

Anak dengan OMA dapat mengalami nyeri telinga atau riwayat menarik-narik daun telinga pada bayi, keluarnya cairan dari
telinga, berkurangnya pendengaran, demam, sulit makan, mual dan muntah, serta rewel. 4,6,7 Namun gejala-gejala ini (kecuali
keluarnya cairan dari telinga) tidak spesifik untuk OMA sehingga diagnosis OMA tidak dapat didasarkan pada riwayat
semata.6

Efusi telinga tengah diperiksa dengan otoskop (alat untuk memeriksa liang dan gendang telinga dengan jelas). 4 Dengan
otoskop dapat dilihat adanya gendang telinga yang menggembung, perubahan warna gendang telinga menjadi kemerahan
atau agak kuning dan suram, serta cairan di liang telinga.

Jika konfirmasi diperlukan, umumnya dilakukan dengan otoskopi pneumatik (pemeriksaan telinga dengan otoskop untuk
melihat gendang telinga yang dilengkapi dengan pompa udara kecil untuk menilai respon gendang telinga terhadap
perubahan tekanan udara).6 Gerakan gendang telinga yang berkurang atau tidak ada sama sekali dapat dilihat dengan
pemeriksaan ini. Pemeriksaan ini meningkatkan sensitivitas diagnosis OMA. Namun umumnya diagnosis OMA dapat
ditegakkan dengan otoskop biasa.4

Efusi telinga tengah juga dapat dibuktikan dengan timpanosentesis (penusukan terhadap gendang telinga). 6 Namun
timpanosentesis tidak dilakukan pada sembarang anak. Indikasi perlunya timpanosentesis antara lain adalah OMA pada
bayi di bawah usia enam minggu dengan riwayat perawatan intensif di rumah sakit, anak dengan gangguan kekebalan
tubuh, anak yang tidak memberi respon pada beberapa pemberian antibiotik, atau dengan gejala sangat berat dan
komplikasi.8

OMA harus dibedakan dari otitis media dengan efusi yang dapat menyerupai OMA. Untuk membedakannya dapat
diperhatikan hal-hal berikut.4

Gejala dan tanda OMA Otitis media dengan efusi


Nyeri telinga, demam, rewel + -
Efusi telinga tengah + +
Gendang telinga suram + +/-
Gendang yang menggembung +/- -
Gerakan gendang berkurang + +
Berkurangnya pendengaran + +

Penanganan

Antibiotik

OMA umumnya adalah penyakit yang akan sembuh dengan sendirinya. 4 Sekitar 80% OMA sembuh dalam 3 hari tanpa
antibiotik. Penggunaan antibiotik tidak mengurangi komplikasi yang dapat terjadi, termasuk berkurangnya
pendengaran.4,9 Observasi dapat dilakukan pada sebagian besar kasus. Jika gejala tidak membaik dalam 48-72 jam atau
ada perburukan gejala, antibiotik diberikan. 4,6 American Academy of Pediatrics (AAP) mengkategorikan OMA yang dapat
diobservasi dan yang harus segera diterapi dengan antibiotik sebagai berikut: 6

Usia Diagnosis pasti Diagnosis meragukan

< 6 bln Antibiotik Antibiotik


6 bln 2 th Antibiotik Antibiotik jika gejala berat; observasi jika gejala ringan
2 thn Antibiotik jika gejala berat; observasi Observasi
jika gejala ringan

Yang dimaksud dengan gejala ringan adalah nyeri telinga ringan dan demam <39C dalam 24 jam terakhir. Sedangkan
gejala berat adalah nyeri telinga sedang berat atau demam 39C.

Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan pada anak usia enam bulan dua tahun dengan gejala ringan
saat pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di atas dua tahun. Untuk dapat memilih observasi, follow-up harus
dipastikan dapat terlaksana. Analgesia tetap diberikan pada masa observasi.

British Medical Journal memberikan kriteria yang sedikit berbeda untuk menerapkan observasi ini. 10Menurut BMJ, pilihan
observasi dapat dilakukan terutama pada anak tanpa gejala umum seperti demam dan muntah.

Jika diputuskan untuk memberikan antibiotik, pilihan pertama untuk sebagian besar anak adalah amoxicillin. 4,6,7

Sumber seperti AAFP (American Academy of Family Physician) menganjurkan pemberian 40 mg/kg berat badan/hari
pada anak dengan risiko rendah dan 80 mg/kg berat badan/hari untuk anak dengan risiko tinggi. 7,11 Risiko tinggi yang
dimaksud antara lain adalah usia kurang dari dua tahun, dirawat sehari-hari di daycare, dan ada riwayat pemberian
antibiotik dalam tiga bulan terakhir.

WHO menganjurkan 15 mg/kg berat badan/pemberian dengan maksimumnya 500 mg. 5

AAP menganjurkan dosis 80-90 mg/kg berat badan/hari.6 Dosis ini terkait dengan meningkatnya persentase bakteri
yang tidak dapat diatasi dengan dosis standar di Amerika Serikat. Sampai saat ini di Indonesia tidak ada data yang
mengemukakan hal serupa, sehingga pilihan yang bijak adalah menggunakan dosis 40 mg/kg/hari. Dokumentasi adanya
bakteri yang resisten terhadap dosis standar harus didasari hasil kultur dan tes resistensi terhadap antibiotik.
Antibiotik pada OMA akan menghasilkan perbaikan gejala dalam 48-72 jam. 6 Dalam 24 jam pertama terjadi stabilisasi,
sedang dalam 24 jam kedua mulai terjadi perbaikan. Jika pasien tidak membaik dalam 48-72 jam, kemungkinan ada
penyakit lain atau pengobatan yang diberikan tidak memadai. Dalam kasus seperti ini dipertimbangkan pemberian
antibiotik lini kedua. Misalnya:

Pada pasien dengan gejala berat atau OMA yang kemungkinan disebabkan Haemophilus influenzae dan Moraxella
catarrhalis, antibiotik yang kemudian dipilih adalah amoxicillin-clavulanate. 6 Sumber lain menyatakan pemberian
amoxicillin-clavulanate dilakukan jika gejala tidak membaik dalam tujuh hari atau kembali muncul dalam 14 hari. 4

Jika pasien alergi ringan terhadap amoxicillin, dapat diberikan cephalosporin seperti cefdinir, cefpodoxime, atau
cefuroxime.

Pada alergi berat terhadap amoxicillin, yang diberikan adalah azithromycin atau clarithromycin. 4,6

Pilihan lainnya adalah erythromycin-sulfisoxazole atau sulfamethoxazole-trimethoprim. 5,6 Namun kedua kombinasi ini
bukan pilihan pada OMA yang tidak membaik dengan amoxicillin. 4,6

Jika pemberian amoxicillin-clavulanate juga tidak memberikan hasil, pilihan yang diambil adalah ceftriaxone selama tiga
hari.6

Perlu diperhatikan bahwa cephalosporin yang digunakan pada OMA umumnya merupakan generasi kedua atau generasi
ketiga dengan spektrum luas. Demikian juga azythromycin atau clarythromycin. Antibiotik dengan spektrum luas,
walaupun dapat membunuh lebih banyak jenis bakteri, memiliki risiko yang lebih besar. Bakteri normal di tubuh akan
dapat terbunuh sehingga keseimbangan flora di tubuh terganggu. Selain itu risiko terbentuknya bakteri yang resisten
terhadap antibiotik akan lebih besar. Karenanya, pilihan ini hanya digunakan pada kasus-kasus dengan indikasi jelas
penggunaan antibiotik lini kedua.

Pemberian antibiotik pada otitis media dilakukan selama sepuluh hari pada anak berusia di bawah dua tahun atau anak
dengan gejala berat.6 Pada usia enam tahun ke atas, pemberian antibiotik cukup 5-7 hari. Di Inggris, anjuran pemberian
antibiotik adalah 3-7 hari atau lima hari. 4 Ulasan dari Cochrane menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna antara
pemberian antibiotik dalam jangka waktu kurang dari tujuh hari dibandingkan dengan pemberian lebih dari tujuh hari. Dan
karena itu pemberian antibiotik selama lima hari dianggap cukup pada otitis media. Pemberian antibiotik dalam waktu yang
lebih lama meningkatkan risiko efek samping dan resistensi bakteri.

Analgesia/pereda nyeri

Selain antibiotik, penanganan OMA selayaknya disertai penghilang nyeri (analgesia). 4,6 Analgesia yang umumnya digunakan
adalah analgesia sederhana seperti paracetamol atau ibuprofen. Namun perlu diperhatikan bahwa pada penggunaan
ibuprofen, harus dipastikan bahwa anak tidak mengalami gangguan pencernaan seperti muntah atau diare karena
ibuprofen dapat memperparah iritasi saluran cerna.

Lain-lain

Pemberian obat-obatan lain seperti antihistamin (antialergi) atau dekongestan tidak memberikan manfaat bagi anak. 4

Pemberian kortikosteroid juga tidak dianjurkan. 7

Myringotomy (myringotomy: melubangi gendang telinga untuk mengeluarkan cairan yang menumpuk di belakangnya)
juga hanya dilakukan pada kasus-kasus khusus di mana terjadi gejala yang sangat berat atau ada komplikasi. 4 Cairan yang
keluar harus dikultur.

Pemberian antibiotik sebagai profilaksis untuk mencegah berulangnya OMA tidak memiliki bukti yang cukup. 4

Pencegahan

Beberapa hal yang tampaknya dapat mengurangi risiko OMA adalah:

pencegahan ISPA pada bayi dan anak-anak,


pemberian ASI minimal selama 6 bulan,

penghindaran pemberian susu di botol saat anak berbaring,

dan penghindaran pajanan terhadap asap rokok. 4,6

Berenang kemungkinan besar tidak meningkatkan risiko OMA. 4

Komplikasi

Otitis media kronik ditandai dengan riwayat keluarnya cairan secara kronik dari satu atau dua telinga. 5Jika gendang
telinga telah pecah lebih dari 2 minggu, risiko infeksi menjadi sangat umum. Umumnya penanganan yang dilakukan adalah
mencuci telinga dan mengeringkannya selama beberapa minggu hingga cairan tidak lagi keluar.

Otitis media yang tidak diobati dapat menyebar ke jaringan sekitar telinga tengah, termasuk otak. 3Namun komplikasi ini
umumnya jarang terjadi.4 Salah satunya adalah mastoiditis pada 1 dari 1000 anak dengan OMA yangtidak diobati.

Otitis media yang tidak diatasi juga dapat menyebabkan kehilangan pendengaran permanen. 3 Cairan di telinga tengah dan
otitis media kronik dapat mengurangi pendengaran anak serta menyebabkan masalah dalam kemampuan bicara dan bahasa.

Otitis media dengan efusi didiagnosis jika cairan bertahan dalam telinga tengah selama 3 bulan atau lebih. 4

Rujukan

Beberapa keadaan yang memerlukan rujukan pada ahli THT adalah;

Anak dengan episode OMA yang sering. Definisi sering adalah lebih dari 4 episode dalam 6 bulan. 4Sumber lain
menyatakan sering adalah lebih dari 3 kali dalam 6 bulan atau lebih dari 4 kali dalam satu tahun 7

Anak dengan efusi selama 3 bulan atau lebih, keluarnya cairan dari telinga, atau berlubangnya gendang telinga 4,7

Anak dengan kemungkinan komplikasi serius seperti kelumpuhan saraf wajah atau mastoiditis (mastoiditis: peradangan
bagian tulang tengkorak, kurang lebih terletak pada tonjolan tulang di belakang telinga) 7

Anak dengan kelainan kraniofasial (kraniofasial: kepala dan wajah), sindrom Down, sumbing, atau dengan
keterlambatan bicara7

OMA dengan gejala sedang-berat yang tidak memberi respon terhadap 2 antibiotik 7
Otitis Media Supuratif Akut (OMA)
Posted on Januari 28, 2009 by idmgarut

Otitis media supuratif akut (OMA) adalah otitis media yang berlangsung selama 3 minggu atau kurang karena
infeksi bakteri piogenik. Bakteri piogenik sebagai penyebabnya yang tersering yaitu Streptokokus hemolitikus,
Stafilokokus aureus, dan Pneumokokus. Kadang-kadang bakteri penyebabnya yaitu Hemofilus influenza, Escheria colli,
Streptokokus anhemolitikus, Proteus vulgaris, Pseudomonas aerugenosa. Hemofilus influenza merupakan bakteri yang
paling sering kita temukan pada pasien anak berumur dibawah 5 tahun.

otitis media adalah infeksi pada rongga telinga tengah , sering diderita oleh bayi dan anak-anak, penyebabnya
infeksi virus atau bakteri. Pada penyakit bawaan spt down syndrome dan anak dgn alergi sering terjadi. Terapi antibiotika
dan kunjungan ke dr. tht dalam proses perbaikan sangat disarankan.

Komplikasi yang bisa timbul jika otitis media tidak segera diobati adalah mastoiditis, perforasi gendang telia
dgn cairan yang terus menerus keluar. Komplikasi lebih lanjut seperti infeksi ke otak walau jarang masih mungkin terjadi,
sumbatan pembuluh darah akibat tromboemboli juga bisa terjadi.

Disarankan segera bawa anak anda bila rewel dan memegang-megang telinga, tidak nyaman merebah demam dan
keluar cairan pada telinga. Bila anda memeriksakan secara dini otitis media bisa dicegah sebelum memberikan kerusakan
lebih lanjut dengan paracentesis atau miringotomi.

Faktor pencetus terjadinya otitis media supuratif akut (OMA), yaitu :

Infeksi saluran napas atas. Otitis media supuratif akut (OMA) dapat didahului oleh infeksi saluran napas atas
yang terjadi terutama pada pasien anak-anak.
Gangguan faktor pertahanan tubuh. Faktor pertahanan tubuh seperti silia dari mukosa tuba Eustachius, enzim, dan
antibodi. Faktor ini akan mencegah masuknya mikroba ke dalam telinga tengah. Tersumbatnya tuba Eustachius merupakan
pencetus utama terjadinya otitis media supuratif akut (OMA). Usia pasien. Bayi lebih mudah menderita otitis media
supuratif akut (OMA) karena letak tuba Eustachius yang lebih pendek, lebih lebar dan lebih horisontal.
Stadium Otitis Media Supuratif Akut (OMA)

Ada 5 stadium otitis media supuratif akut (OMA) berdasarkan perubahan mukosa telinga tengah, yaitu :

Oklusi tuba Eustachius.

Hiperemis (pre supurasi).


Supurasi.

Perforasi.

Resolusi.

1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius

Stadium oklusi tuba Eustachius terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi membrana
timpani akibat tekanan negatif dalam telinga tengah karena terjadinya absorpsi udara. Selain retraksi,
membrana timpani kadang-kadang tetap normal atau hanya berwarna keruh pucat atau terjadi efusi. Stadium
oklusi tuba Eustachius dari otitis media supuratif akut (OMA) sulit kita bedakan dengan tanda dari otitis media
serosa yang disebabkan virus dan alergi.

2. Stadium Hiperemis (Pre Supurasi)

Stadium hiperemis (pre supurasi) akibat pelebaran pembuluh darah di membran timpani yang ditandai oleh
membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat.

3. Stadium Supurasi

Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen (nanah). Selain itu edema pada mukosa
telinga tengah makin hebat dan sel epitel superfisial hancur. Ketiganya menyebabkan terjadinya bulging
(penonjolan) membrana timpani ke arah liang telinga luar. Pasien akan tampak sangat sakit, nadi & suhu
meningkat dan rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Anak selalu gelisah dan tidak bisa tidur nyenyak. Stadium
supurasi yang berlanjut dan tidak tertangani dengan baik akan menimbulkan ruptur membran timpani akibat
timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa membran timpani. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna
kekuningan. Nekrosis ini disebabkan oleh terjadinya iskemia akibat tekanan kapiler membran timpani karena
penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil.

Keadaan stadium supurasi dapat kita tangani dengan melakukan miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan dengan
membuat luka insisi pada membran timpani sehingga nanah akan keluar dari telinga tengah menuju liang telinga
luar. Luka insisi pada membran timpani akan mudah menutup kembali sedangkan ruptur lebih sulit menutup
kembali. Bahkan membran timpani bisa tidak menutup kembali jika membran timpani tidak utuh lagi.

4. Stadium Perforasi

Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak
akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi
(berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi
kuman. Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih tenang, suhu menurun dan bisa tidur nyenyak.

Jika membran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret (nanah) tetap berlangsung selama lebih 3 minggu
maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung
selama lebih 1,5-2 bulan maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik (OMSK).

5. Stadium Resolusi

Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga perforasi membran timpani menutup
kembali dan sekret purulen tidak ada lagi. Stadium ini berlangsung jika membran timpani masih utuh, daya tahan
tubuh baik, dan virulensi kuman rendah. Stadium ini didahului oleh sekret yang berkurang sampai mengering.
Apabila stadium resolusi gagal terjadi maka akan berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik (OMSK).
Kegagalan stadium ini berupa membran timpani tetap perforasi dan sekret tetap keluar secara terus-menerus
atau hilang timbul.Otitis media supuratif akut (OMA) dapat menimbulkan gejala sisa (sequele) berupa otitis
media serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami perforasi
membran timpani.

Gejala Klinik Otitis Media Supuratif Akut (OMA)

Gejala klinik otitis media supuratif akut (OMA) tergantung dari stadium penyakit dan umur penderita. Gejala
stadium supurasi berupa demam tinggi dan suhu tubuh menurun pada stadium perforasi. Gejala klinik otitis media
supuratif akut (OMA) berdasarkan umur penderita, yaitu :

Bayi dan anak kecil. Gejalanya : demam tinggi bisa sampai 390C (khas), sulit tidur, tiba-tiba menjerit saat tidur, mencret,
kejang-kejang,dan kadang-kadang memegang telinga yang sakit.Anak yang sudah bisa bicara. Gejalanya : biasanya rasa
nyeri dalam telinga, suhu tubuh tinggi, dan riwayat batuk pilek.Anak lebih besar dan orang dewasa. Gejalanya : rasa nyeri
dan gangguan pendengaran (rasa penuh dan pendengaran berkurang).

Terapi Otitis Media Supuratif Akut (OMA)

Terapi otitis media supuratif akut (OMA) tergantung stadium penyakit, yaitu :

Oklusi tuba Eustachius. Terapinya : obat tetes hidung & antibiotik.

Hiperemis (pre supurasi). Terapinya : antibiotik, obat tetes hidung, analgetik & miringotomi.

Supurasi. Terapinya : antibiotik & miringotomi.

Perforasi. Terapinya : antibiotik & obat cuci telinga.

Resolusi. Terapinya : antibiotik.

Aturan pemberian obat tetes hidung :

Bahan. HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologis untuk anak berusia dibawah 12 tahun. HCl efedrin 1% dalam larutan
fisiologis untuk anak berusia diatas 12 tahun dan orang dewasa. Tujuan. Untuk membuka kembali tuba Eustachius yang
tersumbat sehingga tekanan negative dalam telinga tengah akan hilang. Aturan pemberian obat antibiotik :

Stadium oklusi. Berikan pada otitis media yang disebabkan kuman bukan otitis media yang disebabkan virus dan alergi
(otitis media serosa).

Stadium hiperemis (pre supurasi). Berikan golongan penisilin atau ampisilin selama minimal 7 hari. Golongan eritromisin
dapat kita gunakan jika terjadi alergi penisilin. Penisilin intramuskuler (IM) sebagai terapi awal untuk mencapai
konsentrasi adekuat dalam darah. Hal ini untuk mencegah terjadinya mastoiditis, gangguan pendengaran sebagai gejala
sisa dan kekambuhan. Berikan ampisilin 50-100 mg/kgbb/hr yang terbagi dalam 4 dosis, amoksisilin atau eritromisin
masing-masing 50 mg/kgbb/hr yang terbagi dalam 3 dosis pada pasien anak.
Stadium resolusi. Lanjutkan pemberiannya sampai 3 minggu bila tidak terjadi resolusi. Tidak terjadinya resolusi dapat
disebabkan berlanjutnya edema mukosa telinga tengah. Curigai telah terjadi mastoiditis jika sekret masih banyak setelah
kita berikan antibiotik selama 3 minggu.
Aturan tindakan miringotomi :

Stadium hiperemis (pre supurasi). Bisa kita lakukan bila terlihat hiperemis difus.
Stadium supurasi. Lakukan jika membran timpani masih utuh. Keuntungannya yaitu gejala klinik lebih cepat hilang dan
ruptur membran timpani dapat kita hindari.
Aturan pemberian obat cuci telinga :

Bahan. Berikan H2O22 3% selama 3-5 hari.

Efek. Bersama pemberian antibiotik yang adekuat, sekret akan hilang dan perforasi membran timpani akan menutup
kembali dalam 7-10 hari.

Komplikasi Otitis Media Supuratif Akut (OMA)

Ada 3 komplikasi otitis media supuratif akut (OMA), yaitu :

1. Abses subperiosteal.

2. Meningitis.

3. Abses otak.

Dewasa ini, ketiga komplikasi diatas lebih banyak disebabkan oleh otitis media supuratif kronik (OMSK) karena maraknya
pemberian antibiotik pada pasien otitis media supuratif akut (OMA).

PYROGEN

Pirogen berasal dari kata pyro yang artinya keadaan yang berhubungan dengan panas, dan kata Gen yang artinya
membentuk atau menghasilkan. Pirogen adalah suatu produk mikroorganisme, terutama dari bakteri gram negatif dan
dapat berupa endotoksin dari bakteri ini. Endotoksin ini terdiri dari suatu senyawa komplek yaitu terdiri dari suatu
lipopolysaccharida yang pyrogenic, suatu protein dan suatu lipid yang innert.
Pada tahun 1923 Seibert membuktikan bahwa pirogen adalah substansi yang tidak tersaring, thermostabil, dan non
volatile. Pada tahun 1937 Co Tui membuktikan bahwa kontaminasi pirogen ini juga terjadi pada alat-alat seperti wadah-
wadah untuk melarutkan obat suntik, juga pada zat kimia yang digunakan sebagai zat berkhasiat. Pirogen dapat
bersumberdari:
Pelarut
obat itu sendiri
peralatan
karena metode penyimpanan.
Pirogen dapat berbahaya bila :
a. Injeksi volume besar akan mengandung pirogen yang besar pula.
b. Injeksi Volume besar (infus). Biasanya diberikan Intra vena efek cepat.
c. Infus untuk pasien gawat, bila terjadi penaikan suhu badan bisa berakibat fatal.
Sifat-sifat pirogen :
a. Thermostabil, proses sterilisasi > 200C.
b. Larut dalam air. Sehingga tidak bisa memakai penyaring bakteri.
c. Tidak dipengaruhi oleh bakterisida yang biasa.
d. Tidak menguap, destilasi biasa ada yang ikut bersama percikan air
e. Berat molekul (BM) antara 15.000 4.000.000
f. Ukuran umumnya 1 50m

Pirogen secara garis besar dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu pirogen endogen, dan pirogen eksogen.
Pirogen endogen
Pirogen endogen adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam tubuh kita sendiri sebagai reaksi kekebalan melawan
kuman penyakit yang masuk ke tubuh. Misalnya interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), alpha-interferon, dan tumor
necrosis factor (TNF).
Pirogen eksogen
Pirogen eksogen merupakan faktor eksternal tubuh yang menyebabkan gangguan pada fungsi tubuh manusia. Misalnya
bagian dari sel bakteri dan virus. Selain itu, bisa juga berupa zat racun (toksin) yang dihasilkan oleh bakteri atau virus
tertentu.

Suatu pirogen apabila masuk ke dalam tubuh maka pirogen menjadi suatu benda asing yang dapat menimbulkan respon
imun berupa demam. Proses terjadinya demam dimulai dari terpaparnya tubuh manusia terhadap pirogen eksogen yang
kemudian akan mengakibatkan terstimulasinya pirogen endogen untuk melindungi tubuh dan menciptakan kekebalan
melawan pirogen eksogen tersebut.
Pusat pengaturan suhu manusia (termoregulator) terletak di bagian otak yang bernama hipotalamus dan batang otak.
Termoregulator ini berfungsi untuk mengatur produksi, konservasi, dan pengeluaran panas tubuh yang pada akhirnya akan
menjaga kestabilan suhu inti tubuh. Selama proses demam, suhu inti tubuh menjadi naik, akibatnya termoregulator akan
beradaptasi dengan cara membentuk setting point (titik pengaturan) tersendiri yang lebih tinggi dari suhu normal.
Dengan kata lain demam itu bertujuan untuk menjaga agar proses termoregulasi tubuh tetap berjalan normal.

Mekanisme pengaruh pirogen pada timbulnya demam


Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, demam dapat timbul dari terpaparnya tubuh manusia terhadap pirogen
eksogen yang kemudian akan mengakibatkan terstimulasinya pirogen endogen untuk melindungi tubuh dan menciptakan
kekebalan melawan pirogen eksogen tersebut, atau disebabkan pengaruh pirogen endogen itu sendiri. Contoh pirogen
endogen yanga ada dalam tubuh adalah interleukin-1 (IL-1), -interferon, dan tumor necrosis factor (TNF). IL-1
berperan penting dalam mekanisme pertahanan tubuh yaitu antara lain dapat menstimulasi limfosit T dan B, mengaktivasi
netrofil, merangsang sekresi reaktan (Creactive protein, haptoglobin, fibrinogen) dari hepar, mempengaruhi kadar besi
dan seng plasma dan meningkatkan katabolisme otot. IL-1 bereaksi sebagai pirogen yaitu dengan merangsang sintesis
prostagalndin E2 di hipotalamus, yang kemudian bekerja pada pusat vasomotor sehingga meningkatkan produksi panas
sekaligus menahan pelepasan panas, sehingga menyebabkan demam. TNF (cachectin) juga mempunyai efek metabolisme
dan berperan juga pada penurunan berat badan yang kadang-kadang diderita setelah seseorang menderita infeksi. TNF
bersifat pirogen melalui dua cara, yaitu efek langsung dengan melepaskan prostaglandin E2 dari hipotalamus atau dengan
merangsang perlepasan IL-1. Sedangkan, alpha-interferon (IFN-) adalah hasil produksi sel sebagai respons terhadap
infeksi virus.

Prostaglandin yang dihasilkan pirogen-pirogen itu kemudian mensensitisasi reseptor dan diteruskan oleh resptor sampai
hypotalamus yang akan menyebabkan peningkatan derajat standart panas hypotalamus (Hypotalamic Termostat).
Peningkatan derajat standart panas hypotalamus inilah yang akan memicu sistem pengaturan suhu tubuh
(termoregulation) untuk meningkatkan suhu, maka terjadilah demam.
Pada saat kita demam, sebenarnya tubuh juga mengeluarkan zat-zat tertentu untuk membantu menurunkan demam.
Misalnya arginine vasopressin (AVP), melanocyte-stimulating hormone (MSH), dan corticotropin-releasing factor. Efek
anti demam ini yang menyebabkan terjadinya fluktuasi suhu tubuh selama kondisi demam. Untuk pengatasan demam,
penggunaan obat-obatan penurun panas harus dipertimbangkan sebaik-baiknya. Beberapa prosedur menganjurkan
menggunakan obat hanya pada saat demam mencapai suhu yang sangat tinggi ataupun memberikan efek samping yang
berbahaya, seperti kerusakan sel-sel saraf atau kejang. Jadi tidak selalu proses demam membutuhkan pengobatan dengan
obat-obatan, namun bisa juga dengan hanya melakukan kompres terhadap pasien. Kompres dengan menggunakan air hangat
jauh lebih efektif dalam menurunkan panas dibandingkan dengan kompres menggunakan air dingin ataupun alkohol. Anak-
anak lebih rentan terhadap terjadinya demam, karena respon tubuh terhadap terjadinya infeksi masih belum sempurna.
Dengan adanya infeksi ringan saja, respon tubuh anak akan menimbulkan demam yang cukup tinggi. Lain halnya dengan
orang yang sudah lanjut usia, respon tubuh terhadap terjadinya infeksi sudah menurun, oleh sebab itu, kemungkinan untuk
menderita sakit maupun kematian akibat penyakit infeksi menjadi meningkat pada orang tua. Prinsip kerja obat penurun
panas umumnya yaitu dengan menghambat biosintesis atau pembentukan prostaglandin. Contoh obatnya adalah
Parasetamol, Aspirin, dll.

Setiap sediaan steril yang akan diinjeksikan ke dalam tubuh harus lulus uji sterilitas dan uji pirogenitas. Syarat sediaan
steril yang harus dilakukan uji pirogen sebelum nantinya dapat digunakan adalah, sediaan steril itu digunakan dalam
jumlah besar (volume besar) yaitu yang lebih dari 10 ml. Untuk sediaan yang setelah diuji ternyata mengandung pirogen,
maka sediaan tersebut tidak memenuhi syarat dan tidak dapat digunakan. Atau dapat juga dilakukan penghilangan pirogen
dengan beberapa metode, antara lain:
1. Cara destilasi
2. Cara pemanasan
3. Cara penyerapan
4. Cara depyrogenasi
5. Dengan penukar ion
6. Dengan gamma radiasi
7. Getaran ultrasonik.
http://ffarmasi.unand.ac.id/fulltext/pyrogen.pdf
Oleh karena itu pada sediaan farmasi steril harus dilakukan uji pirogen terlebih dahulu, sehingga dapat membatasi resiko
reaksi demam pada pasien, dan agar pasien nantinya dapat mendapatkan obat dengan efek yang sesuai. Untuk pengatasan
pasien yang terkena sediaan pirogen, maka segera diobati dengan pemberian obat penurun panas ataupun demam.
Substansi dan preparat yang harus bebas pirogen, antara lain:
Air untuk injeksi
Larutan infus
Antibiotika
Garam asam organik (misalnya: Calcium glukonas)
Obat tetes dan substansi lain, yang diberikan intravena sebagai diagnostic. Misalnya: Inulin - Indigocarmin -
Conggored , dsb.
Produk-produk darah. Misalnya : albumin
Produk-produk hewani. Misalnya: heparin, gelatin (sebagai penganti plasma), chorionic gonadotropin

Uji pirogen
Uji pirogen adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui apakan suatu sediaan uji bebas pirogen atau tidak (Anonim, 1995).
Uji ini dilakukan setelah melalui uji sterilitas. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa tujuan uji ini adalah
untuk membatasi resiko reaksi demam pada pasien (Anonim, 1995).
Uji pirogen dapat ditentukan dengan beberapa cara yaitu:
Penentuan pirogen secara fisiko kimia. (kuantitatif pirogen)
1. Dengan fotokolorimetri. Reagen Tetrabrom phenolphthalein (TBP) dan penambahan asam acetat 0,2 N, sehingga timbul
warna.
2. Polarografi. Pirogen mempunyai panjang gelombang maksimum oksigen pada polarografi.
3. Elektroforesis
4. Spektrofotmetri. Pirogen mempunyai absorbsi spektrum ultraviolet pada E maksimum 265nm.
Penentuan pirogen secara biologis. (kualitatif dari pirogen)
1. Pengujian pengukuran temperatur badan hewan percobaan. (Rabbit Test)
2. Perhitungan sel darah putih
3. Tes limulus (LAL test)

Anda mungkin juga menyukai