Anda di halaman 1dari 19

1

INSOMNIA

Oleh :

Ade Sabryla, S.Ked


Eka Aprilia Arum Kanti, S.Ked
Idhar Trisna Damayanti, S.Ked
Kania Anindita Bustam, S.Ked

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


RUMAH SAKIT JIWA PROPINSI LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
APRIL 2013
2

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang
untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu.
Gejala tersebut biasanya diikuti gangguan fungsional saat bangun dan
beraktivitas di siang hari. Sekitar sepertiga orang dewasa mengalami kesulitan
memulai tidur dan / atau mempertahankan tidur dalam setahun, dengan 17% di
antaranya mengakibatkan gangguan kualitas hidup. Sebanyak 95% orang
Amerika telah melaporkan sebuah episode dari insomnia pada beberapa waktu
selama hidup mereka. Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat 11,7% penduduk
mengalami insomnia.
Insomnia umumnya merupakan kondisi sementara atau jangka pendek.
Dalam beberapa kasus, insomnia dapat menjadi kronis. Hal ini sering disebut
sebagai gangguan penyesuaian tidur karena paling sering terjadi dalam konteks
situasional stres akut, seperti pekerjaan baru atau menjelang ujian. Insomnia ini
biasanya hilang ketika stressor hilang atau individu telah beradaptasi dengan
stressor. Namun, insomnia sementara sering berulang ketika tegangan baru atau
serupa muncul dalam kehidupan pasien.
Insomnia jangka pendek berlangsung selama 1-6 bulan. Hal ini
biasanya berhubungan dengan faktor-faktor stres yang persisten, dapat
situasional (seperti kematian atau penyakit) atau lingkungan (seperti
kebisingan). Insomnia kronis adalah setiap insomnia yang berlangsung lebih
dari 6 bulan. Hal ini dapat dikaitkan dengan berbagai kondisi medis dan
psikiatri biasanya pada pasien dengan predisposisi yang mendasari untuk
insomnia.
Meskipun kurang tidur, banyak pasien dengan insomnia tidak
mengeluh mengantuk di siang hari. Namun, mereka mengeluhkan rasa lelah
dan letih, dengan konsentrasi yang buruk. Hal ini mungkin berkaitan dengan
keadaan fisiologis hyperarousal. Bahkan, meskipun tidak mendapatkan tidur
3

cukup, pasien dengan insomnia seringkali mengalami kesulitan tidur bahkan


untuk tidur siang.
Insomnia kronis juga memiliki banyak konsekuensi kesehatan seperti
berkurangnya kualitas hidup, sebanding dengan yang dialami oleh pasien
dengan kondisi seperti diabetes, arthritis, dan penyakit jantung. Kualitas hidup
meningkat dengan pengobatan tetapi masih tidak mencapai tingkat yang
terlihat pada populasi umum. Selain itu, insomnia kronis dikaitkan dengan
terganggunya kinerja pekerjaan dan sosial.
Insomnia merupakan salah satu faktor risiko depresi dan gejala dari
sejumlah gangguan medis, psikiatris, dan tidur. Bahkan, insomnia tampaknya
menjadi prediksi sejumlah gangguan, termasuk depresi, kecemasan,
ketergantungan alkohol, ketergantungan obat, dan bunuh diri.
Insomnia sering menetap meskipun telah dilakukan pengobatan
kondisi medis atau kejiwaan yang mendasari, bahkan insomnia dapat
meningkatkan resiko kekambuhan penyakit primernya. Dalam hal ini, dokter
perlu memahami bahwa insomnia adalah suatu kondisi tersendiri yang
membutuhkan pengakuan dan pengobatan untuk mencegah morbiditas dan
meningkatkan kualitas hidup bagi pasien mereka.

1.2 Tujuan dan Manfaat


1) Tujuan
Untuk mengetahui lebih dalam tentang insomnia.

2) Manfaat
Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah untuk membantu memahami
pola gangguan tidur insomnia dan sebagai proses belajar bagi penulis.
4

BAB II
ISI

2.1. Fisiologi Tidur


Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan
beredarnya waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola
dunia disebut sebagai irama sirkadian. Tidur tidak dapat diartikan sebagai
menifestasi proses deaktivasi Sistem Saraf Pusat. Saat tidur, susunan saraf
pusat masih bekerja dimana neuron-neuron di substansia retikularis ventral
batang otak melakukan sinkronisasi.
Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi
terletak pada substansia ventrikulo retikularis batang otak yang disebut
sebagai pusat tidur (sleep center). Bagian susunan saraf pusat yang
menghilangkan sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian rostral batang
otak disebut sebagai pusat penggugah (arousal center).

Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu:


1. Tipe Rapid Eye Movement (REM)
2. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM)

Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu
diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM
terjadi secara bergantian antara 4-6 kali siklus semalam.
Tidur NREM yang meliputi 75% dari keseluruhan waktu tidur, dibagi dalam
empat stadium, antara lain:

1.3 Stadium 1, berlangsung selama 5% dari keseluruhan waktu tidur. Stadium


ini dianggap stadium tidur paling ringan. EEG menggambarkan gambaran
kumparan tidur yang khas, bervoltase rendah, dengan frekuensi 3 sampai 7
siklus perdetik, yang disebut gelombang teta.
5

1.4 Stadium 2, berlangsung paling lama, yaitu 45% dari keseluruhan waktu
tidur. EEG menggambarkan gelombang yang berbentuk pilin (spindle
shaped) yang sering dengan frekuensi 12 sampai 14 siklus perdetik,
lambat, dan trifasik yang dikenal sebagai kompleks K. Pada stadium ini,
orang dapat dibangunkan dengan mudah.
1.5 Stadium 3, berlangsung 12% dari keseluruhan waktu tidur. EEG
menggambarkan gelombang bervoltase tinggi dengan frekuensi 0,5 hingga
2,5 siklus perdetik, yaitu gelombang delta. Orang tidur dengan sangat
nyenyak, sehingga sukar dibangunkan.
1.6 Stadium 4, berlangsung 13% dari keseluruhan waktu tidur. Gambaran EEG
hampir sama dengan stadium 3 dengan perbedaan kuantitatif pada jumlah
gelombang delta. Stadium 3 dan 4 juga dikenal dengan nama tidur dalam,
atau delta sleep, atau Slow Wave Sleep (SWS)
Sedangkan tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur. Tidak
dibagi-bagi dalam stadium seperti dalm tidur NREM.

2.2 Definisi Insomnia


6

Menurut DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal


kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif
yang berlangsung setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan
signifikan atau gangguan dalam fungsi individu. The International
Classification of Diseases mendefinisikan Insomnia sebagai kesulitan
memulai atau mempertahankan tidur yang terjadi minimal 3 malam/minggu
selama minimal satu bulan. Menurut The International Classification of Sleep
Disorders, insomnia adalah kesulitan tidur yang terjadi hampir setiap malam,
disertai rasa tidak nyaman setelah episode tidur tersebut.
Jadi, Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan
berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan
untuk melakukannya. Insomnia bukan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu
gejala yang memiliki berbagai penyebab, seperti kelainan emosional, kelainan
fisik dan pemakaian obat-obatan. Insomnia dapat mempengaruhi tidak hanya
tingkat energi dan suasana hati tetapi juga kesehatan, kinerja dan kualitas
hidup.

2.3 Klasifikasi Insomnia

Insomnia Primer
Insomnia primer ini mempunyai faktor penyebab yang jelas. insomnia atau susah
tidur ini dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang menderita insomnia.
Pola tidur, kebiasaan sebelum tidur dan lingkungan tempat tidur seringkali
menjadi penyebab dari jenis insomnia primer ini.

Insomnia Sekunder
Insomnia sekunder biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya kondisi
medis. Masalah psikologi seperti perasaan bersedih, depresi dan dementia dapat
menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini pada 5 dari 10 orang. Selain itu
masalah fisik seperti penyakit arthritis, diabetes dan rasa nyeri juga dapat
menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini dan biasanya mempengaruhi 1
7

dari 10 orang yang menderita insomnia atau susah tidur. Insomnia sekunder juga
dapat disebabkan oleh efek samping dari obat-obatan yang diminum untuk suatu
penyakit tertentu, penggunaan obat-obatan yang terlarang ataupun
penyalahgunaan alkohol. Faktor ini dapat mempengaruhi 1-2 dari 10 orang yang
menderita insomnia.

Secara internasional insomnia masuk dalam 3 sistem diagnostik yaitu


International Code of D iagnosis (ICD) 10, Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders (DSM) IV dan International Classification of Sleep Disorders
(ISD).

Dalam ICD 10, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu :


Organik

Non organik

- Dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas dan waktu tidur)

- Parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti


mimpu buruk, berjalan sambil tidur, dll)

Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau sekunder. Insomnia
disini adalah insomnia kronik yang sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan
sudah menyebabkan gangguan fungsi dan sosial.

Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu:
1. Gangguan tidur yang berkorelasi dengan gangguan mental lain

2. Gangguan tidur yang disebabkan oleh kondisi medis umum

3. Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan atau keadaan tertentu


8

4. Gangguan tidur primer (gangguan tidur tidak berhubungan sama sekali


dengan kondisi mental, penyakit, ataupun obat-obatan.) Gangguan ini
menetap dan diderita minimal 1 bulan.

Berdasarkan International Classification of Sleep Disordes yang direvisi,


insomnia diklasifikasikan menjadi:
a. Acute insomnia
b. Psychophysiologic insomnia
c. Paradoxical insomnia (sleep-state misperception)
d. Idiopathic insomnia
e. Insomnia due to mental disorder
f. Inadequate sleep hygiene
g. Behavioral insomnia of childhood
h. Insomnia due to drug or substance
i. Insomnia due to medical condition
j. Insomnia not due to substance or known physiologic condition,
unspecified (nonorganic)
k. Physiologic insomnia, unspecified (organic)

2.4 Tanda dan Gejala Insomnia

Kesulitan untuk memulai tidur pada malam hari


Sering terbangun pada malam hari
Bangun tidur terlalu awal
Kelelahan atau mengantuk pada siang hari
Iritabilitas, depresi atau kecemasan
Konsentrasi dan perhatian berkurang
Peningkatan kesalahan dan kecelakaan
Ketegangan dan sakit kepala
Gejala gastrointestinal
9

2.4. Etiologi Insomnia

Stres. Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga


dapat membuat pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk
tidur. Peristiwa kehidupan yang penuh stres, seperti kematian atau penyakit
dari orang yang dicintai, perceraian atau kehilangan pekerjaan, dapat
menyebabkan insomnia.
Kecemasan dan depresi. Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan
kimia dalam otak atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi.
Obat-obatan. Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur, termasuk
beberapa antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi, stimulan
(seperti Ritalin) dan kortikosteroid.
Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung
kafein adalah stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat
menyebabkan insomnia. Alkohol adalah obat penenang yang dapat membantu
seseorang jatuh tertidur, tetapi mencegah tahap lebih dalam tidur dan sering
menyebabkan terbangun di tengah malam.
Kondisi Medis. Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan
bernapas dan sering buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami
insomnia lebih besar dibandingkan mereka yang tanpa gejala tersebut.
Kondisi ini dikaitkan dengan insomnia akibat artritis, kanker, gagal jantung,
penyakit paru-paru, gastroesophageal reflux disease (GERD), stroke, penyakit
Parkinson dan penyakit Alzheimer.
Perubahan lingkungan atau jadwal kerja. Kelelahan akibat perjalanan jauh
atau pergeseran waktu kerja dapat menyebabkan terganggunya irama
sirkadian tubuh, sehingga sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak sebagai
jam internal, mengatur siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu tubuh.
'Belajar' insomnia. Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihan
tentang tidak bisa tidur dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuh
tertidur. Kebanyakan orang dengan kondisi ini tidur lebih baik ketika mereka
berada jauh dari lingkungan tidur yang biasa atau ketika mereka tidak
mencoba untuk tidur, seperti ketika mereka menonton TV atau membaca.
10

2.5 Faktor Resiko Insomnia

Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi resiko
insomnia meningkat jika terjadi pada:
Wanita. Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan hormon
selama siklus menstruasi dan menopause mungkin memainkan peran. Selama
menopause, sering berkeringat pada malam hari dan hot flashes sering
mengganggu tidur.
Usia lebih dari 60 tahun. Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia
meningkat sejalan dengan usia.
Memiliki gangguan kesehatan mental. Banyak gangguan, termasuk depresi,
kecemasan, gangguan bipolar dan post-traumatic stress disorder, mengganggu
tidur.
Stres. Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang
seperti kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan
insomnia kronis. Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan
risiko terjadinya insomnia.
Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja. Bekerja di malam hari
sering meningkatkan resiko insomnia.

2.6 Diagnosis

Untuk mendiagnosis insomnia, dilakukan penilaian terhadap:


Pola tidur penderita.
Pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang.
Tingkatan stres psikis.
Riwayat medis.
Aktivitas fisik
Diagnosis berdasarkan kebutuhan tidur secara individual.

Sebagai tambahannya, dokter akan melengkapi kuisioner untuk menentukan


pola tidur dan tingkat kebutuhan tidur selama 1 hari. Jika tidak dilakukan
pengisian kuisioner, untuk mencapai tujuan yang sama Anda bisa mencatat waktu
11

tidur Anda selama 2 minggu.Pemeriksaan fisik akan dilakukan untuk menemukan


adanya suatu permasalahan yang bisa menyebabkan insomnia.
Ada kalanya pemeriksaan darah juga dilakukan untuk menemukan masalah
pada tyroid atau pada hal lain yang bisa menyebabkan insomnia. Jika penyebab
dari insomnia tidak ditemukan, akan dilakukan pemantauan dan pencatatan
selama tidur yang mencangkup gelombang otak, pernapasan, nadi, gerakan mata,
dan gerakan tubuh.

2.7 Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ

Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:


a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur,
atau kualitas tidur yang buruk
b. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1
bulan
c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan
terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari
d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan
penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial
dan pekerjaan
Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak
menyebabkan diagnosis insomnia diabaikan.
Kriteria lama tidur (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan
adanya gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan
yang tidak memenuhi kriteria di atas (seperti pada transient insomnia)
tidak didiagnosis di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0)
atau gangguan penyesuaian (F43.2)

2.8 Tatalaksana

1. Non Farmakoterapi

a. Terapi Tingkah Laku


12

Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan
mengajarkan cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku ini
umumnya direkomendasikan sebagai terapi tahap pertama untuk penderita
insomnia.
Terapi tingkah laku meliputi
- Edukasi tentang kebiasaan tidur yang baik.
- Teknik Relaksasi.
Meliputi merelaksasikan otot secara progresif, membuat biofeedback,
dan latihan pernapasan. Cara ini dapat membantu mengurangi
kecemasan saat tidur. Strategi ini dapat membantu Anda mengontrol
pernapasan, nadi, tonus otot, dan mood.
- Terapi kognitif.
Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur dengan
pemikiran yang positif. Terapi kognitif dapat dilakukan pada konseling
tatap muka atau dalam grup.
- Kontrol stimulus
Terapi ini dimaksudakan untuk membatasi waktu yang dihabiskan
untuk beraktivitas.
- Restriksi Tidur.
Terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang dihabiskan di
tempat tidur yang dapat membuat lelah pada malam berikutnya.

b. Gaya hidup dan pengobatan di rumah

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia :


Mengatur jadwal tidur yang konsisten termasuk pada hari libur
Tidak berada di tempat tidur ketika tidak tidur.
Tidak memaksakan diri untuk tidur jika tidak bisa.
Hanya menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.
Relaksasi sebelum tidur, seperti mandi air hangat, membaca, latihan
pernapasan atau beribadah
Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan menyulitkan
tidur pada malam hari.
13

Menyiapkan suasana nyaman pada kamar untuk tidur, seperti


menghindari kebisingan
Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20 hingga 30 menit
setiap hari sekitar lima hingga enam jam sebelum tidur.
Menghindari kafein, alkohol, dan nikotin
Menghindari makan besar sebelum tidur
Cek kesehatan secara rutin
Jika terdapat nyeri dapat digunakan analgesik

2. Farmakologi
Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan
yaitu benzodiazepine dan non-benzodiazepine.
a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)
b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)

Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :


- Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)
14

Obat yang dibutuhkan adalah bersifat Sleep inducing anti-insomnia


yaitu golongan benzodiazepine (Short Acting)
Misalnya pada gangguan anxietas
- Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk
kembali ke proses tidur selanjutnya)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat Prolong latent phase Anti-
Insomnia, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan
Tetrasiklik)
Misalnya pada gangguan depresi
- Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan
terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening).
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat Sleep Maintining Anti-
Insomnia, yaitu golongan phenobarbital atau golongan
benzodiazepine (Long acting).
Misalnya pada gangguan stres psikososial.

Pengaturan Dosis
- Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi
tidur.
- Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan
dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off
(untuk mencegah timbulnya rebound dan toleransi obat)
- Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih
perlahan-lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi
- Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3
kali seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia
lanjut

Lama Pemberian
- Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak
lebih dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan
lebih dari 2 minggu dapat menimbulkan perubahan Sleep EEG yang
menetap sekitar 6 bulan lamanya.
15

- Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena Psychological


Dependence (habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah
gangguan tidur dapat ditanggulangi.

Efek Samping
Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur

Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-


insomnia (waktu paruh) :
- Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam) gejala
rebound lebih berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi panik
- Waktu paruh sedang, seperti Estazolam gejala rebound lebih ringan
- Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam menimbulkan gejala
hang over pada pagi harinya dan juga intensifying daytime
sleepiness

Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dapat


terjadi disinhibiting effect yang menyebabkan rage reaction

Interaksi obat
- Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan
potensiasi efek supresi SSP yang dapat menyebabkan oversedation
and respiratory failure
- Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal
enzyme atau produce protein binding displacement sehingga jarang
menimbulkan interaksi obat atau dengan kondisi medik tertentu.
- Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol
atau CNS Depressant lain, resiko kematian akan meningkat.

Perhatian Khusus
16

- Kontraindikasi :
o Sleep apneu syndrome
o Congestive Heart Failure
o Chronic Respiratory Disease
- Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko
menimbulkan teratogenic effect (e.g.cleft-palate abnormalities)
khususnya pada trimester pertama. Juga benzodiazepine dieksresikan
melalui ASI, berefek pada bayi (penekanan fungsi SSP).

2.9 Komplikasi

Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang teratur.
Insomnia dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.

Komplikasi insomnia meliputi


Gangguan dalam pekerjaan atau di sekolah.
Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga meningkatkan
reaksi kecelakaan.
Masalah kejiwaan, seperti kecemasan atau depresi
Kelebihan berat badan atau kegemukan
17

Daya tahan tubuh yang rendah


Meningkatkan resiko dan keparahan penyakit jangka panjang, contohnya
tekanan darah yang tinggi, sakit jantung, dan diabetes.

2.10 Prognosis
Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada
gangguan lain spt depresi dll. Lebih buruk jika gangguan ini disertai skizophrenia
18

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Insomnia merupalan kesulitan untuk masuk tidur, kesulitan dalam
mempertahankan tidur, atau tidak cukup tidur. Insomnia merupakan gangguan
fisiologis yang cukup serius, dimana apabila tidak ditangani dengan baik dapat
mempengaruhi kinerja dan kehidupan sehari-hari.
Insomnia dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti stres, kecemasan
berlebihan, pengaruh makanan dan obat-obatan, perubahan lingkungan, dan
kondisi medis. Insomnia didiagnosis dengan melakukan penilaian terhadap pola
tidur penderita, pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang, tingkatan
stres psikis, riwayat medis, aktivitas fisik, dan kebutuhan tidur secara individual.
Insomnia dapat ditatalaksana dengan cara farmakologi dan non
farmakologi, bergantung pada jenis dan penyebab insomnia. Obat-obatan yang
biasanya digunakan untuk mengatasi insomnia dapat berupa golongan
benzodiazepin (Nitrazepam, Trizolam, dan Estazolam), dan non benzodiazepine
(Chloral-hydrate, Phenobarbital). Tatalaksana insomnia secara non farmakologis
dapat berupa terapi tingkah laku dan pengaturan gaya hidup dan pengobatan di
rumah seperti mengatur jadwal tidur.

3.2. Saran
Karena kurangnya data mengenai epidemiologi insomnia di Indonesia, maka
diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai gambaran insomnia di Indonesia.
19

DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed:
Wiguna, I Made. Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher

2. American Academy of Sleep Medicine. ICSD2 - International


Classification of Sleep Disorders. American Academy of Sleep Medicine
Diagnostic and Coding Manual . Diagnostik dan Coding Manual. 2nd. 2.
Westchester, Ill: American Academy of Sleep Medicine; 2005:1-32.

3. Zeidler, M.R. 2011. Insomnia. Editor: Selim R Benbadis.


(http://www.emedicina.medscape.com/article/1187829.com Diakses
tanggal 8 Juli 2011)

4. Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGC

5. Insomnia.
(http://www.mayoclinic.com/health/insomnia/DS00187/DSECTION=alter
native-medicine Diakses tanggal 8 Juli 2011)

6. Maslim, Rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan


Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atmajaya.

7. Maslim, Rusdi. 2001. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat


Psikotropik. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.

8. Gelder, Michael G, etc. 2003. New Oxford Textbook of Psychiatry.


London: Oxford University Press

Anda mungkin juga menyukai