Asian Development Bank pada September 2015 dalam laporannya Financial Inclusion in
Asia: An Overview, memaparkan bahwa 78% dari 255 juta penduduk Indonesia masih
unbanked dimana mayoritas dari mereka berada di piramida terbawah. Jumlah ini jauh lebih
tinggi daripada angka rata-rata jumlah masyarakat unbanked di seluruh dunia yang sebanyak
38%. Kelompok unbanked ini adalah mereka yang tidak memiliki rekening bank atau tidak
memiliki akses ke layanan perbankan. Biasanya mereka bekerja di sektor informal dan hidup
dengan kondisi keuangan seadanya.
Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) secara bersama-
sama terus berupaya menjalankan program inklusi keuangan di Indonesia. Program ini
ditujukan bagi masyarakat kurang mampu agar mereka dapat memanfaatkan jasa keuangan
seperti transfer, tabungan, pinjaman dan asuransi (http://www.bi.go.id).
Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2016, menunjukkan bahwa indeks
literasi keuangan nasional meningkat dari 21,8% di tahun 2013 menjadi 29,7% pada tahun
2016, dan indeks inklusi keuangan nasional mengalami peningkatan dari 59,7% menjadi
67,8%. Meski ada tren kenaikan, angka ini masih kalah bila dibandingkan dengan Singapura,
Malaysia, Thailand dan Filipina.
Di sisi lain, pesatnya perkembangan teknologi tidak terbendung. Berbagai lini kegiatan usaha
terimplikasi masifnya perkembangan teknologi, mulai dari jasa angkutan, jual beli, hingga
transaksi keuangan. Industri keuangan, termasuk di Indonesia, menggeliat dengan hadirnya
perusahaan Fintech (Financial technology). Sektor keuangan baru ini menjadi perhatian
banyak kalangan, baik masyarakat luas, regulator hingga praktisi di lembaga perbankan.
Di Indonesia, fintech bergerak dalam beberapa kegiatan seperti pembiayaan (lending),
tabungan (saving), pembayaran, investasi, perencanaan keuangan, pembanding produk
keuangan, dan riset keuangan. Dari semua aktifitas tersebut, transaksi pembayaran
merupakan yang paling dominan baik dari jumlah platform fintech yang tersedia maupun
nominal transaksi yang terjadi.
Dunia perbankan pun saat ini sudah mulai aware dengan kehadiran teknologi. Terbosan
paling nyata dilakukan oleh BRI dengan meluncurkan BRILink Mobile. Dengan layanan ini,
para agen BRILink lebih dimudahkan, karena sebelumnya mereka harus menggunakan
Electonic Data Capture (EDC) untuk melayani nasabah. Sementara saat ini cukup
menggunakan smartphone, tablet atau komputer (http://www.republika.co.id, 22 Feb 2017).
Dengan dukungan satelit yang ada, tidak sulit bagi BRI untuk melakukan hal ini.
Lain BRI, lain juga dengan BTPN. Inovasi digital yang dilakukan BTPN adalah dengan
mengaluarkan platform digital banking BTPN Wow! dan Jenius. BTPN Wow!
diperuntukan bagi segmen below-consuming-class seperti petani, nelayan, buruh, pekerja
informal dan pedagang mikro. Sementara platform Jenius dimaksudkan untuk segmen
consuming class yang lebih melek teknologi dan berbudaya urban. Kedua platform ini hanya
membutuhkan smartphone untuk mengaksesnya (http://www.republika.co.id, 22 Feb 2017).
Beberapa bank selain kedua bank di atas juga telah melakukan pengembangan teknologi.
Namun demikian, lebih banyak bank yang belum bergerak menuju era digital.
Bagaimanapun, pengembangan teknologi perbankan mutlak harus dilakukan. Bank yang
lebih cepat meningkatkan teknologi, akan lebih diterima oleh masyarakat daripada bank yang
gagal move on.
Profil Singkat
Nama : Muhammad Gufron Hidayat
Telpon : 085780110374
Email : gufronhidayat@gmail.com
Pendidikan Formal : - S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Lulus 2011)
- Magister Manajemen STIE Indonesia Banking School
Karya Tulis : - Membenahi Pasar Domestik. Koran Jakarta, 2013
- Menyoal Teka Teki Konversi. Koran Sindo, 2008
- Ensiklopedia Kematian. Mutiara Publishing, Mei 2014
- Move On, Mood On. Mutiara Publishing, Februari 2014
Penghargaan : Delegasi Islamic Economic Summit 2017 di IIUM Malaysia