Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.
Dengan kata lain manusia tidak dapat hidup sendiri dan manusia satu dan yang
lainnya saling ketergantungan, serta hidup secara berkelompok membentuk suatu
masyarakat yang memiliki cara hidup dan kebiasaannya sendiri. Cara hidup dan
kebiasaan masyarakat tersebut kemudian melahirkan suatu kebudayaan yang dapat
membentuk nilai seseorang.

Kebudayaan itu sendiri dapat didefinisikan sebagai hasil cipta, rasa dan karsa
manusia. Suatu kebudayaan dapat digunakan sebagai media untuk menciptakan
manusia yang beretika dan berestetika. Manusia yang beretika akan menghasilkan
budaya yang beretika dan berestetika pula. Etika berbudaya mengandung tuntutan
bahwa budaya yang diciptakan haruslah mengandung niali-nilai etik yang bersifat
universal. Meskipun demikian suatu budaya yang dihasilkan tentunya memenuhi
nilai-nilai etik, atau tidak bergantung dari paham atau ideologi yang diyakini oleh
masyarakat. Sedangkan estetika dapat dikatakan sebagi teori tentang seni, atau nilai
estetika berkaitan dengan nilai-nilai mengenain indah dan atau jelek. Estetika sendiri
berifat subyektif, sehingga tidak bisa dipaksakan. Tetapi yang penting menghargai
keindahan budaya yang dihasilkan oleh orang lain.

Etika dan estetika dalam suatu kebudayaan diperlukan untuk menjaga nilai-
nilai kebaikan, kejujuran, sopan-santun, pergaulan, dan rasa keindahan. Dengan
adanya nilai-nilai etika dan estetika dalam suatu kebudayaan tentunya suatu
masyarakat dapat menjadi lebih baik dan teratur.

Globalisasi yang ditandai dengan berkembangnya era informasi yang begitu


cepat pengaruh kebudayaan luar terhadap kebudayaan lokal tentunya tidak dapat
dihindarkan. Kadangkala pengaruh dari kebudayaan asing tidaklah cocok dengan
kebudayaan lokal karena seringkali pengaruh budaya yang masuk hanyalah pengaruh

1
negatifnya. Selain itu karena budaya asing terkadang dianggap lebih baik, dan lebih
modern maka seringkali budaya dari luar terutama budaya barat lebih dikenal dari
pada kebudayaan bangsa sendiri, Belum lagi budaya lokal dan tradisional masyarakat
Indonesia yang juga mulai tersingkir dengan budaya metropolitan di ibu kota. Selain
itu juga sering terjadi benturan antara nilai keagamaan dengan budaya yang masuk
dari luar tersebut. Maka diperlukan sebuah solusi mengenai permasalahan yang
timbul dari pengaruh budaya luar tersebut.

Oleh sebab itu penulis membuat sebuah makalah pribadi yang khusus
membahas mengenai bagaimana caranya membentuk manusia yang beretika baik dan
berestetika tinggi , kemudian membahas kemungkinan yang terjadi terhadap nilai rasa
yang dimiliki manusia akibat adaanya gempuran dari arus globalisasi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang telah di ungkapkan dalam latar belakang,


maka penulis ingin mengarahkan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana caranya membentuk manusia yang beretika dan berestetika ?


2. Bagaimana etika dan estetika manusia dalam berbudaya ?
3. Bagaimana caranya memanusiakan manusia ?
4. Bagaimana problematika kebudayaan berpengaruh terhadaap sikap etika dan
estetika seseorang ?

C. Tujuan Penulisan Makalah


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui cara membentuk manusia yang beretika dam berestetika.


2. Untuk mengetahui bagaimana etika dan estetika manusia berkaitan dengan
kebudayaan.
3. Untuk mengetahui bagaimanakah cara memanusiakan manusia.

2
4. Untuk mengetahui bagaimana problematika kebudayaan berpengaruh
terhadap sikap etika dan estetika seseorang ?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Teori Nilai
Menurut Surip (2014: 78) teori nilai merupakan kerangka ketiga dalam tiga
kerangka besar filsafat: teori pengalaman, teori hakikat dan teori nilai. Teori nilai
mencakup dua hal yaitu tentang etika dan estetika. Tatapi sebelum kita membahas
lebih dalam mengenai kedua hal tersebut, ada baiknya kita mengenal apa itu nilai
sendiri.
Nilai artinya harga. Sesuatu mempunyai nilai bagi seseorang karna dia
berharga bagi dirinya. Menurut Wattimera (dalam Surip, 2014: 78) tidak ada

3
perbedaan antara ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai, antara ilmu pengetahuan
dnegan filsafat, antara yang subjek dengan yang objek, dan antara refleksi faktual
dengan normative.

B. Berbudaya Membentuk Manusia yang Beretika dan Berestetika


1. Berbudaya Membentuk Manusia yang Beretika

Kata etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos. Secara etimologis, etika
adalah ajaran tentang baik buruk, yang diterima umum tentang sikap perbuatan,
kewajiban dan sebagainya. Etika bisa disamakan artinya dengan moral (mores dalam
bahasa latin), akhlak atau kesusilaan. Etika berkaitan dengan masalah nilai, karena
etika pada pokoknya membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat
nilai susila, atau tidak susila, baik dan buruk perbuatan manusia. Menurut KBBI
(Kamus Besar Bahasa Indonesia) (1989) etika merupakan kumpulan asas atau nilai
yang berkenaan dengan akhlaq; nilai mengenai nilai benar dan salah, yang dianut
suatu golongan atau masyarakat.

Namun, etika memiliki makna yang bervariasi. Menurut Bertens (2001: 37)
menyebutkan ada tiga jenis makna etika sebagai berikut :

a. Etika dalam arti nilai-nilai atau norma yang menjadi pegangan bagi seseorang
atau kelompok orang dalam mengatur tingkah laku.
b. Etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral (yang dimaksud disini adalah
kode etik)
c. Etika dalam arti ilmu ajaran tentang yang baik dan yang buruk.

Etika sebagai nilai dan norma etik atau moral berhubungan dengan makna
etika yang pertama. Nilai-nilai etik adalah nilai tentang baik buruk kelakuan manusia.
Nilai etik diwujudkan ke dalam norma etik, norma moral, atau norma kesusilaan yang
terwujud dalam kebudayaan.

Norma etik berhubungan dengan manusia sebagai individu karena


menyangkut kehidupan pribadi. Penduduk norma etik adalah nurani, individu dan
bukan manusia sebagai makhluk sosial atau sebagai anggota masyarakat yang

4
terorganisir. Norma ini dapat melengkapi ketidakseimbangan hidup pribadi dan
mencegah kegelisahan diri sendiri.

Norma etik ditujukan kepada umat manusia agar terbentuk kebaikan akhlak
pribadi guna penyempurnaan manusia dan melarang manusia melakukan perbuatan
jahat. Membunuh, berzina, mencuri, dan sebagainya tidak hanya dilarang oleh norma
kepercayaan atau keagamaan saja, tetapi dirasakan juga sebagai bertentangan dengan
(norma) kesusilaan dalam setiap hati nurani manusia. Norma etik hanya membebani
manusia dengan kewajiban-kewajiban saja.

Asal atau sumber norma etik adalah dari manusia sendiri yang bersifat otonom
dan tidak ditujukan kepada sikap lahir, tetapi ditujukan kepada sikap batin manusia.
Batinnya sendirilah yang mengancam perbuatan yang melanggar norma kesusilaan
dengan sanksi itu. Kalau terjadi pelanggaran norma etik, misalnya pencurian atau
penipuan, maka timbullah dalam nurani si pelanggar itu rasa penyasalan, rasa malu,
takut dan merasa bersalah.

Daerah berlakunya norma etik relatif universal, meskipun tetap dipengaruhi


oleh ideology masyarakat pendukungnya. Perilaku membunuh adalah perilaku yang
moral, asusila, atau tidak etis. Pandangan ini bisa diterima oleh orang mana saja atau
universal. Namun, dalam hal tertentu, perilaku seks bebas bagi masyarakat penganut
kebebasan kemungkinan bukan perilaku yang amoral. Etika masyarakat Timur
mungkin berbeda dengan etika masyarakat Barat.

Norma etik atau norma moral menjadi acuan manusia dalam berperilaku.
Dengan norma etik, manusia bisa membedakan mana perilaku yang baik dan mana
perilaku yang buruk. Norma etik menjadi semacam das sollen untuk berperilaku baik.
Manusia yang beretika berarti perilaku manusia itu baik sesuai dengan norma-norma
etik.

Budaya atau kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Manusia
yang beretika akan menghasilkan budaya yang memiliki nilai-nilai etik pula. Etika

5
berbudaya menganut tuntutan/keharusan bahwa budaya yang diciptakan manusia
mengandung nilai-nilai etik yang kurang lebih bersifat universal atau diterima
sebagian besar orang. Budaya yang memiliki nilai-nilai etik adalah budaya yang
mampu menjaga, mempertahankan, bahkan mampu meningkatkan harkat dan
martabat manusia itu sendiri. Sebaliknya, budaya tidak beretika adalah kebudayaan
yang akan merendahkan atau bahkan menghancurkan martabat kemanusiaan.

Namun demikian, menentukan apakah suatu budaya yang dihasilkan manusia


itu memenuhi nilai-nilai etik ataukah menyimpang dari nilai etika adalah bergantung
pada paham atau ideologi yang meyakini masyarakat pendukung kebudayaan. Hal ini
dikarenakan berlakunya nilai-nilai etik bersifat universal, namun sangat dipengaruhi
oleh ideologi masyarakat.

Contoh;

Budaya perilaku berduaan di jalan antara sepasang pemuda mudi, bahkan


bermesraan di hadapan umum.

Masyarakat individual menyatakan hal demikian bukanlah perilaku tidak etis,


akan tetapi ada sebagian orang atau masyarakat yang berpandangan hal tersebut
merupakan penyimpangan etik. Masalah etik tidak etik ini berkenaan dengan norma
dan budaya yang berlaku di suatu daerah. Mungkin untuk masyarakat luar seperti
masyarakat Rusia berdua-duaan ataupun berciuman di tempat umum bukanlah
sesuatu tindak susila yang tidak beretika. Karna lingkungan di sana sudah
menganggap hal tersebut sebagai norma yang biasa, namun berbeda jika hal tersebut
dilakukan di negara yang masih menjunjung norma dan nilai-nilai kesopanan
terkhususnya Indonesia hal ini akan dianggap sebagai sebuah tindak susila karna
memang tidak sesuai dengan norma dan kebudayaan yang ada di negara tersebut.

Menurut Heriyanto (2008: 97) dalam perkembangannya etika selalu


berkembang, perkembangannya dipengaruhi oleh kebudayaan, berdasarkan hal
tersebut etika dapat dibagi menjadi beberapa kelas yaitu sebagai berikut:

6
a. Etika Perangai dan Moral
1) Etika Perangai

Etika perangai adalah adat istiadat atau kebiasaan yang menggambaran


perangai manusia dalam kehidupan bermasyarakat di aderah-daerah tertentu, pada
waktu tertentu pula. Etika perangai tersebut diakui dan berlaku karena disepakati
masyarakat berdasarkan hasil penilaian perilaku.

Contoh etika perangai:

a) berbusana adat

b) pergaulan muda-mudi

c) perkawinan semenda

d) upacara adat

2) Etika Moral

Etika moral berkenaan dengan kebiasaan berperilaku yang baik dan benar
berdasarkan kodrat manusia. Apabila etika ini dilanggar timbullah kejahatan, yaitu
perbuatan yang tidak baik dan tidak benar. Kebiasaan ini berasal dari kodrat manusia
yang disebut moral.

Contoh etika moral:

a) Berkata dan berbuat jujur

b) Menghargai hak orang lain

7
c) Menghormati orangtua dan guru

d) Membela kebenaran dan keadilan

e) Menyantuni anak yatim/piatu.

Etika moral ini terwujud dalam bentuk kehendak manusia berdasarkan


kesadaran, dan kesadaran adalah suara hati nurani. Dalam kehidupan, manusia selalu
dikehendaki dengan baik dan tidak baik, antara benar dan tidak benar. Dengan
demikian ia mempertanggung jawabkan pilihan yang telah dipilihnya itu. Kebebasan
kehendak mengarahkan manusia untuk berbuat baik dan benar. Apabila manusia
melakukan pelanggaran etika moral, berarti dia berkehendak melakukan kejahatan,
dengan sendirinya berkehandak untuk di hukum. Dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara, nilai moral dijadikan dasar hukum positif yang dibuat oleh penguasa.

b. Etika Pribadi dan Etika Sosial

Dalam kehidupan masyarakat kita mengenal etika pribadi dan etika social.
Untuk mengetahui etika pribadi dan etika social diberikan contoh sebagai berikut:

1) Etika Pribadi

Misalnya seorang yang berhasil dibidang usaha (wiraswasta) dan


menjadi seseorang yang kaya raya (jutawan). Ia disibukkan dengan usahanya
sehinnga ia lupa akan diri pribadinya sebagai hamba Tuhan. Ia
mempergunakan untuk keperluan-keperluan hal-hal yang tidak terpuji dimata
masyarakat (mabuk-mabukan, suka mengganggu ketentraman keluarga orang
lain). Dari segi usaha ia memang berhasil mengembangkan usahanya sehinnga
ia menjadi jutawan, tetapi ia tidak berhasil dalam emngembangkan etika
pribadinya.

8
2) Etika Sosial

Misalnya seorang pejabat pemerintah (Negara) dipercaya untuk


mengelola uang negara. Uang milik Negara berasal dari rakyat dan untuk
rakyat. Pejabat tersebut ternyata melakukan penggelapan uang Negara utnuk
kepentingan pribadinya, dan tidak dapat mempertanggungjawabkan uang yang
dipakainya itu kepada pemerintah. Perbuatan pejabat tersebut adalah
perbuatan yang merusak etika sosial.

2. Berbudaya Membentuk Manusia yang Berestetika

Menurut Surip (2014: 92) estetika dapat dikatakan sebagai teori keindahan
atau seni. Estetika berkaitan dengan nilai indah dan tidak indah. Nilai estetika berarti
nilai tentang keindahan. Keindahan dapat diberimakna secara luas, secara sempit, dan
estetik murni.
a. Secara luas
Secaraa luas, keindahan mengandung ide kebaikan. Bahwa segala
sesuatu yang baik termasuk yang abstrak maupun yang nyata yang mengandung
ide kebaikan adalah indah. Keindahan dalam arti luas meliputi banyak hal,
seperti watak yang indah, hukum yang indah,ilmu yang indah dan kebijakan
yang indah. Indah dalam arti luas mencakup hampir seluruh yang ada, apakah
merupakan hasil seni, alam, moral dan intelektual.
b. Secara sempit
Secara sempit, indah yang terbatas pada lingkup persepsi penglihatan
(bentuk dan warna ).
c. Secara estetik murni
Secara estetik murni, menyangkut pengalaman seseorang dalam
hubungan dengan segala sesuatu yang diresapinya melalui penglihatan,
pendengaran, perabaan dan perasaan yang semuanya dapat menimbulkan
persepsi(anggapan).

9
Menurut Surip (2014: 92) jika estetika dibandingkan dengan etik, maka etika
berkaitan dengan nilai tentang baik buruk, sedangkan estetika berkaitan dengan hal
yang baik-jelek. Sesuatu yang estetika berarti memenuhi bentuk keindahan (secara
estetik murni maupun sempit, baik dalam bentuk kata, warna , garis ataupun nada).
Budaya yang estetik berarti budaya itu meliputi keindahan.

Apabila nilai etik bersifat relatif universal, dalam arti bisa diterima banyak
orang, namun nilai estetik sangat subjektif dan partikular. Sesuatu yang indah bagi
seseorang belum tentu indah bagi orang lain. Misalnya dua orang memandang sebuah
lukisan. Orang pertama akan mengakui akan keindahan dalam lukisan tersebut,
namun bisa jadi orang kedua tidak menemukan keindahan dalam lukisan tersebut.

Oleh karena itu subjektif, nilai estetik tidak boleh dipaksakan pada orang lain.
Kita bisa memaksa seseorang untuk mengakui sebuah keindahan lukisan sebagai
pandangan kita. Nilai estetik lebih bersifat kepada perasaan ,bukan pernyataan.

Budaya merupakan hasil karya manusia sesungguhnya diupayakan untuk


memanuhi unsur keindahan. Manusia sendiri memang suka dengan keindahan.
Disinilah masyarakat berusaha berestetika dalam berbudaya sebudaya pasti
dipandang memiliki nilai-nilai estetik bagi masyarakat pendukung budaya tersebut.
Hal-hal yang indah dan kesukaannya pada keindahan diwujudkan dengan
menciptakan aneka ragam budaya.

Namun sekali lagi, bahwa suatu produk budaya yang dipandang indah oleh
masyarakat pemiliknya belum tentu indah bagi masyarakat budaya lain. Contohnya,
budaya, suku-suku bangsa Indonesia. Tarian suatu suku berikut penari dan
pakaiannya mungkin dilihat tidak ada nilai estetikanya , bahkan dipandang aneh oleh
masyarakat suku lain, demikian pula sebaliknya.

Oleh karena itu, estetika berbudaya tidak semata-mata dalam berbudaya harus
memenuhi nilai-nilai keindahan. Lebih dari itu, estetika berbudaya menyiratkan
perlunya manusia (individu atau masyarakat) untuk menghargai keindahan budaya

10
yang dihasilkan manusia lainnya. Keindahan adalah subjektif, tetapi kita dapat
melepaskan subjektivitas kita untuk melihat adanya estetika dari budaya lain. Estetika
berbudaya yang demikian akan mampu memecah sekat-sekat kebekuan,
ketidakpercayaan, kecurigaan, dan rasa inferioritas antarbudaya.

C. Memanusiakan Manusia
Menurut Herimanto (2008:107) manusia tidak hanya sebatas menjadi homo,
tetapi harus meningkatkan diri menjadi human. Manusia harus memiliki prinsip,
nilai,dan rasa kemanusiaan,tetapi binatang tidak bisa dikatakan memiliki peri
kebinatangan. Hal ini karena binatang tidak memiliki akal budi, sedangkan manusia
memiliki akal budi yang bisa memunculkan rasa atau perikemanusiaan.
Perikemanusiaan inilah yang mendorong perilaku baik sebagai manusia.

Memanusiakan manusia berarti perilaku manusia untuk senantiasa


menghargai dan menghormati harkat dan derajat manusia lainnya. Memanusiakan
manusia adalah tidak menindas sesama, tidak menghardik, tidak bersifat kasar, tidak
menyakiti, dan perilaku-perilaku lainnya.

Memanusiakan manusia berarti pula perilaku memanusiawikan antar sesama.


Memanusiakan manusia memberikan keuntungan bagi diri sendiri maupun orang lain.
Bagi diri sendiri menunjukan harga diri dan nilai luhur pribadinya sebagai manusia.
Sedangkan bagi orang lain akan memberikan rasa percaya, rasa hormat, kedamaian
dan kesejahteraan hidup.

Sebaliknya, sikap tidak manusiawi terhadap manusia lain hanya akan


merendahkan harga diri dan martabatnya sebagai manusia yang sesungguhnya mulia.
Sedangkan bagi orang lain sebagai korban yang tindakan yang tidak manusiawi akan
menciptakan penderitaan, kesusahan, ketakutan, perasaan, dendam dan sebagainya
.Sejarah membuktikan bahwa perseteruan, pertentangan, dan peperangan yang terjadi
di berbagai belahan dunia adalah karena manusia belum mampu memanusiakan
manusia lain, dan sekelompok bangsa menindas bangsa lain. Penjajahan atau

11
kolonialisme adalah contoh perilaku suatu bangsa menindas bangsa lain. Penjajahan
tidak sesuai dengan peri kemanusiaan.

Dewasa ini, perilaku tidak manusiawi di contohkan dengan adanya kasus


kekerasan terhadap para pembantu rumah tangga. Misalnya seorang pembantu
disiksakan tidak diberikan upah, dikurung dalam rumah, dan sebagainya. Para
majikan telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip
kemanusiaan.

Sikap dan perilaku memanusiakan manusia didasarkan atas manusia yang


disebut the mankind is one. Prinsip kemanusiaan tidak membeda-bedakan kita dalam
memperlakukan orang lain atas dasar warna kulit, suku, agama, ras, asal, dan status
sosial ekonomi. Kita tetap harus manusiawi terhadap orang lain, apapun latar
belakangnya, karena manusia adalah mahluk Tuhan yang sama harkat dan
martabatnya. Perilaku yang manusiawi atau memanusiakan manusia adalah sesuai
dengan kodrat manusia. Sebaliknya, perilaku yang tidak manusiawi bertentangan
dengan hakikat kodrat manusia. Perilaku yang tidak manusiawi pasti akan
mendatangkan kerusakan manusia

D. Problematika Kebudayaan

Kebudayaan yang diciptakan manusia dalam kelompok dan wilayah yang


berbeda-beda menghasilkan keragaman kebudayaan. Tiap persekutuan hidup manusia
(masyarakat, suku, atau bangsa) memiliki kebudayaannya sendiri yang berbeda
dengan kebudayaan kelompok lain. Kebudayaan yang dimiliki sekelompok manusia
membentuk ciri dan menjadi pembeda dengan kelompok lain. Dengan demikian,
kebudayaan merupakan identitas dari persekutuan hidup manusia (Herimanto, 2008).

Dalam rangka pemenuhan hidupnya manusia akan berinteraksi dengan


manusia lain, masyarakat berhubungan dengan masyarakat lain, demikian pula terjadi
hubungan antar persekutuan hidup manusia dari waktu ke waktu dan terus
berlangsung sepanjang kehidupan manusia. Kebudayaan yang ada ikut pula

12
mengalami dinamika seiring dengan dinamika pergaulan hidup manusia sebagai
pemilik kebudayaan. Berkaitan dengan hal tersebut kita mengenal adanya pewarisan
kebudayaan, perubahan kebudayaan, dan penyebaran kebudayaan.

1. Pewarisan Kebudayaan

Pewarisan kebudayaan adalah proses pemindahan, penerus, pemilikan, dan


pemakaian kebudayaan dari generasi ke generasi secara kesinambungan .Pewarisan
budaya bersifat vertikal artinya budaya diwariskan dari generasi terdahulu kepada
generasi berikutnya untuk digunakan, dan selanjutnya diteruskan kepada generasi
yang akan datang.

Pewarisan kebudayaan dapat dilakukan melalui enkulturasi dan sosialisasi.


Enkulturasi atau pembudayaan adalah proses mempelajari dan menyesuaikan pikiran
dan sikap individu dengan sistem norma, adat dan peraturan hidup dalam
kebudayaannya. Proses enkulturasi dimulai sejak dini, yaitu masa kanak-kanak,
bermula dari lingkungan keluarga,teman-teman sepermainan, dan masyarakat luas.
Sosialisasi atau proses pemasyarakatan adalah individu menyesuaikan diri dengan
individu lain dalam masyarakat.

Dalam hal pewarisan budaya bisa muncul masalah antara lain: sesuai atau
tidaknya budaya warisan tersebut dengan dinamika masyarakat sekarang, penolakan
generasi penerima terhadap warisan budaya tersebut dan munculnya budaya baru
yang tidak lagi sesuai dengan budaya warisan.

Dalam suatu kasus, ditemukan generasi muda menolak budaya yanng hendak
diwariskan oleh generasi pendahulunya. Budaya itu dianggap tidak lagi sesuai
dengan kepentingan hidup generasi tersebut,bahkan dianggap bertolak belakang
dengan nilai-nilai budaya baru yang diterima sekarang ini.

2. Perubahan Kebudayaan

13
Perubahan kebudayaan adalah perubahan yang terjadi sebagai akibat adanya
ketidaksesuaian diantara unsur-unsur budaya yang saling berbeda sehingga terjadi
keadaan yang fungsinya tidak serasi bagi kehidupan. Perubahan kebudayaan
mencakup banyak aspek, baik bentuk, sifat perubahan, dampak perubahan, dan
mekanisme yang dilaluinya.Perubahan kebudayaan didalamnya mencakup
perkembangan kebudayaan.

Perubahan kebudayaan yang terjadi bisa memunculkan masalah, antara lain


perubahan akan merugikan manusia jika perubahan itu bersifat regress (kemunduran)
bukan progress (kemajuan), perubahan bisa berdampak buruk atau menjadi bencana
jika dilakukan melalui revolusi, berlangsung cepat, dan diluar kendali manusia.

3. Penyebaran Kebudayaan

Penyebaran kebudayaan atau difusi adalah proses menyebarnya unsur-unsur


kebudayaan dari suatu kelompok ke kelompok lain atau suatu masyarakat ke
masyarakat lain. Kebudayaan kelompok masyarakat di suatu wilayah bisa menyebar
ke masyarakat lain, Misalnya, kebudayaan dari masyarakat Barat (Negara-negara
Eropa) masuk dan memengaruhi kebudayaan Timur (bangsa Asia dan Afrika).
Globalisasi budaya bisa dikatakan pula sebagai penyebaran suatu kebudayaan secara
meluas.

Dalam hal penyebaran kebudayaan, seorang sejarawan Arnold J. Toynbee


merumuskan beberapa dalil tentang radiasi budaya sebagai berikut.

Pertama, aspek atau unsur budaya selalu masuk tidak secara keseluruhan,
melainkan individual.Kebudayaan Barat yang masuk ke dunia Timur pada abad ke-19
tidak masuk secara keseluruhan. Dunia Timur tidak mengambil budaya Barat secara
keseluruhan, tetapi unsur tertentu yaitu teknologi.Teknologi merupakan unsur yang
paling mudah diserap.Industrialisasi di Negara-negara Timur merupakan pengaruh
dari kebudayaan Barat.

14
Kedua, kekuatan menembus suatu budaya berbanding terbalik dengan nilainya.
Makin tinggi dan dalam aspek budayanya, makin sulit untuk diterima. Contoh religi
adalah lapis dalam dari budaya. Religi orang Barat (Kristen) sulit diterima oleh orang
Timur dibanding teknologinya. Alasannya, religi merupakan lapisan budaya yang
paling dalam dan tinggi, sedangkan teknologi merupakan lapis luar dari budaya.

Ketiga, jika satu unsur budaya masuk maka akan menarik unsur yang lain. Unsur
teknologi asing yang diadopsi akan membawa masuk pula nilai budaya asing melalui
orang-orang asing yang bekerja di industry teknologi tersebut.

Keempat, aspek atau unsur budaya yang di tanah asalnya tidak berbahaya, bisa
menjadi berbahaya bagi masyarakat yang didatangi.Dalam hal ini, Toynee
memberikan contoh nasionalisme.Nasionalisme sebagai hasil evolusi sosial budaya
dan menjadi sebab tumbuhnya negara-negara nasional di Eropa abad ke-19 justru
memecah belah sistem kenegaraan di dunia Timur seperti kesultanan dan kekhalifaan
di Timur Tengah.

Penyebaran kebudayaan (difusi) bisa menimbulkan masalah. Masyarakat


penerima akan kehilangan nilai-nilai budaya lokal sebagai akibat kuatnya budaya
asing yang masuk. Contoh globalisasi budaya yang bersumber dari kebudayaan Barat
pada era sekarang ini adalah masuknya nilai-nilai budaya global yang dapat memberi
dampak negatif bagi perilaku sebagian masyarakat Indonesia.Misalnya, pola hidup
konsumtif, hedonisme, pragmatis, dan individualistik.Akibatnya, nilai budaya bangsa
seperti rasa kebersamaan dan kekeluargaan lambat laun bisa hilang dari masyarakat
Indonesia.

Pada dasarnya, difusi merupakan bentuk kontak antarkebudayaan. Selain difusi,


kontak kebudayaan dapat pula berupa akulturasi dan asimilasi.Akulturasi berarti
pertemuan antara dua kebudayaan atau lebih yang berbeda.Akulturasi merupakan
kontak antar kebudayaan, namun masing-masing masih memperlihatkan unsur-unsur
budayanya. Asimilasi berarti peleburan antar kebudayaan yang bertemu. Asimilasi
terjadi karena proses yang berlangsung lama dan intensif antara mereka yang

15
berlainan latar belakang ras, suku, bangsa, dan kebudayaan. Pada umumnya, asimilasi
menghasilkan kebudayaan baru.

16
BAB III
PENUTUP

A.Simpulan
Kata etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos. Secara etimologis, etika
adalah ajaran tentang baik buruk, yang diterima umum tentang sikap perbuatan,
kewajiban dan sebagainya. Etika bisa disamakan artinya dengan moral (mores dalam
bahasa latin), akhlak atau kesusilaan. Etika berkaitan dengan masalah nilai, karena
etika pada pokoknya membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat
nilai susila, atau tidak susila, baik dan buruk perbuatan manusia.
Budaya atau kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Manusia
yang beretika akan menghasilkan budaya yang memiliki nilai-nilai etik. Budaya yang
memiliki nilai-nilai etik adalah budaya yang mampu menjaga, mempertahankan,
bahkan mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia itu sendiri. Sebaliknya,
budaya tidak beretika adalah kebudayaan yang akan merendahkan atau bahkan
menghancurkan martabat kemanusiaan.

Estetika dapat dikatakan sebagai teori keindahan atau seni. Estetika berkaitan
dengan nilai indah dan tidak indah. Nilai estetika berarti nilai tentang keindahan.
estetika berbudaya tidak semata-mata dalam berbudaya harus memenuhi nilai-nilai
keindahan. Lebih dari itu, estetika berbudaya menyiratkan perlunya manusia
(individu atau masyarakat) untuk menghargai keindahan budaya yang dihasilkan
manusia lainnya. Keindahan adalah subjektif, tetapi kita dapat melepaskan
subjektivitas kita untuk melihat adanya estetika dari budaya lain. Estetika berbudaya
yang demikian akan mampu memecah sekat-sekat kebekuan, ketidakpercayaan,
kecurigaan, dan rasa inferioritas antarbudaya.

Memanusiakan manusia berarti perilaku manusia untuk senantiasa menghargai


dan menghormati harkat dan derajat manusia lainnya.

17
B. Saran
Diharapkan para mahasiswa dapat memiliki etika dan estetika dalam
berbudaya. Serta dapat memanusiakan manusia atau menghargai harkat dan derajat
orang lain sebagai manusia.

18
DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal. 2005. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers.

Bertens, K. 2001. Etika. Seri Filsafat Atma Jaya: 15. Jakarta: Gramedia.

Herimanto, dkk. 2008. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta Timur: PT Bumi
Aksara.

Sumarna, Cecep. 2008. Filsafat Ilmu. Bandung: Mulia Press.

Surajiyo. 2007. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara.

Suriasumantri, Jujun S. 2012. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:


Pustaka Sinar Harapan.

Surip, Muhammad. 2014. Berpikir Kritis Analisis Kajian Filsafat Ilmu. Jakarta:
Halaman Moeka.

Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Ilmu. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Rosita. 2015. Manusia sebagai Mahluk Budaya (Online), (http://www.ISBD.htm),


diakses 2 Desember 2015.

Salim, Asbar. 2014. Mata Kuliah Ilmu Sosial dan Budaya (Online),
(.http://asbarsalim009.blogspot.com/2014/04/mata-kuliah-ilmu-sosial-dan-
budaya.html), diakses 2 Desember 2015.

19

Anda mungkin juga menyukai