Anda di halaman 1dari 31

KONSEP BERPIKIR DALAM AL-QURAN DAN

IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN AKHLAK


A. Pendahuluan
Pendidikan akhlak merupakan inti dari seluruh proses pendidikan
agama Islam. Dalam mendidik akhlak, seorang pendidik
berupaya menanamkan nilai-nilai agama ke dalam perilaku
peserta didik. Dengan upaya tersebut pendidik atau guru
berusaha agar perilaku peserta didik sesuai dengan ajaran
syariat Islam yang terangkum dalam al-Quran.
Dalam Islam, suksesnya pendidikan tidak ditentukan hanya
dengan angka-angka semata. Lebih dari itu, pendidikan Islam
harus selalu menjadikan akhlak sebagai titik penilaian
kesuksesan pembelajaran. Akan tetapi, dalam penerapannya
memang tidak selalu mudah.
Pasalnya, pada era globalisasi saat ini terdapat banyak
tantangan yang menuntut dunia pendidikan untuk menyesuaikan
diri dalam arus tersebut. Tantangan pendidikan tersebut datang
dari dalam diri umat Islam sendiri (internal) dan juga datang dari
musuh-musuh Islam
(eksternal). Tantangan internal disebabkan karena adanya
kejumudan dalam berpikir umat Islam. Sehingga aspek akhlak
kurang diperhatikan dalam mendidik siswa. Mereka hanya
mengutamakan nilai yang berbentuk angka dan kurang
memperhatikan aspek akhlak. Adapun
tantangan eksternal berjalan seiring bersama dengan masuknya
budaya-budaya asing ke dalam pendidikan Islam. Namun,
apabila ditelaah secara mendalam, tantangan-tantangan
tersebut tidak akan berdampak negatif apabila cara berpikir
umat Islam sesuai dengan al-Quran dan Hadits. Untuk itu,
makalah ini akan membahas tentang konsep berpikir yang sesuai
dengan al-Quran serta implikasinya terhadap pendidikan akhlak.
B. Konsep Berpikir dalam al-Quran
Manusia lahir ke dunia dalam keadaan tidak mengetahui apa-
apa. Tapi manusia dibekali dengan perantara (wasilah) untuk
mencari ilmu dan marifah yaitu dengan akal (aql), pendengaran
(sam), dan penglihatan (bashar). Semua perantara tersebut
diberikan kepada manusia dengan tujuan untuk mengetahui
kebenaran (haqq) dan menjadikannya dalil atas argumennya
dalam berpikir. Adapun kebenaran yang dipahami dapat
berfungsi sebagai alat untuk mengontrol diri supaya tidak
terjerumus dalam kesesatan (bathil). Dan untuk mengetahui
kebenarankebenaran tersebut diperlukan cara berpikir yang
benar pula (tafakkur).
Apabila cara berpikirnya salah maka objek dan hasil yang
dipahaminya pun akan menjadi salah. Maka berikut ini akan
dibahas mengenai konsep berpikir dalam al-Quran sebagai
aktifitas yang mampu mengantarkan manusia kepada keimanan
dan kesesatan.
1. Al-Tadhakkur
Tadhakkur merupakan bentuk derivasi dari kata dasar dhakara
yang berarti mengingat. Ibn Manzur berpendapat bahwa
Tadhakkur adalah upaya untuk menjaga sesuatu yang pernah ia
ingat atau pahami. (Ibn Mandzur, 1119: 1507). Sedangkan dhikr
berarti segala yang terucap
oleh lisan. Adapun Ar-Raghib al-Asfahany membagi makna dhikr
menjadi dua yaitu Dhikr bi Al-Qalb (berpikir dengan hati) dan
Dhikr bi Al-Lisan (mengingat dengan lisan). (al-Ashfahani, t.th:
237). Lebih lanjut ia menekankan bahwa masing-masing
mengandung makna
sebagai proses mengingat kembali tentang apa yang telah
terlupa dan mengingat untuk memahami hal yang baru atau ilmu
yang baru bagi orang yang berpikir.
Selain itu, Tadhakkur juga memiliki makna leksikal (makna dasar)
di antaranya ialah darasa (mempelajari) yang memiliki turunan
tadarasa yang berarti mempelajari kembali atau mempelajari
secara berulang-ulang untuk mengingatnya. Lawan kata dari
dhikr adalah nisyan (lupa). Artinya, Tadhakkur berfungsi untuk
menjaga ilmu (ilm) yang ada supaya terhindar dari penyakit
lupa. Berarti lupa merupakan akibat dari tidak diulangnya atau
tidak dipelajarinya kembali ilmu-ilmu yang pernah diketahui
sebelumnya. Sebagaimana Abi Zayd yang berkesimpulan, al-
dhikr berarti al-sharaf (kemuliaan). Kata al-dhikr juga digunakan
sebagai nama lain dari al-Quran al-Karim (al-dhikr). (Mandzur,
1119: 1508).
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan bahwa Tadhakkur
bukanlah proses berpikir itu sendiri melainkan hasil atau buah
dari aktifitas berpikir. Sedangkan bertadhakkur berarti proses
mengulangnya hati (qalb) ilmu-ilmu yang telah diketahui
sebelumnya dengan tujuan
untuk memantapkan pikiran dan pengetahuan yang pernah
dipelajari supaya tidak hilang begitu saja. Maka bisa dikatakan
bahwa tafakkur adalah aktifitas mencari ilmu pengetahuan
sedangkan tadhakkur berfungsi untuk menjaga ilmu. (Al-Hajjaji,
1988: 272). Hal tersebut
sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali
dalam Ihya Ulum al-Din bahwa tadhakkur adalah upaya mencari
pengetahuan ketiga (ilmu baru). Namun ketika seseorang hanya
berhenti pada proses memahami dua ilmu dalam pikiran maka
itulah tadhakkur sedangkan apabila ia mengolah dua ilmu
tersebut menjadi ilmu ketiga
maka itulah tafakkur. (Al-Ghazali, t.th: 2797)
Dari argumen al-Ghazali tersebut sangat jelas bahwa aktifitas
berpikir dalam konteks Tadhakkur dilakukan dengan organ yang
bernama hati (qalb) dan bukan rasio. Adapun manfaat mengingat
kembali (tadhakkur) adalah proses mengulang-ulang
pengetahuan
dalam hati agar pengetahuan itu menancap dan tidak lepas dari
hati. Konsep dhikr juga memiliki jaringan konsep (conceptual
network) yang saling terkait antara makna yang satu dengan
yang lainnya. Makna-makna tersebut dapat dipahami dari ayat-
ayat yang berbicara
dalam konteks berpikir (dalam hal ini tadhakkur). Dalam al-
Quran terdapat kurang lebih 256 ayat yang mengandung kata
dhikr dengan segala bentuk derivasinya. (Madhkur, 1979: 431-
438). Ayat-ayat tersebut mengandung makna yang berbeda.
Akan tetapi, perbedaan makna dalam ayat-ayat tersebut bukan
berarti saling bertentangan. Justru maknanya saling menguatkan
sehingga membentuk medan makna yang erat dan rumit untuk
dijelaskan secara mendalam. Beberapa ayat tersebut dapat kita
teliti maknanya secara leksikal dan gramatikal. Di antara makna
leksikal dari kata dasar dhikr yaitu al-Quran, shalat (al-shalah),
bertasbih (at-tasbih), doa (ad-dua), dan alhifz (menjaga). Selain
itu, konsep tadhakkur juga memiliki makna relasional (gramatical
semantic) dengan beberapa konsep utama dalam agama Islam.
Artinya, aktifitas berpikir tidak dapat lepas dari konsep-konsep
dasar yang terkait dengan makna tadhakkur dalam al-Quran.
Adapun konsep yang mengikat konsep tadhakkur di antaranya
yaitu, konsep Allah dan nama-nama-Nya.
Dari keterikatan jaringan konsep tersebut dapat dipahami bahwa
konsep berpikir dalam Islam memiliki makna yang sangat
mendalam. Artinya aktifitas berpikir mengandung dua
konsekwensi yang saling bertolak belakang. Meskipun Allah
menyeru hamba-Nya berulang kali untuk mengambil jalan yang
benar dengan menunjukkan kepada manusia tanda-tanda (ayat),
namun apabila manusia tidak mampu memahami maknanya
seperti orang-orang kafir yang tuli, buta dan tidak memahami,
(Q. S. Al-Baqarah : 171), maka ayat atau tanda-tanda
tersebut tidak ada gunanya. Suatu ayat baru akan menunjukkan
pengaruh positifnya ketika manusia mampu memahami
maknanya secara mendalam. Di sinilah peran sisi kemanusiaan
yang sangat penting dalam memahami makna ayat tersebut
yaitu berpikir (tadhakkur).
Menurut al-Quran, organ utama berpikir dalam memahami ayat
adalah hati (al-qabl, al-lubb, al-fuad), sedangkan aktifitas
berpikir hanyalah bentuk manifestasi dari fungsi kerja hati
tersebut. Hati adalah organ yang mampu memahami makna ayat
Allah, sehingga apabila
organ tersebut terkunci, tertutup dan tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya, maka manusia tidak akan dapat
memahami ayat-ayat yang ada (Q. S. al-Taubah : 87). Dan ketika
qalb tidak berfungsi maka ia akan mendustakan (takdhib) ayat-
ayat tersebut. Sehingga konsekwensi dari pendustaan atau
pengingkaran ayat tersebut ialah kekufuran (kufr).
Tapi, ketika hati dapat berfungsi secara benar maka hati akan
mampu memahami dan membenarkan (tasdiq) konsep nikmat,
rahmat, kemurahan Allah, pengampunan Allah, dsb. Dan sebagai
konsekwensi bagi orang yang membenarkan (tasdiq) dan
memahami makna ayat
Allah ialah ketaqwaan (al-taqwa), keimanan (al-Iman) dan rasa
syukur (al-syukr). Dengan demikian maka ia akan menghasilkan
keimanan kepada Allah Swt. (Izutsu, 1997: 145-152). Jadi, melalui
konsep Tadhakkur ini jelas bahwa aktifitas berpikir yang diproses
dengan hati
secara benar dapat menunjukkan manusia ke jalan kebenaran,
begitu pula sebaliknya.
2. Al-Tafakkur
Istilah al-tafakkur berasal dari kata fakara yang berarti kekuatan
atau daya yang mengantarkan kepada ilmu. (al-Ashfahani, t.th:
496). Dengan kata lain bahwa tafakkur adalah proses
menggunakan daya akal (aql) untuk menemukan ilmu
pengetahuan. Istilah fikr memiliki beberapa makna yang
berdekatan. Di antaranya ialah al-tafakkur, al-tadhakkur, al-
tadabbur, nadzar, taammul, itibar, dan istibshar (Al-Hajjaji,
1988: 262). Ibn al-Qayyim mengatakan bahwa tafakkur adalah
proses memahami kebenaran suatu perintah antara yang baik
(al-khair) dan
yang buruk (al-sharr) untuk mengambil manfaat dari yang baik-
baik serta bahaya dari suatu keburukan (Al-Hajjaji, 1988: 270).
Adapun objek kajian berpikir (tafakkur) ialah ilmu. Sebab, berpikir
berarti upaya untuk mencari ilmu pengetahuan, maka konsep
berpikir juga memiliki makna relasional dengan konsep ilmu
(ilm) dalam al-Quran. Untuk itu, orang yang selalu berpikir
tentang suatu ilmu disebut arif atau alim. Kata arif dan alim
memiliki lawan kata jahil (orang yang tidak tahu). Maksudnya,
orang yang tidak berilmu tidak dapat dijadikan sandaran menuju
kebenaran karena ia tidak tahu hakekat ilmu.
Ar-Raghib al-Asfahany dalam al-Mufradat fi Gharib Al-Quran
berpendapat bahwa berpikir (tafakkur) merupakan aktifitas hati
(qalb) dalam memahami ilmu-ilmu Allah untuk menemukan
makna yang disampaikan melalui ayat-ayat-Nya yang akan
menunjukkan kepada kebenaran (haqq) (al-Ashfahani, t.th: 497).
Dalam Al-Mujam Al-Wasith pun dikatakan bahwa tafakkur berarti
menggunakan akal (imal al-aql) dalam suatu masalah dengan
tujuan untuk mencari solusi dari masalah tersebut (Dhaif, 2004:
698). Hal ini senada dengan kesimpulan Ibn al-
Qayyim bahwa aktifitas berpikir (tafakkur) adalah tugas hati (al-
qalb), dan ibadah adalah pekerjaan anggota tubuh (jawarih),
termasuk otak yang merupakan tempat rasio. Hati (qalb) adalah
organ manusia yang mulia dan aktifitas hati lebih mulia dari
pekerjaan anggota tubuh lainnya. Maka berpikir (tafakkur)
hendaknya mengarahkan seseorang kepada keimanan dan
bukan pada kesesatan karena keimanan itu lebih mulia (Al-
Hajjaji, 1988: 271). Jadi, berpikir merupakan kunci untuk menuju
kebaikan (al-khair) dan keselamatan (al-saadah/al-salamah).
Adapun manfaat berpikir adalah memperbanyak pengetahuan
dan menarik pengetahuan yang belum diperoleh. Al-Ghazali
menggambarkan berpikir sebagai penyulut cahaya
pengetahuan. Ia juga menyatakan bahwa cahaya pengetahuan
yang muncul dari pikiran dapat mengubah hati yang memiliki
kecenderungan pada sesuatu yang sebelumnya tidak disenangi.
(Al-Ghazali, t.t: 2797). Selain itu, anggota tubuh berfungsi untuk
bekerja sesuai dengan tuntutan situasi hati. Lebih
lanjut, al-Ghazali menyebut aktifitas yang demikian merupakan
hasil dari proses dari lima tingkatan: 1) mengingat, yaitu
menghadirkan dua pengetahuan ke dalam hati, 2) berpikir, yaitu
mencari pengetahuan yang dituju dari dua pengetahuan
tersebut, 3) diperolehnya pengetahuan tersebut dan tersinarinya
hati oleh pengetahuan tadi, 4) perubahan kondisi hati, dan
terakhir, 5) kesiapan anggota tubuh untuk mengabdi pada
ketentuan hati sesuai dengan kondisi yang baru dialami oleh
hati. (Al-Ghazali, t.t: 2799)
Inilah proses berpikir secara benar, yaitu mendatangkan ilmu
pengetahuan ke dalam diri kemudian memikirkannya untuk
mencari makna yang sebenarnya dari ilmu tersebut. Setelah
mendapatkan pengetahuan (makna) baru, maka selanjutnya
ialah mengubah sikap hati tentang hasil pemikiran tadi dan yang
terakhir ialah melakukan ilmu atau pemahaman baru tersebut
dalam kehidupan. Dengan demikian, berpikir adalah proses
terintegrasinya antara akal (aql), hati (qalb), dan
anggota tubuh (jawarih}).
Toshihiko Izutsu menjelaskan bahwa sifat pemikiran (tafkir)
dibedakan menjadi dua lapisan dalam pembahasan tentang
moral. Pertama, kelompok yang tersusun dari apa yang disebut
dengan namanama Tuhan (Maha Pemurah, Maha Adil, Maha
Agung, dll). Kedua, menyangkut hubungan etika dasar antara
manusia dan Tuhan. Dan antara kedua lapisan pemikiran (antara
Tuhan dan Manusia) tersebut
saling berkaitan. Secara semantik hal ini berarti tidak ada konsep
utama dalam al-Quran yang terlepas dari konsep tentang Tuhan
dan di bidang etika manusia masing-masing konsep kuncinya
tidak lain adalah refleksi semu - atau tiruan yang sangat tidak
sempurna dari sifat Tuhan itu sendiri, atau mengacu kepada
perbuatan Tuhan (Izutsu, 1993: 7). Maksudnya, aktifitas berpikir
merupakan refleksi dari sifat-sifat yang disenangi dan yang tidak
disenangi oleh Allah Swt. Masing-masing pola berpikir tersebut
memiliki konsekwensi tersendiri. Dan semua medan semantik
konsep berpikir dalam al-Quran mengacu pada sifat Allah Swt.
Jadi, aktifitas berpikir pun seharusnya merefleksikan sifat Allah.
Pemikiran di atas senada dengan pendapat Al-Ghazali yang
menetapkan alur pemikiran manusia. Ia mengatakan bahwa alur
pikiran terbatas hanya pada hubungan antara hamba dengan
Tuhannya. Seluruh
pikiran manusia (abd) adakalanya berkaitan dengan manusia itu
sendiri
beserta sifat-sifat dan kondisi-kondisinya, adakalanya pula
berkaitan
dengan yang disembah (mabud) dengan segala sifat dan
perbuatannya.
Yang terkait dengan manusia, adakalanya berupa penalaran
terhadap
sesuatu yang disenangi Allah, atau terhadap sesuatu yang tidak
disukai.
Di luar kedua bagian ini tidak ada perlunya untuk dipikirkan. Yang
terkait dengan Allah adakalanya berupa penalaran terhadap
substansi,
sifat-sifat, dan juga nama-nama-Nya, atau terhadap
perbuatanperbuatan,
kerajaan dan kebesaran-Nya, seluruh yang ada di langit dan
bumi serta yang ada di antara keduanya (Al-Ghazali, t.t: 2800).
Berpikir untuk hal yang berkaitan dengan Allah hanya akan
menghasilkan pengetahuan yang sangat sedikit jika
dibandingkan
dengan yang diketahui oleh keseluruhan ulama dan wali (Al-
Ghazali,
t.t: 2833). Apa yang mereka ketahui pun sangat sedikit kalau
dibandingkan dengan yang diketahui oleh para nabi. Dan apa
yang
diketahui oleh para nabi juga sangat sedikit apabila dibandingkan
dengan yang diketahui oleh nabi Muhammad Saw. Apa yang
diketahui
oleh seluruh nabi sangat sedikit jika dibandingkan dengan yang
diketahui oleh para malaikat utama, seperti Israfil, Jibril dan
lainnya,
kemudian, seluruh pengetahuan yang dimiliki oleh para malaikat,
jin
dan manusia. Jadi, kurang tepat apabila dikatakan sebagai ilmu
apabila
dibandingkan dengan pengetahuan Allah. Semua itu lebih dekat
kalau
disebut dengan keheranan, kebingungan, dan ketidakmampuan
(Al-
Ghazali, t.th: 1834). Oleh sebab itu, sebenarnya mengenai objek
pemikiran telah ditentukan oleh Allah Swt. (sebagai pemilik ilmu
pengetahuan). Ini menunjukkan bahwa tidak semua ilmu Allah
mampu
dipikirkan dan dipahami dengan akal manusia. Melainkan hanya
sebagian kecil dari ilmu Allah saja.
Ada beberapa objek yang boleh dipikirkan oleh akal manusia. Di
antaranya disebutkan sebanyak 18 kali yang tersebar dalam 13
surat dan
18 ayat (Al-Baqiy, 1364 H: 667). Semua ayat yang menggunakan
kata
fakara (dengan berbagai bentuk derivasinya) tersebut adalah
dalam
upaya memikirkan hal-hal yang kongkret sampai hal-hal yang
metafisik.
Di antaranya adalah ayat yang menjabarkan tentang aktifitas
berpikir
tentang kebesaran Allah SWT sebagai Sang Pencipta alam
semesta,
berpikir dalam kebenaran nubuwwah dan risalah, berpikir dalam
keagungan mukjizat al-Quran serta pentingnya memahami
makna di
balik setiap ayat-ayatnya, memikirkan akibat dari
ketidakpedulian
terhadap manfaat dari ayat-ayat Allah Swt., memikirkan tentang
hakekat
hidup di dunia dan kematian, dan berpikir tentang upaya
mengambil
hikmah dari suatu syariat.
Ini menunjukkan bahwa konsep berpikir memiliki makna
relasional
(relational concept) dengan konsep dasar lainnya dalam al-
Quran.
Konsep berpikir dalam al-Quran tidak berdiri sendiri. Ia selalu
terikat
dengan konsep utama lainnya seperti konsep Allah, alam
(al-alam),
dunia (al-dunya), akhirat (al-akhirah), tanda (al-ayah), hati (al-
qalb),
akal (al-aql), hikmah (al-hikmah), kehidupan (al-hayah), dan
kematian
(al-maut). Jadi, untuk memahami konsep berpikir (tafakkur)
dalam al-
Quran hendaknya tidak memisahkannya dengan medan
semantiknya
tersebut yang telah diterangkan Allah Swt. dalam al-Quran
(huda).
Maka, tidak berlebihan apabila Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah
berkesimpulan bahwa kebebasan berpikir berarti menjauhkan diri
dari
sifat taqlid yang mampu mencelakakan dirinya. (Al-Adzim, 1967:
103-
104). Artinya seseorang yang membebaskan pikirannya berarti
kembali
kepada agama Allah Swt. Sebab, dengan mengimani dan
melaksanakan
segala apa yang disyariatkan oleh Allah Swt. (at-taabbud)
melalui al-
Quran, secara tidak langsung telah menghindarkan diri dari
kejumudan
berpikir.
3. Al-Tadabbur
Tadabbur merupakan istilah yang datang dari bahasa Arab.
Istilah
tadabbur merupakan bentuk derivasi dari kata dasar dabara
yang
artinya melihat apa yang terjadi di balik suatu masalah. Selain
itu, kata
tersebut juga memiliki makna leksikal menyuruh (al-amr),
memerintah
(walla). Dari kata dasar dabara juga menurunkan istilah lain
yaitu altadbir
yang berarti memikirkan (al-tafkir) apa yang ada di balik sesuatu.
Selain itu didapatkan juga istilah al-tadbir yang artinya
membebaskan
budak dari keterbelakangan atau terbebasnya seorang budak
dari
perbudakan setelah kematian tuannya (Mandzur, 1119: 1321).
Hal tersebut senada dengan perkataan Ibn Kathir bahwa
tadabbur
berarti memahami suatu makna dari lafaz-lafaz yang ada, serta
memikirkan makna dari tanda-tanda (ayat) yang ada dalam al-
Quran
dan mengambil manfaat dari makna tersebut melalui hati (qalb)
serta
menjadikannya pengalaman atau ilmu baru dengan penuh
keyakinan.
(Katsir, 1978: 8). Ahmad Ibn Faris mengatakan bahwa tadabbur
juga
memiliki arti kemuliaan (al-karam) (Faris, 1979: 325). Jadi, dalam
konteks semantik leksikal tadabbur dan hubungannya dengan al-
Quran
tidak berarti membaca dan menghafal ayat-ayatnya saja. Lebih
dari itu,
sebagaimana yang disampaikan oleh Abu Bakar al-Ajiry (2003:
50)
bahwa tadabbur ialah mengamalkan dalam kehidupan mengenai
apa
yang dihasilkan dari proses memikirkan ayat-ayat Allah Swt.
Dalam hubungannya dengan pemikiran rasional, maka tadabbur
adalah memikirkan yang ada di balik sesuatu, atau memikirkan
yang
tersirat di balik yang tersurat. Atau bisa disebut juga dengan
mencari
makna di balik makna tersurat (Baharuddin, 2004: 123). Dalam
beberapa ayat al-Quran, istilah tadabbur seringkali dikaitkan
dengan
al-Quran sebagai konsep wahyu, seperti istilah yatadabbarun al-
Quran yang berarti memikirkan atau memahami (tafakkur)
makna serta
memperhatikan sebab-sebab diturunkannya ayat-ayat yang ada
dalam
al-Quran (Madzkur, 1979: 392).
Dalam al-Quran kata tadabbur dalam hubungannya dengan
proses
berpikir terdapat sebanyak 4 kali, masing-masing dalam 4 surat
dan 4
ayat [Q. S. An-Nisa : 82, Muhammad : 24, al-Muminun : 68, dan
Shad
: 29]. Dan jika ditelaah tentang obyek yang menjadi sasaran
tadabbur
ini, maka objek kajian dalam beberapa ayat tersebut mencakup
tentang
wahyu Allah (al-Quran) dan tanda-tanda kebesaran Allah yang
lainnya. Adapun term yang digunakan dalam ayat tersebut ialah
afala
yatadabbarun al-Quran dan afala yaddabbaru al-qaula. Artinya,
kedua bentuk berpikir tersebut menunjukkan akan perintah
berpikir
mengenai makna yang terkandung (baik tersurat atau pun
tersirat) dalam
ayat al-Quran.
Jadi, proses berpikir dalam konteks tadabbur berarti memahami
(tafakkur) dengan hati tentang makna-makna yang disampaikan
oleh
Allah Swt. melalui tanda-tanda kekuasaannya baik yang telah
ditulis
dalam al-Quran maupun yang tidak ditulis (tersirat) dengan
tujuan
untuk mengungkap dan memahami makna baru dari ilmu-ilmu
Allah
Swt.
4. Al-Taaqqul
Kata taaqqul ditinjau dari segi kebahasaan memiliki beberapa
makna. Secara leksikal kata taaqqul berasal dari kata dasar
aqala yang
memiliki makna berpikir. Kata aqala dalam bentuk kata kerja
(fil)
berarti habasa yang berarti mengikat atau menawan. Orang
yang
menggunakan akalnya disebut dengan aqil atau orang yang
dapat
mengikat dan menahan hawa nafsunya (Ibn Mandhur, 1119:
3046). Ibn
Zakariya (t.t: 672)vdalam Mujam Al-Maqayis fi Al-Lughah
mengatakan
bahwa semua kata yang memiliki akar kata yang terdiri dari
huruf ain,
qaf, lam menunjuk kepada arti kemampuan mengendalikan
sesuatu,
baik berupa perkataan, pikiran, maupun perbuatan. Adapun
konsep
taaqqul membentuk derivasi seperti;aqala-yaqilu sebagai kata
kerja,
aql sebagai daya berpikir, aqil menunjuk kepada orang yang
berpikir.
Sedangkan objek yang masuk akal seringkali disebut dengan
maqul.
Sedangkan taaqqul berarti aktifitas berpikir (Ibn Mandzur, 1119:
3046-
3050).
Berdasarkan pengertian di atas dapat kita pahami bahwa orang
yang
berakal atau orang yang menggunakan daya akalnya dengan
baik pada
dasarnya ia adalah orang yang mampu mengikat hawa nafsunya,
sehingga hawa nafsunya tidak dapat menguasai dirinya. Selain
itu,
orang yang berpikir juga akan dapat mengendalikan dirinya
terhadap
dorongan nafsu dan juga dapat memahami kebenaran agama.
Sebab,
orang yang dapat memahami kebenaran agama hanyalah orang
yang
tidak dikuasai oleh hawa nafsunya. Adapun sebaliknya adalah
orang
yang dikuasai oleh hawa nafsunya tidak dapat memahami agama
dengan baik dan sempurna [Q.S. Muhammad : 16].
Menurut Ibrahim Madhkur (1979: 120), kata akal (dalam konteks
ini ialah al-qalb) dapat dipahami sebagai suatu potensi rohani
untuk
membedakan antara yang haqq dan bathil. Abbas Mahmud
Aqqad
(1973, 22) menambahkan bahwa akal berfungsi sebagai penahan
hawa
nafsu. Dengan akal tersebut, manusia dapat memahami amanah
dan
kewajibannya sebagai seorang makhluk. Dengan demikian, akal
adalah
petunjuk untuk membedakan antara hidayah dan kesesatan (al-
dhallal).
Adapun Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah menegaskan bahwa akal
merupakan alat atau sarana yang mampu membedakan antara
yang baik
(al-khair) dan yang buruk (as-sharr), yang bagus (al-hasan) dan
yang
jelek (al-qabih), serta yang benar (al-haqq) dan yang sesat (al-
bathil).
(al-Hajjaji, 1988: 256). Dari beberapa pendapat tersebut dapat
dipahami
bahwa akal (al-qalb) ialah instrumen jiwa yang membedakan
manusia
dengan makhluk lainnya. Selain itu, dengan akal manusia dapat
menemukan, mengembangkan dan mengkonstruksi atau bahkan
menciptakan ilmu pengetahuan. Dan lebih dari itu, dengan akal
manusia
juga dapat mengendalikan hawa nafsunya.
Penjelasan tersebut merupakan pemahaman terhadap ayat-ayat
al-
Quran yang menguraikan masalah akal. Di dalam al-Quran
memang
tidak pernah digunakan kata aql dalam bentuk ism (kata benda)
akan
tetapi menggunakan kata kerja (aqala). Dengan model
penyampaian
yang demikian, mungkin al-Quran ingin menjelaskan bahwa
berpikir
dengan akal adalah kerja dan proses yang terus-menerus dan
bukan hasil
perbuatan. Kata-kata tersebut berbentuk aqala dalam 1 ayat,
taqilun
dalam 24 ayat, naqilu dalam 1 ayat, yaqilu dalam 1 ayat, dan
yaqilun
dalam 22 ayat. Kata-kata tersebut dijumpai sebanyak 49 kali
yang
tersebar dalam 30 surat dan 49 ayat (Al-Baqiy, 1364 H: 594-595).
Adapun kata-kata tersebut digunakan dalam berbagai konteks
yang
berbeda, baik sebagai objek, klasifikasi dan berbagai macam
topik
pembicaraan yang berbeda.
Berdasarkan penggunaan aql dalam berbagai susunannya dapat
dijelaskan beberapa kelompok penggunaannya. Terdapat 14 ayat
digunakan untuk memikirkan dalil dan dasar keimanan. [Q. S : Al-
Baqarah : 76, 75, 170, 171. Al-Maidah : 103, Yunus 100, Hud : 51,
Al-
Anbiya : 67, Al-Furqan : 44, Al-Qasas : 60, Yasin : 62, Al-Zumar :
43,
Al-Hujurat : 4, Al-Hashr : 14]. Kemudian dalam 12 ayat kata aql
digunakan untuk memikirkan dan memahami alam semesta
serta
hukum-hukumnya (sunnatullah). [Q. S. Al-Baqarah : 164, Al-Rad :
4,
Al-Nahl : 12, 67, Al-Muminun : 78, Al-Syuara : 28, Al-Qasas : 60,
Al-Ankabut : 63, Al-Rum : 24, Al-Shaffat : 138, Al-Hadid : 170, Al-
Mulk : 10]. Dan dalam 8 ayat lainnya, kata aql dihubungkan
dengan
pemahaman terhadap peringatan dan wahyu Allah SWT. [Q. S
Yusuf :
2, Al-Baqarah : 32, 44, Ali Imran : 65, Yunus : 16, Al-Anbiya : 10,
Al-
Zukhruf : 3, Al-Mulk : 10]. Dalam 7 ayat, dihubungkan dengan
pemahaman terhadap proses sejarah keberadaan umat manusia
di dunia.
[Q. S. Al-Hajj : 45-46, Yusuf : 109, Hud : 51, Al-Anfal : 22, Yunus :
10,
Al-Nur : 61, Yasin : 68]. Lalu dalam 6 ayat dihubungkan dengan
pemahaman terhadap kekuasaan Allah SWT. [Q. S. Al-Baqarah :
73,
242, Al-Anam : 32, Al-Syuara : 28, Al-Ankabut : 35, Al-Rum :
28].
Dalam 1 ayat dihubungkan dengan pemahaman terhadap
hukum-hukum
yang berkaitan dengan moral. [Q.S. Al-Anam : 151] Sedangkan
dalam
1 ayat dihubungkan dengan pemahaman terhadap makna
ibadah, seperti
shalat. [Q. S. Al-Maidah : 58]
Dari 49 ayat yang menggunakan kata aql tersebut di atas dapat
diartikan bahwa aql digunakan untuk memahami berbagai obyek
yang
riil maupun abstrak. Dari yang bersifat empiris sensual hingga
yang
kongkret seperti sejarah umat manusia, hukum-hukum alam
(nature
law, sunnatullah). Selain itu juga digunakan untuk memikirkan
yang
abstrak seperti kehidupan di akhirat, proses menghidupkan
kembali
orang yang sudah mati, kebenaran ibadah, kebenaran wahyu, dll.
Dengan demikian objek berpikir (taaqqul) ialah tentang
ketetapan
realitas kehidupan yang mengarah kepada makna-makna yang
terkandung dalam konsep dasar tentang kekuasaan Allah SWT,
seperti
makna Iman, Islam, marifah dan tauhid, yang mana semua
konsep
tersebut diproses dalam hati.
Dari beberapa makna leksikal dan gramatikal taaqqul yang
dijelaskan al-Quran di atas dapat dipahami bahwa objek kajian
taaqqul tidak menyentuh dhat Allah itu sendiri, melainkan hanya
sebatas ilmu-Nya. Sebab, dalam al-Quran tidak ada satu medan
makna
pun yang menunjuk langsung atau tidak langsung pada hal
tersebut.
Artinya, batasan-batasan berpikir (taaqqul) ialah konsep-konsep
dasar
yang telah ditunjukkan oleh Allah dalam al-Quran. Selain itu
(yang
tidak ditunjukkan), bukanlah hak manusia untuk memikirkannya.
Hal
ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Hakim Tirmidhi
bahwa
tempat al-Islam adalah shadr (pusat hati), tempat al-Iman adalah
al-
Qalb (hati), tempat al-Marifah ialah dalam al-fuad (nurani),
sedangkan
al-Tauhid terletak pada al-Lubb (akal pikiran). (Hakim Tirmidzi,
t.th:
17-63).
Adapun konsep Islam (al-Islam) yang terletak pada shadr
memiliki
potensi di antaranya, keraguan (as-shakk), kesyirikan (as-shirk),
kemunafikan (an-nifaq), dan lain sejenisnya. Sehingga dalam
shadr
inilah terletak an-nafs al-ammarah bi as-su [Q.S. Yusuf : 53].
Sedangkan konsep iman (al-Iman) yang terletak pada hati (al-
qalb)
berpotensi untuk condong kepada ketakwaan (al-taqwa) dan
kadangkala
fujur (ketidaksesuaian). Dalam hati (al-qalb) inilah tempat an-
nafs almalhamah.
[Q.S. As-Shams : 8]. Selain itu, konsep al-marifah terletak
dalam al-fuad. Al-fuad memiliki potensi untuk memahami
karamah
Allah, tawaddu, ketenangan, senang dengan nikmat Allah, dan
dalam
fuad inilah terletak an-nafs al-lawwamah [Q. S. Al-Qiyamah : 2].
Dan
yang terakhir ialah konsep tauhid yang terletak pada lubb. Dalam
lubb
sendiri memiliki potensi untuk cenderung mentauhidkan Allah
SWT
sebagai Tuhan, keridhaan menghambakan diri, malu berbuat
keburukan,
dan kecenderungan untuk selalu memikirkan ilmu (al-ilm) Allah
SWT.
Dalam lubb inilah terletak an-nafs al-muthmainnah. (Hakim
Tirmidzi,
t.th. : 64-65).
Jadi, dalam konsep berpikir dengan hati, manusia tidak bisa
memisahkan semua dimensi hati. Dan dimensi hati yang paling
dalam
ialah lubb sebagai sumber ketauhidan dan ilmu Allah Swt.
Artinya,
manusia yang berpikir akan ilmu Allah seharusnya mampu
mengarahkan kepada penghambaan (ubudiyyah) yang total.
Bukan
hanya semata mengarahkan kepada keberIslaman atau
keberimanan
semata. Lebih mendasar daripada itu, aktifitas berpikir
hendaknya
mampu memahamkan seseorang kepada makna pentauhidan
Allah Swt.
melalui petunjuk-Nya (al-huda).
C. Implikasi Pemahaman Konsep Berpikir dalam
Pendidikan
Akhlak
Dari penjabaran berpikir di atas dapat diambil benang merah
bahwa
konsep berpikir dalam perspektif al-Quran tidak hanya
melibatkan otak
sebagai organ yang berpikir. Lebih dari itu, al-Quran
menegaskan
bahwa organ yang berpikir adalah hati yang terletak pada dada.
Ini
artinya, seorang pendidik harus mampu menyentuh ranah hati
atau
nurani peserta didik dalam menyampaikan pembelajarannya.
Dengan
kata lain, pendidikan harus menitikberatkan pada aspek
ruhaniyah di
samping jasmaniyah.
Berbicara tentang pendidikan akhlak juga tidak dapat terlepas
dari konteks pemahaman konsep manusia. Dalam pandangan
Islam,
manusia merupakan khalifah di bumi yang bertugas untuk
memelihara,
mengelola dan mengamankan alam semesta sebagai sumber
daya yang
diberikan Allah Swt. kepadanya. Untuk itu, manusia memerlukan
kesadaran yang mendalam akan pentingnya sebuah
tanggungjawab.
Yaitu tanggungjawab terhadap segala yang telah diamanatkan
kepada
manusia. Dan untuk menjalankan amanat tersebut dibutuhkan
ilmu
pengetahuan yang berfungsi untuk mengontrol dan menuntun
manusia
dalam menjalankan kewajiban tersebut. Dengan ilmu, manusia
akan
mampu membedakan antara yang benar (haqq) dan yang salah
(bathil).
Dalam proses mempelajari ilmu pengetahuan sangat
memerlukan sikap rendah hati (Mujamil Qamar, t.th. : 247).
Dengan
memiliki sikap rendah hati seorang yang berilmu tidak akan
merasa
lebih tinggi dari orang lain. Dalam menuntut ilmu dibutuhkan
kesadaran
yang penuh bahwa ilmu bukan untuk menyombongkan diri.
Namun,
dengan memiliki ilmu maka seseorang seharusnya merasa
bahwa ia
bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan segala bentuk
ciptaan Allah
Swt. Dalam hal ini sangat menarik ungkapan yang disampaikan
oleh
Imam Syafii dalam syairnya berikut ini:
Setiap masa mendidikku, aku menyadari kekurangan akalku.
Apabila aku menambah ilmu, ternyata bertambah pula
kebodohanku (Al-Syafii, t.th. : 98).
Dari ungkapan Imam Syafii tersebut dapat kita pahami bahwa
ketika manusia mendapatkan ilmu pengetahuan dan
mengolahnya
dengan melibatkan aspek ruhani (hati) maka ia akan menyadari
bahwa
ia belum seberapa dibandingkan ilmu Allah Yang Maha Luas.
Di sinilah perlunya akhlak manusia yang berfungsi sebagai
pengendali atau pengontrol jiwa manusia. Seseorang menjadi
sombong
atau baik karena ditentukan oleh kualitas hatinya. Dengan kata
lain, hati
merupakan organ yang membimbing manusia menuju arah yang
lebih
beradab.
Dalam konteks pendidikan Islam, akhlak harus didasarkan pada
aspek keimanan yang secara konseptual telah terkandung dalam
al-
Quran dan as-Sunnah. Bahkan, salah satu tujuan diutusnya nabi
Muhammad Saw. adalah untuk menyempurnakan akhlak
manusia.
Dengan akhlak yang sempurna maka seorang hamba akan
mampu
mengendalikan jiwanya dari unsur hawa nafsu. Ahmad Tafsir
mengatakan bahwa Ilmu pendidikan Islam adalah ilmu
pendidikan
yang berdasarkan al-Quran, al-Hadits, dan Akal (Tafsir, 1992 :
12).
Dalam konteks ini, akal (aql) merupakan kemampuan hati (qalb)
dalam
memahami hakekat isi al-Quran dan al-Hadits. Dengan akal
inilah
manusia akan mampu menelaah, menafsirkan, menilai,
menimbang,
bahkan memutuskan urusan-urusan yang berwujud duniawi atau
pun
ukhrawi.
Manusia diberi anugerah akal untuk digunakan sebagai alat
berpikir. Artinya, manusia yang berakal hendaknya selalu
memikirkan
tentang hakekat dari ilmu pengetahuan yang diberikan Allah
SWT.
Dengan memahami ilmu secara baik dan benar sesuai tuntunan
syariah
maka yang akan didapatkan adalah kecerdasan. Dengan kata
lain, ketika
seseorang belajar tentang suatu ilmu berarti ia telah
menyingkirkan
salah satu penyakit hati yaitu kebodohan. Dalam buku Syarah
Adab &
Manfaat Menuntut Ilmu dijelaskan bahwa Imam Ahmad pernah
berkata bahwa:
Ilmu itu sesuatu yang tiada bandingnya bagi orang yang
niatnya benar. Bagaimanakah benarnya niat itu wahai Abu
Abdillah? tanya orang-orang kepada beliau. Maka beliau
menjawab: Yaitu berniat untuk menghilangkan kebodohan dari
dirinya dan orang lain (al-Utsaimin, 2005 : 10).
Pada hakekatnya, tujuan seseorang mempelajari ilmu
pengetahuan yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
dengan
cara memahami hakekat ilmu secara benar. Untuk itulah, Imam
al-
Ghazali menegaskan bahwa ilmu pengetahuan yang hendaknya
dipelajari oleh seseorang pertama kali yaitu ilmu agama (ilmu
yang
berhubungan dengan syariah Islam). Artinya, sebelum
mempelajari ilmu
pengetahuan yang bersifat umum (ilmu yang berkaitan dengan
sains dan
teknologi), seorang muslim diwajibkan memahami ilmu agama
terlebih
dahulu. Sebab, ilmu agama merupakan dasar dari segala ilmu.
Apabila
ilmu agama seseorang itu lemah maka akan lemah pula
akhlaknya.
Sebab, ilmu agama adalah pengontrol akhlak seseorang.
Berbicara tentang pendidikan akhlak, Syed Muhammad Naquib
al-Attas memiliki konsep tersendiri tentang hal tersebut.
Menurutnya,
terminologi yang tepat untuk menegaskan hakekat pendidikan
akhlak
atau pendidikan Islam yaitu konsep Tadib. Bagi al-Attas, dalam
istilah
tadib terkandung makna pendidikan, pengenalan, pengakuan
serta
penanaman yang dilakukan secara berangsur-angsur ditanamkan
ke
dalam jiwa manusia, sehingga proses tersebut mampu
membimbing ke
arah pengenalan dan pengakuan tentang hakekat Tuhan (M. Nor
Wan
Daud, 2003: 175). Secara sederhana, al-Attas menghendaki
tujuan akhir
pendidikan Akhlak dalam Islam adalah membentuk pribadi-
pribadi
muslim yang berakhlak mulia serta menjadi manusia yang baik
serta
mampu menghambakan dirinya kepada Allah Swt.
Senada dengan hal di atas, Abu Ismail al-Harawi, pengarang
kitab Manazil As-Sairin, mengatakan bahwa adab memiliki arti
menjaga batas antara berlebihan dan meremehkan, serta
mengetahui
bahaya dari suatu pelanggaran. Al-Hujwiri juga mengatakan
bahwa
keindahan dan kepatutan suatu urusan, baik urusan agama
maupun
urusan dunia, sangatlah ditentukan oleh ketinggian tingkat
pendidikan.
Ia mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Nilai-nilai
ketakwaan, seperti taat mengikuti sunah nabi, cinta kebajikan,
dan lainlain.
Semua itu bersandarkan kepada pendidikan akhlak (adab)
(Mujieb,
2009: 22). Hal ini menegaskan bahwa pendidikan adab
merupakan asas
atau dasar dari segala perilaku manusia. Dan nilai-nilai
keberadaban
hanya dapat ditanamkan melalui pendidikan.
Akan tetapi, dewasa ini, pendidikan yang seharusnya
menjadikan manusia semakin bertakwa kepada Allah Swt. seiring
dengan bertambahnya ilmu, ternyata masih jauh dari tujuan
pendidikan
sebagaimana dijelaskan di atas. Hal ini tidak lain diakibatkan
cara
berpikir (cara pandang) praktisi pendidikan yang kurang
memperhatikan
penekanan aspek pendidikan adab. Sebagai akibatnya, banyak
anak
didik yang tidak malu meninggalkan syariah Islam, banyak pula
anak
didik yang tidak malu berbuat maksiat kepada Allah SWT, bahkan
parahnya lagi, banyak anak didik yang tidak tahu tujuan mereka
belajar.
Hal tersebut mengakibatkan kesalahan dalam orientasi
pendidikan.
Sehingga ketika anak didik telah lulus mereka tidak menjadi
pribadi
muslim yang unggul, namun justru menjadi sampah masyarakat
yang
tidak mampu berkontribusi. Lebih dari itu, pada akhirnya mereka
akan
mengunggulkan kepentingan dunia daripada tujuan akhiratnya.
Namun, apabila kita telusuri lebih dalam, kita akan menemukan
bahwa kesalahan mendasar dari negatifnya hasil suatu
pendidikan
adalah terletak pada ketidakseimbangan dalam aktifitas berpikir.
Mayoritas lembaga pendidikan di Indonesia lebih mementingkan
cara
berpikir hanya dengan menggunakan rasio yang terletak di
kepala.
Mereka lupa bahwa hakekat manusia bukan terletak pada rasio
semata.
Hakekat manusia sebenarnya adalah terletak pada hati yang
berada di
dada. Dalam hati itulah cahaya hidayah Allah Swt. diberikan.
Ketakwaan dan keimanan manusia juga bersemayam di dalam
hati
(qalb). Artinya, apabila lembaga pendidikan ingin menciptakan
manusia
yang baik hendaknya memperhatikan bahkan mengutamakan
pendidikan yang menyentuh ranah ruhaniyah atau keimanan.
Dengan
demikian, maka harapannya adalah dengan pendidikan akan
mampu
membuahkan manusia-manusia yang baik serta unggul dalam
bidang
agama dan sains.
D. Kesimpulan
Sebagaimana penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
konsep
berpikir yang dijelaskan dalam al-Quran seharusnya menjadi
landasan
berpikir bagi para praktisi pendidikan. Sebab, ketika para
pendidik
mengajarkan suatu ilmu pengetahuan kepada peserta didik pada
hakekatnya mereka sedang melakukan proses transformasi ilmu
pengetahuan. Yang mana proses tersebut seharusnya
menyentuh semua
ranah kemanusiaan yang mencakup fisik/jasad (jismiyyah)
maupun non
fisik -akal, hati, ruh- (ruhiyyah). Hal ini berdasarkan hakekat
manusia
yang terdiri dari kedua unsur tersebut.
Pola berpikir yang memadukan antara unsur hati (qalb) dengan
rasio merupakan inti utama dalam tujuan pendidikan akhlak.
Sehingga
dengan hal itu akan terbentuk manusia yang beradab. Dengan
melibatkan unsur hati dalam berpikir maka peserta akan belajar
pentingnya keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dalam
kehidupan. Sebab, tempat bersemayamnya iman dan takwa
adalah di
dalam hati. Sehingga, dengan memahami hakekat keimanan dan
ketakwaan maka anak didik akan memiliki akhlak atau adab
yang sesuai
dengan al-Quran dan al-Hadits. Namun, apabila konsep berpikir
tersebut diabaikan atau bahkan dianggap tidak memiliki peran
dalam
pembentukan akhlak terhadap peserta didik maka besar
kemungkinan
inilah yang menjadi sumber kerusakan dunia pendidikan yang
tidak lagi
menghasilkan pribadi-pribadi yang bertakwa kepada Allah SWT.
Untuk itu, perlu kiranya sikap positif dari semua pendidik untuk
merumuskan kembali pola pendidikan yang tidak hanya
mengandalkan
aspek kecerdasan otak saja. Lebih dari itu, sudah saatnya para
pendidik
memperhatikan aspek kerohanian anak didiknya. Suatu prestasi
yang
bersifat angka memang penting untuk menilai kecerdasan
seorang anak.
Akan tetapi, prestasi keimanan dan ketakwaan anak hanya bisa
dilihat
dari aspek adab dan kecerdasan hatinya dalam menjalankan
ibadah
kepada Allah SWT.
E. Daftar Pustaka
Abd Al-Baqy, Muhammad Fuad. 1364 H. Mujam Al-Mufahras Li
Alfaz
Al-Quran Al-Karim. Al-Qahirah: Dar al-Hadith.
Al-Aqqad, Abbas Mahmud. 1973. Al-Insan Fi Al-Quran Al-Karim.
al-
Qahirah: Dar Al-Islam.
Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Shalih. 2005. Syarah Adab &
Manfaat Menuntut Ilmu. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafii.
Al-Ajiri, Abu Bakar. 2003. Akhlaq Ahl Al-Quran. Dar al-Kutub al-
ilmiyyah.
Al-Ashfahany, Al-Raghib. Al-Mufradat fi Gharib Al-Quran. Beirut:
Maktabah Nadzar al-Mustafa al-Baz.
Al-Ghazali, Imam. Ihya Ulum Al-Din. Jilid.1. al-Qahirah: Dar As-
Shab.
Al-Hajjaji, Hasan Ibn Ali Ibn Hasan. 1988. Al-Fikr Al-Tarbawy Inda
Ibn Al-Qayyim. Dar Hafid Li An-Nasr wa Al-Tauzi.
Al-Syafii, Abi Abd Allah Muhammad bin Idris. t.th. Diwan Al-Imam
Al-Syafiiy, Yusuf Al-Syaikh Muhammad Biqai. Dar Al-Fikr.
Baharuddin, 2004. Paradigma Psikologi Islami, Studi Tentang
Elemen
Psikologi Dari Al-Quran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Daud, Nor Wan. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed
M.
Naquib Al-Attas. Bandung: Mizan.
Dhaif, Syauqi. 2004. Al-Mujam Al-Wasith. al-Qahirah: Maktabah
Al-
Shuruq Al-Dauliyyah. Cet. 4.
Ibn Faris, Ahmad. 1979. Mujam Maqayis Al-Lughah. Juz. 2. Dar Al-
Fikr.
Ibn Kathir. 1978. Tafsir Al-Quran Al-Azim. Juz. 1. Dar Ihya al-
Kutub
al-Arabiyah.
Ibn Manzur. 1119. Lisan al-Arab. Al-Qahirah: Dar Al-Maarif.
Izutsu, Toshihiko. 1914. Ethico-Religious Concept In The Quran.
London: Mcgill. Queens University Press.
_____________. 1993. Konsep-Konsep Etika Religious Dalam Al-
Quran. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
_____________. 1997. Relasi Tuhan Dan Manusia (Pendekatan
Semantik Terhadap Al-Quran), Yogyakarta.
312
TADIB, Vol. XIX, No. 02, Edisi November 2014
_____________. 2007. The Concept And Reality Of Existence.
Malaysia: Islamic Book Trust.
Madhkur, Ibrahim. 1979. Mujam Al-Falsafi. al-Qahirah : Al-Haiah
Al-
Ammah Li Al-Syuun Al-Mutabi Al-Amiriyyah.
Mujieb, M. Abdul. 2009. Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali.
Jakarta: Hikmah.
Qamar, Mujamil. t.th. Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode
Rasional Hingga Metode Kritik. Erlangga.
Syarifuddin, Abd Al-Adhim. 1967. Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyyah
Asruhu
Wa Manhajuhu, Jil. 2. Maktabah Al-Kulliyyah Al-Azhary.
Tafsir, Ahmad. 1992. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Tirmizi, Hakim. t.th. Bayan al-Farq, Bayn al-Sadr,wa al-Qalb, wa
al-
Fuad wa al-Lubb, Tahqiq Ahmad Abd Ar-Rahim As-Sayih. Al-
Qahirah. Markaz Al-Kitab Li An-Nashir.

Anda mungkin juga menyukai