2. Anatomi Fisiologi
Pankreas merupakan sekumpulan kelenjar yang panjangnya kira kira 15
cm, lebar 5 cm, mulai dari duodenum sampai ke limpa dan beratnya rata
rata 60 90 gram. Terbentang pada vertebrata lumbalis 1 dan 2 di belakang
lambung (Guyton & Hall, 2011).
Pankreas merupakan kelenjar endokrin terbesar yang terdapat di dalam
tubuh baik hewan maupun manusia. Bagian depan ( kepala ) kelenjar
pankreas terletak pada lekukan yang dibentuk oleh duodenum dan bagian
pilorus dari lambung. Bagian badan yang merupakan bagian utama dari
organ ini merentang ke arah limpa dengan bagian ekornya menyentuh atau
terletak pada alat ini. Dari segi perkembangan embriologis, kelenjar
pankreas terbentuk dari epitel yang berasal dari lapisan epitel yang
membentuk usus.
Pankreas terdiri dari dua jaringan utama, yaitu :
a. Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum.
b. Pulau Langerhans yang tidak tidak mengeluarkan sekretnya keluar, tetapi
menyekresi insulin dan glukagon langsung ke darah.
Pulau pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari
pamkreas tersebar di seluruh pankreas dengan berat hanya 1 3 % dari berat
total pankreas. Pulau langerhans berbentuk ovoid dengan besar masing-
masing pulau berbeda. Besar pulau langerhans yang terkecil adalah 50 ,
sedangkan yang terbesar 300 , terbanyak adalah yang besarnya 100 225
. Jumlah semua pulau langerhans di pankreas diperkirakan antara 1 2
juta.
Pulau langerhans manusia, mengandung tiga jenis sel utama, yaitu :
a. Sel sel A ( alpha ), jumlahnya sekitar 20 40 % ; memproduksi
glikagon yang manjadi faktor hiperglikemik, suatu hormon yang
mempunyai anti insulin like activity .
b. Sel sel B ( betha ), jumlahnya sekitar 60 80 % , membuat insulin.
c. Sel sel D ( delta ), jumlahnya sekitar 5 15 %, membuat somatostatin.
Masing masing sel tersebut, dapat dibedakan berdasarkan struktur dan
sifat pewarnaan. Di bawah mikroskop pulau-pulau langerhans ini nampak
berwarna pucat dan banyak mengandung pembuluh darah kapiler. Pada
penderita DM, sel beha sering ada tetapi berbeda dengan sel beta yang
normal dimana sel beta tidak menunjukkan reaksi pewarnaan untuk insulin
sehingga dianggap tidak berfungsi.
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 untuk insulin
manusia. Molekul insulin terdiri dari dua rantai polipeptida yang tidak sama,
yaitu rantai A dan B. Kedua rantai ini dihubungkan oleh dua jembatan
( perangkai ), yang terdiri dari disulfida. Rantai A terdiri dari 21 asam amino
dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin dapat larut pada pH 4 7
dengan titik isoelektrik pada 5,3. Sebelum insulin dapat berfungsi, ia harus
berikatan dengan protein reseptor yang besar di dalam membrana sel.
Insulin di sintesis sel beta pankreas dari proinsulin dan di simpan dalam
butiran berselaput yang berasal dari kompleks Golgi. Pengaturan sekresi
insulin dipengaruhi efek umpan balik kadar glukosa darah pada pankreas.
Bila kadar glukosa darah meningkat diatas 100 mg/100ml darah, sekresi
insulin meningkat cepat. Bila kadar glukosa normal atau rendah, produksi
insulin akan menurun.
Selain kadar glukosa darah, faktor lain seperti asam amino, asam lemak,
dan hormon gastrointestina merangsang sekresi insulin dalam derajat
berbeda-beda. Fungsi metabolisme utama insulin untuk meningkatkan
kecepatan transport glukosa melalui membran sel ke jaringan terutama sel
sel otot, fibroblas dan sel lemak.
3. Epidemiologi
Diabetes terutama prevalen di antara kaum lanjut usia. Di antara individu
yang berusia lebih dari 65 tahun, 8,6% menderita diabetes tipe II. Angka ini
mencakup 15% populasi pada panti lansia. Di amerika serikat, orang
Hispanik, Negro, dan sebagian penduduk asli Amerika memiliki angka
insiden diabetes yang lebih tinggi daripada penduduk kulit putih. Sebagian
penduduk asli amerika, seperti suku Pima, mempunyai angka diabetes
dewasa sebesar 20% hingga 50%.
Angka rawat inap bagi penderita diabetes adalah 2,4 kali lebih besar pada
orang dewasa dan 5,3 kali lebih besar pada anak-anak bila di bandingkan
dengan populasi umum. Separuh dari keseluruhan penderita diabetes yanmg
berusia lebih dari 65 tahun dirawat di rumah sakit setiap tahunnya.
Komplikasi yang serius dan dapat membawa kematian sering turut
menyebabkan peningkatan angka rawat inap bagi penderita diabetes
(Brunner dan Suddarth, 2002).
4. Etiologi
a. Diabetes tipe I:
1) Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi
mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah
terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada
individu yang memiliki tipe antigen HLA.
2) Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal
dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara
bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah
sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau
Langerhans dan insulin endogen.
3) Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang
menimbulkan destruksi selbeta.
b. Diabetes Tipe II
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui.
Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi
insulin.
Faktor-faktor resiko :
1) Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)
2) Obesitas
3) Riwayat keluarga
5. Patofisiologi
Sebagian besar gambaran patologik dari DM dapat dihubungkan dengan
salah satu efek utama akibat kurangnya insulin berikut:
a. Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel sel tubuh yang
mengakibatkan naiknya konsentrasi glukosa darah setinggi 300 1200
mg/dl.
b. Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak yang
menyebabkan terjadinya metabolisme lemak yang abnormal disertai
dengan endapan kolestrol pada dinding pembuluh darah.
c. Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh.
Pasien pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi
sesudah makan. Pada hiperglikemia yng parah yang melebihi ambang ginjal
normal (konsentrasi glukosa darah sebesar 160 180 mg/100 ml ), akan
timbul glikosuria karena tubulus tubulus renalis tidak dapat menyerap
kembali semua glukosa. Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis
osmotik yang menyebabkan poliuri disertai kehilangan sodium, klorida,
potasium, dan pospat. Adanya poliuri menyebabkan dehidrasi dan timbul
polidipsi. Akibat glukosa yang keluar bersama urine maka pasien akan
mengalami keseimbangan protein negatif dan berat badan menurun serta
cenderung terjadi polifagi. Akibat yang lain adalah astenia atau kekurangan
energi sehingga pasien menjadi cepat telah dan mengantuk yang disebabkan
oleh berkurangnya atau hilangnya protein tubuh dan juga berkurangnya
penggunaan karbohidrat untuk energi.
Hiperglikemia yang lama akan menyebabkan arterosklerosis, penebalan
membran basalis dan perubahan pada saraf perifer. Ini akan memudahkan
terjadinya gangren (Sylvia, 2009).
6. Klasifikasi
a. IDDM ( Insulin Dependent Diabetes Millitus ) atau diabetes tipe 1
Sangat tergantung pada insulin. Disebabkan oleh kerusakan sel beta
pankreas sehingga tubuh tidak dapat memproduksi insulin alami untuk
mengontrol kadar glukosa darah.
b. NIDDM ( Non-Insulin Dependent Diabetes Millitus ) atau diabetes tipe 2
Tidak tergantung insulin. Disebabkan oleh gangguan metabolisme dan
penurunan fungsi hormon insulin dalam mengontrol kadar glukosa darah
dan hal ini bisa terjadi karena faktor genetik dan juga dipicu oleh pola
hidup yang tidak sehat.
c. Gestational Diabetes
Disebabkan oleh gangguan hormonal pada wanita hamil. Diabetes
melitus ( gestational diabetes mellitus, GDM) juga melibatkan suatu
kombinasi dari kemampuan reaksi dan pengeluaran hormon insulin yang
tidak cukup, sama dengan jenis-jenis kencing manis lain. Hal ini
dikembangkan selama kehamilan dan dapat meningkatkan atau
menghilang setelah persalinan. Walaupun demikian, tidak menutup
kemungkinan diabetes gestational dapat mengganggu kesehatan dari
janin atau ibu, dan sekitar 20%50% dari wanita-wanita dengan
Diabetes Melitus gestational sewaktu-waktu dapat menjadi penderita.
d. Diabetes melitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lain.
Perbedaan diabetes tipe 1 dengan tipe 2.
7. Gejala Klinis
Gejala dari penderita Diabetes mellitus yaitu 3P :
a. Poliuria : Peningkatan dalam berkemih
b. Polidipsia : Peningkatan rasa haus
c. Poliphagia : Peningkatan selera makan
Gejala lainnya adalah pandangan kabur, pusing, mual dan berkurangnya
ketahanan selama melakukan olah raga. Penderita diabetes yang kurang
terkontrol lebih peka terhadap infeksi.
Karena kekurangan insulin yang berat, maka sebelum menjalani
pengobatan penderita diabetes tipe I hampir selalu mengalami penurunan
berat badan. Sebagian besar penderita diabetes tipe II tidak mengalami
penurunan berat badan.
Gejala klinis pada pasien diabetes berdasarkan klasifikasi (Brunner dan
Suddarth, 2007):
a. Diabetes tipe I atau IDDM
1) Awitan terjadi pada segala usia, tetapi biasanya usia muda (<30
tahun)
2) Biasanya bertubuh kurus pada saat di diagnosis; dengan penurunan
berat yang baru saja terjadi
3) Etiologi mencakup faktor genetik, imunologi atau lingkungan
(misalnya virus)
4) Sering memiliki antibodi sel pulau Langarhans
5) Sering memiliki antibodi terhadap insulin sekalipun belum pernah
mendapatkan terapi insulin.
6) Sedikit atau tidak mempunyai insulin endogen.
7) Memerlukan insulun untuk mempertahannkan kelangsungan hidup.
8) Cenderung mengalami ketosis jika tidak memiliki insulin.
9) Komplikasi akut hiperglikemia: ketoasidosis diabetik
b. Diabetes tipe II atau NIDDM
1) Awitan terjadi di segala usia , biasanya di atas 30 tahun
2) Biasanya bertubuh gemuk (obese) pada saat di diagnosis
3) Etiologi mencakup faktor obesitas, herediter atau lingkungan
4) Tidak ada antibodi sel pulau Langarhans
5) Penurunan produksi insulin endogen atau peningkatan resistensi
insulin
6) Mayoritas penderita obesitas dapat mengendalikan kadar glukosa
darahnya melalui penurunan berat badan
7) Agens hipoglikemia oral dapat memperbaiki kadar glukosa darah
bila modifikasi diet dan pelatihan tidak berhasil
8) Mungkin memerlukan insulin dalam waktu yang pendek atau
panjang untutk mencegah hiperglikemia
9) Ketosis jarang terjadi kecuali bila dalam keadaan stress atau
menderita infeksi
10) Komplikasi akut: sindrom hiperosmoler non ketotik.
c. Gestasional diabetes
1) Awitan selama kehamilan biasanya terjadi pada trimester kedua
atau ketiga.
2) Disebabkan oleh hormon yan disekresikan plasenta dan
menghambat kerja insulin.
3) Risiko terjadinya komplikasi perinatal diatas normal, khususnya
makrosomia (bayi yang secara abnormal berukuran besar).
4) Diatasi dengan diet, dan insulin (jika diperlukan) untuk
mempertahankan secara ketat kadar glukosa darah normal.
5) Terjadi pada sekitar 2%-5% dari seluruh kehamilan.
6) Intoleransi glukosa terjadi untuk sementara waktu tetapi dapat
kambuh kembali: pada kehamilan berikutnya, 30-40% akan
mengalami diabetes yang nyata (biasanya tipe II) dalam waktu
sepuluh tahun (jika obesitas).
7) Faktor risiko mencakup: obesitas, usia diatas 30 tahun, riwayat
diabetes dalam keluarga, pernah melahirkan bayi yang besar (lebih
dari 4,5 kg)
8) Pemeriksaan skrining (tes toleransi) harus dilakukan pada SEMUA
wanita hamil dengan usia kehamilan di antara 24-28 minggu.
8. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala dan wajah
- Inspeksi: adanya katarak pada mata, wajah pasien pucat, pernafasan
cuping hidung, mukosa bibir kering.
b. Dada
- Inspeksi: terdapat retraksi intercostal, RR > 20 x/menit
c. Ekstremitas
- Inspeksi: kulit kering.
- Palpasi: turgor kulit tidak elastis (kembali > 2 detik), tonus otot
menurun.
b. Pemeriksaan mikroalbumin
Mendeteksi komplikasi pada ginjal dan kardiovaskular
Nefropati Diabetik
1) Salah satu komplikasi yang ditimbulkan oleh penyakit
diabetes adalah terjadinya nefropati diabetic, yang dapat
menyebabkan gagal ginjal terminal sehingga penderita perlu
menjalani cuci darah atau hemodialisis.
2) Nefropati diabetic ditandai dengan kerusakan glomerolus
ginjal yang berfungsi sebagai alat penyaring.
3) Gangguan pada glomerulus ginjal dapat menyebabkan
lolosnya protein albumin ke dalam urine.
4) Adanya albumin dalam urin (=albuminoria) merupakan
indikasi terjadinya nefropati diabetic.
Manfaat pemeriksaan Mikroalbumin (MAU)
a. Diagnosis dini nefropati diabetic
b. Memperkirakan morbiditas penyakit kardiovaskular dan
mortalitas pada pasien DM
Jadwal pemeriksaan Mikroalbumin
a. Untuk DM Tipe 1, diperiksa pada masa pubertas atau setelah 5
tahun didiagnosis DM
b. Untuk DM tipe 2
Untuk pemeriksaan awal setelah diagnosis ditegakkan
Secara periodic setahun sekali atau sesuai petunjuk dokter
c. Pemeriksaan HbA1C atau pemeriksaan A1C
Dapat Memperkirakan Risiko Komplikasi Akibat DM
HbA1c atau A1C
1) Merupakan senyawa yang terbentuk dari ikatan antara glukosa
dengan hemoglobin (glycohemoglobin)
2) Jumlah A1C yang terbentuk, tergantung pada kadar glukosa
darah
3) Ikatan A1c stabil dan dapat bertahan hingga 2-3 bulan (sesuai
dengan sel darah merah)
4) Kadar A1C mencerminkan kadarglukosa darah rata-rata dalam
jangka waktu 2-3 bulan sebelum pemriksaan
Manfaat pemeriksaan A1C
1) Menilai kualitas pengendalian DM
2) Menilai efek terapi atau perubahan terapi setelah 8-12 minggu
dijalankan
Tujuan Pemeriksaan A1C
Mencegah terjadinya komplikasi (kronik) diabetes karena :
1) A1C dapat memperkirakan risiko berkembangnya komplikasi
diabetes
2) Komplikasi diabetes dapat muncul jika kadar glukosa darah
terus menerus tinggi dalam jangka panjang
3) Kadar glukosa darah rata-rata dalam jangka panjang (2-3
bulan) dapat diperkirakan dengan pemeriksaan A1C
Jadwal pemeriksaan A1C
1) Untuk evaluasi awal setelah diagnosis DM dipastikan
2) Secara periodic (sebagai bagian dari pengelolaan DM) yaitu :
Setiap 3 bulan (terutama bila sasaran pengobatan belum
tercapai)
Minimal 2 kali dalam setahun.
Table 1. Summary of American Diabetes Association Recommendations for
Adults with Diabetes
Glycemic control
1. A1C <7.0%* for patients in general
2. A1C <6.0% (as close to normal as possible without significant hypoglycemia)
for the individual patient
4. Peak postprandial capillary plasma glucose (1-2 h after the beginning of the
meal) <180 mg/dl
Blood pressure
1. <130/80 mmHg
Lipids
Sumber: http://www.endotext.org/diabetes/diabetes20/ch01s03.html
10. Terapi
Pengobatan diabetes meliputi pengendalian berat badan, olah raga dan
diet. Seseorang yang obesitas dan menderita diabetes tipe 2 tidak akan
memerlukan pengobatan jika mereka menurunkan berat badannya dan
berolah raga secara teratur.
Namun, sebagian besar penderita merasa kesulitan menurunkan berat
badan dan melakukan olah raga yang teratur. Karena itu biasanya
diberikan terapi sulih insulin atau obat hipoglikemik (penurun kadar gula
darah) per-oral.
Diabetes tipe 1 hanya bisa diobati dengan insulin tetapi tipe 2 dapat
diobati dengan obat oral. Jika pengendalian berat badan dan berolahraga
tidak berhasil maka dokter kemudian memberikan obat yang dapat
diminum (oral = mulut) atau menggunakan insulin.
Berikut ini pembagian terapi farmakologi untuk diabetes, yaitu:
a. Obat hipoglikemik oral
Golongan sulfonilurea seringkali dapat menurunkan kadar gula
darah secara adekuat pada penderita diabetes tipe II, tetapi tidak efektif
pada diabetes tipe I. Contohnya adalah glipizid, gliburid, tolbutamid
dan klorpropamid. Obat ini menurunkan kadar gula darah dengan cara
merangsang pelepasan insulin oleh pankreas dan meningkatkan
efektivitasnya.
Obat lainnya, yaitu metformin, tidak mempengaruhi pelepasan
insulin tetapi meningkatkan respon tubuh terhadap insulinnya sendiri.
Akarbos bekerja dengan cara menunda penyerapan glukosa di dalam
usus.
Obat hipoglikemik per-oral biasanya diberikan pada penderita
diabetes tipe II jika diet dan oleh raga gagal menurunkan kadar gula
darah dengan cukup.
Obat ini kadang bisa diberikan hanya satu kali (pagi hari), meskipun
beberapa penderita memerlukan 2-3 kali pemberian. Jika obat
hipoglikemik per-oral tidak dapat mengontrol kadar gula darah dengan
baik, mungkin perlu diberikan suntikan insulin.
11. Komplikasi
Ada tiga komplikasi akut pada diabetes yang penting dan berhubungan
dengan gangguan keseimbangan kadar glukosa darah jangka pendek.
Ketiga komplikasi tersebut adalah hipoglikemia, ketoasidosis diabetik, dan
sindrom HNNK (Hiperglikemik Hiperosmoler Nonketotik atau HONK /
Hiperosmoler Nonketotik).
a. Hipoglikemia (Reaksi Insulin)
Hipoglikemia (kadar glukosa darah yang abnormal rendah) terjadi
kalau kadar glukosa darah turun di bawah 50 hingga 60 mg/dL (2,7
hingga 3,3 mmol/L). keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin
atau preparat oral yang berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu
sedikit atau karena aktivitas fisik yang berat. Gejala hipoglikemia dapat
dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu gejala adrenergik dan gejala
system saraf pusat.
Pada hipoglikemia ringan, ketika kadar glukosa darah menurun,
system saraf simpatik akan terangsang. Pelimpahan adrenalin ke dalam
darah menyebabkan gejala seperti perspirasi, tremor, takikardi,
palpitasi, kegelisahan dan rasa lapar.
Pada hipoglikemia sedang, penurunan kadar glukosa darah
menyebabkan sel-sel otak tidak memperoleh cukup bahan bakar untuk
bekerja dengan baik. Tanda-tanda gangguan fungsi system saraf pusat
mencakup ketidakmampuan berkonsentrasi, sakit kepala, vertigo,
konfusi, penurunan daya ingat, patirasa di daerah bibir serta lidah,
bicara pelo, gerakan tidak terkoordinasi, perubahan emosional, perilaku
yang tidak rasional, penglihatan ganda dan rasa ingin pingsan.
Kombinasi semua gejala ini (disamping gejala adrenergik) dapat terjadi
pada hipoglikemia sedang.
Pada hipoglikemia berat, fungsi sistem saraf pusat mengalami
gangguan yang sangat berat sehingga pasien memerlukan pertolongan
orang lain untuk mengatasi hipoglikemia yang dideritanya. Gejalanya
dapat mencakup perilaku yang mengalami disorientasi, serangan
kejang, sulit dibangunkan dari tidur atau bahkan kehilangan kesadaran.
b. Diabetes Ketoasidosis
Diabetes ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya insulin atau
tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata. Keadaan ini mengakibatkan
gangguan pada metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Ada tiga
gambaran klinis yang penting pada diabetes ketoasidosis: dehidrasi,
kehilangan elektrolit, asidosis. Ketosis dan asidosis merupakan ciri khas
diabetes ketoasidosis menimbulkan gejala gastrointestinal seperti
anoreksia, mual, muntah dan nyeri abdomen. Napas pasien mungkin
berbau aseton (bau manis spereti buah) sebagai akibat dari peningkatan
kadar badan keton. Selain itu hiperventilasi (disertai pernafasan yang
sangat dalam tetapi tidak berat/sulit). Pernafasan kussmaul ini
menggambarkan upaya tubuh untuk mengurangi asidosis guna melawan
efek dari pembentukan badan keton. Perubahan status mental pada
ketoasidosis diabetik bervariasi antara pasien yang satu dan yang
lainnya. Pasien dapat terlihat sadar, mengantuk (letargik) atau koma, hal
ini tergantung pada osmolaritas plasma (konsentrasi partikel aktif
-osmotis).
c. Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Nonketotik (HHNK)
Merupakan keadaan yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan
hiperglikemia dan disertai perubahan tingkat kesadaran (sense of
awareness). Salah satu perbedaan utama antara sindrom HHNK dan
DKA adalah tidak terdapatnya ketosis dan asidosis pada sindrom
HHNK. Perbedaan jumlah insulin yang terdapat dalam masing-masing
keadaan ini dianggap penyebab parsial diatas. Pada hakikatnya, insulin
tidak terdapat pada DKA. Dengan demikian terjadi penguraian
simpanan glukosa, protein, lemak (penguraian nutrient yang disebut
terakhir ini akan menghasilkan badan keton dan selanjutnya akan terjadi
ketoasidosis). Pada sindrom HHNK, kadar insulin tidak rendah,
meskipun tidak cukup untuk mencegah hiperglikemia (dan selanjutnya
dieresis osmotik). Namun, sejumlah kecil insulin ini cukup untuk
mencegah pemecahan lemak. Penderita sindrom HHNK tidak akan
mengalami gejala sistem gastrointestinal yang berhubungan dengan
ketosis seperti pada penderita DKA. Pasien yang mengalami sindrom
HHNK biasanya dapat mentoleransi poliuria dan polidipsia selama
berminggu-minggu dan setelah terjadi perubahan neurologis atau
setelah penyakit yang mendasarinya semakin berat, barulah pasien (atau
yang lebih sering lagi, anggota keluarga atau petugas perawatan
kesehatan primer) datang untuk meminta pertolongan medis. Jadi,
keadaan hiperglikemia dan dehidrasi yang lebih parah pada sindrom
HHNK, terjadi akibat penanganan yang lambat.
Gambaran klinis sindrom HHNK terdiri atas gejala hipotensi,
dehidrasi berat (membrane mukosa kering, turgor kulit jelek), takikardi,
dan tanda-tanda neurologis yang bervariasi (perubahan sensori, kejang-
kejang, hemiparesis). Keadaan ini makin serius dengan angka mortalitas
yang berkisar dari 5% hingga 30% dan biasanya berhubungan dengan
penyakit yang mendasarinya.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Biodata
- Identitas pasien yaitu : (nama,jenis kelamin, umur,
agama,status, pendidikan/pekerjaan, alamat, rujukan)
- Keluarga yang menemani atau bertanggungjawab.
b. Alasan masuk rumah sakit
- alasan dirawat
- keluhan utama
c. Riwayat Kesehatan
- riwayat kesehatan sebelum sakit
- riwayat kesehatan sekarang
- riwayat kesehatan keluarga.
d. Aktivitas/ istirahat
- Gejala: lemah, letih, sulit bergerak/berjalan. Kram otot, tonus
otot menurun, gangguan tidur/istirahat.
- Tanda: Takikardi dan takipnea pada keadaan istirahat atau
dengan aktivitas. Letargi/disorientasi, koma. Penurunan kekuatan otot.
e. Sistem Kardiovaskuler
- Gejala: adanya riwayat hipertensi; IM akut, klaudikasi, kebas,
dan kesemutan pada ekstremitas. Ulkus pada kaki, penyembuhan yang
lama
- Tanda: takikardia, perubahan tekanan darah postural;
hipertensi, nadi yang menurun/tak ada, disritmia, krekels; DVJ (GJK).
Kulit panas, kering, dan kemerahan, bola mata cekung.
f. Integritas ego:
- Gejala: stres; tergantung pada orang lain masalah finansial
yang berhubungan dengan kondisi.
- Tanda: ansietas, peka rangsang.
g. Sistem Eliminasi:
- Gejala: perubahan pola berkemih (poliuri), nokturia. Rasa
nyeri/ terbakar, kesulitan berkemih (infeksi), ISK baru/ berulang.
Nyeri tekan abdomen, diare
- Tanda: urine, encer, pucat, kuning, poliuri (dapat berkembang
menjadi oliguria/anuria jika terjadi hipovalemia berat), urine berkabut,
bau busuk (infeksi), abdomen keras, adanya asites. Bising usus lemah
dan menurun;hiperaktif (diare).
h. Sistem Metabolik:
- Gejala: hilang nafsu makan, mual/muntah, tidak mengikuti
diet; peningkatan masukan glukosa/karbohidrat. Penurunan berat
badan lebih dari periode beberapa hari/minggu, haus.
- Tanda: kulit kering/bersisik, turgor jelek, kekakuan/distensi
abdomen, muntah. Pembesaran tiroid (peningkatan kebutuhan
metabolik dengan peningkatan gula darah). Bau halitosis/manis, bau
buah (napas aseton)
i. Sistem Saraf:
- Gejala: pusing/pening, sakit kepal, kesemutan, kebas
kelemahan pada otot, parestesia. Gangguan penglihatan
- Tanda: disorientasi; engantuk; letargi, stupor/koma (tahap
lanjut). Gangguan memori (baru, masa lalu); kacau mental, refleks
tendon dalam (RTD) menurun (koma), aktivitas kejang (tahap lanjut
DKA).
j. Nyeri/ kenyamanan:
- Gejala: abdomen yang tegang/nyeri (sedang/berat)
- Tanda: Wajah meringis dengan palpitasi; tampak sangat
berhati-hati.
k. Sistem Pernapasan :
- Gejala: merasa kekurangan oksigen, batuk dengan atau tanpa
spuntum purulen (tergantung adanya infeksi/ tidak)
- Tanda: lapar udara, batuk, dengan/tanpa sputum prulen
(infeksi).
l. Sistem Integumen:
- Gejala: kulit kering, gatal, ulkus kulit
- Tanda: demam,diaphoresis, kulit rusak, lesi/ulserasi,
menurnuya kekuatan umum/rentang gerak, parestesia/paralisis otot
termasuk otot-otot pernapasan (jika kadar kalium menurun dengan
cukup tajam)
m. Seksualitas:
- Gejala: rabas vagina (cenderung infeksi), masalah impoten
pada pria; kesulitan orgasme pada wanita.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan asidosis ditandai dengan
sesak, RR > 20 x/menit, menggunakan otot bantu pernafasan, pernafasan
cuping hidung.
b. PK hipoglikemia
c. PK diabetes ketoasidosis
d. PK syok hipovolemi
e. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan penurunan fungsi leukosit.
f. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan sensasi taktil, penurunan
fungsi penglihatan.
g. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
peningkatan glukoneogenesis, penurunan pH ditandai dengan kelemahan,
tonus otot buruk, anoreksia, dan mual muntah.
h. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energy metabolic
ditandai dengan penurunan kinerja rentang gerak pasien terbatas, pasien
hanya berbaring di tempat tidur, nadi > 80 x/menit, RR > 20 x/menit.
3. Intervensi keperawatan
No Tujuan dan kriteria Intervensi Rasional
Dx. hasil
1. Setelah diberikan Mandiri: Mandiri:
tindakan keperawatan 1. Awasi 1. Kecepatan biasanya
selama x24 jam, kecepatan/kedalama meningkat. Dispnea
diharapkan pola nafas n pernafasan. dan terjadi
kembali efektif. Selidiki adanya peningkatan kerja
Kriteria hasil: pucat/sianosis, napas. Kedalaman
- RR 16-20 x/menit peningkatan gelisah pernafasan bervariasi
- Tidak atau bingung. tergantung derajat
menggunakan otot gagal nafas.
bantu pernafasan 2. Tinggikan kepala 2. Mendorong
- Tidak ada tempat tidur 30 pengembangan
pernafasan cuping derajat. diafragma/ ekspansi
hidung. paru optimal dan
meminimalkan
tekanan isi abdomen
dan rongga torak.
3. Beri bantalan pada 3. Penggunaan pagar
pagar tempat tidur tempat tidur
dan ajarkan pasien memungkinkan
menggunakannya istirahat tangan untuk
untuk istirahat ekspansi dada lebih
tangan. besar.
4. Gunakan bantal 4. Menggunakan bantal
kecil di bawah banyak dan besar
kepala bila menghambat jalan
diindikasikan. napas.
5. Hindari penggunaan 5. Dapat membatasi
pengikat abdomen ekspansi paru.
Kolaborasi: Kolaborasi:
1. Berikan O2 1. Memaksimalkan
tambahan sediaan O2 untuk
pertukaran dan
penurunan kerja napas.
2. Bantu penggunaan 2. Meningkatkan
penggunaan alat ekspansi paru.
pernapasan, mis:
spirometer intensif,
tiupan botol.
3. Awasi/ gambarkan 3. Menunjukkan ventilasi
seri AGD / nadi / oksigenasi dan status
oksimetri bila asam-basa. Digunakan
diindikasikan. sebagai dasar evaluasi
yang perlu untuk/
keefektifan terapi
pernapasan.
2. Setelah diberikan Kolaborasi: Kolaborasi:
tindakan keperawatan 1. Jika pasien dapat 1. Pemberian glukosa
selama x24 jam, menelan berikan atau sukrosa dalam
diharapkan tidak terjadi dalam bentuk bentuk minuman akan
komplikasi minuman yang masuk ke dalam
hipoglikemia. mengandung lambung dan ke dalam
Kriteria hasil: glukosa atau usus yang akan
- Kesadaran sukrosa. menyerapnya lebih
komposmentis cepat.
- Glukosa darah 110- 2. Jika pasien terlalu 2. Dapat memulihkan
200 mg/dL lemah, stupor atau gejala-gejala dengan
- Nadi 60-80 x/menit tidak kooperatif menginduksi
- TD 100/60 mmHg untuk minum, pemecahan cepat dan
hingga 120/80 diberikan bolus pelepasan glukosa ke
mmHg intravena 50w dalam aliran darah dari
- Akral hangat dalam beberapa simpanan glikogen
menit. Jika cara hepatik.
pemberian ini atau
dosisnya tidak
tersedia, maka
pemberian mukosa
1mg melalui
subkutan atau
intramuscular.
3. Beri glukosa 3. Jumlah yang
kurang lebih 15 mg dibutuhkan untuk
(3 sendok makan). memulihkan reaksi
insulin akut tidaklah
banyak. Gula darah
dapat meningkat dari
20-120 mg/dL dengan
pemberian kurang dari
15gr (3 sendok makan
glukosa untuk ukuran
rata-rata orang
dewasa).
4. Beri zat tepung 4. Zat tepung dapat
seperti pada dipecah menjadi
crackers atau glukosa di dalam
biscuit. lambung dan diserap
dengan cepat sehingga
akhirnya dapat
meningkatkan gula
darah secepat
pemberian glukosa
atau sukrosa bebas.
3. Setelah diberikan Kolaborasi: Kolaborasi:
tindakan keperawatan 1. Beri cairan infus 1. Memulihkan penipisan
selama x24 jam, normal saline 0,9%. volume ekstraseluler
diharapkan tidak terjadi secepat mungkin.
komplikasi diabetes 2. Beri larutan 2. Dapat diberikan
ketoasidosis. hipotonik seperti dengan kecepatan 150-
Kriteria hasil: normal saline 0,45 250 ml/jam setelah
- Nadi 60-80 x/menit, %. volume intravaskuler
teraba kuat pulih. Atau bila kadar
- TD 100-120/60-80 natrium serum lebih
mmHg tinggi dari 155mg/dL.
- Kadar glukosa darah 3. Beri plasma 3. Tindakan ini mungkin
110-200 mg/dL ekspander seperti perlu jika tekanan
albumin dan darah dan tanda-tanda
konsentrat plasma. klinis kolaps vaskuler
tidak berespon
terhadap pemberian
normal salin saja.
4. Beri insulin melalui 4. Insulin dengan cepat
intravena. menghentikan suplai
asam-asam lemak
bebas yang berasal dari
jaringan adiposa,
dengan demikian
membatasi
pembentukan keton
dari sumbernya, selain
itu insulin secara
langsung menghambat
glukoneogenesis
hepatik, mencegah
tambahan glukosa
lebih jauh yang
sebelumnya sudah
sangat berlebihan
dalam cairan
ekstraseluler.
5. Pemeriksaan 5. Nilai gula darah yang
laboratorium kadar sangat tinggi
gula darah. ditemukan pada pasien
diabetes ketoasidosis.
Pemeriksaan gula
darah diupayakan
untuk memilih cara
terapi yang akan
digunakan untuk
mengurangi gula darah
secepat yang
memungkinkan.
6. Penggantian kalium 6. Semua pasien dengan
dan fosfat. ketoasidosis diabetes
mengalami defisiensi
pada simpanan kalium
tubuh total sampai
batas tertentu. Kadar
fosfat umumnya
menurun selama terapi,
mencetuskan setiap sel
darah merah untuk
mengikat oksigen lebih
ketat.
7. Penggantian 7. Pada ketoasidosis
bikarbonat diabetik, anion
bikarbonat diserap
lebih banyak dari
tubulus renalis untuk
menggantikan anion
yang hilang.
4. Implementasi
Implementasi adalah pengolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan
yang telah disusun pada tahap perencanaan. Jenis tindakan pada implementasi
ini terdiri dari tindakan mandiri, saling ketergantungan atau kolaborasi, dan
tindakan rujukan atau ketergantungan. Implementasi tindakan keperawatan
disesuaikan dengan rencana tindakan keperawan. Pada situasi nyata sering
implementasi jauh berbeda dengan rencana. Hal ini terjadi karena parawat
belun terbiasa menggunakan rencana tertulis dalam melaksanakan tindakan
keperawatan. Yang biasa adalah rencana tidak tertulis yaitu apa yang
dipikirkan, dirasakan, itu yang dilaksanakan.
5. Evaluasi
a. Dx 1: pola nafas kembali efektif, dengan RR 16- 20 x/menit, tidak
menggunakan otot bantu pernafasan, tidak ada pernafasan cuping hidung.
b. Dx 2: tidak terjadi komplikasi hipoglikemia, yaitu kesadaran komposmentis,
glukosa darah 110-200 mg/dL, nadi 60-80 x/menit, TD 100/60 mmHg
hingga 120/80 mmHg, akral hangat.
c. Dx 3: tidak terjadi komplikasi diabetes ketoasidosis, yaitu nadi 60-80
x/menit, teraba kuat, TD 100-120/60-80 mmHg, kadar glukosa darah 110-
200 mg/dL
d. Dx 4: tidak terjadi komplikasi syok hipovolemia, yaitu akral hangat, TD:
100/60 mmHg- 120/80 mmHg, nadi 60-80 x/menit dan teraba kuat,
membran mukosa lembab, turgor kulit elastic, CRT < 2 detik
e. Dx 5: infeksi tidak terjadi dengan Kadar leukosit 5000-10000 l, TD 100-
120/60-80 mmHg, Suhu 36,5-37,20 C
f. Dx 6: pasien terbebas dari cedera, yaitu dengan mempertahankan tingkat
mental biasanya, mengenali dan mengkompensasi adanya kerusakan
sensori.
g. Dx 7: pemenuhan kebutuhan nutrisi pasien adekuat, yaitu pasien dapat
menghabiskan 1 porsi makanan, BB tidak mengalami penurunan, pH 7,35-
7,45, tonus otot baik.
h. Dx 8: pasien dapat berpartisipasi dalam melakukan aktivitas yang
diinginkan, yaitu pasien mengungkapkan peningkatan tingkat energi,
menunjukkan perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas,
aktivitas yang dilakukan pasien meningkat, nadi 60-80 x/menit, RR > 20
x/menit
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 2008. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
Guyton & Hall. 2011. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jakarta : Media
Aesculapius.