Anda di halaman 1dari 11

TANAMAN BERPOTENSI SEBAGAI PESTISIDA

TANAMAN GADUNG (Dioscorea hispida Dennst)

GILANG WAHYU RAHMADHANI 4411414022


JURUSAN BIOLOGI, FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU
PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

ABSTRAK
Tanaman gadung (Dioscorea hispida Dennst) merupakan perdu memanjat yang
tingginya antara 5-10 meter. Batangnya bulat, berbulu serta berduri yang
tersebar pada batang dan daun. Daunnya adalah daun majemuk yang terdiri dari
tiga helai atau lebih, berbentuk jantung dan berurat seperti jala. Bunga
tumbuhan ini terletak pada ketiak daun, tersusun dalam bulir dan berbulu. Pada
pangkal batang tumbuhan gadung terdapat umbi yang besar dan kaku yang
terletak didalam tanah. Kulit umbi berwarna gading atau coklat muda dan
daging umbinya berwarna kuning atau putih gading. Perbanyakan tumbuhan ini
dengan menggunakan umbinya. Kandungan kimia pada tumbuhan ini yaitu
dioscorine (racun), saponin, antidotum, besi, kalsium, lemak, garam, fosfat,
protein dan vitamin B1. Gadung juga mengandung sianida (HCN) yang
merupakan senyawa racun berbahaya dan salah satu zat goitrogenik alami di
dalam bahan makanan. Asam sianida yang terkandung dalam umbi gadung
dapatmengganggu bioavailabilitas nutrient di dalam tubuh. Air rendaman umbi
gadung (Dioscorea hispida Dennst) dalam bentuk larutan biopestisida dapat
mengendalikan hama tanaman padi yaitu belalang (Locusta migratoria). Larutan
biopestisida umbi gadung efektif dapat membunuh belalang dengan waktu mati
belalang rata-rata pada jam ke-5, dengan perbandingan kontrol positif pestisida
pasaran Dursban EC 200 rata-rata pada jam ke-2, dan pada kontrol negatif air
rata-rata pada jam ke-50. Selain efektif membunuh hama belalang, umbi gadung
juga dapat mengendalikan hewan pengerat tanaman (rodentisida). Umbi gadung
mengandung bahan yang mempunyai efek penekanan kelahiran (aborsi atau
kontrasepsi) yang mengandung steroid, dan efek penekanan populasi yang
biasanya mengandung alkaloid.
Kata Kunci : umbi gadung, biopestisida, sianida, Dioscorea hispida Dennst

PENDAHULUAN

Tanaman Gadung (Dioscorea hispida Dennst)

Umbi gadung adalah golongan tanaman tropis, tersebar di berbagai negara


terutama di dataran India sampai ke Asia Tenggara. Beberapa sumber menyatakan
bahwa tanaman gadung berasal dari India dan China Selatan kemudian menyebar
ke Asia Tenggara dan Papua New Guinea. Akibat penyebaran itu maka di
beberapa negara tanaman ini terdapat dalam jumlah signifikan dengan sebutan
yang berbeda-beda. Di Indonesia, tanaman ini juga memiliki beberapa sebutan,
antara lain sikapa (Bali dan Sulawesi) dan undo (Ambon). Di Malaysia, gadung
dikenal sebagai ubi arak atau gadong mabok. Di Filipina, gadung dikenal dengan
nami (Tagalok), gayos (umum) dan karot (Ilokana). Di Burma gadung disebut
kywe dan di Thailand dikenal dengan nama kloi (Afidah et al 2014).
Gadung banyak tumbuh di daerah seluruh wilayah Indonesia. Tanaman ini
tidak mengenal musim tanam. Di kebanyakan daerah, gadung masih merupakan
tanaman liar tanpa dibudidayakan yang hanya tumbuh di kebun atau di
pekarangan rumah. Di beberapa daerah gadung dimanfaatkan sebagai makanan
alternatif atau cemilan (Sihomang et al 2015).
Kedudukan tanaman gadung secara taksonomi dalam klasifikasi tanaman
termasuk dalam Kindom Plantae (tanaman), Subkingdom Tracheobionta
(tanaman merambat), Superdivisi Spermatophyta (tanaman berbiji), Divisi
Magnoliophyta (tanaman berbunga), Klas Liliopsida (Monokotil), Subklas
Lilidae, Ordo Liliales, Familia Dioscereacea (famili umbi-umbian), Genus
Dioscorea (berumbi), dan Spesies Dioscorea hispida Dennst (tumbuhan penghasil
racun) (Hudzari et al 2012).
Gadung (Dioscorea hispida dennst) merupakan salah satu jenis umbi-
umbian yang tergolong dalam family Dioscoreaceae. Gadung merupakan jenis
umbi batang yang dihasilkan dari tumbuhan dan termasuk salah satu kerabat talas.
Tumbuhan gadung memiliki morfologi seperti daun sirih dan batangnya
menghasilkan umbi kedalam tanah seperti singkong. Sama halnya dengan jenis
umbi-umbian yang lain, gadung memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi,
sehingga sangat potensial digunakan sebagai sumber karbohidrat nonberas.
Tanaman gadung merupakan hibitus merambat yang panjangnya mencapai
10 m. Batangnya bulat, berkayu, permukaan licin, berduri, membentuk umbi.
Umbinya berbentuk bulat dan diliputi oleh rambut akar yang besar dan kaku, kulit
umbi berwarna gading atau coklat muda. Daging umbinya berwarna putih gading
atau kuning. Umbinya muncul dekat permukaan tanah, daun majemuk menjari,
anak daun tiga dan memiliki tepi yang rata, ujungnya meruncing dengan pangkal
yang tumpul, permukaan kasap, panjang 20-25 cm dengan lebar 7-11,5 cm,
berwarna hijau, bunga majemuk, bulir terletak di ketiak daun, kelopak berbentuk
corong, mahkota kuning serta benang sari enam dan berwarna kuning. Diameter
sekitar 1,0 cm dan berwarna coklat. Akar serabut gadung dapat tumbuh hampir
disetiap tempat pada ketinggian 1-800 m dari permukaan laut. Perbanyakan dapat
dilakukan dengan pemotongan umbi atau stek batang (Razali et al 2011).
Kandungan Bahan Aktif Umbi Gadung
Umbi gadung mengandung senyawa alkaloid dioskorin, yaitu suatu
substansi yang bersifat basa, mengandung satu atau lebih atom nitrogen dan
seringkali bersifat toksik (Razali et al 2011). Hudzari (2011) mengatakan bahwa
dioscorin bekerja mengganggu sistem syaraf pusat, terutama berpengaruh
terhadap parasimpatomimetik (aktifitas susunan syaraf parasimpatik). Gadung
mengandung senyawa racun berbahaya asam sianida (HCN) yang dapat
menyebabkan keracunan bahkan dapat mematikan. Asam sianida dalam gadung
dapat berbentuk bebas sebagai asam sianida (HCN) atau berbentuk terikat sebagai
prekursornya. Asam sianida disebut juga asam biru karena dalam jumlah banyak
tampak kebiru-biruan dikenal sebagai asam prusik, yang timbul saat jaringan
umbi gadung dirusak misal dikupas atau diiris (Kumoro et al 2011).
Racun yang terdapat pada umbi gadung berupa alkaloid yang bersifat racun
yaitu diascorin diosgenin. Dengan adanya dua jenis racun yang terdapat dalam
umbi gadung ini dimanfaatkan untuk mengendalikan (Razali et al 2011).
Dioskorin (C13H19O2N) merupakan alkaloid yang berwarna kuning kehijauan,
higroskopis, terasa pait, mudah larut dalam air, etanol, dan klorofrom, tetapi sukar
larut dalam etter dan benzen (Razali et al 2011). Diosgenin (C26H40O3) adalah
suatu sapogin hasil hidrolisis dioskin berupa kristal berbentuk jarum pipih yang
tidak berbeu, rasanya pahit, mudah larut dalam alkohol, bensol dan pelarut lainnya
(Razali et al 2011).
Cara kerja ekstrak umbi gadung adalah sebagai :
1. Penghambat aktivitas makan (antifeedant)
2. Menghambat pembentukan telur

GAMBARAN KHUSUS

Kondisi Kekinian (Permasalahan) dari Jenis Tumbuhan

Banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida


kimia, mendorong dibuat kesepakatan internasional untuk memberlakukan
pembatasan penggunaan bahan-bahan kimia pada proses produksi terutama
pestisida kimia sintetik dalam pengendalian hama dan penyakit di bidang
pertanian, perkebunan dan kehutanan dan mulai mengalihkan kepada pemanfaatan
jenis-jenis pestisida yang aman bagi lingkungannya. Kebijakan ini juga sebagai
konsekuensi implementasi dan konferensi Rio de Jainero tentang pembangunan
yang berkelanjutan.
Kebijakan ditingkat internasional telah mendorong pemerintah Indonesia
mengeluarkan kebijakan nasional dalam perlindungan tanaman, untuk
menggalakkan program Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dengan
mengutamakan pemanfaatan agen pengendali hayati atau biopestisida termasuk
pestisida nabati sebagai komponen utama dalam sistem PHT yang dituangkan
dalam Peraturan Pemerintah No.6 tahun 1995. Karena pemanfaatan agen
pengendalian hayati atau biopestisida dalam pengelolaan hama dan penyakit dapat
memberikan hasil yang optimal dan relatif aman bagi makhluk hidup dan
lingkungan. Dalam perkembangannya, kemudian dilakukan pengurangan
peredaran beberapa jenis pestisida dengan bahan aktif yang dianggap persisten,
yang antara lain dituangkan melalui Keputusan Menteri Pertanian
No.473/Kpts/Tp.270/6/1996. (Asmaliyah et al 2010)
Penggunaan insektisida sintesis secara kontinyu dapat mengakibatkan
kerusakan pada lingkungan dan gangguan kesehatan. Gangguan kesehatan tubuh
yang dapat dialami akibat penggunaan insektisida sintesis, yaitu nyeri pada bagian
perut, gangguan pada jantung, ginjal, hati, mata, pencernaan, bahkan dapat
mengakibatkan kematian. Selain itu penggunaan insektisida sintesis dapat
menyebabkan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pencemaran pada
tanah, air, tumbuhan, dan rusaknya rantai makan suatu ekosistem.
Berbagai macam cara dapat dilakukan untuk menanggulangi dan
mengurangi dampak pencemaran oleh insektisida sintesis, antara lain dengan
pencegahan, pengurangan penggunaan insektisida, dan penggunaan insektisida
alami. Insektisida alami dapat berupa predator alami dari serangga maupun
tanaman. Insektisida berupa predator alami antara lain adalah kepik. Kepik dapat
memakan serangga lain, seperti kutu daun. Selain itu, mudah ditemukan dalam
lingkungan sekitar. Solusi lain dari masalah tersebut adalah insektisida botanikal.
Insektisida botanikal adalah insektisida dari tumbuhan. Tumbuhan yang memiliki
senyawa kimia atau metabolit sekunder yang dapat mempertahankan dirinya
terhadap gangguan dan organisme berpotensi penyakit. Metabolit sekunder dapat
berupa kristal, pati, dan lain-lain. Metabolit sekunder biasa disimpan dalam
tumbuhan sebagai cadangan makanan, maupun sebagai penangkal serangga.
Metabolit sekunder yang dapat dijadikan penangkal serangga antara lain
dari golongan alkaloid dan terpenoid. Metabolit dari golongan alkaloid umum
ditemukan pada tanaman yang dapat menangkas serangan serangga. Pestisida
nabati merupakan pestisida yang bahan aktifnya berasal dari tumbuhan atau
bagian tumbuhan seperti akar, daun, batang, atau buah. Pestisida nabati
sebenarnya sudah lama digunakan. Sejak budidaya pertanian dilakukan secara
tradisional, petani di seluruh dunia sudah terbiasa memakai bahan yang tersedia di
alam untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman.
Berbagai usaha pengendalian telah dilakukan diantaranya pengaturan pola
tanam, pemanfaatan agen hayati, sampai dengan penggunaan pestisida
(nematisida). Tetapi, saat ini permintaan masyarakat akan produk pertanian yang
aman dikonsumsi terus meningkat. Masyarakat menyadari akan bahaya residu
yang ditinggalkan oleh pestisida sintetik pada produk pertanian yang mereka
konsumsi. Oleh sebab itu pertanian organik yang ramah lingkungan merupakan
pilihan yang tepat dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar akan produk
pertanian tersebut. Akan tetapi peran pestisida sangat sulit dipisahkan dari
kehidupan masyarakat pertanian indonesia. Pestisida selain sebagai praksis, juga
dinilai sangat efektif dalam mengendalikan hama serta penyakit. Serta hasilnya
dapat dilihat dalam kurun waktu yang singkat apabila dibandingkan dengan teknik
pengendalian yang lain. Maka pestisida nabati dapat dijadikan sebagai salah satu
alternatif pengendalian. Penggunaan pestisida nabati diharapkan dapat dilakukan
secara tradisional yaitu melalui perendaman, pencelupan, penempatan bahan
nabati pada tanaman. Cara tradisional tersebut merupakan cara yang mudah dan
murah untuk dapat diterapkan oleh petani.
Pada umumnya, pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang
bahan dasarnya dari tumbuhan. Menurut FAO (1988) dan US EPA (2002),
pestisida nabati dimasukkan kedalam kelompok pestisida biokimia karena
mengandung biotoksin. Pestisida biokimia adalah bahan yang terjadi secara alami
dapat mengendalikan hama dengan mekanisme non toksik.
Secara evolusi, tumbuhan telah mengembangkan bahan kimia sebagai alat
pertahanan alami terhadap pengganggunya. Tumbuhan mengandung banyak
bahan kimia yang merupakan metabolit sekunder dan digunakan oleh tumbuhan
sebagai alat pertahanan dari serangan organisme pengganggu. Tumbuhan
sebenarnya kaya akan bahan bioaktif, walaupun hanya sekitar 10.000 jenis
produksi metabolit sekunder yang telah teridentifikasi, tetapi sesungguhnya
jumlah bahan kimia pada tumbuhan dapat melampaui 400.000. diantaranya ada
1800 jenis tanaman yang mengandung pestisida nabati yang dapat digunakan
untuk pengendalian hama. Di Indonesia, jenis tumbuhan penghasil pestisida
nabati diperkirakan ada sekitar 2400 jenis tanaman yang termasuk kedalam 235
famili. Jenis tanaman tersebut berasal dari famili Asteraceae, Fabaceae dan
Euphorbiaceae. (Asmaliyah et al 2010)
Senyawa metabolit sekunder dari tumbuhan tertentu dapat digunakan
sebagai biopestisida untuk melindungi tanaman pangan dari serangan hama.
Beberapa tumbuhan yang berpotensi sebagai biopestisida yaitu umbi gadung
(Dioscorea hispida Dennst) dan rempah-rempah yang berasal dari famili
Zingiberaceae. Adanya senyawa repelan dalam rempah-rempah dapat
meningkatkan produksi tanaman pangan dan sifatnya ramah lingkungan,
menjadikannya gadung sebagai pestisida alami. (Sihombing dan Setijono 2015)
Umbi gadung (Dioscore sp.) merupakan contoh pestisida nabati. Jenis
tanaman ini banyak ditemukan di beberapa daerah Indonesia. Masyarakat etnis di
daerah Rejang Lebong (Provinsi Bengkulu), Desa Guguk Kabupaten Merangin
(Provinsi Jambi), dan Desa Koto Melintang (Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra
Barat) sudah lama memanfaatkan umbi gadung sebagai pengendali hama
(pengusir ulat dan racun ikan). Kardinan (2005) melaporkan bahwa umbi gadung
dapat juga dipakai sebagai rodentisida dengan mencampur dalam umpan yang
berupa pakan tikus.
Gadung dapat dijadikan sebagai pestisida nabati karena memiliki sifat
racun. Sifat racun pada umbi gadung disebabkan oleh kandungan dioskorin,
diosgenin, dan dioscin yang dapat menyebabkan gangguan syaraf, sehingga
apabila memakannya akan terasa pusing dan muntah-muntah. Oleh karena
senyawa metabolit sekunder yang terbentuk pada bagian tertentu tumbuhan
terdistribusi ke seluruh bagian tumbuhan, maka diduga umbi gadung juga
mengandung senyawa yang bersifat toksik. Melalui pendekatan etnobotani bahwa
umbi gadung dapat digunakan sebagai insektisida (Hasanah et al 2012).
Gadung (Dioscorea hispida dennts) merupakan salah satu jenis umbi-
umbian yang tergolong dalam family Dioscoreaceae. Gadung merupakan jenis
umbi batang yang dihasilkan dari tumbuhan dan merupakan salah satu kerabat
talas. Tumbuhan gadung memiliki morfologi seperti daun sirih dan batangnya
mengasilkan umbi ke dalam tanah seperti singkong. Sama halnya dengan jenis
umbi-umbian yang lain, gadung memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi,
sehingga sangat potensial digunakan sebagai sumber karbohidrat nonberas.
(Maratirrosyidah et al 2015)
Gadung mengandung salah satu senyawa merugikan berupa glukosida
sianogenik, merupakan prekursor sianida pada gadung yang bila terpecah secara
sempurna akan menjadi asam sianida bebas yang berbahaya bagi kesehatan.
Pemecahan glukosida sianogenik menjadi sianida ini terjadi akibat bantuan enzim
endogenous yang secara alami terdapat pada gadung yakni -glukosidase, liase,
dan oxinitrilase. Selain mengandung senyawa merugikan, gadung juga
mengandung sejumlah senyawa bioaktif yang dapat berfungsi sebagai
antioksidan, yaitu diosgenin dan fenol. Kadar diosgenin umbi gadung mencapai
2.33 mg/100g bahan pada umbinya, dan ketika diolah menjadi tepung kadarnya
meningkat menjadi 28.80 mg/100g bahan. Sementara itu, total fenol pada umbi
gadung sebesar 0.080.05 mg GAE/mg.

Cara Mengekstrak Umbi Gadung (Dioscorea hispida Dennst)

Ekstrak yang dibuat berasal dari bagian umbi. Umbi gadung yang diperoleh
dari lapangan dikupas dan dicacah kemudian dikering anginkan. Cacahan umbi
gadung yang telah kering diblender sampai menjadi tepung. Setelah menjadi
tepung, diambil sekitar 5 kg serbuk kering umbi gadung dimaserasi berulang kali
dengan 15 L metanol (MeOH) sampai semua komponen terekstraksi. Ekstrak
MeOH disaring dan dipekatkan dengan penguap putar vakum sampai diperoleh
ekstrak kental MeOH, kemudian dipartisi dengan 240 ml n-heksana. Kedua
ekstrak yang diperoleh diuapkan sampai kental, kemudian diuji aktivitasnya
terhadap Epilachna sparsa. Ekstrak yang paling toksik dilanjutkan untuk
dipisahkan dan dimurnikan dengan teknik kromatografi kolom menggunakan
silika gel GF254 dan fase gerak metanol-kloroform (6:5), dan KLT preparatif
dengan fase gerak metanol-kloroform (3:2). Tiap fraksi hasil pemisahan
kromatografi kolom maupun KLT preparatif diuji aktivitas antimakan dan fraksi
yang paling aktif diidentifikasi golongan senyawanya menggunakan uji fitokimia
dan analisis fisikokimia menggunakan alat spektrofotometer UV-vis dan
Inframerah. (Santi 2010)
Menurut penelitian Afidah (2014), pembuatan filtrat dilakukan dengan cara
memblender umbi gadung, daun sirsak, dan herba anting-anting yang sudah
dipotong dan ditimbang masing-masing sebanyak 50 gram kemudian dimasukkan
toples, ditambah 50 ml air dan diaduk dengan spatula, merendamnya selama 7
hari kemudian disaring dengan kain mori. Penyiapan larva uji dilakukan dengan
tidak memberi makan larva selama 2 jam agar larva menjadi lapar. Pengujian
terhadap larva dengan cara daun sawi yang telah disiapkan disemprotkan filtrat
kombinasi umbi gadung, daun sirsak, dan herba anting-anting sebanyak 0,15 ml.
Jarak semrot dari botol vial perlakuan, yaitu 10 cm. Kemudian larva uji diletakkan
diatas daun yang telah disemprot. Tahap pengamatan dilakukan dengan
menghitung jumlah larva yang mati dengan ciri-ciri tubuh larva kering dan
mengkerut, berwarna coklat kehitaman serta tidak bergerak jika disentuh dengan
kuas. Pengamatan dilakukan setiap 24 jam sekali selama 7 hari. Kemudian
presentase mortalitas larva dihitung. Data yang diperoleh selanjutnya
ditransformasikan ke Arcsin, lalu dilakukan uji normalitas dan dilanjutkan dengan
analisis Anava Satu Arah serta uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tentang pengaruh kombinasi
filtrat umbi gadung, daun sirsak, dan herba anting-anting terhadap mortalitas larva
ordo Lepidoptera, diperoleh data presentase mortalitas dari 10 larva uji per
ulangan selama 7 hari. Data presentase mortalitas yang diperoleh kemudian
ditransformasikan dengan Arcsin. Persentase mortalitas larva ordo Lepidoptera
yang telah ditransformasikan dengan Arcsin setelah itu diuji normalitas. Data
yang telah diuji normalitasnya tersebut kemudian dianalisis menggunakan
Analisis Varians (ANAVA) satu arah dengan program SPSS 16.0, hasilnya
menunjukkan bahwa kombinasi filtrat umbi gadung, daun sirsak dan herba anting-
anting berpengaruh terhadap mortalitas Larva Ordo Lepidoptera.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa kombinasi filtrat umbi
gadung, daun sirsak dan herba anting-anting dapat mempengaruhi mortalitas larva
ordo Lepidoptera karena metabolit sekunder yang terdapat pada kombinasi filtrat
umbi gadung, daun sirsak dan herba anting-anting masuk ke dalam tubuh
serangga melalui kutikula dan makanan larva yang terpapar insektisida nabati.
Larva yang mengalami kematian tersebut memiliki kriteria tubuh larva kering dan
mengkerut, berwarna coklat kehitaman serta tidak begerak serta tidak bergerak
jika disentuh dengan kuas. Beberapa metabolit sekunder yang terdapat pada filtrat
umbi gadung, daun sirsak dan herba anting-anting antara lain dioskorin,
acetogenin, saponin, flavonoid, tannin. (Afidah et al 2014)
Pembuatan ekstrak umbi gadung (Dioscorea hispida Dennst) secara
sederhana dapat dibuat dengan cara menumbuk/ memblender kg umbi gadung
sampai halus. Lalu disaring dengan kain halus. Setelah itu ditambahkan dengan
air 10 liter air. Aduk hingga merata. Semprot pada seluruh bagian tanaman yang
terserang pada pagi atau sore hari. (penggunaan nematisida)
Pembuatan biopestisida dengan cara laboratorium yang berorientasi pada
industri, membutuhkan biaya tinggi sehingga produk pestisida nabati menjadi
mahal, bahkan kadang lebih mahal daripada pestisida sintesis. Oleh karena itu
pembuatan dan penggunaan pestisida nabati dianjurkan dan diarahkan kepada cara
sederhana, terutama untuk luasan terbatas dan dalam jangka waktu penyimpanan
yang juga terbatas.pembuatan pestisida nabati dapat dilakukan dengan berbagai
cara, yaitu:
1. Penggerusan, penumbukan, pembakaran atau pengepresan untuk
menghasilkan produk berupa tepung, abu atau pasta.
2. Perendaman untuk produk ekstrak
3. Ekstraksi dengan menggunakan bahan kimia pelarut disertai perlakuan
khusus oleh tenaga yang terampil dan dengan peralatan yang khusus.
(Asmaliyah et al 2010)

Upaya Promotif Pestisida Nabati dari Tanaman Dioscorea hispida Dennst

Penggunaan umbi gadung (Dioscorea hispida Dennst) sebagai rodentisida


organik banyak dikembangkan. Hasil penelitian menunjukkan umbi gadung
mengandung dioskorin yaitu sejenis alkaloid yang larut dalam air dan dapat
menyebabkan muntah darah, sukar bernafas dan kematian. Umbi gadung memiliki
senyawa antimakan yang bersifat menghambat selera makan tikus. Berdasarkan
hasil penelitian, penggunaan umbi gadung kadar 20% pada umpan keong dan ikan
sapu-sapu menunjukkan palatabilitas tikus akan umpan beracun <33%.
Penggunaan kadar umbi gadung yang lebih tinggi dapat menimbulkan bait
shyness pada tikus. Konsumsi tikus terhadap umpan yang ditambah dengan racun
lebih sedikit dibanding tanpa racun. Dibutuhkan bahan tambahan yang dapat
menutup aroma dan menjadi daya tarik umpan.(Posmaningsih et al 2014)
Penggunaan pestisida nabati merupakan salah satu alternatif dalam
pengendalian hama. Penggunaan pestisida nabati diharapkan dapat dilakukan
secara tradisional yaitu melalui perendaman, pencelupan, penempatan bahan
nabati pada tanaman. Cara tradisional tersebut merupakan cara yang mudah dan
murah untuk dapat diterapkan oleh petani. Di Indonesia tercatat 50 suku
tumbuhan penghasil racun, berpotensi sebagai pestisida nabati sedangkan 250
suku lainnya belum pernah dilaporkan. Diantaranya adalah tanaman gadung
(Dioscorea sp.). Tanaman gadung Dioscorea sp. Dikenal memiliki kandungan
racun saponin yang dapat mematikan kutu manusia juga ternyata dapat mematikan
nematoda (penggunaan nematoda).
Penggunaan umbi gadung sebagai pestisida nabati mempunyai beberapa
keunggulan dan kelemahan. Keunggulan pestisida nabati adalah :
1. Murah dan mudah dibuat sendiri oleh petani
2. Relatif aman terhadap lingkungan
3. Tidak mnyebabkan keracunan pada tanaman
4. Sulit menimbulkan kekebalan terhadap hama
5. Kompatibel digabung dengan cara pengendalian yang lain
6. Menghasilkan produk pertanian yang sehat karena bebas residu pestisida
kimia.
Sementara, kelemahannya adalah :
1. Daya kerjanya relatif lambat
2. Tidak membunuh jasad sasaran secara langsung.
3. Tidak tahan terhadap sinar matahari
4. Kurang praktis
5. Tidak tahan disimpan
6. Kadang-kadang harus diaplikasikan/disemprotkan berulang-ulang.
(Hasanah et al 2014)

Upaya Preventif Pestisida Nabati dari Tanaman Dioscorea hispida Dennst

Penggunaan hama yang selama ini dilakukan yaitu dengan mengandalkan


pestisida berbahan aktif kimiawi sintetik karena penggunaannya yang dianggap
efektif menekan populasi hama dan pelaksanaannya yang mudah. Namun
penggunaan pestisida sintetik yang berlebihan selain berdampak pada
kesejahteraan petani karena biaya yang dikeluarkan untuk pembelian pestisida
besar, juga dapat memberikan dampak negatif lainnya seperti pencemaran
lingkungan, membahayakan bagi kesehatan manusia, resistensi hama, resurgensi
hama, dan terbunuhnya musuh alami. Berdasarkan dampak-dampak negatif dari
pestisida sintetik tersebut, maka diperlukan alternatif lain yang efektif untuk
mengurangi atau mengendalikan populasi serangga hama. Salah satu alternatifnya
adalah dengan pestisida nabati (Afifah et al 2014).
Pestisida nabati telah dikembangkan sebagai insektisida yang diarahkan
untuk penemuan senyawa-senyawa yang tidak hanya efektif dalam pengendalian
hama, tetapi juga mempunyai aktivitas yang selektif terhadap beberapa hama
serangga tertentu. Berdasarkan fakta tersebut, umbi gadung (Dioscorea hispida
Dennst) dapat digunakan sebagai biopestisida karena memiliki kandungan
senyawa metabolit sekunder yaitu berupa senyawa alkaloid dan asam sianida
(HCN). (Kumoro et al 2011)
Umbi gadung (Dioscorea hispida Dennst) dapat menghasilkan senyawa anti
makan untuk mengendalikan hama serangga. Hal ini karena dalam perlindungan
tumbuhan, senyawa antimakan tidak membunuh, mengusir atau menjerat serangga
hama, bersifat spesifik terhadap serangga sasaran, tidak mengganggu serangga
lain, tetapi hanya menghambat selera makan serangga sehingga tumbuhan dan
kelangsungan hidup organisme lainnya terlindungi.
Dari hasil penelitian Posmaningsih (2014) diketahui bahwa terdapat
perbedaan rata-rata kematian tikus pada rodentisida 20%, 30%, dan 40% secara
statistik adalah sama. Rodentisida yang paling efektif untuk membunuh tikus
adalah rodentisida 30% karena sudah memenuhi batas LD 50. Umbi gadung
mengandung bahan yang mempunyai efek penekan kelahiran (aborsi atau
kontrasepsi) yang mengandung steroid, dan efek penekan populasi yang biasanya
mengandung alkaloid.
Dalam era globalisasi, kebijakan pemerintah melalui Keputusan Menteri
Pertanian No. 473/Kpts/Tp.270/6/1996 dijadikan sebagai salah satu syarat untuk
kualitas produk ekspor, sehingga meningkatkan daya saing produk, baik di pasar
lokal, regional maupun di pasar internasional. Terkait dengan hal tersebut,
kemudian para peneliti di bidang kehutanan khususnya peneliti perlindungan
hutan mulai tertarik untuk melakukan penelitian dan pemanfaatan biopestisida dan
pestisida nabati dalam kegiatan perlindungan hutan. Walaupun sampai saat ini
penelitian dan pemanfaatan biopestisida, khususnya pestisida nabati masih
terbatas pada skala laboratorium dan persemaian, namun peluang dan prospek
pemanfaatan biopestisida dalam pengendalian hama dan penyakit cukup
menjanjikan karena beberapa keunggulan yang dimilikinya.
Dalam mendukung kebijakan tersebut, penggunaan pestisida nabati dalam
kegiatan perlindungan tanaman perlu selalu dipromosikan dan dimasyarakatkan.
Salah satu upaya pemasyarakatan tersebut adalah dengan penyebarluasan
informasi jenis-jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai pestisida nabati, yang
dapat dimanfaatkan dalam pengendalian hama dan penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

Afidah R, Yuliani, dan T Haryono.2014. Pengaruh Kombinasi Filtrat Umbi


Gadung, Daun Sirsak, dan Daun Herba Anting-Anting terhadap
Mortalitas Larva Ordo Lepidoptera. LenteraBio 1(3):45-49.
Asmaliyah, E Erna Wati, S Utami, K Mulyadi, Yudhistira, F Firda Sari. 2010.
Pengenalan Tumbuhan Penghasil Pestisida Nabati dan Pemanfaatannya
secara Tradisional. Palembang:Kementrian Kehutanan.
Hasanah M, I Made Tangkas, dan J Sakung. 2012. Daya Insektisida Alami
Kombinasi Perasan Umbi Gadung (Dioscorea hispida Dennst) dan
Ekstrak Tembakau (Nicotiana tabacum L.). Jurnal Akademi Kimia
1(4):166-173.
Hudzari M. 2012. Applications of Non-Destructive Devices for Determination of
Alkaloid Level in Dioscorea hispida. International Journal of Modern
Botany 2(4):88-91.
Kumoro A Cahyo, D Susetyo and C Sri Budiyati.2011. Removal of Cyanides
from Gadung (Dioscorea hispida Dennst) Tuber Chips using Leaching
and Steaming Techniques. Journal of Applied Sciences Research
7(12):2140-2146.
Hudzari M.2012. Ssomad M, Rizuwan Y, Asimi M, and Abdullah. 2011.
Development of Automatic Alkaloid Removal System for Dioscorea
hispida. Frontiers in Science 1(1):16-20.
Maratirrosyidah R, dan T Estianingsih. 2015. Aktivitas Antioksidan Senyawa
Bioaktif Umbi-Umbian Lokal Inferior. Jurnal Pangan dan Agroindustri
2(3):594-601.
Posmaningsih D, I Nyoman Purna, I Wayan Sali.2014. Efektivitas Pemanfaatan
Umbi Gadung (Dioscorea hispida Dennst) pada Umpan sebagai
Rodentisida Nabati dalam Pengendalian Tikus. Jurnal Skala Husada
1(11):79-85.
Razali M Hudzari, H HJ Muhammad. 2011. A Review on Farm Mechanization
and Analysis Aspect for Dioscorea hispida. Journal of Crop Science
1(2):21-26
Santi SR.2010. Senyawa Aktif Antimakan dari Umbi Gadung (Dioscorea hispida
Dennst). Jurnal Kimia 4(1):71-78.
Sihombing M, S Samino. 2015. Daya Repelensi Biopestisida terhadap Walang
Sangit (Leptocorisa oratorius, Febricius) di Laboratorium. Jurnal
Biotropika 2(3):99-103.

Anda mungkin juga menyukai