Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

ULKUS KORNEA

I. Konsep Ulkus Kornea


I.1 Definisi
Keratitis ulseratif yang lebih dikenal sebagai ulserasi kornea yaitu
terdapatnya destruksi (kerusakan) pada bagian epitel kornea (Darling,H
Vera, 2000, hal 112).
Ulkus kornea adalah hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian
jaringan kornea (Arif mansjoer, DKK, 2001, hal 56).

I.2 Etiologi
Faktor penyebabnya antara lain:
a. Kelainan pada bulu mata (trikiasis) dan sistem air mata (insufisiensi air
mata, sumbatan saluran lakrimal), dan sebagainya.
b. Faktor eksternal, yaitu : luka pada kornea (erosio kornea), karena
trauma, penggunaan lensa kontak, luka bakar pada daerah muka.
c. Kelainan-kelainan kornea yang disebabkan oleh : oedema kornea kronik,
exposure-keratitis (pada lagophtalmus, bius umum, koma) ; keratitis
karena defisiensi vitamin A, keratitis neuroparalitik, keratitis
superfisialis virus.
d. Kelainan-kelainan sistemik; malnutrisi, alkoholisme, sindrom Stevens-
Jhonson, sindrom defisiensi imun. bat-obatan yang menurunkan
mekaniseme imun, misalnya : kortikosteroid, IUD, anestetik lokal dan
golongan imunosupresif1.
Secara etiologik ulkus kornea dapat disebabkan oleh :
a. Bakteri : Kuman yang murni dapat menyebabkan ulkus kornea adalah
streptokok pneumoniae, sedangkan bakteri lain menimulkan ulkus
kornea melalui faktor-faktor pencetus diatas.
b. Virus : herpes simplek, zooster, vaksinia, variola
c. Jamur : golongan kandida, fusarium, aspergilus, sefalosporium
d. Reaksi hipersensifitas : Reaksi terhadap stapilokokus (ulkus marginal),
TBC (keratokonjungtivitis flikten), alergen tak diketahui (ulkus cincin)
(Sidarta Ilyas, 1998, 57-60).

I.3 Manifestasi klinis


Gejala klinis pada ulkus kornea secara umum dapat berupa:
I.3.1 Gejala subjektif
a. Eritema pada kelopak mata dan konjungtiva
b. Sekret mukopurulen
c. Merasa ada benda asing di mata
d. Pandangan kabur
e. Mata berair
f. Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi ulkus
g. Silau
h. Nyeri
i. Infiltat yang steril dapat menimbulkan sedikit nyeri, jika ulkus
terdapat pada perifer kornea dan tidak disertai dengan robekan
lapisan epitel kornea.
I.3.2 Gejala objektif
a. Injeksi silier
b. Hilangnya sebagian kornea dan adanya infiltrate
c. Hipopion

I.4 Patofisiologi
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya,
dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab
susunan sel dan seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan
cahaya terutama terjadi di permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam
bentuk dan kejernihan kornea, segera mengganggu pembentukan bayangan
yang baik di retina. Oleh karenanya kelainan sekecil apapun di kornea,
dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat terutama bila
letaknya di daerah pupil. Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada
waktu peradangan tidak segera datang, seperti pada jaringan lain yang
mengandung banyak vaskularisasi. Maka badan kornea, wandering cell dan
sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja sebagai
makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang
terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru
terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit
polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang
tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas
dan permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan
timbullah ulkus kornea. Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka
kebanyakan lesi pada kornea baik superfisial maupun profunda dapat
menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit juga diperberat dengan
adanaya gesekan palpebra (terutama palbebra superior) pada kornea dan
menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris, yang
meradang dapat menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada
ujung saraf kornea merupakan fenomena reflek yang berhubungan dengan
timbulnya dilatasi pada pembuluh iris. Penyakit ini bersifat progresif,
regresif atau membentuk jaringan parut. Infiltrat sel leukosit dan limfosit
dapat dilihat pada proses progresif. Ulkus ini menyebar kedua arah yaitu
melebar dan mendalam. Jika ulkus yang timbul kecil dan superficial maka
akan lebih cepat sembuh dan daerah infiltrasi ini menjadi bersih kembali,
tetapi jika lesi sampai ke membran Bowman dan sebagian stroma maka
akan terbentuk jaringan ikat baru yang akan menyebabkan terjadinya
sikatrik.

I.5 Pemeriksaan penunjang


I.5.1 Kartu mata/snellen telebinokuler (tes ketajaman penglihatan dan
sentral penglihatan)
I.5.2 Pengukuran tonografi : mengkaji TIO, normal 15 - 20 mmHg
I.5.3 Pemeriksaan oftalmoskopi
I.5.4 Pemeriksaan darah lengkap, LED
I.5.5 Pemeriksaan EKG
I.5.6 Tes toleransi glukosa

I.6 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering timbul berupa:
I.6.1 Kebutaan parsial atau komplit dalam waktu sangat singkat
I.6.2 Kornea perforasi dapat berlanjut menjadi endoptalmitis dan
panopthalmitis
I.6.3 Prolaps iris
I.6.4 Sikatrik kornea
I.6.5 Katarak
I.6.6 Glaukoma sekunder

I.7 Penatalaksanaan
Ulkus kornea adalah keadan darurat yang harus segera ditangani oleh
spesialis mata agar tidak terjadi cedera yang lebih parah pada kornea.
Pengobatan pada ulkus kornea tergantung penyebabnya, diberikan obat tetes
mata yang mengandung antibiotik, anti virus, anti jamur, sikloplegik dan
mengurangi reaksi peradangan dengann steroid. Pasien dirawat bila
mengancam perforasi, pasien tidak dapat memberi obat sendiri, tidak
terdapat reaksi obat dan perlunya obat sistemik.
I.7.1 Penatalaksanaan ulkus kornea di rumah
a. Jika memakai lensa kontak, secepatnya untuk melepaskannya
b. Jangan memegang atau menggosok-gosok mata yang meradang
c. Mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan sesering
mungkin dan mengeringkannya dengan handuk atau kain yang
bersih
d. Berikan analgetik jika nyeri

I.7.2 Penatalaksanaan medis


a. Pengobatan konstitusi
Oleh karena ulkus biasannya timbul pada orang dengan keadaan
umum yang kurang dari normal, maka keadaan umumnya harus
diperbaiki dengan makanan yang bergizi, udara yang baik,
lingkungan yang sehat, pemberian roboransia yang mengandung
vitamin A, vitamin B kompleks dan vitamin C. Pada ulkus-ulkus
yang disebabkan kuman yang virulen, yang tidak sembuh dengan
pengobatan biasa, dapat diberikan vaksin tifoid 0,1 cc atau 10 cc
susu steril yang disuntikkan intravena dan hasilnya cukup baik.
Dengan penyuntikan ini suhu badan akan naik, tetapi jangan
sampai melebihi 39,5C. Akibat kenaikan suhu tubuh ini
diharapkan bertambahnya antibodi dalam badan dan menjadi lekas
sembuh.
b. Pengobatan lokal
Benda asing dan bahan yang merangsang harus segera
dihilangkan. Lesi kornea sekecil apapun harus diperhatikan dan
diobati sebaik-baiknya. Konjungtuvitis, dakriosistitis harus diobati
dengan baik. Infeksi lokal pada hidung, telinga, tenggorok, gigi
atau tempat lain harus segera dihilangkan.

Untuk menghindari penjalaran ulkus dapat dilakukan :


1) Kauterisasi
a) Dengan zat kimia : Iodine, larutan murni asam karbolik, larutan
murni trikloralasetat 20.
b) Dengan panas (heat cauterisasion) : memakai elektrokauter atau
termophore. Dengan instrumen ini dengan ujung alatnya yang
mengandung panas disentuhkan pada pinggir ulkus sampai berwarna
keputih-putihan.

2) Pengerokan epitel yang sakit


Parasentesa dilakukan kalau pengobatan dengan obat-obat tidak
menunjukkan perbaikan dengan maksud mengganti cairan coa yang
lama dengan yang baru yang banyak mengandung antibodi dengan
harapan luka cepat sembuh. Penutupan ulkus dengan flap konjungtiva,
dengan melepaskan konjungtiva dari sekitar limbus yang kemudian
ditarik menutupi ulkus dengan tujuan memberi perlindungan dan nutrisi
pada ulkus untuk mempercepat penyembuhan. Kalau sudah sembuh flap
konjungtiva ini dapat dilepaskan kembali.
Bila seseorang dengan ulkus kornea mengalami perforasi spontan
berikan sulfas atropine, antibiotik dan balut yang kuat. Segera berbaring
dan jangan melakukan gerakan-gerakan. Bila perforasinya disertai
prolaps iris dan terjadinya baru saja, maka dapat dilakukan :
a) Iridektomi dari iris yang prolaps
b) Iris reposisi
c) Kornea dijahit dan ditutup dengan flap konjungtiva
d) Beri sulfas atripin, antibiotic dan balut yang kuat
Bila terjadi perforasi dengan prolaps iris yang telah berlangsung lama,
kita obati seperti ulkus biasa tetapi prolas irisnya dibiarkan saja, sampai
akhirnya sembuh menjadi leukoma adherens. Antibiotik diberikan juga
secara sistemik.
3) Keratoplasti
Tindakan bedah meliputi
a) Keratektomi superficial tanpa membuat perlukaan pada membrane
Bowman
b) Tissue adhesive atau graft amnion multilayer
c) Flap konjungtiva
d) Patch graft dengan flap konjungtiva
e) Keratoplasti tembus
f)Fascia lata graft

II. Rencana auhan klien dengan gangguan ulkus kornea


II.1 Pengkajian
II.1.1 Riwayat keperawatan
a. Aktifitas istirahat
Gejala: perubahan aktifitas sehubungan dengan gangguan
penglihatan
Gangguan istirahat karena nyeri dan ketidaknyamanan.
b. Intregitas ego
Kecemasan tentang status kesehatan dan tindakan pengobatan.
c. Neurosensor
Gejala: gangguan penglihatan, sinar terang menyebabkan silau
dengan kehilangan bertahap tentang penglihatan perifer dan
lakrimasi.
Tanda: kornea keruh, iris, dan pupil tidak kelihatan serta
peningkatan air mata.
d. Keamanan
Terjadi trauma karena penurunan penglihatan.
e. Nyeri
Gejala: ketidak nyamanan ringan, mata berair dan merak, myeri
berat disertai tekanan pada sekitar bola mata dan menyebabkan
sakit kepala.
f. Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala: Riwayat keluarga glukoma, DM, gangguan sustem
vaskuler, riwayat stress, alergi, ketidak seimbangan endokrin,
terpajan pada radiasi,polusi, steroid.
g. Rencana pemulangan
Memerlukan bantuan tranportasi, penyediaan makanan, perawatan
diri, pemeliharaan rumah (Doenges, 2000).
II.1.2 Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Amati :
1) Kelopak mata: Apakah ada bengkak,
benjolan,ekimosis,ekstropion, entropion,pseudoptosis dan kelainan
kelopak mata lainnya.

2) Konjungtiva: Apakah warnanya lebih pucat dari warna


normalnya merah muda pucat mengkilat. Apakah ada kerehanan /
pus mungkin karena alergi / konjungtivitis.
3) Sclera: Apakahikterik atau unikterik, adanya bekas trauma.
4) Iris: Apakah ada ke abnormalan seperti iridis, atropi (pada
DM, glaucoma, ishkemi,lansia) dll.
5) Kornea: Apakah ada arkus senilis (cincin abu abu dipinggir
luar kornea),edema/ keruh /menebalnya kornea atau adanya ulkus
kornea.
6) Pupil: Apakah besarnya normal (3-5 mm/ isokor), atau amat
kecil (pin point), miosis (< 2 mm), midriasis (>5mm).
7) Lensa: Apakah warnanya jernih (normal), atau keruh
(katarak).
b. Palpasi
Setelah inspeksi, lakukan palpasi pada mata dan struktur yang
berhubungan. Digunakan untuk menentukan adanya tumor. Nyeri
tekan dan keadaan tekanan intraokular (TIO). Mulai dengan palpasi
ringan pada kelopak mata terhadap adanya pembengkakan dan
kelemahan. Untuk memeriksa TIO dengan palpasi, setelah klien
duduk dengan enak, klien diminta melihat ke bawah tanpa menutup
matanya. Secara hati hati pemeriksa menekankan kedua jari
telunjuk dari kedua tangan secara bergantian pada kelopak atas.
Cara ini diulangi pada mata yang sehat dan hasilnya dibandingkan.
Kemudian palpasi sakus lakrimalis dengan menekankan jari
telunjuk pada kantus medial. Sambil menekan, observasi pungtum
terhadap adanya regurgitasi material purulen yang abnormal atau
airmata berlebihan yang merupakan indikasi hambatan duktus
nasolakrimalis.

II.2Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1 : Gangguan persepsi sensori penglihatan
II.2.1 Definisi
Perubahan pola stimulus yang dihubungkan dengan kerusakan respon
pada penglihatan.
II.2.2 Batasan karakteristik
Perubahan pola tingkah laku
Perubahan dalam kemampuan memecahkan masalah
Perubahan ketajaman sensorik
Perubahan dalam kebiasaan merespon stimulus
Disorientasi
Halusinasi
Kegagalan komunikasi
Mudah marah
Rendahnya konsentrasi
Gelisah
Penyimpangan sensorik

II.2.3 Faktor yang berhubungan

- Perubahan integrasi sensorik - Ketidakseimbangan elektrolit


- Perubahan penerimaan sensorik - Kelebihan stimulus lingkungan
- Perubahan transmisi sensorik - Tidak cukupnya stimulus lingkungan
- Ketidakseimbangan biokimia - Stress secara psikologi

Diagnosa 2 : Nyeri akut


II.2.4 Definisi
Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang
muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial.
II.2.5 Batasan karakteristik
- Perubahan tekanan darah - Sikap melindungi area nyeri
- Perubahan frekuensi jantung - Fokus menyempit
- Perubahan frekuensi pernafasan - Melaporkan nyeri secara verbal
- Mengekspresikan perilaku
II.2.6 Faktor yang berhubungan
Agen cedera (biologi, kimia, fisik, psikologis)

Diagnosa 3 : Risiko cidera


II.2.7 Definisi
Beresiko mengalami cedera sebagai akibat kondisi lingkungan yang
berinteraksi dengan sumber adaftif dan sumber defesif individu.
II.2.8 Faktor resiko
Profil darah yang abnormal
Disfungsi biokimia
Usia perkembangan
Disfungsi efektor
Disfungsi imun-autoimun
Disfungsi integratif
Disfungsi sensorik
Malnutrisi
Fisik
Psikologis
Hipoksia jaringan

II.3Perencanaan
Diagnosa 1 : Gangguan persepsi sensori penglihatan
II.3.1 Tujuan: Pasien mampu beradaptasi dengan perubahan
Kriteria hasil:
1) Pasien menerima dan mengatasi sesuai dengan keterbatasan
penglihatan
2) Menggunakan penglihatan yang ada atau indra lainnya secara
adekuat
II.3.2 Intervensi:
1) Perkenalkan pasien dengan lingkungannya
2) Beritahu pasien untuk mengoptimalkan alat indera lainnya yang
tidak mengalami gangguan
3) Kunjungi dengan sering untuk menentukan kebutuhan dan
menghilangkan ansietas
4) Libatkan orang terdekat dalam perawatan dan aktivitas
5) Kurangi bising dan berikan istirahat yang seimbang
Diagnosa 2 : Nyeri akut
II.3.3 Tujuan: Pain level, pain control, comfort level
Kriteria hasil:
1) Pasien mampu mengontrol nyeri
2) Pasien melaporkan nyeri berkurang
3) Pasien menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

II.3.4 Intervensi:
1) Berikan obat untuk mengontrol nyeri dan TIO sesuai resep
2) Berikan kompres dingin sesuai permintaan untuk trauma tumpul
3) Kurangi tingkat pencahayaan
4) Dorong penggunaan kaca mata hitam pada cahaya kuat

Diagnosa 3 : Risiko cidera


II.3.5 Tujuan: Risk control
Kriteria hasil:
1) Pasien terbebas dari cedera
2) Pasien dapat menjelaskan cara untuk mencegah cedera
3) Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada
4) Pasien mampu mengenali perubahan status kesehatan
II.3.6 Intervensi:
1) Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
2) Identifikasi kebutuhan keamanan pasien sesuai kondisi fisik dan
fungsi kognitif
3) Menghindari lingkungan yang berbahaya
4) Membatasi pengunjung
5) Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien
III. DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, Sidarta. 2004. Ilmu Penyakit Mata, Edisi ketiga. Jakarta: FKUI.

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III. Jakarta: Media
Aeuscualpius.

PERDAMI. 2006. Panduan Menejemen Klinis PERDAMI. Jakarta : PP


PERDAMI.

Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia. 2002. Ulkus Kornea dalam :

Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran, edisi
Ke 2. Jakarta: Penerbit Sagung Seto.

Vaughan D G, Asbury T, Riordan P. 2000: 220. Oftalmologi Umum. 14th Ed. Alih
bahasa: Tambajong J, Pendit BU. Jakarta: Widya Medika.

Winarto, Sutedja SS, Suhardjo, Gondowiardjo TD. 2001. Penanganan Ulkus


Kornea Secara Optimal. Semarang: PERDAMI.

Banjarmasin, Desember 2016

Preseptor akademik, Preseptor klinik,

( ) (
)

Anda mungkin juga menyukai