Anda di halaman 1dari 22

PENGANTAR KEPENDUDUKAN (EKI 301 B2)

KEBIJAKAN KEPENDUDUKAN

Dosen Pengampu : Dr. I Gusti Wayan Murjana Yasa, SE., M.Si.

Oleh :

KELOMPOK 5

1. Luh Hias Widiasih (1506105062 / 06)


2. Nanda Yuliana Putri (1506105074 / 09)
3. Ni Komang Argia Gemah Utari P. (1506105086 / 12)
4. Ni Putu Arisna Dewi (1506105098 / 18)
5. Eneng Sari Dewi Listiyani (1506105123 / 25)

PROGRAM REGULER

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebijakan kependudukan di Indonesia telah dimulai sejak zaman Hindia Belanda. Pada
saat itu, Pemerintah Kolonial Belanda mulai menyadari bahwa kepadatan penduduk di Pulau
Jawa semakin tinggi. Hasil Sensus Penduduk pertama yang dilakukan di Jawa pada tahun
1905 menunjukkan bahwa penduduk Jawa telah mencapai 30 juta jiwa. Pemerintah Kolonial
kemudian mulai memikirkan adanya proyek permukiman kembali (resettlement) yakni
penempatan petani-petani dari daerah di pulau Jawa yang padat penduduknya , ke desa-desa
baru yang disebut koloni daerah di luar Jawa. Oleh sebab itu, kebijakan ini kemudian
dikenal sebagai kebijakan kolonisasi.
Program kolonisasi merupakan titik awal memindahkan penduduk secara bertahap dari
Jawa ke seluruh pelosok tanah air (Syamsu, 1976). Setelah Indonesia merdeka, program
kolonisasi berubah nama menjadi transmigrasi. Transmigrasi merupakan program yang
dilaksanakan secara masal tidak hanya memindahkan penduduk dari daerah-daerah yang
padat di Jawa, melainkan sekaligus memberikan stimulus bagi pembangunan dan
pengembangan wilayah, khususnya di daerah- daerah luar Jawa.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari materi yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1.2.1 Apa saja masalah yang dialami penduduk di Indonesia?
1.2.2 Apa saja yang termasuk dalam program redistribusi penduduk?
1.2.3 Mengapa harus dilakukan pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari materi yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1.3.1 Untuk mengetahui masalah penduduk di Indonesia.
1.3.2 Untuk mengetahui program redistribusi penduduk.
1.3.3 Untuk mengetahui pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri.

Kebijakan Kependudukan | 1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENDAHULUAN
Hingga akhir tahun 2000 terdapat beberapa masalah penduduk di Indonesia antara lain
adalah sebagai berikut:
1. Jumlah penduduk yang besar (tahun 2000 berjumlah 203,5 juta jiwa).
2. Persebaran penduduk yang tidak merata. Sekitar 60 persen penduduk Indonesia
berdomisili di Pulau Jawa yang luas wilayahnya sekitar 6,9 persen dari luas wilayah
seluruh daratan Indonesia 3. (Tabel 2.1).
3. Persentase yang bekerja pada sektor pertanian masih tinggi (sekitar 60 persen jumlah
angkatan kerja) di lain pihak luas lahan pertanian semakin berkurang karena
dipergunakan untuk kepentingan non pertanian.
4. Jumlah penganggur terbuka tinggi dan kualitas tenaga kerja baik fisik maupun non
fisik masih rendah.
Dalam materi ini akan disoroti masalah ketimpangan penyebaran penduduk di Indonesia
dan kebijaksanaan pemerintah untuk mengatasinya. Di samping itu akan disoroti pengiriman
TKI ke luar negeri sebagai usaha untuk meningkatkan ekonomi rumah tangga penduduk dan
menekan pengangguran terbuka.

2.2 PROGRAM REDISTRIBUSI PENDUDUK

Persebaran penduduk yang tidak merata menimbulkan beberapa masalah, diantaranya


kelebihan penduduk di Pulau Jawa dan Madura yang terwujud dalam sulitnya angkatan kerja
mendapatkan pekerjaan, pendapatan penduduk yang rendah dan angka pengangguran
meningkat. Di luar Jawa banyak sumber daya alam yang belum sempat dijamah oleh

Kebijakan Kependudukan | 2
manusia. Menurut Yudohusodo (1998), di pulau Jawa proses pemiskinan terjadi karena terlalu
padatnya penduduk. Sebaliknya, di luar Pulau Jawa pemiskinan disebabkan kekurangan
penduduk.
Desa-desa di luar Pulau Jawa berpenduduk sangat sedikit dan lokasinya terpencil
sehingga jika dibangun sekolah akan kekurangan murid; jika dibangun jalan atau dipasang
jaringan listrik, biayanya sangat mahal dan tidak efisien; jika dibangun pasar, barang yang
dijualbelikan sedikit. Akibatnya, desa-desa itu tetap tertinggal.
Memperhatikan keadaan tersebut di atas, Pelzer (1945) mengusulkan pemecahan
penduduk ini dengan memindahkan sebagian penduduk dari Jawa ke luar Jawa. Gejala
kelebihan penduduk di Pulau Jawa dan Madura, dan kekurangan penduduk di luar Pulau Jawa
telah disadari oleh pemerintah Hindia Belanda, dan kesadaran tersebut dipengaruhi oleh
tulisan C. Th. Van Deventer yang berjudul Een Ereschuld Oe Gids yang terbit pada tahun
1899. Tulisan tersebut membeberkan kemiskinan di Pulau Jawa serta kaitannya dengan
culture stelsel dan pelaksanaan kerja paksa oleh pemerintah Belanda. Dalam tulisan itu Van
Deventer menghimbau agar pemerintah Belanda melakukan upaya-upaya yang dapat
membantu memperbaiki kehidupan rakyat di Pulau Jawa (Mantra dan Nasrudin Harahap,
2000).
Tergugah oleh pernyataan tersebut, pemerintah kolonial Belanda menyiapkan satu
program yang dapat membantu memperbaiki kehidupan rakyat jajahan dan meminta Van
Deventer ikut memberikan saran. Program-program yang merupakan bagian dari politik
balas budi ini meliputi program: irigasi, edukasi, dan kolonisasi.
Khusus untuk program kolonisasi ini, pemerintah Hindia Belanda menugaskan HG.
Heyting, seorang asisten residen untuk mempelajari kemungkinan pemindahan beberapa
penduduk Pulau Jawa ke daerah lain yang penduduknya, yang dianggap potensial bagi
pengembangan usaha pertanian. Pada tahun 1903 Heyting menyarankan agar pemerintah
Belanda membangun desa-desa baru di luar Pulau Jawa, dengan jumlah penduduk rata-rata
sekitar 500 KK setiap desa disertai dengan bantuan ekonomi secukupnya agar desa-desa
tersebut dapat berkembang serta memiliki daya tarik bagi pendatang pendatang baru
(Yudohusodo, 1998).

2.1.1 Dari Kolonisasi ke Transmigrasi


Program kolonisasi dimulai tahun 1905 dengan mengirimkan sejumlah 155 KK (815
jiwa) yang berasal dari daerah Kabupaten Karanganyar, Kebumen, dan Purworejo (waktu itu
termasuk daerah Karesidenan Kedu, Jawa Tengah) ke Gedong Tataan, sekitar 25 km barat

Kebijakan Kependudukan | 3
Tanjung Karang. Daerah inilah merupakan daerah kolonisasi yang pertama. Sebelum
penetapan daerah ini sebagai daerah permukiman kolonisasi, lebih dahulu diadakan penelitian
atas beberapa daerah di Sumatra Barat, Bengkulu, Lampung, dan Palembang, akhirnya
pilihan jatuh pada daerah Gedong Tataan. Pada tahun-tahun selanjutnya hingga tahun 1942
di bangun daerah-daerah kolonisasi di luar Pulau Jawa.
Adapun tujuan dari program kolonisasi ini ialah untuk memperbaiki kesejahteraan
rakyat dengan cara mengurangi kepadatan dan kelebihan penduduk di Pulau Jawa sebab akar
kemiskinan berada di Jawa karena faktor kelebihan penduduk. Maka dari itu, dengan program
kolonisasi pemerintah berusaha memindahkan penduduk sebanyak-banyaknya dari Pulau
Jawa.
Pada tahun 1922 sebuah permukiman yang lebih besar yang diberi nama Wonosobo
didirikan di dekat Kota Agung di Lampung Selatan. Di samping itu didirikan pula beberapa
permukiman besar dekat Sukadana di Lampung Tengah, sedangkan permukiman-
permukiman yang lebih kecil didirikan di Sumatera Selatan, Bengkulu, Kalimantan dan
Sulawesi. Pada akhir tahun 1941 telah ada 173.959 orang yang tinggal dalam proyek-proyek
kolonisasi di Lampung (termasuk orang yang dilahirkan di desa-desa baru ini), dan telah ada
lebih dari 56.000 orang di proyek kolonisasi di daerah lain (Pelzer, 1946).
Setelah perang dunia ke II usaha pemindahan penduduk oleh Pemerintah Republik
Indonesia dimulai dengan mendirikan Jawatan Transmigrasi dalam tahun 1947 yang
merupakan bagian dari Kementrian Sosial, kemudian menjadi bagian Kementrian
Pembangunan dan Pemuda pada tahun 1948, kemudian dipindahkan dalam Kementrian
Dalam Negeri. Baru setelah terbentuk Negara Kesatuan dalam tahun 1950 Jawatan
Transmigrasi yang merupakan bagian dari Kementrian Sosial mulai dengan memindahkan
penduduk dari Jawa ke luar Jawa. Adapun tujuan dari program transmigrasi adalah:
...mempertinggi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan jalan mengadakan
pemindahan penduduk dari suatu daerah (tempat) ke daerah (tempat) lainnya, yang ditujukan
ke arah pembangunan perekonomian dalam segala lapangan... (Keyfitz, et.al, 1964).
Jadi transmigrasi merupakan salah satu usaha untuk mengatasi kemiskinan di Jawa.
Tujuan transmigrasi seperti di atas berlaku hingga tahun 1960-an (Oey, 1980).
Pemerintah mengharapkan bahwa di masa mendatang proses perpindahan penduduk
dari satu wilayah ke wilayah lain dapat terjadi dengan sendirinya tanpa ada bantuan dari
pemerintah atau pihak lain. Jadi penyelenggaraan transmigrasi harus lebih mengutamakan
swadaya masyarakat. Sejak Pelita III dan IV dari seluruh transmigran yang dikirim,
prosentase jumlah transmigran swakarsa meningkat, sedangkan transmigrasi umum

Kebijakan Kependudukan | 4
meningkat. Sebagai contoh pada Pelita V transmigran yang direncanakan untuk dipindahkan
sebesar 550.000 KK, dari sejumlah ini sebesar 76,27 persen adalah transmigran swakarsa
(Mantra, 1989).
Program redistribusi penduduk melalui kolonisasi dan transmigrasi hingga tahun
2000 telah berusia 95 tahun, ini berarti bahwa program ini sangat penting dan merupakan
program yang sudah dapat diterima oleh masyarakat. Penduduk yang mendaftarkan untuk
mengikuti program transmigrasi cukup banyak, bahkan melebihi kesanggupan pemerintah
untuk melaksanakannya.
Program pemindahan penduduk dari Jawa ke luar Jawa dapat di bagi menjadi dua
tahap, yaitu: tahap sebelum kemerdekaan dan tahap sesudah kemerdekaan. Sesudah
kemerdekaan program ini dibagi lagi menjadi dua yaitu tahap pra Pelita dan tahap Pelita.
Jumlah transmigran yang dapat di pindahkan hingga 2 oktober 1985 sebesar 3.652.934 jiwa
(Tabel 2.2) Dari sejumlah ini lebih dari dua pertiga dipindahkan pada Pelita III (tahap 1979-
1984) dengan memindahkan sebesar 1.256.030 jiwa transmigran (Tabel 2.2).

Jumlah penduduk Jawa yang mampu ditransmigrasikan sangat kecil bila


dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk. Sebagai misal jumlah penduduk Pulau Jawa
tahun 1905 sebesar 29.924.000 jiwa (Bremen, 1971), dan pada tahun 1940 jumlahnya
meningkat menjadi 49.024.000 jiwa (Widjojo, 1970). Jadi selama 35 tahun terjadi
pertambahan penduduk sebesar 19.100.000 jiwa orang, sedangkan jumlah penduduk yang
mampu dipindahkan hanya sebesar 257.313 orang (1,3 persen dari jumlah pertumbuhan
penduduk). Untuk periode tahun 1961-1985, persentase penduduk yang dapat dipindahkan
dari Pulau Jawa dan Bali meningkat menjadi 8,2 persen dari jumlah pertumbuhan penduduk

Kebijakan Kependudukan | 5
di kedua pulau tersebut. Jadi walaupun terjadi peningkatan, tetapi persentase tetap kecil.
Seperti telah disebutkan bahwa, peningkatan persentase ini disebabkan oleh meningkatnya
pengiriman transmigrasi pada Pelita III.
Memperhatikan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa dari segi demografis jumlah
transmigran yang berhasil dipindahkan tidak banyak berarti bagi daerah pengirim. Paradigma
lama yang menyatakan bahwa program transmigrasi akan dapat mengurangi tekanan dan
kepadatan penduduk di Pulau Jawa dan Madura ternyata tidak berlaku. Kalau dari daerah
pengirim, terutama Pulau Jawa, jumlah transmigran yang mampu dipindahkan tidak begitu
berarti dibandingkan dengan jumlah pertumbuhannya, bagaimana keadaan di daerah
penerima? Bank Dunia dalam laporannya yang berjudul: "Indonesia, The Transmigration
Program in Perspective" memuat data tentang transmigran umum di masing-masing propinsi
penerima pada periode tahun 1971-1980 dan tahun 1980-1985 seperti terlihat pada Tabel 2.3.
Dari Tabel 2.3 terlihat bahwa pada periode tahun 1971-1980, sekitar 65 persen
transmigran umum menuju ke Sumatera Selatan dan Lampung. Pada periode tersebut
memang Sumatera merupakan daerah tujuan utama bagi pengiriman transmigrasi. Hal ini
disebabkan karena beberapa faktor, yaitu: dekat dengan daerah pengirim utama (Pulau Jawa),
daya tampung luas, dan prasarana transport yang baik. Pada periode tersebut sebesar 32,2
persen dikirim ke Sulawesi (terutama Sulawesi Tengah) dan Kalimantan (terutama
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur). Untuk propinsi Maluku dan Irian Jaya (Papua)
persentasenya sangat kecil yaitu masing-masing hanya 0,005 dan 1,4 persen.
Sesudah tahun 1980-an pengiriman transmigran umum terutama diarahkan ke bagian
Indonesia Timur. Propinsi-propinsi yang dijadikan daerah permukiman transmigrasi dewasa
ini adalah: Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan
Irian Jaya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, pada periode tahun 1980-1985: persentase
transmigran yang menuju ke Sumatera menurun, sedangkan yang menuju ke Kalimantan,
Maluku, dan Irian Jaya meningkat.
Tabel 2.3 juga memuat persentase transmigran berdasarkan jumlah penduduk dari
masing-masing propinsi penerima. Pada tahun 1980 jumlah transmigran di masing-masing
propinsi penerima sangat rendah, umumnya kurang dari 4 persen kecuali propinsi Jambi dan
Bengkulu yang besarnya masing-masing 7 dan 5 persen. Pada tahun 1985 angka- angka
tersebut meningkat, misalnya untuk propinsi Jambi, dan Sulawesi Tenggara persentase
transmigran masing-masing besarnya 12 persen dari jumlah seluruh penduduknya. Propinsi
Bengkulu dan Kalimantan Tengah masing-masing besarnya 11 persen dan Sumatera Selatan

Kebijakan Kependudukan | 6
10 persen. Beberapa propinsi penerima dengan kepadatan penduduk relatif tinggi, persentase
transmigrannya rendah, misalnya Sumatera Utara dengan kepadatan penduduk sebesar 133
orang/km2, persentase transmigran adalah 0, begitu juga untuk Sulawesi Utara, angka
kepadatan penduduknya sebesar 122 orang/km2 persentase transmigran umum besarnya 1
persen. Menurut laporan Bank Dunia tersebut, pada Pelita III sejumlah 9 dari 19 propinsi
penerima, jumlah transmigran yang datang lebih dari dua kali lipat. Jumlah transmigran di
masing-masing propinsi kurang dari 12 persen dari jumlah penduduknya. Jadi untuk propinsi
penerima, jumlah transmigran yang datang dari segi demografis juga tidak banyak artinya.
Tabel 2.3
Transmigrasi Umum di Provinsi Penerima, 1971-1980 dan 1980-1985
Persentase Transmigran dari
Provinsi Jumlah Transmigran Umum (000)
Jumlah Penduduk
1971-1980 1980-1985 1980 1985
Daerah Istimewa
9,6 61 0 2
Aceh
Sumatera Utara 1,8 37,1 0 0
Sumatera Barat 34,8 23,2 1 2
Riau 29,3 177,9 1 8
Jambi 96 107,8 7 12
Bengkulu 41,7 61,1 5 11
Sumatera Selatan 141,3 379 3 10
Lampung 133,3 188,2 3 5
SUMATERA 487,8 (65,6%) 1.035,3 (59,0%) 2 3
Kalimantan Barat 23,7 131,9 1 6
Kalimantan Tengah 9,4 109,8 1 11
Kalimantan Selatan 41 91,4 2 6
Kalimantan Timur 29,6 55,5 2 5
KALIMANTAN 103,7 (13,9%) 388,6 (22,2%) 2 5
Sulawesi Utara 11,2 18,8 1 1
Sulawesi Tengah 51,5 75,5 4 8
Sulawesi Selatan 36,5 25 4 8
Sulawesi Tenggara 37,9 92,1 4 12
Sulawesi 131,1 (18,4%) 211,4 (12,1%) 1 3
Maluku 4,3 35,1 0 2
Irian Jaya 0,01% 2,00% 1 6
Lain-lain 10,6 (1,4%) TT 75,6 (2%) 7,0 TT TT
Jumlah 743,5 (100%) ~ 1.753,9 (100%) 1 4
TT : tidak ada data

Kebijakan Kependudukan | 7
Sumber : The World Bank (1998)
Walaupun dampak demografis program transmigrasi sangat kecil baik bagi daerah
pengirim maupun daerah penerima, tetapi program ini dapat merangsang transmigrasi
swakarsa. Sebenarnya jumlah transmigran yang dikirim tidak perlu terlalu besar, asalkan
mereka yang dikirim mempunyai jiwa pionir dengan motivasi tinggi. Keberhasilan mereka di
daerah tujuan menghasilkan kekuatan sentipetal tinggi yang dapat menarik penduduk di
daerah asal untuk bermigrasi ke daerah tersebut. Para transmigran akan mengabarkan
keberhasilan mereka kepada sanak saudara dan masyarakat di daerah asal. Transmigran pionir
ini memegang peranan yang sangat penting dalam usaha meningkatkan jumlah transmigran
swakarsa.
Sebagai contoh Provinsi Lampung merupakan provinsi tertutup untuk transmigran
umum, tetapi hingga kini migran swakarsa tetap mengalir ke provinsi ini melalui sistem
migrasi berantai.
Mabogunje (1970) melihat bahwa kontribusi dari migran terdahulu di daerah tujuan
sangat besar dalam membantu transmigran swakarsa baru yang berasal dari daerah yang sama
dengan mereka. Bantuan ini terutama diberikan pada tahap-tahap awal dari mekanisme
penyesuaian diri di daerah tujuan. Para transmigran baru tidak hanya sekedar ditampung di
rumah transmigran lama, tetapi dicukupi kebutuhan makannya, dan dibantu untuk membeli
lahan sesuai dengan kemampuan dan relasi yang dimiliki. Jadi keberhasilan transmigrasi
umum di daerah tujuan akan disusul oleh kedatangan transmigran swakarsa sehingga secara
keseluruhan jumlah transmigran menjadi besar.

2.2.2 Harapan dan Realitas


Ada kesamaan tujuan kolonisasi dan program transmigrasi dalam hal mengurangi
penderitaan rakyat dengan cara memindahkan mereka ke luar Jawa yang masih jarang
penduduknya. Perbedaan pokok tujuan pelaksanaan dengan kolonisasi adalah penempatan
program transmigrasi itu merupakan bagian dari sistem pembangunan perekonomian
nasional. Akan tetapi, ketika rumusan tujuan di atas dijabarkan dalam bentuk program
konkret telah tampak deviasi sehingga mengaburkan makna perbedaan antara program
transmigrasi dan kolonisasi. Rencana Ir. A.H.O Tambunan, Kepala Jawatan Transmigrasi
pertama RI, untuk memindahkan 48 juta lebih penduduk Jawa dalam waktu 35 tahun
sehingga pada tahun 1987 penduduk Jawa menjadi 35 juta jiwa sangat tidak realistis sehingga
program ini sepertinya berada di luar sistem pembangunan perekonomian nasional.

Kebijakan Kependudukan | 8
Beberapa program lain yang ada hubungannya dengan ketransmigrasian selalu berisi
target jumlah penduduk yang dipindahkan keluar Jawa. Hal ini menegaskan bahwa orientasi
demografi sejak awal kuat dalam pelaksanaan transmigrasi. Hal ini memberikan kesan kuat
bahwa pemindahan sejumlah penduduk keluar Jawa telah menjadi tujuan utama dari
transmigrasi, bukan pada upaya penyejahteraan rakyat sebagai bagian dari tujuan
pembangunan perekonomian nasional sebagaimana dikonsepkan dari awal.
Inkonsistensi tujuan pelaksanaan transmigrasi ini tidak lepas dari berbagai faktor
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hankam yang aktual pada berbagai penggalan masa. Hal
ini bahkan tidak jarang membuat pelaksanaan tranmigrasi bertujuan sangat teknis, sebagai
suatu solusi dari satu permasalahn tertentu.
Inkonsistensi ini digambarkan Ramadhan K.H, et al. (1993) dalam kaitannya dengan
sistem pelembagaan transmigrasi yang terus berubah. Karena perubahan itu terlalu sering
dalam kurun waktu yang pendek, kesan inkonsistensi karena tekanan dari faktor-faktor
poleksosbudhankam yang objektif dan actual tidak terhindari. Maka dari itu, ada masa
transmigrasi dilihat sebagai bagian dari permasalahan sosial sehingga ditempatkan di bawah
Kementerian Sosial (1950 1957). Tujuan pelaksanaannya pun dalam realitas (das sein)
lebih merupakan suatu pemecahan permasalahan sosial. Ada masanya ia dilihat sebagai
bagian dari upaya pengembangan ekonomi (koperasi), khususnya di pedesaan (1957-1966;
1968-1973), atau sebagai bagian dari ketenagakerjaan (1973-1983).
Sepanjang semua program berorientasi pada pembangunan perekonomian nasional
yang berimplikasi peningkatan kesejahteraan rakyat maka program tersebut tetap sejalan atau
konsisten dengan tujuan konsepsional dari transmigrasi yang dirumuskan sejak awal. Yang
banyak terjadi adalah tujuan-tujuan praktis untuk pemecahan masalah aktual dengan cara
memindahkan sejumlah manusia. Subroto (1972) menggambarkan bahwa transmigrasi
sebelumnya hanya menekankan pada aspek sosial dan kurang memperhatikan aspek
ekonominya sehingga transmigrasi memberikan kesan pemindahan orang-orang miskin dari
Jawa ke daerah lain.
Pada awal pemerintahan Orde Baru tampak adanya upaya reorientasi pelaksanaan
transmigrasi. Pada rencana Pembangunan Lima Tahun (1969-1973) disebutkan bahwa
masalah transmigrasi berada pada dua sisi, yaitu sebagai masalah persebaran penduduk dan
pemenuhan kebutuhan tenaga kerja untuk pembangunan, yang keduanya saling berkaitan.
Program transmigrasi akan dikaitkan dengan proyek-proyek pembangunan di luar Jawa
sehingga ia akan berperan penting sebagai unsure penunjang pembangunan proyek-proyek
tersebut.

Kebijakan Kependudukan | 9
Dengan reorientasi ini, sudah tentu dibutuhkan karakter dan kualitas transmigran
yang bervariasi sesuai dengan jenis proyek pembangunan di berbagai daerah di luar Jawa.
Dalam kenyataan, seperti diungkapkan Singarimbun (dalam Heeran, 1979), tidak terlihat
adanya perbedaan yang nyata dalam kualitas transmigran yang diberangkatkan. Umumnya
tingkat pendidikan mereka rendah dan tidak mempunyai keterampilan di bidang
nonpertanian. Hampir semua dari mereka akan disalurkan ke sektor pertanian, seperti halnya
para transmigran sebelumnya. Akan tetapi, secara kuantitatif target yang direncanakan relatif
tercapai karena sepanjang 5 tahun tersebut telah dipindahkan sebanyak 180.749 jiwa atau
sekitar 39.436 keluarga ke luar Jawa.
Pada tahun 1972 reorientasi dipertegas lagi dalam rumusan yang lebih konsepsional
dalam suatu undang-undang, yaitu Undang-Undang R.I No.3 Tahun 1972 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Transmigrasi. Dalam penjelasan umum undang-undang tersebut dinyatakan
bahwa tujuan utama dari pelaksanaan transmigrasi bukanlah untuk mencapai penyebaran
penduduk yang lebih seimbang dan merata, melainkan untuk melaksanakan pembangunan
proyek-proyek yang dipandang perlu untuk meningkatkan produksi nasional. Dengan
demikian, usaha pengiriman transmigran adalah untuk menunjang kegiatan pembangunan
daerah melalui proyek-proyek pembangunan yang memerlukan tenaga kerja. Karena proyek-
proyek pembangunan itu bersifat simultan di segala bidang kegiatan, transmigrasi berarti
penyebaran dan penyediaan tenaga kerja dengan berbagai jenis ketrampilan untuk perluasan
produksi di daerah-daerah maupun pembukaan lapangan kerja baru (Kanwil Departemen
Transmigrasi Populasi Jawa Tengah, 1974).
Jadi, secara eksplisit diulangi lagi apa yang pada tahun 1951 dan 1953 telah
dirumuskan bahwa pelaksanaan transmigrasi berorientasi pada pembangunan perekonomian
nasional yang berimplikasi peningkatan kesejahteraan rakyat, bukan pada orientasi
demografi. Pada UU No. 3 Tahun 1972 rumusan tentang tujuan dan landasan kebijakan
transmigrasi itu lebih lengkap. Tujuan pada pasal 2 diuraikan bahwa secara umum sasaran
kebijakan transmigrasi itu adalah terlaksananya transmigrasi swakarsa yang teratur dalam
jumlah yang sebesar-besarnya untuk tercapai a) peningkatan taraf hidup, b) pembangunan
daerah, c) keseimbangan persebaran penduduk, d) pembangunan merata di seluruh Indonesia,
e) pemanfaatan sumber-sumber alam dan tenaga manusia, f) kesatuan dan persatuan bangsa,
dan g) memperkuat pertahanan dan keamanan nasional. Dari uraian tentang tujuan ini dapat
disimpulkan bahwa program transmigrasi yang akan digencarkan itu tetap berorientasi pada
pembangunan perekonomian nasional yang berimplikasi sosial, politik, budaya, dan hankam.

Kebijakan Kependudukan | 10
Bagaimana rumusan-rumusan konsepsional itu digelindingkan dalam rangka realitas,
sama seperti pada masa pemerintahan Hindia Belanda, selalu saja ada jarak atas das so/en
dengan das sein. Di samping komentar Singarimbun di atas, berbagai studi penelitian
menunjukkan bahwa pelaksanaan program transmigrasi tetap saja berorientasi demografi
daripada orientasi pembangunan. Pelita demi pelita dari masa pemerintahan Orde Baru selalu
berisi patokan target transmigrasi dalam bekerja (Harahap, 1986). Secara umum, pelaksanaan
transmigrasi disebut berhasil jika selalu dengan indicator proporsi pencapaian target sebab
tidak jarang target jumlah penduduk yang akan dipindahkan ini bahkan terlampaui.
Namun, secara kualitatif dapat dipertanyakan seberapa besar kontribusi transmigrasi
terhadap pembangunan di daerah-daerah transmigrasi, yang membutuhkan tambahan tenaga
kerja dari berbagai jenis keterampilan. Pelaksanaan transmigrasi yang berorientasi pada
target, seleksi terhadap calon transmigran hampir nihil karena animo masyarakat terhadap
transmigrasi pun tidak selalu besar.
Jangankan untuk menyeleksi, memilih kualitas transmigran yang bagaimana harus
dikirim ke daerah transmigrasi yang mana (sesuai dengan kegiatan pembangunan yang
sedang berlangsung disana) karena dikejar-kejar pemenuhan target, tidak jarang yang terjadi
malah perburuan calon transmigran ke desa-desa (Mantra & Harahap, 1996).
Pada tahun 1997, keluar Undang-Undang No. 15 Tahun 1997 sebagai pengganti UU
No. 3 Tahun 1972. Tujuan transmigrasi disebut sebagai upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitarnya, meningkatkan dan meratakan
pembangunan daerah, serta memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa. Rumusan baru ini
pun tetap konsisten pada pelaksanaan transmigrasi yang berorientasi pada pembangunan dan
kesejahteraan rakyat, serta kepedulian kuat pada perwujudan integrasi penduduk di daerah-
daerah transmigrasi. Namun, bagaimana realisasinya perlu dicermati secara kritis karena
seperti diucapkan Mubyarto (1998), masalah besar yang kerap dihadapi pembangunan di
Indonesia bukanlah pada pelaksanaan di lapangan. Kebijakan pembangunanisme
menyebabkan penghargaan kepada proses berkurang karena sasaran utama adalah hasil
sebagai realisasi dari target yang seringkali tidak realistis.

2.2.3 Reorientasi pada Pembangunan Daerah


Dapat dilihat bahwa kebijakan kependudukan dalam bentuk kolonisasi atau
transmigrasi dari waktu ke waktu sesungguhnya dimaksudkan untuk memperbaiki
kesejahteraan penduduk, sekalipun tidak jarang menimbulkan hal-hal yang negative sebagai
akibat dari disorientasi dalam pelaksanaan. Upaya mengurangi berbagai masalah dalam

Kebijakan Kependudukan | 11
pelaksanaan transmigrasi adalah dengan menghindari disorientasi dari tujuan yang
sebenarnya telah dirumuskan secara cermat. Hal ini dapat dimulai dengan rumusan program
aksi yang konsisten dengan tujuan konsepsional itu.
Rumusan program aksi yang detail dan konsisten ini diharapkan mampu
mengendalikan potensi-potensi disorientasi seperti ambisi subjektif yang bersifat personal
atau institusional, budaya kerja menerabas yang kurang suka pada tantangan.
Secara umum program transmigrasi memang berdampak luas terhadap pembangunan,
baik dilihat dari tata ruang wilayah melalui pembukaan wilayah terisolasi serta pemanfaatan
ruang wilayah, maupun dalam bentuk pembangunan ekonomi wialayah (Yudohusodo, 1998).
Akan tetapi, mengacu pada UU No.15 Tahun 1997, pembangunan harus mampu
meningkatkan kesejahteraan transmigran dan penduduk setempat serta mengikat persatuan
yang kukuh di antara kedua kelompok penduduk tersebut. Jadi, orientasi pembangunan dari
pelaksanaan transmigrasi itu lebih spesifik karena perhatian, khususnya terhadap dua
kelompok penduduk di daerah transmigrasi. Kesadaran akan spesifikasi ini perlu sehingga
semua pihak terkait mempunyai visi dan bahasa yang sama bahwa program transmigrasi tidak
hanya soal urusan transmigran, tetapi juga urusan penduduk setempat di daerah transmigrasi
yang harus ditangani secara terpadu.
Banyak permasalahan dalam pelaksanaan transmigrasi yang bersumber dari
lemahnya kesadaran terhadap spesifikasi orientasi pembangunan, seperti timbulnya
ketidakpuasan atau kecemburuan di kalangan penduduk setempat.
Keresahan dan konflik yang menyebabkan berbagai usaha ekonomi tidak bisa
berlangsung produktif di berbagai daerah transmigrasi terjadi. Hal ini bukan saja
menyebabkan tujuan peningkatkan kesejahteraan penduduk tidak tercapai, tetapi juga telah
menyebarkan keresahan dan pertentangan antarkelompok penduduk yang bisa menggerogoti
persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu, kesadaran tersebut perlu dipertegaskan dan
disosialisasikan, yang implementasinya diperlihatkan dalam program-program aksi di
lapangan. Dalam hal ini dipertimbangkan tentang adanya keterbatasan sumber daya alam dan
daya tamping sosial berbagai derah transmigrasi, serta seleksi calon transmigran yang lebih
proporsional (Mantra dan Nasrudin Harahap, 2000).

2.3 PENGIRIMAN TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR NEGERI


2.3.1 Pendahuluan
Telah dikemukakan oleh berbagai kalangan, masalah ketenagakerjaan di Indonesia
merupakan masalah nasional yang berkepanjangan dari Pelita ke Pelita.

Kebijakan Kependudukan | 12
Dalam pengalaman pelaksanaan pembangunan selama ini, terlihat nyata bahwa
pertumbuhan angkatan kerja yang cukup pesat kurang dapat diimbangi oleh kemampuan
penciptaan kesempatan kerja sehingga terjadi pengangguran terbuka yang terakumulasi setiap
tahunnya.
Pada tahun 1990 jumlah angkatan kerja (labour force) di Indonesia sebesar 73,9 juta
orang, pada tahun 1995 dan 2000 diperkirakan meningkat sebesar 86,1 juta dan 98,9 juta
orang. Jadi dari tahun ke tahun jumlah angkatan kerja meningkat terus, dan menurut proyeksi
dari Ananta et. al (1994), tahun 2010 jumlah angkatan kerja diperkirakan menjadi 123,6 juta
orang.
Kemampuan pembangunan ekonomi untuk menciptakan kesempatan kerja baru pada
akhir Pelita V maksimal diperkirakan 9 juta, itu pun dengan berbagai skenerio pembangunan
ekonomi Indonesia yang optimistik, yang oleh banyak kalangan diragukan realitasnya.
Akibatnya pembengkakan jumlah pengangguran terbuka pada periode tersebut sulit dihindari,
belum lagi fenomena setengah pengangguran yang juga merupakan masalah ketenagakerjaan
yang cukup besar, dan pelik (Mantra, et. al, 1992).
Salah satu kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah
ketenagakerjaan ini ialah dengan mendorong pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Untuk
mengimplementasikan kebijakan ini dibentuklah lembaga Antar Kerja Antar Negara (AKAN)
oleh Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia, yang mengkoordinasikan
penyelenggaraan penyaluran angkatan kerja ke luar negeri. Dalam penyelenggaraan kegiatan
ini, AKAN bekerja sama dengan berbagai Perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia
(PJTKI) yang didirikan oleh swasta yang tergabung dalam Indonesia Manpower Suplier
Association (IMSA).
Ada dua faktor yang mendorong pemerintah mengambil kebijakan ini. Pertama,
seperti telah diuraikan di muka, makin kompleksnya masalah kependudukan yang terjadi di
dalam negeri dengan berbagai implikasi sosial-ekonomisnya, seperti masalah pengangguran,
menyebabkan harus ditempuh langkah-langkah inovatif untuk berusaha mengurangi tekanan
masalah tersebut.
Kedua, terbuka kesempatan kerja yang cukup luas di negara-negara yang relatif kaya
dan baru berkembang yang dapat menyerap tenaga kerja Indonesia dalam jumlah yang cukup
besar, terutama negara-negara kaya minyak seperti di Timur Tengah, dan juga Malaysia,
Singapura pada negara-negara ASEAN. Kesempatan-kesempatan kerja tersebut selain dapat
menyerap banyak tenaga kerja juga menawarkan tingkat penghasilan dan fasilitas yang lebih

Kebijakan Kependudukan | 13
menarik dibandingkan dengan kesempatan kerja di dalam negeri. Tingkat penghasilan yang
lebih baik tersebut dapat meningkatkan devisa negara.
Migrasi Internasional di Indonesia dapat dibedakan atas dua pola. Pertama, yang
terdokumentasi pada lembaga AKAN yang secara resmi tercatat di Departemen Tenaga
Kerja, salah satu contoh adalah pengiriman tenaga kerja ke Timur Tengah. Kedua, tenaga
kerja yang berangkat ke luar negeri tidak terdokumentasi (secara ilegal) melalui calo,
misalnya tenaga kerja Indonesia yang pergi ke Malaysia. Mereka ini tidak tercatat di
Departemen Tenaga Kerja maupun di kantor imigrasi Indonesia maupun Malaysia.

2.3.2 Perkiraan Jumlah Tenaga Kerja Indonesia yang Bekerja di Luar Negeri
Mobilitas tenaga kerja Indonesia ke luar negeri telah terja sejak dulu. Sebelum
Perang Dunia II telah banyak tenaga kerja Indonesia yang dikirim ke Malaysia, Guyana, dan
New Caledonia. Umunya mereka berasal dari Pulai Jawa dan daerah tujuan mereka bekerja
sebagai buruh perkebunan. Setelah Perang Dunia II mulai terdapat tenaga kerja yang bekerja
di Singapura dan negara-negara lainnya. Disamping itu banyak pula tenaga kerja Indonesia
yang bekerja di kapal-kapal dagang maupun kapal pesiar berbendera asing baik itu Eropa,
Amerika Utara, Australia dan Asia lainnya (Mantra, et. al, 1992). Mobilitas tenaga kerja
Indonesia ke luar negeri pada masa tersebut hanya untuk mencukupi kebutuhan tenaga kerja
di negara-negara bersangkutan dan bukan merupakan kebijakan pemerintah di bidang
ketenagakerjaan.
Setelah tahun 1975 pengiriman tenaga kerja ke luar negeri secara resmi
diprogramkan oleh pemerintah. Apabila dibandingkan dengan negara-negara Asia Linnya
seperti Thailand, Philipina, Malaysia, dan Korea Selatan, maka Indonesia sangat terlambat
memulai program ini sehingga jumlah tenaga kerja yang berhasil dikirim ke luar negeri lebih
sedikit disbanding negara-negara tersebut di atas. Sebagai contoh, Indonesia hanya mampu
mengirim kurang dari sepertiga jumlah tenaga kerja yang dikirim oleh negara Thailand pada
periode yang sama.
Jumlah tenaga kerja yang berhasil dikirim ke luar negeri menurut tujuan dapat dilihat
dalam Tabel 12.4. Dari tabel tersebut dapat diketahui sebesar 62,9 persen tenaga kerja
Indonesia menuju Arab Saudi, 9,7 persen menuju Malaysia, dan 6 persen menuju Singapura.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Arab Saudi merupakan negara tujuan utama, dan Malaysia dan
Singapura merupakan negara tujuan kedua bagi Tenaga Kerja Indonesia yang menuju ke luar
negeri.

Kebijakan Kependudukan | 14
Tabel 12.4
Jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang Ke Luar Negeri
Menurut Negara Tujuan, 1969-1993
Negara Pelita I Pelita II Pelita III Pelita VI Pelita V Jumlah
Persen
Tujuan 1969/74 1974/79 1979/84 1984/89 1989/94 Total
Saudi Arabia - 3817 55976 223573 268585 552224 62,9
Timteng lain - 1235 5349 3428 5145 15157 1,7
Malaysia 12 536 11441 37785 122941 172715 19,7
Singapura 8 2432 5007 10537 34496 52483 6,0
Brunei - - - 920 7794 8714 1,0
Hongkong 44 1297 1761 1735 3579 8512 1,0
Jepang 2925 451 920 395 2435 4497 0,2
Korea - - - - 1693 1693 05
Taiwan 37 - - 178 2025 2240 0,3
Belanda 3332 6637 10104 4375 4336 28784 3,3
AS 146 176 2981 6897 9842 20042 2,3
Lain-lain 1653 461 2871 2439 2832 10256 1,2
Total 5624 17042 96410 292262 465972 877310 100
Sumber.Hugo, 1995
Apabila daerah tujuan utama TKI yang menuju ke luar negeri dikelompokkan
menjadi dua yaitu negara-negara Timur Tengah (Arab Saudi, Irak, Kuwait, Persatuan Emirat
Arab, Jordania) dan Malaysia + Singapura, tampak bahwa dari tahun ke tahun jumlah migran
TKI yang menuju ke negara-negara tersebut makin meningkat (Tabel 12.5). ini menunjukkan
bahwa pemerintah berusaha untuk meningkatkan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri.
Departemen Tenaga Kerja pada Pelita VI (1994-1999) mentargetkan untuk mengirimkan
tenaga kerja sebanyak 1,5 juta ke luar negeri dan diperkirakan remitan yang dihasilkan
sebesar 3 milyar dolar Amerika (Hugo, 1995).
Tabel 12.5
Jumlah Tenaga Kerja Indonesia yang Dikirim ke Luar Negeri
Oleh Departemen Tenaga Kerja Selama 1989-1974
Timur Tengah Malaysia/Singapura Persentase pertumbuhan
Tahun Jumlah dibanding tahun
Jumlah% Jumlah %
sebelumnya
1992/93 96772 56 62535 36 17157 +15
1991/92 89244 60 51230 34 149872 +74
1990/91 39810 46 36983 43 96264 +3
1989/90 60456 72 16007 19 84074 +37
1988/89 50123 82 16007 11 61419 +1
1987/88 49723 81 7916 13 61092 +11

Kebijakan Kependudukan | 15
1986/87 45405 66 20349 30 68360 +26
1985/86 45024 83 6546 12 54297 +18
1984/85 35577 79 6034 13 46014 +58
1983/84 18691 66 5597 20 29291 +39
1982/83 9595 47 7801 38 21152 +18
1981/82 11484 63 1550 9 17904 +11
1980/81 11231 70 561 4 16186 +58
1979/80 7651 74 720 7 10378
1977 3675
Periode Repelita
600163 +106
V : 1989/94
291182 +207
IV : 1984/89 94921 +319
III: 1979/84 19332 +256

II: 1974/79 5423


I : 1969/74
*Data hingga Nopember 1993
Sumber: Kantor AKAN Jakarta terdapat dalam Hugo (1995)
Dalam pelita IV (1984/1989) migran TKI yang menuju ke timur tengah lebih dari 95
persen menuju ke Arab Saudi, dan sekitar 83 persen terdiri dari TKI perempuan yang terkenal
dengan sebutan Tenaga Kerja Perempuan (TKP).
Menurut berita harian kompas (28 Februari 1990), besar remitan yang dikirim antara
tahun 1983 dan 1989 berjumlah US$ 535.616.207, berasal dari arab Saudi.
Dari pendaftaran, pengaturan perjalanan, pengurusan perahu, sampai mencarikan
pekerjaan di Malaysia, semua diurus oleh mereka. Yang dilemparkan dari calo satu ke calo
lainsehingga apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, sulit untuk ditelusuri siapa yang
harus bertanggung jawab.
Berdasarkan fakta bahwa melalui jalur resmi (legal) yang dilakukan oleh beberapa
migrant tenaga kerja, terlalu berbelit-belit, menghabiskan biaya dan waktu yang tidak
sedikit,menyebabkan banyak migrant memilih jalur tidak resmi.
Surat kabar kedaulatan rakyat yang terbit hari sabtu 7 Januari 1995 memuat
pernyataan kakanwil Departermen Kehakiman Riau, bahwa pada tahun 1994 puluhanribu
TKI dipulangkan pemerintah kerajaan Malaysia melalui Riau.
Dari puluhan ribu TKI yang dipulangkan hanya sekitar 9.194 dipulangkan melalui
pelabuhan resmi. Puluhan ribu TKI dipulngkan lolos dari pemantauan karena mereka masuk
melali Dermaga Rakyat yang jumlahnya cukup banyak sepanjang pantai Riau. Bahkan
pengiriman tenaga kerja ke Timur Tengah menurun dengan drastic, sekitar 250.000 TKI
kembali ke Indonesia.

Kebijakan Kependudukan | 16
2.3.3 Dampak Migrasi Internasional Terhadap Pendapatan Keluarga dan
Pembangunan Nasional
Dilihat dari perspektif pembangunan keluarga dan pembangunan nasional, kepergian
atau pengiriman warga Indonesia ke luar negeri untuk bekerja mempunya makna strategis,
antara lain sebagai berikut.
2.3.3.1 Peningkatan Pendapatan Keluarga
Informasi dari berbagai pihak termasuk angkatan kerja yang sudah kembali ke tanah
air menunjukkan bahwa tingkat upah di Timur Tengah pada tahun 1990 seperti pramuwisma
mencapai setara Rp. 250.000,- perbulan, sopir atau sederajat mencapai sedangkan pada tahun
yang sama upah buruh Rp.400.000,- perbulan.
Sebagai contoh pada tahun 1984 upah setiap hari di Jawa Timur sebesar Rp.3000,-
sedangkan pada tahun yang sama upah buruh di Malaysia Rp.9000,-. Pada tahun 1991 upah
buruh di Semarang Rp.2.500,- sedangkan di Serawak sebesar Rp.10.800,-, selisih sebesar 432
persen (table 12.6). Tingkat pendapatan 10 kali lipat dari upah rata-rata yang diperoleh untuk
jenis pekerjaan yang sama. Hasil penelitian oleh Mantra,et.al (1986) bahwa lebih dari 50
persen pendapatan TKI di Timur Tengah ditabung untuk dikirim kembbali kepada
keluarganya di tanah air.
Table 12.6
Perbedaan Upah Antara Indonesia dan Malaysia
Tahun Daerah Asal Upah di Upah di Selisih
Indonesia Malaysia (persen)
1990 Lombok Rp.500.00,- Rp.7.000,- 800
Rp.1000,00 Rp.8.000,00
Per hari Per hari
Perkebunan
1989 Indonesia Rp.S$ 70-S$ 100 S$300 300
Per bulan Per bulan
1984 Jawa Timur Rp.3.000,00 Rp.9.000,00 300
Per hari Per hari
1982 Bawean Rp.1.000,00 Rp.9.000,00 1.000
Per hari Per hari
1990 Indonesia Rp.1.000,00 Rp.10.000,00 1.000
Per hari Per hari
1991 Semarang Rp.2.500,00 Rp.10.800,00 432

Kebijakan Kependudukan | 17
Per hari Per hari
(Serawak)
Sumber :Hugo (1993)
2.3.3.2 Peningkatan Devisa Negara
Merupakan aspek paling penting yang disponsori langsung oleh pemerintah maupun
lembaga-lembaga swasta atau perorangan. Yang dapat memperbaiki perdagangan
internasional, namun demikian, perolehan peningkatan devisa negara sangat bergantung pada
jumlah TKI yang berada diluar negeri serta tingkat pendapatan mereka disana.
Pakistan misalnya, 40 persen dari nilai tukar luar neegerinya diperoleh dari dana
remitan berasal dari pengiriman tenaga kerja ke Timur Tengah. Selain itu mereka juga relatif
lebih besar karena jenis-jenis pekerjaan yang mereka masuki lebih tinggi statusnya
disbanding pekerja kasar.
2.3.3.3 Peningkatan Keterampilan Kerja
Keahlian sangat penting bagi pembangunan berlandaskan industrialisasi
(Stalh,1982). Hal ini jelas bermafaat bagi Indonesia pada penggunaan IPTEK. Dengan
bekerja di luar negeri terutama di negara yang secara ekonomi sudah lebih maju, maka akan
mengalami peningkatan keterampilan atas biaya negara di tempat mereka bekerja. Yang
terjadi karena pada umumya sudah menggunakan perangkat teknologi yang relatif lebih
tinggi.
2.3.3.4 Pengurangan Masalah Pengangguran
Hal ini sangat penting bagi negara-negara yang dilanda tingkat pengangguran yang
tinggi seperti di Indonesia. Selain itu, kepergian mereka dapat dipandang membebaskan dana
masyarakat yang dikonsumsi selama masih tinggal, yang dapat mengurangi beban konsumsi
masyarakat, mengurangi produksi.
Dalam hal angkatan kerja yang pergi tersebut adalah tenaga kerja yang telah
mempunyai pekerjaan tetap, maka pengaruhnya terhadap pembangunan di tanah air dapat
bersifat positif dan juga negatif.
Apabila tenaga kerja tersebut berangkat kemudian dapat menyumbang produktivitas
lebih tinggi daripada sebelum berangkat, atau mendapatkan keterampilan yang lebih baik
untuk dimanfaatkan kelak setelah kembali,maka hal ini dipandang sebagai pengaruh positif.
Indonesia pempunyai jumlah penduduk dan angkatan kerja yang besar, usaha
mengirim tenaga kerja mengurangi pengangguran dan pengangguran setengah pengangguran
di dalam negeri ditentukan oleh besarnya proporsi angkatan kerja yang pergi dari seluruh
angkatan kerja yang tersedia. Meskipun tingkat penghasilan diperoleh di luar negeri lebih

Kebijakan Kependudukan | 18
tinggi, tetapi jumlah yang dikirim relatif lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah tenaga
kerja yang ada di dalam negeri, maka maknanya terhadap upaya pemecahan masalah
pengangguran di Indonesia kurang penting.

Kebijakan Kependudukan | 19
BAB III
PENUTUP
Transmigrasi merupakan fase pembangunan bidang kependudukan yang berakar jauh
ke masa pemerintahan kolonial Belanda yang dilakukan sampai kini.
Sejarah yang panjang memperlihatkan makna dan tujuannya terus bergeser sejalan
dengan perubahansituasi, sekalipun tujuan konsepsionalnya relatif sama. Secara das so/en
tujuan pelaksanaan transmigrasi tetap berorientasi pada pembangunan dan kesejahteraan
rakyat, tetapi secara das sein berorientasi demografi atau upaya redistribusi penduduk.
Sejak masa pemerintahan Orde Baru, muncul reorientasi pelaksanaan transmigrasi
yang mengombinasikan tujuan-tujuan peningkatan kesejahteraan rakyat, pembangunan
daerah, dan integrasi penduduk secara sinegris. Namun, pelaksanaanya belum bisa
meninggalkan orientasi demografisnya sehingga mengundang banyak masalah dan
pertanyaan tentang kontribusi transmigrasi terhadap tujuan-tujuan konsepsionalnya.
Memasuki era reformasi, yang antara lain berkarakter desentralisasi pemerintahan,
khususnya setelah keluarnya Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 1999 tentang otonomi
daerah, maka pelaksanaan transmigrasi memerlukan semangat baru yang lebih berorienrasi
pada pembangunan daerah. Diperlukan kesadaran baru bahwa pelaksanaan transmigrasi
bukan hanya soal redistribusi penduduk, tetapi juga soal pembangunanan daerah transmigrasi,
sebagaimana pula telah dirumuskan pada UU No.15 Tahun 1997.
Reorientasi ini membutuhkan konsistensi dan informasi yang valid tentang
sumberdaya serta daya tampung sosial dari tiap daerah transmigrasi. Di sisi lain, seleksi calon
transmigrasi di daerah asal harus dilakukan lebih proporsional untuk mendapatkan calon yang
betul-betul relevan bagi pembangunan daerah transmigrasi. Dengan cara ini pelaksanaan
transmigrasi diharapkan lebih berhasil secara kualitatif, yang implikasi kuantitatif mereka
mengiringi. Kaum transmigran yang betul-butul berhasil pasti merupakan magnit yang
menarik banyak migrant potensial dari Jawa, Bali, atau Lombok.

Kebijakan Kependudukan | 20
DAFTAR PUSTAKA
1. Ida Bagoes Mantra. 2000. Demografi Umum. Pustaka Pelajar.
2. Prof. Ida Bagoes Mantra, Ph. D. 2012. Demografi Umum. Pustaka Pelajar.

Kebijakan Kependudukan | 21

Anda mungkin juga menyukai