Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

POST PARTUM DENGAN EPISIOTOMI


ATAS INDIKASI PLASENTA RESTAN
DI RUANG OBSTETRI (B3)
RUMAH SAKIT DOKTER KARIADI SEMARANG
A. POST PARTUM

1. Pengertian
Mochtar (1998: 115) menyatakan Post partum atau masa nifas adalah
masa pulih kembali, mulai dari persalinan kembali sampai alat-alat kandungan
kembali seperti sebelum hamil. Lama masa nifas yaitu 6 sampai 8 minggu.
Wiknjosastro (2002: 238) mendifinisikan post partum adalah masa yang dimulai
dari persalinan dan berakhir kira-kira setelah 6 minggu, tetapi seluruh alat genital
baru pulih kembali seperti sebelum ada kehamilan dalam waktu tiga minggu.
Sedangkan menurut Novak (1999: 338). puerpurium merupakan interval waktu
dari haid pertama kelahiran bayi sampai dengan enam minggu, perhitungan hari di
mulai dari hari pertama setelah persalinan. Puerperium ditandai dengan
meningkatnya laktasi dan kembalinya organ reproduksi ke posisi sebelum hamil.
Berdasarkan pendapat lain bahwa post partum atau puerpurium atau nifas adalah
masa setelah peralihan dimana terjadi perubahan retroprogresif (kembalinya alat
kandungan seperti saat sebelum hamil) dan progresif (produksi susu untuk laktasi,
pulihnya siklus menstruasi dimulainya peran orangtua) yang lamanya 6 minggu
(Pilliteri, 1999).
Dapat disimpulkan bahwa post partum merupakan masa yang dimulai dari
persalinan dan berakhir kira-kira setelah 6 minggu, dimana terjadi perubahan alat-
alat kandungan pulih kembali seperti sebelum hamil.
Ada tiga periode post partum menurut Mochtar (2002: 115) yaitu:
a. puerpurium dini yaitu masa pulih dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan
berjalan-jalan yang lamanya 40 hari, b. puerpurium intermedial yaitu masa pulih
menyeluruh alat-alat genetalia yang lamanya 6-8 minggu, c. remote puerpurium
adalah waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama bila
selama hamil atau waktu persalinan mempunyai komplikasi. Waktu untuk sehat
sempurna bisa berminggu-minggu, bulanan, atau tahunan.
2. Perubahan Fisiologi dan Psikologi Post Partum
a. Perubahan Fisiologi
Perubahan-perubahan yang terdapat pada serviks setelah post partum
bentuk serviks agak menganga seperti corong. Bentuk ini disebabkan korpus
uterus yang dapat mengadakan kontraksi sedangkan serviks tidak berkontraksi,
sehingga seolah-olah pada perbatasan antara korpus dan serviks uteri terbentuk
semacam cincin. Warna serviks merah kehitaman karena penuh pembuluh darah
dan konsistensinya lunak, segera setelah janin dilahirkan, tangan pemeriksa masih
dapat dimasukkan kedalam kavum uteri. Setelah 2 jam hanya dapat dimasukkan
2-3 jari, dan setelah 1 minggu hanya dapat dimasukkan 1 jari ke dalam kavum
uteri. Hal ini harus diperhatikan dalam menangani kala uri (Wiknjosastro, 2002:
238).
Uterus secara berangsur-angsur menjadi kecil (involusi) sehingga
akhirnya kembali seperti sebelum hamil. Otot uterus berkontraksi segera pada
post partum. Pembuluh-pembuluh darah yang berada diantara anyaman otot-otot
uterus akan terjepit. Proses ini akan menghentikan perdarahan setelah plasenta
dilahirkan (Wiknjosastro, 2002: 238)
Tabel 1: Tinggi fundus uterus dan berat uterus menurut masa involusi.
Involusi Tinggi Fundus Uteri Berat Uterus
Bayi lahir Setinggi pusat 1000 gram
Uri lahir 2 jari bawah pusat 750 gram
1 minggu Pertengahan pusat-simpisis 500 gram
2 minggu Tidak teraba diatas simpisis 350 gram
6 minggu Bertambah kecil 50 gram
8 minggu Sebesar normal 30 gram
(Mochtar, 1998: 115)
Bekas Implantasi Uri mengecil karena kontraksi dan menonjol ke kavum
uteri dengan diameter 7,5 cm, sesudah 2 minggu menjadi 3,5 cm, pada minggu ke
6 menjadi 2,4 cm dan akhirnya pulih (Mohctar, 1998: 116).
Lokhea adalah pengeluaran cairan sisa lapisan endometrium dan sisa dari
tempat implatasi plasenta (Manuaba, 1998: 192). Sifat lochea berubah-ubah
seperti secret luka, berubah menurut tingkat penyembuhan luka, adapun jenis-
jenisnya antara lain : lochea rubra (Cruenta) berisi darah segar dan sisa-sisa
selaput ketuban, desidua, verniks caseosa, lanugo, dan mekoneum selam 2 hari
pasca persalinan, lochea sanguinolenta berwarna merah kuning berisi darah dan
lender, hari ke 3-7 pasca persalinan, lochea serosa berwarna kuning, tidak
berdarah lagi, pada hari ke 7-14 pasca persalinan, lochea alba, cairan putih setelah
4 minggu, lochea Purulenta telah terjadi infeksi, keluar cairan seperti nanah
berbau busuk, locheastatis apabila lochea tidak lancer keluarnya. (Mochtar, 1998:
116).
Perubahan pada endometrium ialah timbul thrombosis, degenerasi dan
necrosis diantara implantasi plasenta. Pada hari pertama endometrium yang kira-
kira setebal 2-5 mm itu memiliki permukaan yang kasar akibat pelepasan desidua
dan selaput janin. Setelah tiga hari permukaan endometrium mulai rata akibat
lepasnya sel-sel dari bagian yang mengalami degenerasi. Regenerasi endometrium
terdiri dari sisa-sisa sel desidua basalis, yang memakan waktu 2-3 minggu
(Wiknjosastro, 2002: 238).
Pada vagina, hilangnya estrogen pada post partum berperan dalam
menipiskan mukosa vagina dan menghilangkan rugae. Pembengkakan, dinding
lunak vagina berlahan-lahan akan kembali seperti keadaan pra hamil selam 6-8
minggu setelah persalinan. Rugae muncul kembali setelah 4 minggu setelah
persalinan, antara primipara dan multipara berbeda. Kekeringan pada vagina dan
rasa tidak nyaman saat koitus (dyspareunia) dapat terjadi hingga fungsi ovarium
kembali dan menstruasi mulai terjadi (Bobak, 1995: 442).
Selama persalinan perineum mendapatkan tekanan yang besar yang
kemudian setelah persalinan menjadi udema. Perawat perlu mengkaji tingkat
kenyamanan sehubungan dengan adanya luka episiotomi, laserasi dan hemoroid,
perawat harus melaporkan adanya udara, kemerahan dan pengeluaran (darah, pes,
serosa) (Pilliteri, 1999).
Ligament-ligamen dan diafragma pelvis serta fasia yang meregang
sewaktu kehamilan dan persalinan, setelah bayi lahir, berangsur-angsur ciut
kembali seperti sedia kala. Tidak jarang ligamentum rotundum menjadi kendor
yang menyebabkan uterus jatuh ke belakang (Wiknjosastro, 2002: 239).
Proses laktasi diawal kehamilan, peningkatan estrogen yang diproduksi
oleh plasenta menstimulasi perkembangan kelenjar susu. Pada 2 hari pertama post
partum terdapat perubahan pada mammae ibu post partum. Semenjak masa
kehamilan kolostrum telah di ekskresi. Pada 3 hari pertama post partum mammae
penuh atau membesar karena sekresi air susu. Penurunan kadar estrogen saat
kelahiran plasenta diikuti dengan meningkatnya kadar prolaktin menstimulasi
produksi air susu (Pilliteri, 1999). Ketika bayi mulai menghisap putting susu
hipotalamus merangsang kelenjar pituitary posterior untuk melepaskan oksitosin.
Hal ini menyebabkan kontraksi otot-otot saluran susu mengeluarkan air susu.
Respon ini disebut reflek Let down (Novak, 1999: 345).
Tanda-tanda vital dapat memberikan petunjuk adanya bahaya post partum
seperti perdarahan, infeksi dan komplikasi lainnya. Sehingga sangat penting untuk
memantau tanda-tanda vital post operasi (Novak, 1999: 338)
Jumlah denyut nadi normal antara 60-80 x permenit segera setelah partum
dapat terjadi bradikardi. Trakhikardi mengidentifikasikan perdarahan, infeksi,
penyakit jantung dan kecemasan (Wiknjosastro, 2002: 241).
Tekanan darah akan kembali seperti prahamil setelah 6 jam setelah
persalinan. Kadang-kadang tekanan darah meningkat tak lam kemudian setelah
persalinan. Kondisi ini mungkin diakibatkan oleh beberapa faktor yang meliputi
rangsangan persalinan dan keadaan bayi. Tipe oksitosin yang diterima pasien
nyeri, retensi urin atau kehamilan dengan hipertensi. Peningkatan tekanan darah
yang disertai sakit kepala dicurigai pada kehamilan dengan hipertensi. Kenaikan
tekanan darah 30 mmHg dari sistolik wanita normal dan diastolik lebih dari 15
mmHg (atau siastolik lebih dari 140 mmHg dan atau diastolik lebih dari 90
mmHg) harus segera dilepaskan. Jika tekanan darah itu lebih rendah daripada pra
hamil menandakan banyaknya kehilangan darah selama persalinan atau
perdarahan masih terus mengalir. Tekanan siastolik 100 mmHg atau kurang harus
dilaporkan. Jika tekanan darah normal mulai turun perawat harus memeriksa
aliran pendarahan. Penurunan tekanan darah disertai oleh peningkatan denyut
nadi, namun jika klien berlanjut pada keadaan syok maka nadi perlahan melambat,
lemah, terjadi dilatasi pupil abnormal, pucat, sianosis, kulit lembab, lemas dan
tidak sadar (Novak,1999: 338)
Suhu tubuh normal pasien post partum adalah antara 36,2 oC-380C.
Kenaikan suhu tubuh hingga 380C diakibatkan oleh dehidrasi. Cairan dan istirahat
biasanya dapat memulihkan suhu normal. Setelah 24 jam post partum, suhu 38 0C
atau lebih dicurigai terjadi infeksi (Novak, 1999: 339)
Frekuensi pernafasan normal 14-24 x permenit. Bradypneu (pernafasan
kurang dari 14-16 x permenit) dapat disebabkan oleh efek narkotik analgetik atau
epidural narkotik. Tachipneu (pernafasan lebih dari 24 x permenit) dapat
diakibatkan oleh nyeri, pendarahan masif atau syok, oleh karena emboli paru-paru
atau edema paru-paru (Novak, 1999: 338).
Sistem pernafasan, pada umumnya tidak ada tanda-tanda infeksi
pernafasan atau distres pernafasan. Pada beberapa wanita mempunyai faktor
predisposisi penyakit emboli paru. Secara tiba-tiba terjadi dyispneu. Emboli paru
dapat terjadi dengan gejala sesak nafas disertai hemoptoe dan nyeri pleura
(Sherwen, 1999).
Sistem persyarafan, ibu post partum hiperrefleksi mungkin terpapar
kehamilan dengan hipertensi. Jika terdapat tanda-tanda tersebut perawat harus
mengkaji adanya peningkatan tekanan darah, proteinuria, oedema, nyeri epigastrik
dan sakit kepala (Sherwen, 1999: 838).
Sistem perkemihan pada masa post partum terjadi peningkatan kapasitas
kandung kemih, bengkak dan memar jaringan di sekitar uretra yang menurunkan
sensitivitas penekanan cairan (urin) dan sensasi kandung kemih yang penuh,
sehingga berada pada resiko distensi berlebihan, kesulitan mengosongkan dan
penimbunan residu. Output urin meningkat pada 12-24 jam pertama post partum
yaitu sekitar 2000-3000 ml. Produksi urin mencapai 3000 ml pada 2 hari post
partum. Ibu post partum dianjurkan untuk mengosongkan kandung kemih setiap
3-4 jam. Fungsi ginjal akan kembali normal setelah 1 bulan post partum (Novak,
1999).
Sistem pencernaan, perut terkadang terjadi reaksi penolakan sesudah
melahirkan, karena efek dari progesteron dan penurunan gerakan peristaltik.
Perempuan dengan seksio sesarea boleh menerima sedikit cairan setelah
pembedahan, jika terdengar bising usus dapat mulai beralih ke makanan padat
(Olds, 1999).
Sistewm muskuluskeletal di kedua ekstremitas atas dan bawah terdapat
edema dikaji apakah terdapat pitting edema, kenaikan suhu, pelebaran pembuluh
vena dan kemerahan sebagai tanda thromboplebitis. Ambulasi harus sesegera
mungkin dilakukan untuk dilakukan sirkulasi dan mencegah kemungkinan
komplikasi (Sherwen, 1999: 838).
b. Perubahan Psikologis
Taking in Phase merupakan masa refleksi bagi wanita post partum. Selama
periode ini wanita post partum cenderung pasif. Wanita post partum cenderung
dilayani oleh perawat daripada melakukan pemenuhan kebutuhan sendiri. Hal ini
berkenaan dengan rasa ketidaknyamanan perineum nyeri setelah melahirkan atau
haemorhoid, berkaitan dengan peran barunya, wanita post partum selalu ingin
membicarakan pengalaman selama hamil hingga melahirkan.
Taking Hold Phase ini wanita post partum mulai berinisiatif untuk
melakukan tindakan sendiri. Lebih suka membuat keputusan sendiri. Ibu mulai
mempunyai ketertarikan yang kuat pada bayinya, di masa inilah masa yang tepat
untuk memberikan pendidikan tentang perawatan bayi. Tetapi ibu sering merasa
tidak yakin tentang kemampuannya mengasuh bayi, disinilah dukungan positif
dan semua pihak diperlukan.
Letting Go Phase ini ibu post partum akhirnya dapat menerima keadaan
apa adanya. Proses ini memerlukan penyesuaian diri atas hubungan yang terjadi
selama kehamilan. Wanita yang dapat melewati fase ini dianggap sudah berhasil
dalam peran barunya (Pilliteri, 1999).
3. Penatalaksanaan Ibu Post partum.
a. Early Ambulation.
Ibu post partum diharapkan sedini mungkin melakukan early ambulation
dimana ibu 8 jam post partum istirahat dan terlentang, setelah 8 jam boleh miring
ke kiri, kanan, untuk mencegah trombosis dan boleh bangun dari tempat tidaur
setelah 24 jam post partum. Bayi berada satu ruangan dari ibu (Rooming In)
(Novak, 1999: 344).
b. Perawatan Perineum .
Bila ibu mengalami penjahitan pada perineum sebagai perawat harus
memonitor setiap hari untuk meyakinkan bahwa proses penyembuhan luka baik
dan melakukan vulva hygien dan perawatan luka perineum selama 24 jam
pertama. Untuk mengurangi edema lakukan kompres dingin dan rendam bokong.
Jaga kebersihan perineum dengan membersihkan vulva dari arah vagina ke anus,
ganti pembalut sesudah buang air minimal 4 x sehari, cuci tangan sebelum dan
sesudah mengganti pembalut dan perhatikan lochea yang keluar. Gunakan pakaian
dalam yang meresap sehingga lochea tidak mengiritasi (Novak, 1999: 344).
c. Perawatan Payudara.
Kedua payudara harus sudah dirawat selama kehamilan, areola mammae
dan putting susu di cuci teratur dengan sabun dan diberi minyak atau cream agar
tetap lemas (Wiknjosastro, 1999: 243).
d. Pemberian Nutrisi.
Nutrisi ibu yang diberikan harus memenuhi gizi seimbang dan porsinya
lebih banyak daripada saat hamil disamping untuk mempercepat pulihnya
kesehatan setelah melahirkan juga untuk meningkatkan produksi ASI (Novak,
1999: 356).
e. Pemantauan Suhu.
Suhu harus diawasi terutama pada minggu pertama dari masa nifas karena
kenaikan suhu menandakan infeksi (Novak, 1999: 356).
f. Pemantaun Sistem Perkemihan.
Setelah 6 jam post partum anjurkan ibu 8 untuk berkemih, jika dalam 8
jam ibu belum dapat buang air kecil atau sekali kencing belum melebihi 100 cc
maka lakukan kateterisasi (Novak, 1999: 356).
g. Pemantauan Defekasi.
BAB harus dilakukan 3-4 hari post partum. Bila masih sulit BAB dan
terjadi konstipasi apalagi berak keras dapat diberikan obat laksan peroral atau per
rectal. Jika belum bisa lakukan klisma (Mochtar, 1998: 117)
h. Aktivitas Seksual.
Pasangan dianjurkan untuk menunggu sampai terdapat pengeluaran lochea
dan episiotomi telah sembuh (akhir 6 minggu). Sebelum melakukan aktivitas
seksual dianjurkan untuk menggunakan lubrikan seperti k-y jelli. Perhatikan
posisi, sebaiknya wanita pada posisi atas untuk mencegah penetrasi penis yang
terlalu dalam (Novak, 1999: 356).
i. Istirahat.
Anjurkan ibu untuk istirahat cukup untuk mencegah kelelahan berlebihan,
disarankan untuk kembali melakukan kegiatan rumah tangga seperti biasa
perlahan-lahan serta dianjurkan untuk tidur siang selagi bayi masih tidur
(Wiknjosastro, 1998: 116).
1. Kontrasepsi.
Masa post partum adalah masa paling baik menawarkan kontrasepsi oleh
karena ibu termotivasi untuk menggunakan alat kontrasepsi. Idealnya pasangan
harus menunggu 2 tahun sebelum hamil lagi, maka disini peran perawat sebagai
educator untuk menjelaskan maca-macam dan efek samping dari alat kontrasepsi
tersebut (Novak, 1999: 356).

B. EPISIOTOMI
1. Pengertian
Episiotomi adalah insisi pada perineum yang menyebabkan terpotongnya
selaput lendir vagina, cincin hymen, jaringan leptum, rektovaginal, otot-otot dan
fasia perineum, serta kulit sebelah depan perineum untuk melebarkan jalan lahir
sehingga mempermudah kelahiran (Arif Mansjoer, 1999: 338).
Episiotomi bisanya dikerjakan pada hampir primipara pada perempuan
dengan perineum kaku.
2. Tujuan episiotomi
3. Indikasi episiotomi
Indikasi episiotomi dapat berasal dari faktor ibu maupun janin. Indikasi
ibu antara lain adalah: primigravida umumnya, perineum kaku dan riwayat
robekan perineum pada persalinan yang lalu, apabila terjadi peregangan perineum
yang berlebihan misalnya pada persalinan sungsang, persalinan dengan cunan,
ekstraksi vakum, anak besar, dan arkus pubis yang sempit ( Arif Mansoer,1999)
Indikasi pada janin antara lain adalah: sewaktu melahirkan janin prematur.
Tujuannya untuk mencegah terjadinya trauma yang berlebihan pada kepala janin,
sewaktu melahirkan janin dengan letak sungsang, letak defleksi, janin besar, pada
keadaan dimana ada indikasi untuk mempersingkat kala II seperti pada gawat
janin, talipusat menumbung.
Kontraindikasi episiotomi antara lain adalah: bila persalinan tidak
berlangsung pervaginam, bila terdapat kondisi untuk terjadinya perdarahan yang
banyak seperti penyakit kelainan darah maupun terdapatnya varises yang luas
pada vulva dan vagina
4. Jenis episiotomi
Sayatan episiotomi umumnya menggunakan gunting khusus, tetapi dapat
juga sayatan dilakukan dengan pisau. Berdasarkan lokasi sayatan maka dikenal 4
jenis episiotomi yaitu:
a. Episiotomi medialis.
Sayatan dimulai pada garis tengah komissura posterior lurus ke bawah
tetapi tidak sampai mengenai serabut sfingter.
Keuntungan dari episiotomi medialis ini adalah pendarahan yang timbul
dari luka episiotomi lebih sedikit oleh karena merupakan daerah yang relatif
sedikit mengandung pembuluh darah. Sayatan bersifat simetris dan anatomis
sehingga penjahitan kembali lebih mudah dan penyembuhan lebih memuaskan.
Kerugiannya adalah dapat terjadi ruptur perinei inkomplet (laserasi
m.sfingter ani) atau komplet
b. Episiotomi mediolaperolis
Merupakan jenis insisi yang banyak digunakan karena lebih nyaman.
Sayatan disini dimulai dari belakang introitus vagina menuju ke arah belakang
dan samping. Arah sayatan dapat dilakukan ke arah kanan ataupun kiri, tergantung
pada kebiasaan orang yang melakukannya. Panjang sayatan kira-kira 4 cm.
sayatan disini sengaja dilakukan menjauhi otot sfingter ani untuk mencegah ruptur
perinei. Perdarahan luka lebih banyak oleh karena melibatkan daerah yang banyak
pembuluh darahnya. Otot-otot perineum terpotong sehingga penjahitan lebih
sukar. Penjahitan dilakukan sedemikian rupa sehingga setelah penjahitan selesai
hasilnya harus simetris
c. Episiotomi lateral.
Jenis episiotomi ini tidak dilakukan lagi karena hanya dapat menimbulkan
sedikit relaksasi introitus, perdarahan lebih banyak dan sukar direparasi (Arif
Mansjoer, 1999: 338)
Sayatan disini dilakukan ke narah lateral mulai kira-kira jam 3 atau 9
menurut arah jarum jam. Luka sayatan dapat melebar ke arah dimana terdapat
pembuluh darah pundendal interna, sehingga dapat menimbulkan pendarahan
yang banyak. Selain itu parut yang terjadi dapat menimbulkan rasa nyeri yang
mengganggu penderita.
d. Insisi schutchardt
Jenis ini merupakan variasi dari episiotomi mediolateralis, tetapi
sayatannya melengkung ke arah bawah lateral, melingkari rektum, serta
sayatannya lebih lebar.
PLASENTA RESTAN

Taber (2002: 333) mendenifisikan plasenta restan merupakan suatu


plasenta yang tidak dapat dipisahkan dari dinding uterus secara sebagian. Keadaan
ini disebabkan karena tidak adanya desidua basalis baik sebagian atau seluruhnya
terutama lapisan yang berbusa. Plasenta restan merupakan plasenta yang tidak
terlepas secara spontan dalam waktu lebih dari 30 menit setelah kelahiran
(Hartono Hadisaputra, 1997: 51).
Komplikasi yang terjadi pada plasenta restan biasanya menimbulkan
perdarahan post partum dini atau lambat. Perdarahan berasal dari rongga rahim,
dan kontraksi rahim biasanya baik. Pada perdarahan post partum lambat gejalanya
karena adanya subinvolusi, perdarahan berlangsung terus atau berulang. Infeksi
dan sepsis oleh karena penyebaran kuman, toksik pembuluh darah (Hartono
Hadisaputra, 1997: 51).
Pengelolaan pada umumnya dilakukan kuretase. Kuretase harus dilakukan
dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis, kemudian dilanjutkan dengan
pemberian uterotonika dan antibiotik sebagai tindakan pencegahan. (Hartono
Hadisaputra, 1997: 51).

C. KURETASE
1. Pengertian kuretase
Kuretase adalah cara membersihkan hasil konsepsi dengan menggunakan
alat kuretase (sendok kerokan) (Mochtar, 1998: 41).
2. Tujuan kuretase adalah mengeluarkan hasil konsepsi, mengeluarkan plasenta
yang belum lahir, mengeluarkan plasenta yang masih tertinggal sebagian di
rahim. (Mochtar, 1998: 42).
3. Persiapan Sebelum Kuretase
a. Persiapan penolang/tenaga kesehatan yaitu menentukan letak
uterus, keadan servik. Besarnya uterus, hal-hal diatas berguna untuk mencegah
terjadinya bahaya kecelakaan, misalnya perforasi. (Mochtar, 1998: 42).
b. Persiapan penderita
Keadaan umum klien sebelum menjalani kuretase harus baik atau stabil
yang dimanisfestasikan dari pemeriksaan fisik. Yaitu pada tanda-tanda vital:
Tekanan darah ini merupakan tanda bahwa sistem kardiovaskuler dalam
keadaan baik. Tekanan darah ini memiliki kisaran nilai pada usia dewasa, sistol
110-120 mmHg, diastol antara 70-80 mmHg.
Seyogyanya pemeriksaan suhu tubuh juga dilakukan, pemeriksaannya
biasanya untuk orang dewasa pada bagian ketiak dengan keadaan normal 36-
370C.
Pernafasan atau respiratory rate juga harus dihitung selama 1 menit penuh,
tidak hanya frekuensi tapi juga kedalaman, irama teratur atau tidak. Nilai normal
untuk orang dewasa 16-20 x permenit.
Pemeriksaan nadi ini juga menunjukkan faal dari jantung. Pemeriksaan
nadi bisa dilakukan pada nadi radialis atau nadi bradikalis dengan waktu 1 menit
penuh, frekuensi normal 60-80 x permenit.
Inform concent merupakan ijin tertulis yang dibuat secara sadar yang
ditandatangani pasien atau keluarga dan juga tenaga kesehatan. Surat ini
bermanfaat untuk melindungi klien terhadap tindakan kuretase yang lalai dan
melindungi tenaga kasehatan terhadap tuntutan dari suatu lembaga hukum.
c. Pemeriksaan Penunjang.
Pemeriksaan penunjang ini dapat berupa EKG, USG, foto rontgen. Hal ini
dilakukan dengan tujuan untuk pemeriksaan penunjang dan sebagai bahan
pertimbangan untuk tindakan.
d. Persiapan Mental.
Hal ini harus diperhatikan lebih lanjut karena persiapan secara psikologis
sangat menentukan. Dengan menyarankan klien untuk berdoa dan tidak cemas
serta untuk keluarga harus tetap memberi dukungan baik spiritual maupun
psikologis sehingga semuanya berjalan lancar.
4. Pelaksaan kuretase
Sebagai profilaksis, klien akan dipasang infuse, persiapan alat kuretase
hendaknya tersedia dalam bak alat dalam keadaan aseptik (suci hama), hal ini
bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi, penderita ditidurkan dalam posisi
litotomi, pada umumnya diperlukan anestesi infiltrasi lokal atau umum secara
intravena dengan ketalar. (Mochtar, 1998: 42).
5. Perawatan setelah kuretase.
a. Segera latih mobilitasi.
b. Anjurkan klien kembali ke dokter, bila terjadi gejala-gejala, seperti: Nyeri
perut (lebih dari 2 minggu), perdarahan berlanjut (lebih dari 2 minggu),
perdarahan lebih dari haid, demam, menggigil, pingsan (Mochtar, 1998: 42).
D. PATHWAYS
E. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan sekunder
terhadap atonia uteri. (Doenges, 2001)
2. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan trauma jaringan
perineum dan kontraksi uterus berlebih. (Doenges, 2001: 417)
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan masuknya kuman pada luka
episiotomi (Doenges, 2001: 427)
4. Gangguan eliminasi berhubungan dengan obstruksi uretra sekunder terhadap
oedema uretra. (Doenges, 2001: 434)
5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelelahan setelah melahirkan
(Doenges, 2001: 436)
6. Perubahan pola peran berhubungan dengan penambahan anggota baru.
(Carpenito, 2000: 513)
7. Konstipasi berhubungan dengan penurunan sensitivitas colon (Doenges,
2001: 430)
8. Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan cemas, gelisah, factor
eksternal perubahan lingkungan.
9. ketidakefektifan menyusui berhubungan dengan kurangnya manageman
laktasi sekunder terhadap pembengkakan payudara.(Carpenito, 2001: 513)
10. Nutrisi bayi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan inefektif laktasi.

F. FOKUS INTERVENSI
1. Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan
sekunder terhadap atonia uteri. (Doenges, 2001)
Tujuannya adalah syok hipovolemi tidak terjadi setelah dilakukan tindakan
keperawatan. Dengan kriteria hasil tekanan darah siastole 110-120 mmHg,
diastole 80-85 mmHg, nadi 60-80 kali permenit, akral hangat, tidak keluar
keringat dingin, perdarahan post partum kurang dari 100 cc.
Intervensi yang dilakukan monitor vital sign, kaji adanya tanda-tanda syok
hipovelomik, monitor pengeluaran pervaginam, lakukan massage segera mungkin
pada fundus uteri.susukan bayi sesegera mungkin.
2. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan trauma
jaringan perineum dan kontraksi uterus berlebih. (Doenges, 2001: 417)
Tujuannya adalah nyeri berkurang atau hilang. Dengan kriteria hasil
ekspresi wajah klien tenang, klien mengatakan nyeri berkurang atau hilang, skala
nyeri kurang dari 4, nadi antara 60-80 x permenit.
Intervensi yang dilakukan antara lain kaji sebab-sebab nyeri pada klien,
ajarkan pada klien tentang metode distraksi dan relaksasi., anjurkan pada klien
untuk melakukan kompres dingin pada daerah perineum, kolaborasi pemberian
analgesic sesuai advis dokter.
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan masuknya kuman
pada luka episiotomi. (Doenges, 2001: 427)
Tujuannya adalah infeksi tidak terjadi. Dengan kriteria hasil: tidak ada
tanda-tanda infeksi pada daerah sekitar luka episiotomi, tanda-tanda vital normal,
jumlah sel darah putih normal.
Intervensinya adalah cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
pasien, monitor tanda-tanda vital, monitor tanda-tanda infeksi pada daerah luka
episiotomi, beri perawatan pada luka episiotomi dengan teknik septic dan
antiseptik, anjurkan pada klien agar menjaga kebersihan perineum, kolaborasi
pemberian antibiotik sesuai advis dokter.
4. Gangguan eliminasi urin: inkonensia berhubungan dengan
obstruksi uretra sekunder terhadap oedema uretra. (Doenges, 2001: 434)
Tujuannya adalah kebutuhan eliminasi urin dapat terpenuhi. Dengan
kriteria hasil: klien dapat mengosongkan kandung kemih 4-8 jam setelah
melahirkan, klien tidak merasakan ketegangan pada kandung kemih.
Intervensi yang dilakukan adalah palpasi kandung kemih untuk
memastikan adanya distensi kandung kemih, kaji intake cairan klien mulai
terakhir saat pengosongan kandung kemih, anjurkan klien untuk merangsang
BAK dengan menggunakan air hangat, kaji jumlah urin yang dikeluarkan, jika
klien tidak bisa mengeluarkan sendiri secara spontan. kolaborasi untuk
pemasangan kateter.
5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelelahan setelah
melahirkan. (Doenges, 2001: 436)
Tujuannya adalah kebersihan diri klien terpenuhi. Dengan kriteria hasil:
klien dapat melakukan perawatan diri secara bertahap, klien tampak bersih dan
segar.
Intervensi yang dilakukan adalah kaji faktor-faktor penyebab yang
berperan, tingkatan partisipasi klien secara bertahap dan optimal, beri bantuan
sesuai dengan kebutuhan perawatan diri klien, beri dorongan untuk
mengungkapkan perasaan tentang perawatan diri, motivasi klien untuk melakukan
perawatan diri sesuai dengan kemampuan, libatkan keluarga dalam pemenuhan
kebutuhan perawatan diri klien.
6. Perubahan pola peran berhubungan dengan penambahan
anggota baru. (Carpenito, 2000: 513)
Tujuannya adalah orang tua dapat menerima peran baru dalam
keluarganya. Dengan kriteria hasil: orang tua dapat menerima keberadaan
bayinya, orang tua dapat mendemonstrasikan perilaku peran barunya, orang tua
mulai mengungkapkan perasaan positif mengenai bayinya.
Intervensi yang dilakukan adalah beri kesempatan untuk membina proses
ikatan dengan bayinya, anjurkan ayah atau ibu untuk menggendong bayinya,
dengarkan cerita tentang pengalamannya selama hamil hingga melahirkan,
berikan dukungan sosial yang diperlukan ibu.
7. Konstipasi berhubungan dengan penurunan sensitivitas colon
(Doenges, 2001: 430)
Tujuannya adalah pasien dapat defekasi dengan lancar dengan kriteria
hasil pasien dapat BAB setelah 3-4 hari post partum.
Intervensi: kaji pola defekasi klien, auskultasi bising usus, anjurkan
pentingnya diit seimbang, dorong masukan harian sedikitnya 2 liter cairan atau 8
sampai 10 gelas kecuali dikontraindikasi, anjurkan untuk ambulasi dini sesuai
toleransi, anjurkan makan makanan tinggi serat, berikan laksatif jika diperlukan.
8. Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan cemas,
gelisah, faktor eksternal perubahan lingkungan.
Tujuannya adalah pasien tidak mengalami gangguan pola tidur. Dengan
kriteria hasil pasien dapat mengungkapkan pemahaman tentang faktor gangguan
tidur, meningkatkan peningkatan kemampuan untuk tidur, wajah klien rileks.
Intervensi yang dilakukan adalah kaji tingkat kelelahan dan kebutuhan
istirahat pasien, kaji faktor-faktor penyebab gangguan pola tidur, berikan
lingkungan yang nyaman, beri kesempatan ibu mengungkapkan perasaannya,
batasi kunjungan selama periode istirahat.
9. Ketidakefektifan menyusui berhubungan dengan kurangnya
managemen laktasi sekunder terhadap pembengkakan payudara.
(Carpenito, 2001: 513)
Tujuannya adalah ibu dapat menyusui bayinya secara efektif. Dengan
kriteria hasil: ibu membuat keputusan menyusui bayinya, ibu mengidentifikasi
aktivitas yang menghalangi untuk menyusui.
Intervensinya adalah kaji faktor-faktor penyebab ketidakefektifan
menyusui, dorong ibu untuk mengungkapkan masalah secara terbuka, kaji
keadaan ibu dan bayi, ajarkan penatalaksaan perawatan payudara yang baik,
ajarkan cara menyusui yang baik, jila ada gejal mastitis atau abses payudara
(ditandai bengkak dan nyeri) anjurkan untuk menghubungi perawat dan dokter.
10. Nutrisi bayi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
inefektif laktasi.
Tujuannya adalah kebutuhan nutrisi bayi terpenuhi. Dengan kriteria hasil:
bayi menerima nutrisi yang adekuat, ibu menunjukkan peningkatan ketrampilan
dalam pemberian ASI, bayi tampak tenang.
Intervensinya adalah kaji pola makan bayi dan kebutuhan nutrisi bayi,
tingkatan pemberian makan per oral yang efektif, tingkatkan tidur dan kurangi
pemakaian energi yang tidak, ajarkan cara menyusui yang benar, ajarkan
perawatan payudara post partum.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Bari Saifuddin. (2002). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan


Maternitas dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Sarwono Prawiroharjo

Arif Mansjoer. (1999). Kapita Selekta Kedokteran. Ed. 3. Jakarta: Media


Aesculapius

Bobak, Jensen. (1995). Maternity and Gynecologic Care, the nurse and the
family.5th Ed. Missouri: Mosby

Carpenito, Linda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Ed. 8. Jakarta:
EGC

Doenges, E. Marilynn. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Ed. 3. Jakarata:
EGC

Doenges, E. Marilynn. (2001). Rencana Perawatan Maternal/Bayi: Pedoman


untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Klien. Jakarta:
EGC
Eni Kusyati, dkk. (2003). Ketrampilan dan Prosedur Keperawatan Dasar.
Cetakan II. Semarang

Hanifa Wiknjosastro. (2002). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawiroharjo

Hartono Hadisaputro. (1997). Penatalaksanaan kegawatdaruratan Obstetri dan


Neonatal dalam Gerakan Sayang Ibu. Perinaria cabang Jawa Tengah
Semarang

http://www.kalbefarma.com. diakses tanggal 14 juli 2006

http://www.kompas.com. diakses tanggal 14 juli 2006

http://www.medicastore.com. diakses tanggal 14 juli 2006

http://www.os.id/ind/produk. diakses tanggal 14 juli 2006

http://library.usu.ac.id. diakses tanggal 14 juli 2006


Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah 1. Bandung: Yayasan
IkatanAlumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran

Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah 3. Bandung: Yayasan


IkatanAlumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran

Manuaba, I.B.G. (2001). Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri


Gynekologi dan KB. Jakarta: EGC

Novak, Broom. (1999). Maternal and Child Health Nursing. 9th Ed. Missouri:
Mosby

Olds, SB. London. M. L.Ladewia, P. A. W. (1999). Maternal Newborn Nursing


Family and Community. Based approach. 6th Ed. United Status of
America: Prentise Hall Healh

Pilliteri, A. (1999). Maternal and Child Bearing Family. 3th. JB Lippincott


Company. USA

Rustam Mochtar. (1998). Sinopsis Obstetri. Edisi 1. Jakarta: EGC

Rustam Mochtar. (1998). Sinopsis Obstetri. Edisi 2. Jakarta: EGC

Sherwen, Mery Ann. (1999). Maternity Nursing Care of The Child bearing
Family. Connecticut: Apleton&Lange

Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar keperawatan Medikal-Bedah


Brunner&Suddarth. Ed. 8. Jakarta:EGC

Stuart and Sundeen. (1998). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3. Jakarta: EGC

Taber, Ben-Zion. (2002). Kapita Selekta Kegawatadaruratan Obstetri dan


Ginekologi alih bahasa: dr. Teddy Supriyadi. Jakarta: EGC

Tarwoto Wartonah. (2004). Kebutuhan Dasar dan Proses Keperawatan. Jakarta:


Salemba Medika
LAPORAN PENDAHULUAN
POST PARTUM TINDAKAN EPISIOTOMI PERSIAPAN KURETASE
ATAS INDIKASI PLASENTA RESTAN
DI RUANG OBSTETRI (B3)
RUMAH SAKIT DOKTER KARIADI SEMARANG

Di susun oleh:

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN SEMARANG


POLITEKNIK KESEHATAN SEMARANG
2007

Anda mungkin juga menyukai