Anda di halaman 1dari 8

https://ugm.ac.

id/id/berita/1361-
pengukuhan.prof.jumina:.karbon.dio
ksida.area.bisnis.yang.menjanjikan
Pengukuhan Prof. Jumina: Karbon
Dioksida, Area Bisnis yang
Menjanjikan
Diunggah : Rabu, 24 Februari 2010 Agung
Kategori :
Liputan/Berita

Dewasa ini, rata-rata suhu bumi mengalami kenaikan sebesar 0,2 derajat Celcius per 10
tahun. Data NASA menunjukkan kenaikan suhu bumi disinyalir telah menyebabkan
kenaikan permukaan laut setinggi 20 cm pada tahun 2000 dibandingkan dengan tahun
1900.

Menurut Prof. Drs. Jumina, Ph.D., jika tanpa ada upaya yang serius dan sistematis untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca ke atmosfer bumi, suhu rata-rata permukaan bumi yang
pada tahun 2009 berada pada kisaran 14,6 derajat Celcius akan naik menjadi 25 derajat
Celcius pada tahun 2500. Dengan demikian, bumi tidak lagi menjadi tempat hunian yang
nyaman bagi manusia, hewan, dan tumbuhan. Bahkan, manusia mungkin juga tidak dapat
bertahan pada kondisi ini.

"Dengan kata lain, umat manusia, hewan, dan mungkin tumbuh-tumbuhan akan musnah
dari permukaan bumi. Karenanya, Presiden SBY dengan rumusan 5+1 pada KTT Perubahan
Iklim ke-15 di Kopenhagen bertekad untuk melakukan berbagai upaya untuk menekan
pemanasan global agar tidak lebih dari 2 derajat Celcius dari rata-rata temperatur bumi
saat ini," tuturnya.

Pernyataan tersebut disampaikan Prof. Jumina saat dikukuhkan sebagai Guru Besar
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UGM, Selasa (23/2). Staf pengajar
Jurusan Kimia FMIPA UGM ini mengangkat pidato "Tantangan dan Potensi Pemanfaatan
Karbon Dioksida dalam Pembangunan Nasional Berkelanjutan".

Dikatakan Jumina bahwa sesungguhnya hampir semua orang menyadari betapa aktivitas
pembakaran bahan bakar yang mereka lakukan telah mempercepat laju terjadinya
pemanasan global. Namun, hingga kini tetap saja umat manusia sulit berpisah dari bahan
bakar minyak yang menjadi andalan untuk menopang kenyamanan hidupnya. Tidak sedikit
manusia yang justru memicu terjadinya pemanasan global melalui penggunaan mobil-mobil
berkapasitas mesin besar 2000-4000 cc. Sementara itu, masih sedikit di antara mereka
yang memanfaatkan "sepeda hijau" sebagai sarana transportasi bebas polusi. "Sehingga
tidak berlebihan bila kita mengatakan bahwa kita memang telah dimanjakan dan
'dininabobokkan' oleh BBM dalam kehidupan kita sehari-hari," kata pria kelahiran Kediri, 6
Mei 1965 ini.

Karbon dioksida (CO2) memang menjadi penyebab utama terjadinya pemanasan global.
Efek pemanasan yang ditimbulkan sesungguhnya lebih kecil daripada yang disebabkan oleh
metana dan dinitrogen oksida. Meski begitu, karena konsentrasi CO2 di udara jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan konsentrasi metana dan dinitrogen oksida, CO2 diklasifikasikan
sebagai penyebab utama terjadinya fenomena pemanasan global.

"Data Energy Information Administration menunjukkan jumlah emisi karbon dioksida di


dunia pada tahun 1990 sebanyak 21,6 juta metrik ton dan meningkat menjadi 23,9 juta
metrik ton pada tahun 2001. Jumlah emisi CO2 ini diproyeksikan meningkat menjadi 27,7
juta metrik ton pada tahun 2010 dan menjadi 37,1 metrik ton pada tahun 2025," ucap
suami Dra. Susilowati dan ayah dua putra ini.

Dikatakan Jumina, terjadinya peningkatan emisi CO2 secara terus-menerus inilah yang
menjadikan para pakar lingkungan merasa prihatin. Usaha untuk mengurangi pun
dilakukan, antara lain, melalui kesepakatan Protokol Kyoto pada tahun 1999. Dari Protokol
Kyoto ini telah disepakati pula pemberlakuan kredit karbon yang didefinisikan sebagai hak
bagi sebuah negara atau lembaga industri untuk mengemisikan CO2 ke atmosfer setelah
negara atau lembaga industri membayar sejumlah nominal tertentu sebagai kompensasi
atas volume CO2 yang diemisikannya.

Pada gilirannya, dana kredit karbon dapat dibayarkan atau diklaim oleh negara atau
lembaga yang telah terbukti melakukan aktivitas pengurangan emisi CO2 ke atmosfer, di
antaranya dengan melakukan kegiatan penghijauan, penanaman hutan, penggantian bahan
bakar fosil dengan bahan bakar yang ramah lingkungan, dan tidak menghasilkan emisi CO2,
seperti energi surya, panas bumi, gelombang laut, dan sebagainya.

"Harga kredit karbon ini berkisar antara USD 10-13 per ton CO2 dan mekanisme
pembayaran serta klaimnya dikoordinasikan oleh sejumlah badan dunia, seperti
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Bank Dunia, dan European Union (EU)," kata Jumina.

Ditambahkannya bahwa masalah kredit karbon ini sesungguhnya merupakan area bisnis
yang menjanjikan. Jika penghijauan, penanaman hutan dan penyuntikan CO2 ke dalam
perut bumi (geosequestration) dianggap sebagai cara-cara yang biasa, lambat dan rentan
terhadap kebocoran, sesungguhnya terdapat cara "revolusioner" yang digunakan untuk
mengurangi emisi CO2 ke atmosfer, yaitu melalui pengolahan CO2 menjadi produk yang
bermanfaat.

"Emisi CO2 yang berasal dari sektor transportasi memang kurang layak untuk dimanfaatkan
akibat kesulitan dan kerumitan proses penampungannya. Namun, emisi CO2 yang berasal
dari sektor industri yang bersifat lebih terkumpul sangatlah mungkin diolah lebih lanjut,"
ujar Ketua Task Force Pendirian Program Studi Kimia Terapan, Jurusan Kimia, FMIPA UGM
ini.

Dengan konsumsi solar sebesar 12,2 juta kiloliter pada tahun 2008, ditambahkan Jumina,
sektor industri di tanah air telah menyumbang emisi CO2 sebesar 29,5 juta ton. "Dengan
harga rata-rata kredit karbon sebesar USD 20 per ton CO2, maka nilai kredit karbon yang
dapat diklaim oleh sektor industri nasional pada tahun 2008 mencapai USD 590 juta atau
sekitar 5,9 triliun rupiah," terangnya.

Pada saat yang sama, industri bioetanol berbahan baku tetes tebu dan singkong di tanah
air, yang memiliki kapasitas produksi sebesar 240 juta liter pada tahun 2008, telah
menyumbang emisi CO2 sebagai produk samping sebesar 180 ribu ton. Jika emisi CO2 ini
dapat dikonversi menjadi produk yang berdaya guna, maka nilai kredit karbon sebesar 36
miliar rupiah per tahun akan dapat diklaim oleh perusahaan-perusahaan bioetanol
tersebut. "Sekiranya biaya pengolahan CO2 menjadi produk-produk olahan tersebut sama
dengan nilai jualnya, maka perusahaan masih akan mendapatkan keuntungan dari
penjualan kredit karbon," jelasnya.

Namun, bila produk-produk yang bernilai ekonomi tinggi serta terdapat surplus antara nilai
jual dengan biaya proses, perusahaan tentu akan menikmati keuntungan, baik dari selisih
margin maupun penjualan kredit karbon. "Dengan demikian maka bisnis pengolahan CO2
menjadi produk-produk yang bernilai ekonomi tinggi ini mestinya merupakan peluang
bisnis yang sangat menjanjikan, khususnya bagi produsen bioetanol di tanah air maupun
sektor industri lain yang menggunakan bahan bakar industri dalam jumlah besar," pungkas
Jumina. (Humas UGM/ Agung)
https://www.bappebti.go.id/id/edu/articles/detail/2997.html

Bahasa Indonesia | English |


Indonesia Produsen Emisi Karbon Dunia

Indonesia Produsen Emisi Karbon Dunia

Barliana S. Siregar

*) Pemerhati perdagangan berjangka komoditi

Perdagangan emisi karbon merupakan kebutuhan yang penting bagi kelangsungan ekosistem global
di masa mendatang. Hal pemicu perlunya perdagangan emisi karbon muncul setelah para ilmuwan
mengemukakan perubahan iklim dunia yang meningkat mencapai 5 derajat celcius. Jika iklim dunia
itu terus meningkat makan berpotensi membawa malapetaka kerusakan lingkungan.

Menurut para ilmuwan, emisi gas rumah kaca (green house gases- GHG) dianggap sebagai
penyebab perubahan iklim global yang ditakutkan. Sektor energi khususnya kegiatan pembakaran
bahan bakar fosil (batubara, minyak bumi, gas bumi), merupakan penyumbang terbesar emisi gas
rumah kaca (khususnya karbondioksida, CO2). Oleh karena itu, sektor ini akan terkena dampak
langsung kesepakatan dunia mengenai manajemen perubahan iklim tersebut.

Untuk mencapai target pengurangan emisi karbondioksida, maka pada Protoko Kyoto (1997) yang
membahas kerangka kerja konvensi perubahan iklim (Framework Convention on Climate Change,
FCCC) telah menyepakati bahwa negara-negara industri akan mengurangi tingkat emisi rata-rata 5,2
% dibawah level 1990 pada tahun 2008 hingga 2012.

Protokol Kyoto dilengkapi dengan mekanisme lentur (flexible mechanisms) yang menjadi bagian
sangat penting dari Protokol tersebut. Termasuk dalam mekanisme lentur Protokol Kyoto tersebut
adalah perdagangan emisi (emission trading- ET), penerapan bersama (joint implementation- JI) dan
mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism- CDM).

Perdagangan karbon merupakan cara meringankan beban negara industri dalam mengurangi emisi
gas mereka. Biasanya perdagangan itu dilakukan antara negara maju dan negara berkembang.
Negara maju akan membeli CER (certified emission reduction) dari negara berkembang. Karenanya,
negara berkembang mendapat uang dari penjualan tersebut. Di sisi lain, hutan dari negara
berkembang juga lebih terjaga karena perawatannya mendapat upah.

Perdagangan karbon atau yang lebih umum dikenal dengan emission trading, yang merupakan
istilah dalam perdagangan sertifikat untuk mengurangi emisi karbon sesuai dengan target yang
dicantumkan dalam sertifikat, dengan cara melakukan pendekatan untuk mengendalikan GHG dan
emisi karbon.

Dalam perdagangan karbon setiap penurunan satu ton karbon akan mendapatkan sebuah sertifikat
CER. Sertifikat tersebut menjadi alat jual beli pada perdagangan karbon. Harganya bervariasi
tergantung pada pihak yang bertransaksi. CER dikeluarkan oleh dewan CDM. Sertifikat CDM itu
hanya mengeluarkan CER jika negara bersangkutan telah memenuhi kriteria additionality, real,
measurable dan long-term benefit.

Bursa Karbon

Perdagangan emisi merupakan mekanisme untuk menjual dan membeli izin untuk melakukan
pencemaran (emission permit) atau melakukan perdagangan karbon, yang dapat dilakukan misalnya
di bursa karbon dunia yang diharapkan berkembang. JI mewadahi mekanisme untuk melakukan
investasi proyek pengurangan emisi di suatu negara industri oleh suatu negara industri lainnya. Kredit
pengurangan emisi yang diperoleh dari pelaksanaan proyek tersebut akan diberikan kepada negara
yang melakukan investasi.

Selanjutnya, mekanisme yang melibatkan negara berkembang adalah yang dikenal sebagai CDM.
CDM merupakan mekanisme Protokol Kyoto yang memungkinkan negara industri dan negara
berkembang bekerja sama untuk melakukan pembangunan bersih. Dengan fasilitas CDM, negara
industri dapat memenuhi kewajiban pengurangan emisinya dengan melakukan proyek pengurangan
emisi di suatu negara berkembang dan si negara berkembang akan mendapatkan kompensasi
finansial dan teknologi dari kerja-sama tersebut.

Tujuan CDM sebagaimana ditegaskan oleh Protokol Kyoto adalah membantu negara berkembang
melakukan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan turut menyumbang bagi
pencapaian tujuan pengurangan emisi global, serta untuk membantu negara industri mencapai target
pengurangan emisi mereka. Investasi negara industri di negara berkembang yang menghasilkan
penurunan emisi akan disertifikasi dan kredit dari pengurangan emisi yang disertifikasi (certified
emission reduction, CER) tersebut akan diberikan kepada negara industri.

Kelebihan dari CDM yang tidak dipunyai oleh mekanisme lentur Protokol Kyoto lainnya adalah bahwa
CER yang diperoleh sejak tahun 2000 hingga 2007 dapat digunakan sebagai kredit untuk memenuhi
target pengurangan emisi dalam periode pertama penerapan Protokol Kyoto (2008-2012). Dengan
demikian CER merupakan komoditas baru dalam perdagangan berjangka yang prospektif. CER
merupakan komoditas yang menguntung kan sama halnya dengan sekuritas yang banyak
diperdagangkan. Bahkan bukan suatu hal yang mustahil bila pada masa datang, perdagangan karbon
menjadi komoditas yang laku seperti halnya perdagangan minyak dan emas seperti sekarang ini.

Saat ini, negara-negara yang sudah melakukan perdagangan karbon dalam bursa diantaranya seperti
negara-negara Uni Eropa, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Jepang. Dengan bursanya
antara lain, European Climate Bursa , NASDAQ OMX Komoditas Eropa , PowerNext, Commodity
Exchange Bratislava, Bursa Energi Eropa, Carbon Trade Exchange, Chicago Climate Bursa.

Sistem Perdagangan

Manfaat ekonomi yang bisa diperoleh dari emisi gas karbon tersebut adalah penanaman pohon untuk
menyimpan emisi gas carbon, yang kemudian diperdagangkan. Sekedar ilustrasi, Australia yang
dikenal sebagai negara industri akan membayar negara-negara berkembang seperti India dan
Indonesia untuk menyimpan carbon yang diperoleh melalui proyek CDM atau dibeli melalui pasar
Emission Trading Schme (ETS).

Lebih lanjut mengenai perdagangan emisi karbon, secara umum terdapat dua sistem utama dalam
perdagangan tersebut, yaitu cap and trade dan baseline and credit. Kadang-kadang kedua jenis
skema tersebut dapat diterapkan secara bersama-sama dalam sistem perdagangan emisi. Misalnya,
Protokol Kyoto memasukan baik skema capand trade untuk negara-negara maju maupun skema
baseline and credit untuk proyek-proyek pengurangan emisi di negara-negara berkembang.
Hal ini disebut Mekanisme Pengembangan Bersih (CDM). Perdagangan emisi dapat bersifat wajib
(diharuskan oleh pemerintah) atau sukarela. Dalam sistem cap and trade, sebuah otoritas pusat
(biasanya sebuah badan pemerintah) menentukan batas atau cap jumlah karbon yang dapat
dikeluarkan. Negara-negara atau perusahaan-perusahaan kemudian diperbolehkan untuk
mengeluarkan gas-gas rumah kaca (misalnya, karbon dioksida) sampai dengan jumlah yang dibatasi.

Apabila emisi karbon lebih tinggi dari pada batas tersebut, maka negara atau perusahaan tersebut
perlu membeli kredit karbon untuk diperhitungkan dengan emisi mereka. Apabila jumlah emisi lebih
rendah dari batas yang ditentukan, maka negara atau perusahaan tersebut diperbolehkan menjual
selisih antara emisi aktual dan batas yang diizinkan bagi mereka dalam bentuk kredit karbon
(dengan demikian mereka memperoleh insentif finansial atas pengurangan emisi mereka).

Berdasarkan sistem baseline and credit, sebuah kelompok atau perusahaan yang tidak menganut
sistem cap and trade (seperti Indonesia) dapat menciptakan kredit dengan mengurangi emisi mereka
di bawah tingkat skenario baseline (usaha seperti biasa). Salah satu contoh adalah sebuah
perusahaan yang menukar bahan bakar fosil dengan energi terbarukan seperti biofuel dari minyak
Jarak.

Baseline untuk perusahaan tersebut adalah emisi dari diesel yang mempunyai keluaran (output)
gasgas rumah kaca yang tinggi. Pada saat diganti dengan biofuel, jumlah emisi jauh lebih rendah dan
selisih yang tercatat antara jumlah emisi karbon dapat dinyatakan sebagai kredit karbon yang
kemudian dapat dijual di pasar internasional. Hal ini memberikan insentif bagi pengembangan sumber
daya energi terbarukan dan pengurangan emisi.

Sistem perdagangan emisi baseline and credit merupakan suatu sistem di mana perusahaan dihargai
untuk mengurangi polusi karbon di bawah baseline. Pengurangan ini menjadi credit yang dapat
diperdagangkan. Pihak bertanggung jawab dalam skema tersebut harus membeli kredit ini, dan
kemudian menyerahkan mereka ke regulator pada akhir setiap tahun untuk memenuhi bagian mereka
dari ekonomi-lebar atau sektor-lebar target. Setiap kredit merupakan satu ton karbon dioksida
ekuivalen mereda. Baseline umumnya intensitas berbasis, yaitu polusi karbon per unit produksi.

Sebuah harga karbon akan ditetapkan oleh perdagangan kredit. Harga kredit akan variabel,
tergantung pada keseimbangan antara pasokan kredit dari mereka yang melaksanakan proyek
pembawa polusi karbon di bawah baseline dan permintaan kredit dari orangorang yang harus
memenuhi target. Perusahaan yang berpartisipasi dalam mekanisme baseline and credit,
menghasilkan pendapatan dengan menghasilkan kredit dan menjualnya.

Indonesia yang merupakan negara di mana sektor energi memberikan sumbangan besar tak hanya
untuk menggerakkan ekonomi nasional, tapi juga dalam menyumbangkan pendapatan langsung dari
penjualan produkproduk energi, khususnya bahan bakar fosil. Ekspor minyak bumi, gas bumi dan
batubara merupakan sumber utama pendapatan pemerintah sejak lebih 3 dekade yang lalu.
Indonesia juga adalah negara agraris, mempunyai hutanhutan tropis serta garis pantai yang
terpanjang di dunia, sehingga perubahan iklim yang akan berpengaruh terhadap pemanasaan global
merupakan masalah yang menjadi perhatian Indonesia.

Peluang perdagangan karbon di Indonesia sangatlah besar dengan perhitungan potensi karbon yang
terserap di hutan Indonesia capai 25,773 miliar ton. Potensi itu belum termasuk karbon yang terdapat
di lahan hutan gambut dan lahan kering. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mencatat
Indonesia diperkirakan mampu menyerap 5,5 giga ton CO2.

Karena itu, Indonesia menduduki urutan kelima di dunia yang berpotensi melakukan suplai 10% kredit
karbon dunia. Dengan luas hutan lindung sekitar 36,5 juta hektar, nilai penyerapan karbon Indonesia
berkisar US$105 miliar hingga US$114 miliar.

[Download PDF]

BERANDA
Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Kementerian Perdagangan
Gedung Bappebti Lt. 3 - 5, Jl. Kramat Raya No. 172 Jakarta 10430, Tel. (021) 31924744, Fax. (021)
31923204, Email: bappebti@bappebti.go.id
Copyright 2012 Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komodit

http://global.liputan6.com/read/417318/australia-mulai-menerapkan-pajak-karbo

Australia Mulai Menerapkan Pajak


Karbon

Liputan6

01 Jul 2012, 11:56 WIB

Total18

Liputan6.com, Canberra: Pemerintah Australia akhirnya menerapkan pajak karbon yang


kontroversial setelah melewati perdebatan selama bertahun-tahun. Dengan ketetapan baru ini,
maka 500 perusahaan penghasil polusi tertinggi di Australia harus membayar US$ 24 atau
sekitar Rp 225.000 untuk setiap ton gas rumah kaca yang mereka hasilkan.

Pemerintah Australia mengatakan pajak ini dibutuhkan untuk mencapai batas gas rumah kaca
yang menjadi kewajiban Australia. Apalagi Benua Kanguru itu adalah negara dengan jumlah
emisi karbon per kapita tertinggi di antara negara-negara maju yaitu menyumbang 1,5 persen
dari seluruh emisi dunia.

Pajak emisi yang diterapkan Australia ini jauh lebih tinggi dari pajak serupa di sejumlah negara,
misalnya Uni Eropa yaitu antara US$ 8,7 sampai US$ 12 per ton emisi karbon. Penerapan pajak
karbon ini diyakini akan mempengaruhi langsung sejumlah sektor industri seperti pertambangan,
pabrik baja dan perusahaan energi.
Akibat ikutannya adalah harga bahan bakar diperkirakan akan meningkat cukup tajam.
Sehingga, kelompok oposisi yang sejak awal menolak penerapan pajak karbon ini menyebut
keputusan pemerintah ini sebagai sebuah 'pajak beracun' yang bisa mengakibatkan
meningkatnya pengangguran.

Pemimpin oposisi Tony Abbot meragukan pajak karbon ini cukup untuk memerangi perubahan
iklim dan mengatakan pajak ini justru akan membebani masyarakat. Dia berjanji akan
membatalkan undang-undang dan pajak karbon ini jika dia memenangkan pemilihan umum yang
dijadwalkan berlangsung 2013.

Namun, Perdana Menteri Australia Julia Gillard mengatakan keputusan ini adalah cara realistis
untuk memenuhi kewajiban emisi negeri itu. Selain itu, dengan cara ini maka Australia akan
perlahan-lahan mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dan mulai menciptakan
bahan bakar alternatif.(BBC/ADO)

Anda mungkin juga menyukai