Anda di halaman 1dari 11

TUBERKULOSIS

PENDAHULUAN

Penyakit tuberculosis (TB) telah menginfeksi hampir sepertiga penduduk dunia


dan merupakan salah satu penyebab kematian utama, dengan insidens yang terus
meningkat sejak awal tahun 1980. World Health Organization (WHO) melaporkan
bahwa pada tahun 2009 insidens penyakit TB sebesar 9,4 juta (kisaran 8,9-9,9 juta)
dengan prevalensi sebesar 14 juta (kisaran 12-16 juta) serta angka kematian 1,3 juta
(kisaran 1,2-1,5 juta). Indonesia saat ini menduduki peringkat ke empat di dunia dalam
hal jumlah penderita. Insidensnya sebesar 528.063 kasus, prevalens 565.614 kasus,
kasus baru dengan BTA (+) sebanyak 236.029, sedangkan angka lematian adalah
91.369.1

PENYAKIT TUBERKULOSIS

Penyakit tuberkulosis disebabkan Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini


terutama menyerang paru-paru, namun dapat juga menimbulkan kelainan di organ tubuh
yang lain.
Mycobacterium Tuberculosis (MTB)
Mycobacterium berbentuk batang, tidak bergerak dan tidak memiliki spora,
berukuran panjang 1-1 m (biasanya 3-5 m) lebar 0,2-0,6 m. Setengah berat
keringnya terdiri dari lipid yang berfungsi sebagai cadangan energi, membuatnya
bersifat sangat hidrofobik, resisten terhadap jejas, termasuk berbagai golongan
antibiotika, bersifat tahan asam dan pertumbuhan yang lambat. MTB dapat hidup
intraseluller dalam makrofag atau ekstraseluler pada kavitas. Kuman TB cepat mati oleh
sinar matahari langsung, tetapi dapat juga bertahan hidup beberapa jam di tempat yang
gelap dan lembab. Didalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant selama beberapa
tahun.5

Struktur dinding sel


Bagian dalam dari dinding sel mikrobakteria terdiri dari lapisan peptidoglikan.
Terkait secara kovalen pada peptidoglikan tersebut adalah arabinogalaktan (suatu
polisakarida) yang memiliki ujung luar teresterifikasi oleh suatu molekul asam lemak
yang disebut asam mikolik. Terdapat struktur-struktur yang tertancap secara transversal
pada seluruh bungkus (envelope) mulai dari membran plasma sampai bagian luar
dinding yaitu suatu glikolipid seperti fostatidil mioinositol manosida, lipomanen (LM)
dan arabinomanan (LAM).5

Pertumbuhan
MTB membelah setiap 12-24 jam pada keadaan optimal. Waktu yang sangat
lambat bila dibandingkan bakteri lain yang berduplikasi dalam 15 menit sampai 1 jam.
Pertumbuhan lambat ini diakibatkan impermeabilitas dinding sel terhadap asupan
nutrien. Hal ini memperjelas keadaan subakut dari perjalanan alami penyakit
tuberkulosis dan waktu yang diperlukan untuk menumbuhkannya pada media. Harshey
dan Ramakrishnan menemukan bahwa sintesis RNA menjadi faktor utama yang
berhubungan dengan lambatnya pertumbuhan, mereka berhasil memperlihatkan bukti
bahwa rasio RNA terhadap DNA dengan laju elongasi rantai RNA sepuluh kali lebih
lambat jika dibandingkan E.coli.6

PATOGENESIS PENYAKIT TUBERKULOSIS


Infeksi Tuberkulosis
Infeksi TB pada kebanyakan individu tidak diketahui, umumnya terjadi pada
masa kanak-kanak. Manifestasi klinis dapat berupa malaise, demam yang tidak
terlampau tinggi (low grade fever), eritema nodosum, conjunctivitis phlictenularis.
Infeksi TB primer tidak menunjukkan gejala dan infeksi tetap laten selama hayat sampai
reaktivasi.
Saat terhisap kebanyakan tuberkel terperangkap di mukosa saluran nafas
bagian atas, trakhea dan bronkhus, dan dieliminasi oleh mekanisme pertahanan
mukosiliar. Partikel atau droplet yang berukuran kurang dari 5 m berperilaku seperti
gas dan lolos dari barier mukosiliar, dan mencapai saluran nafas bagian bawah terutama
di dalam alveoli, yang langsung difagositosis oleh makrofag alveoler. Kelangsungan
hidup berikutnya tergantung dari patogenisitas/virulensi dan kemampuan inang untuk
mengeliminasinya.7
Makrofag alveoler merupakan pertahanan pertama melawan MTB. Jika efektif
akan menyebabkan eliminasi dari MTB melalui proses fagositosis. Tumor Necroting
Factor (TNF-) dan kemokin inflamasi akan menarik leukosit yang kemudian
memfagosit basilus dan kembali lagi ke peredaran darah. Proses ini menyebabkan
penyebaran hematogen. Lekosit memiliki kemokin dan komplemennya sendiri yang
menyebabkan remodelling pada daerah infeksi berupa pembentukan tuberkel atau
granuloma. Granuloma yang pertama kali terbentuk berisikan makrofag yang terinfeksi,
dikelilingi oleh foamy macrofag, dengan lapisan luar terdiri dari limfosit, matriks
ekstrasel dan kolagen.7
Basil tuberkulosis dapat menyebar melalui sistem limfatik ke KGB regional
membentuk kompleks primer dari Ranke (Gohns nodule, limfangitis dan pembesaran
KGB hilus). Kemudian melalui KGB hilus menyebar ke KGB trakeal dan vertebral.
Melalui duktus torasikus menyebar melalui aliran darah ke apeks paru dan ke organ di
luar paru seperti ginjal, otak dan tulang. Apeks paru merupakan tempat yang sangat
ideal untuk pertumbuhan MTB karena memiliki tekanan oksigen yang tinggi dan perfusi
yang rendah.7
Bila makrofag yang teraktivasi tidak berespon dengan baik seperti pada
kelompok dengan daya tahan tubuh rendah, maka lesi tuberkel akan semakin membesar.
Nekrosis perkejuan akan mencair pada pusat lesi dan terjadi proliferasi ekstraselular.
Materi perkijuan yang mencair ini mengandung banyak basil MTB yang akan dialirkan
melalui bronkus dan terbentuklah kavitas. Di dalam kavitas basil dapat dengan mudah
bermultiplikasi dan dapat menyebar melalui saluran udara dan lingkungan luar melalui
sputum yang dibatukkan. Basil-basil lain dapat disebarkan melalui limfatik menuju
KGB hilar dan mediastinum, atau dapat juga melalui pembuluh darah vena selanjutnya
disebarkan ke seluruh tubuh.8

Lima Tahap Kejadian pada Infeksi Tuberkulosis Paru


Kronologi tentang nasib mikobakteria setelah terinhalasi dengan jelas dapat
diperlihatkan melalui suatu studi yang sangat fundamental oleh Lurie pada kelinci, yang
kemudian dikenal sebagai lima tahap kejadian pada inteksi tuberkulosis di paru.9
Tahap pertama: Establishment (7 hari)
Saat 1-3 bakteri terisap masuk ke dalam alveolus, makrofag alveoler yang
sudahteraktifasi mencerna dan menghancurkannya. Penghancuran bakteri tersebut
tergantung dari kemampuan mikrobisida makrofag alveoler dan virulensi dari
mikobakterium yang terinhalasi. Aktivasi makrofag terjadi melalui beberapa cara,
kebanyakan diakibatkan rangsangan dari partikel-partikel yang terhisap dan dari
ekstravasasi eritrosit.10
Percobaan yang dilakukan oleh Lurie pada tahun 1964, membuka dengan jelas
patogenesis penyakit tuberkulosis ini. Pada percobaan ini, paru-paru kelinci yang peka
terhadap infeksi tuberkulosis dalam waktu 7 hari mengandung 20-30 kali lipat
dibandingkan dengan kelinci yang resisten. Maka pada inang yang resisten, makrofag
alveolar menghancurkan lebih bajiyak basil dan lebih efektif menghambat
pertumbuhannya.10

Tahap kedua: Symbiosis (7-21 hari)


Jika makrofag alveolar gagal untuk menghancurkan basil atau menghambat
pertumbuhannya, maka basil akan berlipat ganda hingga akhirnya makrofag tersebut
pecah dan basil keluar dari makrofag tersebut. Kemudian basil akan ditangkap oleh
makrofag lainnya dan monosit yang berasal dari peredaran darah atau makrofag yang
belum teraktifasi. Kedua jenis makrofag tersebut tertarik ke tempat lesi akibat faktor
kemotaktik pada basilus dan faktor kemotaktik dari inang (komplemen C5a, sitokin dan
oleh monocyt chemoattractant protein (MCP1)). Pada lesi seperti ini makrofag yang
teraktifasi lebih banyak berada di perifer agak lebih jauh dari basil yang biasanya
berkumpul di tengah. Karena makrofag yang menangkap basil belum teraktivasi, maka
basil dapat tumbuh berlipat ganda didalamnya. Terjadilah hubungan simbiotik dimana
basilus tidak bisa dihancurkan dan tidak bisa menghancurkan makrofag. Oleh karena
belum terbentuknya Hipersensitivitas tipe lambat (HTL), maka semakin banyak basili
dan makrofag yang berkumpul pada lesi saat ini.10
Pada tingkat ini basil berkembang biak intraseluler secara logaritmik. Terdapat
bukti-bukti bahwa basil yang berada di intrasel ini menghambat mekanisme mikrobisida
makrofag imatur baik pada inang yang peka maupun resisten.
Inang yang peka makrofag cenderung berkumpul intraalveolar sedangkan pada
inang yang resisten terletak interstitial. Daerah inflamasi pada interstitial mengandung
banyak limfosit yang tertarik ke sana oleh kemokin. Limfosit-limfosit inilah yang
kemudian berperan dalam cell mendiatedimmunity (CMI) dan HTL.10

Tahap ketiga: Early stage of caseous necrosis


Saat respon imun spesifik muncul, respon primer berupa Hipersensitivitas tipe
lambat (HTL) yang muncul 2-3 minggu setelah infeksi. Respon ini bertujuan untuk
menghancurkan makrofag yang membiarkan basilus tumbuh berkembang di dalam
sitoplasmanya dan lingkungan intrasel yang optimal digantikan oleh lingkungan
ekstrasel yang berupa kaseosa padat yang menghambat pertumbuhan basilus. Bahkan
inang merusak jaringannya sendiri untuk dapat mengontrol pertumbuhan basilus
didalam makrofag yang imatur. Setelah pertumbuhan basilus terkontrol dengan baik,
barulah CMI dapat mengaktifasi makrofag di sekeliling kaseosa secara efektif dan
menghambat progresifitas penyakit.10
Basil TB dapat bertahan hidup di dalam kaseosa yang padat tapi tidak dapat
bermultiplikasi, kemungkinan disebabkan oleh keadaan anoksik, pH yang munurun dan
oleh karena adanya penghambat asam lemak. Keadaan ini disebut sebagai keadaan
dorman. Pada keadaan dorman basil tidak melakukan metabolisme sehingga tidak
sensitif terhadap terapi antimikroba.10
Nekrosis kaseosa pada tuberkulosis merupakan suatu proses HTL yang
diperantarai oleh sel T, utamanya sel T sitotoksik. Kontributor lainnya adalah faktor
pembekuan, sitokin misalnya TNF , oksigen reaktif, kompleks antigen antibodi,
komplemen dan produk toksika yang dikeluarkan dari basil yang mati. Kerusakan
jaringan sekitar pada proses HTL terjadi oleh karena adanya aktifasi kaskade
pembekuan di tingkat endotel, terutama post capillary venule, melalui pengaruh sitokin
terhadap ICAM-1, ELAM-1, VCAM-1 dan molekul adhesi lainnya seperti MHC kelas I
dan kelas II. Sel endotel yang teraktivasi inilah yang mampu memaparkan tuberculin
like antigen kepada sel T sitotoksik. Kejadian tersebut menyebabkan jejas endotel dan
kaskade pembekuan teraktifasi, terjadi trombosis lokal, iskemia dan nekrosis jaringan
sekitar.10

Tahap keempat: Interplay of cell mediated immunity (CMI) and tissue damaging HTL
Perkembangan dari lesi sekarang ditentukan oleh CMI, jika CMI lemah maka
basil akan lepas dari tepi kaseosa dan akan berkembang biak lagi di dalam makrofag
imatur, kemudian makrofag tersebut akan dihancurkan oleh HTL dan pusat kaseosa
akan semakin besar. Pada inang yang resisten basilus yang lolos dari pusat kaseosa akan
diingesti dan dihancurkan oleh makrofag yang telah sangat teraktifasi yang telah
berkumpul di bagian tepi.ndapat pula terjadi tuberkel dilapisi dinding, pusat kaseosa
menghilang dan perjalanan penyakit terhenti. Beberapa bakteri yang berhasil lolos ke
sistem limfatik ataupun peredaran darah akan segera dihancurkan di tempat mereka
menyangkut dengan pembentukan tuberkel yang terakselerasi.10
Pada inang yang rentan, pusat kaseosa dikelilingi oleh banyak makrofag yang
kurang teraktivasi, yang memungkinkan bakteri untuk berkembang intraseluler.
Makrofag-makrofag ini biasanya akan terbunuh karena kerusakan jaringan oleh HTL,
dan pusat kaseosa akan melebar. Jadi pada inang yang rentan, HTL berusaha
menghentikan pertumbuhan intraseluler bakteri di dalam makrofag yang teraktifasi
kurang baik, pada akhirnya proses ini akan berakibat pada makin meluasnya proses
kaseosa. Pada inang yang rentan dengan CMI yang lemah, kebanyakan lesi sekunder di
paru berasal dari basilus pada kaseosa kelenjar getah bening trakheobronkhial. Sistem
limfatik dari kelenjar ini mengalir ke vena besar yang menuju jantung kanan dimana
basili akan didistribusikan ke paru-paru. Dari lesi primer paru basili memasuki sirkulasi
darah menuju ke jantung kiri dan kemudian disebarkan ke seluruh tubuh.10

Tahap kelima: Liquefaction dan cavitas formation


Meskipun CMI kuat, perkembangan penyakit masih dapat terjadi. Hal ini
dimungkinkan oleh adanya mencairnya daerah nekrosis dan pembentukan kavitas, yang
merupakan daerah yang subur untuk pertumbuhan basil. Saat inilah basil untuk pertama
kalinya bisa bermultiplikasi ekstrasel, bahkan bisa mencapai jumlah yang sangat
banyak. Jumlah yang sangat banyak ini disertai dengan adanya HTL, bersifat toksik
terhadap jaringan di sekitarnya. Jika terjadi nekrotik pada dinding bronkus, maka
bronkus tersebut akan ruptur dan terbentuklah kavitas. Melalui bronkus yang ruptur
tersebut basil akan tersebar ke bagian paru lainnya dan ke lingkungan luar.10
SISTEM KEKEBALAN/IMUNITAS
Keutuhan tubuh dipertahankan oleh sistem pertahanan yang terdiri atas sistem
imun nonspesifik (innate/bawaan) dan spesifik (adaptif/didapat).7

Sistem imun bawaan


Sistem imun bawaan merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi
serangan berbagai miroorganisme, karena sistem imun didapat memerlukan waktu
sebelum dapat memberikan responsnya. Sistem ini disebut juga sistem imun nonspesifik
karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu. Komponen dari sistem imun
bawaan antara lain :7
1. Barier fisik dan biokimia, seperti epitel dan zat anti mikroba yang dihasilkan oleh
permukaan epitel
2. Sel fagosit (netrofil, makrofag) dan sel NK (natural killer)
3. Protein darah, termasuk kelompok sistem komplemen dan mediator inflamasi
lainnya
4. Protein yang disebut sitokin untuk meregulasi dan mengkoordinasi aktivitas sel
yang terlibat pada imunitas bawaan

Sistem imun adaptif (didapat)


Sistem imun adaptif disebut juga sistem imun spesifik karena mempunyai
kemampuan untuk mengenali benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing
yang pertama timbul dalam badan yang segera dikenal sistem imun spesifik, akan
mensesitisasi sel-sel sistem imun tersebut. Bila sel sistem tersebut terpajan ulang dengan
benda asing yang sama, yang akhir akan dikenal lebih cepat dan dihancurkannya. Oleh
karena itu sistem tersebut disebut spesifik.7
Sistem imun spesifik dapat bekerja sendiri untuk menghancurkan benda asing
yang berbahaya bagi badan, tetapi pada umumnya terjalin kerja sama yang baik antara
antibodi, komplemen, fagosit dan antara sel T-makrofag. Komplemen turut diaktifkan
dan ikut berperan dalam menimbulkan inflamasi yang terjadi pada respon imun.
Sistem imun adaptif terbagi menjadi dua yaitu sistem imun humoral dan seluler
(cell mediated immunity).7

Sistem imun humoral


Sel yang berperan dalam sistem imun humoral adalah limfosit B atau sel B. Sel
B tersebut berasal dari sel asal multipoten dalam sumsum tulang. Pada unggas sel asal
tersebut berdiferensiasi menjadi sel B dalam alat yang disebut Bursa Fabricius yang
letaknya dekat cloaca. Bila sel B dirangsang benda asing, sel tersebut akan
berploriferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi.
Antibodi yang dilepas dapat ditemukan di dalam serum. Fungsi utama antibodi adalah
mempertahankan tubuh terhadap infeksi bakteri, virus danmenetralisirtoksin.

Sistem imun seluler


Berperan dalam sistem imun selular adalah limfosit T atau sel T. Fungsi sel T
umumnya adalah :
- Membantu sel B dalam memproduksi antibodi
- Mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi virus
- Mengaktifkan makrofag dalam fagositosis
- Mengontrol ambang dan kualitas sistem imun
Sel T juga dibentuk dalam sumsum tulang, tetapi diferensiasi dan proliferasinya
terjadi dalam kelenjar timus atas pengaruh berbagai faktor asal timus. 90-95% semua sel
timus tersebut mati dan hanya 5-10%menjadi matang dan meninggalkan timus untuk
masuk ke dalam sirkulasi dan kelenjar getah bening. Fungsi utama sistem imun seluler
adalah pertahanan terhadap mikroorganisme yang hidup intraseluler seperti virus, jamur,
parasit dan keganasan. Berbeda dengan sel B, sel T terdiri atas beberapa sel subset
seperti sel T naif, Th1, Th2, T delayed type hypersensitivity (tHTL), cytotoxic T
lymphocyte (CTL), atau T cytotoxic atau T cytolytic (Tc) dan T supresor (Ts) atau T
regulator (Tr)7
Sel I Naif (virgin)
Sel T naif adalah sel limfosit yang meninggalkan timus, namun belum
berdiferensiasi, belum pernah terpajan dengan antigen dan menunjukkan molekul
permukaan CD45RA. Sel ditemukan dalam organ limfoid perifer. Sel T naif yang
terpajan dengan antigen akan berkembang menjadi Th0 yang selanjutnya akan
berkembang menjadi sel efektor Th1 dan Th2 berdiferensiasi, belum pernah terpajan
dengan antigen dan menunjukkan molekul permukaan CD45RA. Sel ditemukan
dalam organ limfoid perifer. Sel T naif yang terpajan dengan antigen akan
berkembang menjadi Th0 yang selanjutnya akan berkembang menjadi sel efektor
Th1 dan Th2 yang dapat dibedakan atas dasar jenis-jenis sitokin yang
diproduksinya. Sel Th0 memproduksi sitckin dari ke2 jenis sel tersebut seperti IL2,
IFN dan IL-4.7
Sel T CD4 (Th1 dan Th2)
Sel T naif CD4 masuk sirkulasi dan menetap di dalam organ limfoid seperti
kelenjar getah bening untuk bertahun-tahun sebelum terpajan dengan antigen atau
mati. Sel tersebut mengenal antigen yang dipresentasikan bersama molekul MHC II
oleh ARC dan berkembang menjadi subset sel Th1 atau sel Thtd atau Th2 yang
tergantung dari sitokin lingkungan. Dalam kondisi yang berbeda dapat dibentuk dua
subset yang berlawanan.7
IFN dan IL-12 yang diproduksi APC seperti makrofag dan sel dendritik yang
diaktifkan mikroba merangsang diferensiasi CD4 menjadi Th1/THTL yang berperan
dalam reaksi hipersensitivitas lambat. Sel THTL berperan untuk mengerahkan
makrofag dan sel inflamasi lainnya ke tempat terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe
lambat.
Atas pengaruh sitokin IL-4, IL-5, IL-10, IL-13 yang dilepas sel mast yang
terpajan dengan antigen atau cacing, Th0 berkembang menjadi sel Th2 yang
merangsang sel B untuk meningkatkan produksi antibodi. Kebanyakan sel Th adalah
CD4 yang mengenal antigen yang dipresentasikan di permukaan sel APC yang
berhubungan dengan molekul MHC-II
Sel T CDS (cytotoxic T lymphocyte/CTL)
Sel T CD8 naif yang keluar dari timus disebut juga CTL/Tc. Sel tersebut
mengenal antigen yang dipresentasikan bersama molekul MHC-I yang ditemukan
pada semua sel tubuh yang bernukleus. Fungsi utamanya ialah menyingkirkan sel
yang terinfeksi virus dengan menghancurkan sel yang mengandung virus tersebut.
Sel CTL/Tc akan juga menghancurkan sel ganas dan sel histoimkompatibel yang
menimbulkan penolakan pada transplantasi. Dalam keadaan tertentu CTL/Tc dapat
juga menghancurkan sel yang terinfeksi bakteri intraseluler. Istilah sel T inducer
digunakan untuk menunjukkan aktivitas sel Th dalam mengaktifkan sel subset T
lainnya.7
Sel Ts (Tsupresor) atau sel Tr (T regulator).
Sel Ts (supresor) yang juga disebut sel Tr atau Th3 berperan menekan
aktivitas sel efektor T yang lain dan sel B. Menurut fungsinya sel Ts dapat dibagi
menjadi sel Ts spesifik untuk antigen tertentu dan .sel Ts non sepsifik. Tidak ada
petanda unik pada sel ini, tetapi penelitian menemukan adanya petanda molekul
CDS. Molekul CD4 kadang dapat pula supresif.
Kerja sel T regulator diduga dapat mencegah respons sel Thl. APC yang
mempresentasikan antigen ke sel T naif menjadi sel efektor Th1. Sel Th1
memproduksi IFN- yang mengaktifkan makrofag dalam fase efektor. Sel T
regulator dapat mencegah aktivasi sel T melalui mekanisme yang belum jelas.
Beberapa sel T regulator melepas sitokin imunosupresif seperti IL-10 yang
mencegah funsi APC dan aktivasi makrofag dan TGF- yang mencegah proliferasi
sel T dan aktivasi makrofag.7

DIAGNOSIS TB
Seseorang diduga menderita TB paru apabila terdapat batuk lebih dari 2 atau 3
minggu dengan produksi sputum, dan penurunan berat badan. Gejala klinis pada pasien
dengan TB paru terbagi dua yaitu gejala respirasi dan konstitusi. Gejala respirasi
diantaranya sakit dada, hemoptsisis, dan sesak napas sedangkan gejala konstitusi
(sistemik) adalah demam, keringat malam, cepat lelah, kehilangan napsu makan,
amenore sekunder.8,10
Tidak ada kelainan spesifik yang ditemukan pada pemeriksaan fisik pasien TB
paru. Didapatkan gejala umum seperti demam, takikardia, jari clubbing. Pemeriksaan
dada mungkin didapatkan crackles, mengi, suara napas bronkial dan amforik. Semua
pasien suspek TB paru harus diperiksa BTA sputum secara mikroskopis. Pemeriksaan
foto thoraks tidak selalu diperlukan kecuali didapatkan keraguan diagnosa TB paru.8
Klinisi disarankan untuk melakukan screening terhadap orang-orang yang memiliki
risiko terkenan TB. Individu yang harus dilakukan screening karena memiliki risiko
tinggi terinfeksi TB meliputi:12
- Penderita HIV
- Pasien dengan kondisi immunocompromised, termasuk diantaranya transplantasi
organ atau kondisi lain yang memerlukan terapi imunosupresif,
- Kontakdengan penderita tuberculosis
- Sesorang dengan gambaran radiologis toraks yang sesuai dengan gambaran
tuberculosis lama.
- Seseorang yang baru bepergian ke daerah dengan angka kejadian TB yang tinggi.
- Petugas laboratorium TB.
- Petugas kesehatan serta petugas yang bekerjja di tempat-tempat dengan kejadian TB
tinggi seperti penjara, nursing home dan fasilitas kesehatan lainnya.
Tabel 1 Penemuan pada Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Pasien Tuberkulosis12
No Penemuan Keterangan
I Anamnesis
1 Riwayat terpapar tuberkulosis, Pasien dengan risiko terpapar tuberkulosis
riwayat terinfeksi tuberkulosis memiliki risiko lebih besar untuk terkena
atau riwayat mendapat tuberkulosis.
pengobatan tuberkulosis.
2 Riwayat infeksi HIV atau Penderita HIV dengan infeksi tuberkulosis laten
kondisi medis lain yang dapat memiliki risiko 100 kali lebih tinggi untuk
meningkatkan risiko terinfeksi berkembang menjadi infeksi aktif.
tuberkulosis
3 Demam Jarang terjadi pada penderita yang lanjut usia.
Tidak adanya demam tidak dapat
menyingkirkan tuberkulosis.
4 Lemah badan
5 Keringat malam Gejala ini dapat hanya muncul pada
tuberculosis yang telah berlangsung lama
6 Batuk Merupakan gejala yang paling sering terjadi
pada penderita TB paru. Penderita dengan TB
ekstrapulmonal saja seringkali tidak memiliki
gejala ini.
II Pemeriksaan Fisi
1 Gejala sistemik Dapat muncul gejala demam, penurunan berat
badan, dan lemah badan.
2 Berat badan Penurunan berat badan lebih sering ditemukan
pada TB yang telah berjalan lama.
3 Tenggorokan Dapat ditemukan suara serak.
4 Kelenjar Getah Bening KGB dapat teraba.
5 Paru-paru Dapat ditemukan adanya rales, tannda-tanda
konsolidasi atau penemuan lain yang sejalan
dengan efusi pleura (termasuk nyeri pleuritik).
6 Jantung Takikardi, peningkatan tekanan vena, dan bunyi
friction rub dapat muncul pada penderita TB.
7 Abdomen Asites, dinding abdomen seperti adonan roti,
adanya massa intraabdomen, dan
hepatosplenomegali dapat ditemukan pada TB
diseminata atau Tb abdomen.
8 Muskuloskeletal Pembengkakan sendi, pembentukan gibus dan
nyeri yang terlokalisir dapat juga ditemukan
pada penderita tuberculosis.
9 Neurologis Perilaku yang abnormal, nyeri kepala dan
kejang.

- Seseorang yang memiliki kondisi medis yang akan meningkatkan risiko terjadinya
infeksi aktif TB seperti diabetes melitus, silikosis, keganasan, end stage renal
disease, malnutrisi dan lainnya.
- Anak berusia <4 tahun yang terpapar orang dewasa yang termasuk ke dalam
kelompok berisiko tinggi terkena infeksi TB.
Standar diagnosis TB berdasarkan International Standard of TB Care (ISTC) tahun
20097 dapat dilihat pada halaman 191, disertai Algoritma Diagnosis TB pada halaman
196.

TERAPI PENYAKIT TUBERKULOSIS


Terapi non farmakologis
Sebelam ditemukannya obat anti tuberkulosis, penderita penyakit ini dirawat di
sanatorium sampai dinyatakan sembuh. Prinsip pengobatan yang diberikan di
sanatorium adalah penderita dapat beristirahat dengan baik, mendapat udara segar,
makan makanan bergizi dan mendapatkan sinar matahari yang cukup.11
Tahun 1903, Niels Ryberg Finsen mengemukakan sinar matahari dapat
menyembuhkan penyakit TBC. Sinar matahari bertindak sebagai bakterisida yang
membunuh MTB bila terpapar dalam jangka waktu yang cukup lama. Kemudian
didapatkan juga bahwa sinar matahari akan mengubah ergosterol yang terdapat di kulit
menjadi vitamin D. Penelitian-penelitian selanjutnya menyatakan bahwa bentuk aktif
vitamin D dapat meningkatkan pertahanan tubuh terhadap MTB.11
Bentuk pengobatan TBC yang lain adalah dengan tindakan operasi seperti
lobektomi, pnemoektomi, frenikotomi dan torakoplasti. Tindakan-tindakan ini
didasarkan pada pengetahuan bahwa dengan menghilangkan bagian paru-paru yang
terinfeksi akan menghentikan penyebaran penyakit ini.11
Terapi farmakologis
Saat ini terdapat 10 obat yang disetujui oleh Food and Drug Administration
(PDA) Amerika serikat sebagai terapi tuberkulosis. Sebagai tambahan, golongan
fluoroquinolon, meskipun tidak disetujui oleh PDA untuk terapi tuberkulosis, sering
digunakan mengobati tuberkulosis yang mengalami resistensi atau untuk pasien yang
intoleran terhadap beberapa obat lini pertama12.
Obat anti tuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk kombinasi
beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan
dan sangat dianjurkan. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO). Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.13

Tabel 2 - Obat Anti Tuberkulosis


Obat Lini Pertama Obat Lini Kedua
Isoniazid (H) Sikloserin
Rifampisin (R) Etionamid
Rifapentine Levofloksasin
Rifabutin Moksifloksasin
Etambutol (E) Gatifloksasin
Pirazinamid (Z) Streptomisin (S)
Amikasin/kanamisin
Capreomisin
p-Aminosalicylic Acid
Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap
intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam
kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.13

Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia:13
Kategori 1:2(HRZE)/4(HR)3.
Kategori 2:2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
Kategori Anak: 2HRZ/4HR
Obat yang digunakan dalam tata laksana pasien TB resistan obat di Indonesia terdiri
dari OAT lini ke-2
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Global report TB. 2009.
2. Crevel Rv, Ottenhoff THM, Meer JWMvd. Innate Immunity to Mycobactehum
tuberculosis. CLINICAL MICROBIOLOGY REVIEWS 2002; 15:294-309.
3. Holick M. High prevalence of vitamin D inadequancy and implications of health.
Mayo Clin Proc 2006;81:357-73.
4. Bikle D. Nonclassic Actions of Vitamin D. J Clin Endocrinol Metab 2009;94:26-34.
5. Fitzgerald D, Sterling T, Haas D. Mycobacterium tuberculosis. In: Gl Mande I JB, R
Dolin, ed. Principle and Practice of Infectious Diseases: Churchill-Livingstone;
2010:3129-64.
6. Harshey R, Ramakhrisnan T. Rate Of RNA Chain growth on Mycobacterium
tuberculosis H37RV. J Bacteriol 1977;129:616-22.
7. Philip T Liu RLM. Human macrophage host defense against Mycobacterium
tuberculosis. Current Opinion in Immunology 2008;20:371-6.
8. WR Berrington TH. mycobacterium tuberculosis, macrophages and the innate
immune response :does common variation matter? Immunol Rev 2007;219:167-86.
9. Manabe Y, Dannenberg A. Pathophisiology : Basic aspect. In: Sclossberg, ed.
Tuberculosis and Nontuberculosis Mycobacterial infection: Me Graw Hill; 2006:18-
43.
10. Lurie M, Dannenberg A. Macrophage function in infectious disease with inbred
rabbit. Bacteriol rev 1965;29:466-76.
11. Canada's Role in Fighting tuberculosis. CDC. (Accessed 2012, at
12. Prevention CfDCa. Treatment of Tuberculosis In; 2003:19-29.
13. Rl DK. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. 2011.
14. Holick MF. Vitamin D deficiency. N Engl J Med 2007;357:266-81.
15. Rosen CJ. Vitamin D Insufficiency. N Engl J Med 2011 ;364:248-54.
16. Holick M. High Prevalence of Vitamin D inadequancy and implication of health.
Mayo Clin Proc 2006;81:357-73.

Anda mungkin juga menyukai