Anda di halaman 1dari 5

MAKALAH

KURIKULUM PENDIDIKAN DASAR DAN


MENENGAH

DI SUSUN OLEH :

NAMA : MARUF

STB : A 311 16 120

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2016
Penyebab masalah Perkebunan Sawit

di Morowali Tak Kunjung Usai

Perkebunan kelapa sawit di Morowali Utara, Sulawesi Tengah, hampir semuanya


bermasalah. Sejak diperkenalkan perkebunan kelapa sawit oleh PT. Perkebunan Nusantara
XIV yang kini berganti menjadi PT. Sinergi Perkebunan Nusantara (PT. SPN) pada 1999,
masyarakat di Desa Mayumba, Kecamatan Mori Atas, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi
Tengah, telah menentangnya. Mereka protes, karena lahan yang digunakan untuk perkebunan
itu mencaplok tanah adat mereka.

Kini, polemik perkebunan sawit di Kabupaten Morowali Utara pun Bertambah,


Seiring bertambahnya jumlah perusahaan. Deputi Direktur Perkumpulan Evergreen Indonesia
Sulteng, Agustam Nome, mengatakan masyarakat sampai saat ini terus melakukan
perlawanan. Warga menuntut kembali lahan mereka yang telah diambil alih oleh perusahaan.
Sebagaimana yang dilakukan terhadap PT. SPN, masyarakat juga menuntut PT. Agro Abadi
(PT. ANA) yang berada dibawah payung grup PT. Astra Agro Lestari.

Perkebunan PT. ANA seluas kurang lebih 7.000 hektar saat ini seluruhnya berada
diatas lahan masyarakat tanpa proses pelepasan hak atau jual beli. Padahal, sebagian besar
lahan-lahan tersebut memiliki bukti surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT), surat
keterangan terdaftar (SKT),dan sertifikat hak milik (SHM).

Sekarang, banyak SKPT yang keluar, dan terjaadi tumpang tindih lahan. Karena di
atas SKPT ada lagi SKPT yang keluar. Sehingga, diperlukan uji keabsahan SKPT.
Rencananya kami akan serahkan berkas kasus yang kami dampingi ini ke tim sengketa lahan
yang dibentuk oleh pemerintah daerah, kata Agustam kepada Mongabay Indonesia pada
sabtu tanggal 28 maret 2015.

Perkumpulan Evergreen bersama dengan wahli sulteng sejak oktober 2014 telah
melakukan pendampingan dan perorganisasian masyarakat di Desa Bunta, Tompira, Bungin
Timbe, Malino, Peboa, Toara, Dan Desa Toara Pantai, yang berkonflik dengan perusahaan PT
ANA. Masyarakat disana sering kali melakukan perhadangan aktivitas masyarakat ketika
menuntut hak-hak mereka. Tak jarang aksi ini berujung konflik.
Ahmad Pelor, Direktur Walhi sulteng mejelaskan,jika dipetakan ada empat persoalan
mendasar yang menyebabkan mengapa persoalan sawit di Morowali Utara tak kunjung usai,
Masalah itu adalah konverensi kawasan hutan, perampasan hutan, petani plasma, dan
eksploitasi buruh.

Untuk konverensi kawasan hutan, diperkirakan kelompok perusahaan Agri melalui


anak perusahaannya PT. Kurnia Alam Makmur telah melakukan konverensi ribuan hektar
kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit secara illegal. Beberapa hasil investigasi
sementara oleh Walhi menguatkan dengan perusahaan milik Walmar Internasional Ltd itu,
telah melakukan konverensi lebih dari 1.000 hektar kawasan hutan di kecamatan mamosalato,
Morowali Utara. Untuk perampasan tanah, Perusahaan mengambil alihan lahan masyarakat
dan dilakukan secara paksa, diintimidasi, bahkan tidak jarang dengan menggunakan aparat
negara seperti polisi, pemerintah kecamatan. Modus yang lain adalah dengan memberikan
ganti rugi tanaman tumbuhan (GRTT) dan janji akan disertakan sebagai petani plasma.
Ungkap pelor.

Sementara yang terkait dengan plasma atau pola kemitraan.selalu menjadi pintu
masuk perusahaan saat ingin beroprasi disebuah wilayah. Namun mayoritas perusahaan tidak
mengimplimetasikan pola kemitraan atau tidak membangun kebun plasma. Hasil invistigasi
menunjukan bahwa hingga saat ini perusahaan-perusahaan dibawah bendera Kencana Agri
dan PT. Astra Agro Lestari sama sekali tidak membangun kebun plasma yang merupakan
kewajiban mereka. Namun kedua grup perusahaan tersebut, dan mayoritas perusahaan
perkebunan kelapa sawit lainnya menipu pemerintah dengan melaporkan bahwa mereka telah
merealisasikan pembangunan gedung plasma. Masyarakat tidak paham tentang mekanisme
kemitraan dan plasma, karena sejak awal tidak ada informasi yang detil dan jelas yang
disajikan pihak perusahaan maupun pemerintah terkait dengan pola kemitraan yang bisa
diterapkan.

Mayoritas perusahaan kelapa sawit di Sulawesi Tengah (sulteng) tidak melaksanakan


kewajibannya untuk membangun kebun plasma minimal 20 persen sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Pertanian No 26 tahun 2007 dan telah diubah Dengan Peraturan Menteri
Nomor 98 Tahun 2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan,kata pelor. Disisi
lain, katanya, mayoritas perusahaan perkebunan kelapa sawit membayar upah buruh dibawah
standart upah minimum. Sedengkan buruh yang bekerja di perkebunan kelapa sawit
mayoritas adalah buruh perempuan yang dalam praktiknya perusahaan sering abai dan tidak
memenuhi hak-hak dasar buruh perempuan

Berdasarkan kasus-kasus tersebut, Walhi sulteng meminta kepada pemerintah pusat


maupun daerah segera melakukan review perizinan disektor perkebunan dan melakukan
upaya penegakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan yang melakukan aktifitas secara
illegal.Kami juga mendesak kepada Kementrian Agraria dan Kepala Badan Pertahanan
Nasional (BPN) serta pemerintsh provinsi dan kabupaten untuk segera memfasilitasi
pengembalian puluhan ribu hektar tanah-tanah milik petani yang telah dikuasai dan dikelola
secara sepihak oleh grup Astra Agro Lestari maupun Kencana Agri, serta perusahaan
perkebunan kelapa sawit lainnya.

Selain itu,Walhi sulteng juga meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK
RI) untuk segera melekukan koordinasi dan supervisi di sektor perkebunan kelapa sawit
untuk menghindari kerugian negara yang lebih besar akibat perkebunan illegal, tanpa hal
guan usaha (HGU).
Isu Lingkungan Di Morowali

Anda mungkin juga menyukai