disusun oleh :
Pembimbing:
1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus yang berjudul
Close Fracture Femur. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke
alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepaniteraan Klinik pada Bagian/ SMF Ilmu Bedah RSUD dr. Zainoel
Abidin Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.
Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada dr. Armia
Indra Nur Alam, Sp. OT yang telah bersedia meluangkan waktu membimbing
penulis dalam penulisan laporan kasus ini. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada para sahabat dan rekan-rekan yang telah memberikan dorongan
moril dan materil sehingga tugas ini dapat selesai.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat menjadi
sumbangan pemikiran dan memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya
bidang kedokteran dan berguna bagi para pembaca dalam mempelajari dan
mengembangkan ilmu. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kita semua, Amin.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii
DAFTAR TABEL................................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR............................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 2
2.1 Anatomi Femur............................................................................................ 2
2.2 Definisi Fraktur Femur................................................................................. 4
2.3 Etiologi Fraktur............................................................................................ 4
2.4 Klasifikasi.................................................................................................... 4
2.5 Gejala Klinis................................................................................................ 7
2.6 Diagnosis...................................................................................................... 7
2.7 Tatalaksana................................................................................................... 10
2.8 Metode Penenganan Fraktur Femur Tertutup.............................................. 11
2.9 Komplikasi................................................................................................... 12
BAB III LAPORAN KASUS.............................................................................. 14
3.1 Identitas Pasien............................................................................................ 14
3.2 Anamnesis.................................................................................................... 14
3.3 Pemeriksaan fisik......................................................................................... 15
3.4 Pemeriksaan penunjang................................................................................ 18
3.5 Diagnosa banding......................................................................................... 19
3.6 Diagnosa kerja.............................................................................................. 20
3.7 Terapi........................................................................................................... 20
3.8 Tatalaksana................................................................................................... 20
3.9 Prognosis...................................................................................................... 20
BAB IV ANALISA KASUS................................................................................. 21
BAB V KESIMPULAN....................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 24
3
DAFTAR TABEL
4
DAFTAR GAMBAR
5
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Femur merupakan tulang terpanjang dan terkeras yang ada pada tubuh dan
dikelompokkan ke dalam ekstremitas bagian bawah. Di sebelah atas, femur
bersendi dengan acetabulum untuk membentuk articulatio coxae dan di bawah
dengan tibia dan patella untuk membentuk articulatio genus. Ujung atas femur
memiliki caput, collum, trochanter major, dan trochanter minor.(3)
Caput membentuk dua pertiga dari bulatan dan bersendi dengan acetabulum
os coxae. Pada pusat caput terdapat lekukan kecil yang disebut fovea capitis, yang
berguna sebagai tempat melekatnya ligamentun capitis femoris. Sebagian suplai
darah untuk caput femoris dari arteri obturatoria dihantarkan melalui ligamentum
ini dan memasuki tulang melalui fovea capitis.(3)
Collum yang menghubungkan caput dengan corpus berjalan ke bawah,
belakang, dan lateral serta membentuk sudut 125 dan lebuh kecil pada
perempuan dengan sumbu panjang corpus femoris. Besarnya sudut ini dapat
berubah karena adanya penyakit.(3)
2
Trochanter mayor dan minor merupakan tonjolan yang besar pada taut
antara collum dan corpus. Linea intertrocanterica menghubungkan kedua trocanter
ini di bagian anterior, tempat melekatnya ligamentum iliofemorale dan di bagian
posterior oleh crista intertrochanterica yang menonjol, pada crista ini terdapat
tuberculum quadratum.(3)
Corpus femoris permukaan anteriornya lebih licin dan bulat, sedangkan
permukaan posterior mempunyai rigi yang disebut linea asoera. Pada linea ini
melekat otot-otot dan septa intermuskularis. Garis tepi linea melebar ke atas dan
ke bawah. Tepi medial berlanjut ke distal sebagai crista supracondylaris medialis
yang menuju ke tuberculum adductorum pada condylus medial. Tepi lateral
melanjutkan diri ke distal sebagai crista supracondylaris lateralis. Pada permukaan
posterior corpus, tepatnya dibawah trochanter major terdapat tuberositas glutea
sebagai tempat melekatnya musculus gluteus maximus. Corpus melebar kearah
ujung distalnya dan membentuk daerah segitiga datar pada permukaan
posteriornya yang disebut facies poplitea.(3)
Ujung bawah femur memiliki condyli medialis dan lateralis yang bagian
posteriornya dipisahkan oleh insisura intercondylaris. Permukaan anterior
condylus ikut serta dalam pembentukan articulatio genus. Diatas condyli terdapat
epicondylus lateralis dan medialis. Tuberkulum adductorum dilanjytkan oleh
epicondylus medialis.(3)
Ruang fascia anterior tungkai atas diisi oleh musculus sartorius, muskulus
iliacus, musculus psoas, musculus pectineus dan musculus cuadriceps femoris.
Dipersarafi oleh nervus femoralis ruang anterior facia tungkai atas dialiri
pembuluh darah arteri femoralis. Ruang fascia medial tungkai atas diisi oleh
musculus gracilis, musculus adductor longus, musculus adductor magnus,
musculus obturatorius externus dengan dipersarafi oleh nervus obturatorius ruang
fascial medial diperdarahi oleh arteri profunda femoris dan arteri obturatoria.
Ruang fascia posterior tungkai atas diisi oleh musculus biceps femoris, msculus
semitendinosus, musculus semimembranosus, dan sebagian kecil musculus
adductor magnus (otot-otot hamstring)/ dipersarafi oleh nervus ischiadicus ruang
fascia posterior tungkai atas diperdarahi oleh cabang-cabang arteri profunda
femoris.(3)
3
4
2.2 Definisi Fraktur Femur
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi
akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian), dan
biasanya lebih banyak dialami oleh laki-laki dewasa. Femur merupakan tulang
terkeras dan terpanjang pada tubuh, oleh karena itu butuh kekuatan benturan yang
besar untuk menyebabkan fraktur pada femur. Patah pada daerah ini dapat disertai
perdarahan hebat karena femur dialiri oleh arteri besar (arteri femoralis).
Pemeriksaan tanda-tanda perdarahan wajib dilakukan pada fraktur tertutup
(perabaan pulsasi arteri). Pada fraktur terbuka, bebat tekan merupakan pilihan
utama untuk membantu mengurangi perdarahan. Perdarahan yang cukup banyak
dapat mengakibatkan penderita jatuh ke dalam syok.(1,2)
2.4 Klasifikasi
5
2. Fraktur terbuka (compound fracture)
Fraktur terbuka adalah fraktur yang tulang ataupun jaringan di dalam
mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan
lunak, dapat berbentuk from within (dari dalam) atau from without (dari luar).
3. Fraktur dengan komplikasi (complicated fracture)
Fraktur dengan komplikasi adalah fraktur yang disertai dengan komplikasi,
misalnya malunion, delayed union, nonunion, infeksi tulang.
Berdasarkan jenis fraktur, fraktur femur terbagi menjadi dua jenis secara
garis besar, antara lain(2):
1. Fraktur Komplit
Fraktur komplit adalah fraktur tulang dengan garis patah melalui seluruh
penampang tulang ataupun melalui kedua korteks tulang.
2. Fraktur Inkomplit
Fraktur inkomplit adalah fraktur tulang dengan garis patah tidak melalui
seluruh penampang tulang, fraktur inkomplit antara lain:
a. Hairline fracture
b. Buckle fracture
c. Greenstick fracture
Berdasarkan tingkat keparahan menurut Oestern & Tscherne dapat dilihat
pada tabel 2.1(5):
6
Gambar 2.2 Klasifikasi Fraktur Menurut Lokalisasi. (4)
Keterangan:
A. Fraktur diafisis
B. Fraktur metafisis
C. Fraktur dengan dislokasi
D. Fraktur intra-artikule
2. Konfigurasi
Keterangan:
A. Transversal
B. Oblik
C. Spiral
D. Kupu-kupu
E. Komunitif
F. Segmental
3. Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnya
7
Secara garis besar klasifikasi fraktur berdasarkan hubungan antar fragmen
dengan fragmen lain terbagi dalam dua kelompok yaitu adanya pergeseran
(displaced) dan tidak adanya pergeseran (Undisplaced). Fraktur femur dapat
terjadi pergeseran dengan enam cara, antara lain(2,4):
2.6 Diagnosis
a Anamnesis
8
Pada anamnesis biasanya didapatkan adanya riwayat trauma, baik yang
hebat maupun trauma ringan diikuti dengan rasa nyeri dan ketidakmampuan untuk
menggunakan ekstremitas bawah. Anamnesis harus dilakukan dengan cermat,
karena fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan mungkin terjadi di
daerah lain. Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera
(posisi kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut.
Riwayat cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-
obatan yang dia konsumsi, merokok, riwayat alergi dan riwayat osteoporosis serta
penyakit lain. Bila tidak ada riwayat trauma, teliti apakah ada kemungkinan
fraktur patologis.(2,4)
b Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan awal perlu diperhatikan adanya tanda syok, anemia atau
perdarahan, kerusakan organ lainnya dan faktor predisposisi seperti pada fraktur
patologis. Pada pemeriksaan lokal, dilakukan tiga hal penting yakni inspeksi/look,
palpasi/feel, dan pergerakan/move. Pada look dinilai adanya deformitas berupa
angulasi, rotasi, pemendekan atau pemanjangan, bengkak, luka pada kulit dan
jaringan lunak untuk membedakan fraktur tertutup atau terbuka. Hal-hal yang
perlu diperhatikan pada feel adalah adanya nyeri tekan, krepitasi dan temperatur
setempat yang meningkat. Pada feel juga perlu dinilai keadaan neurovaskuler pada
daerah distal trauma berupa pulsasi arteri, warna kulit, waktu pengisian kapiler
dan sensasi. Pergerakan dinilai dengan mengajak penderita untuk menggerakkan
secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah trauma. Kemudian
dinilai adanya keterbatasan pada pergerakan sendi tersebut. (2,6)
1 Inspeksi (Look)
Bandingkan dengan bagian yang sehat
Perhatikan posisi anggota gerak
Keadaan umum penderita secara keseluruhan
Ekspresi wajah karena nyeri
Lidah kering atau basah
Adanya tanda-tanda anemia karena pendarahan
Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan
fraktur tertutup atau terbuka
Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa hari
Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan
Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organ lain
Perhatikan kondisi mental penderita
9
Keadaan vaskularisasi. (2,6)
2 Palpasi (Feel)
Temperatur setempat yang meningkat
Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh
kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-
hati
Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis,
arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang
terkena Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal
daerah trauma, temperatur kulit.
Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya
perbedaan panjang tungkai. (2,6)
3 Pergerakan (Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara aktif
dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma. Pada
penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga
uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat
menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf. (2,6)
4 Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan
motoris serta gradasi kelainan neurologis yaitu neuropraksia, aksonotmesis atau
neurotmesis. Kelainan saraf yang didapatkan harus dicatat dengan baik karena
dapat menimbulkan masalah asuransi dan tuntutan (klaim) penderita serta
merupakan patokan untuk pengobatan selanjutnya. (4)
c Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis berupa foto polos dapat digunakan untuk
menentukan keadaan, lokasi serta ekstensi fraktur. Pemeriksaan radiologis
dilakukan dengan prinsip rule of two: dua posisi, dua sendi, dua anggota gerak,
dua trauma, dua kali dilakukan foto. Dua posisi proyeksi, dilakukan sekurang-
kurangnya yaitu pada antero-posterior dan lateral. Dua sendi pada anggota gerak
dan tungkai harus difoto, di atas dan di bawah sendi yang mengalami fraktur. Dua
anggota gerak. Pada anak-anak sebaiknya dilakukan foto pada ke dua anggota
gerak terutama pada fraktur epifisis. Dua trauma, pada trauma yang hebat sering
menyebabkan fraktur pada dua daerah tulang. Misalnya pada fraktur kalkaneus
atau femur, maka perlu dilakukan foto pada panggul dan tulang belakang. Dua
10
kali dilakukan foto. Pada fraktur tertentu misalnya fraktur tulang skafoid foto
pertama biasanya tidak jelas sehingga biasanya diperlukan foto berikutnya 10-14
hari kemudian.(4) Pemeriksaan radiologis lainnya antara lain:
CT-Scan : Suatu jenis pemeriksaan untuk melihat lebih detail mengenai
bagian tulang atau sendi, dengan membuat foto irisan lapis
demi lapis. Pemeriksaan ini menggunakan pesawat khusus.(7)
MRI : MRI dapat digunakan untuk memeriksa hampir semua tulang,
sendi, dan jaringan lunak. MRI dapat digunakan untuk
mengidentifikasi cedera tendon, ligamen, otot, tulang rawan,
dan tulang.(8)
Arthografi : Memasukkan kontras positif kedalam rongga sendi kemudian
membuat foto AP dan lateral. Kontras yang bisa dipakai
urografin dan lain-lain.(9)
Pneumoartografi : Memasukkan kontras negatif, misalnya udara atau o2
kedalam rongga sendi. Kemudian baru kita membuat foto.(7)
Bone scanning : Menyuntikkan bahan radioisotop kedalam tubuh (IV),
kemudian dibuat scanning pada tulang. Biasanya dipakai Tc 99
m (technicium pertechneteit 99 m). Bisa dilakukan whole body
bone scanning.(7)
2.7 Tatalaksana
11
memilih jenis pengobatan, dan seleksi pengobatan sesuai dengan penderita secara
individual.(2)
Terdapat empat prinsip dalam penanganan fraktur, yaitu(2,4,10):
1 Recognition, dengan mengetahui dan menilai keadaan fraktur dari anamnesis,
pemeriksaan klinis dan radiologis. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan
lokalisasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai untuk
pengobatan dan komplikasi yang mungkin terjadi.
2 Reduction, reduksi fraktur apabila diperlukan. Posisi yang baik adalah
alignment dan aposisi yang sempurna. Reduksi terbaik adalah kontak minimal
50% dan overriding <0,5 inchi pada fraktur femur.
3 Retention, immobilisasi fraktur menggunakan Skin traction. Skin raction
merupakan pilihan terbaik dan tatalaksana yang dapat dilakukan oleh dokter
umum.
4 Rehabilitation, mengembalikan aktivitas fungsional semaksimal mungkin.
1 Konservatif
Penanganan fraktur secara konservatif dapat berupa(2,11):
a Imobilisasi dengan bidai eksterna
Indikasi: fraktur yang perlu dipertahankan posisinya dalam proses
penyembuhan seperti fraktur femur.
b Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi eksterna dengan
menggunakan gips
Indikasi: diperlukan manipulasi pada fraktur displaced dan diharapkan dapat
direduksi dengan cara tertutup dan dipertahankan.
c Reduksi tertutup dengan traksi berlanjut diikuti dengan imobilisasi
Dilakukan dengan beberapa cara yaitu traksi kulit dan traksi tulang.
d Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi
Indikasi: bila reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi tidak
memungkinkan, mencegah tindakan operatif, terdapat angulasi, overriding,
dan rotasi yang beresiko menimbulkan penyembuhan tulang abnormal,
fraktur yang tidak stabil pada tulang panjang dan vertebra servikalis, fraktur
femur pada anak mupun dewasa.Terdapat empat jenis traksi kontinu yaitu
traksi kulit, traksi menetap, traksi tulang serta traksi berimbang dan traksi
sliding.(10)
2 Reduksi terbuka dan fiksasi interna atau fiksasi eksterna tulang
12
Metode ini merupakan metode operatif dengan cara membuka daerah
fraktur dan fragmen direduksi secara akurat dengan penglihatan langsung
menggunakan metode AO. Indikasi reduksi terbuka dengan fiksasi interna:
diperlukan fiksasi rigid misalnya pada fraktur leher femur, fraktur terbuka, fraktur
dislokasi yang tidak dapat direduksi dengan baik, eksisi fragmen yang kecil,
fraktur epifisis, dan fraktur multipel pada tungkai atas dan bawah. Indikasi reduksi
terbuka dengan fiksasi eksterna: fraktur terbuka grade II dan III, fraktur dengan
infeksi, fraktur yang miskin jaringan ikat, fraktur tungkai bawah pada penderita
diabetes melitus.(2,11)
2.9 Komplikasi
1. Komplikasi segera
Komplikasi yang dapat timbul segera setelah terjadinya fraktur dapat berupa
trauma kulit seperti kontusio, abrasi, laserasi, luka tembus akibat benda asing
maupun penetrasi kulit oleh fragmen tulang, avulsi dan skin loss, perdarahan
lokal, ruptur arteri atau vena, kontusio arteri atau vena dan spasme arteri,
komplikasi neurologis baik pada otak, sumsum tulang belakang atau saraf perifer
serta komplikasi pada organ dalam seperti jantung, paru-paru, hepar dan limpa.(2,4)
2. Komplikasi awal
Komplikasi awal yang dapat terjadi adalah nekrosis kulit-otot, sindrom
kompartemen, trombosis, infeksi sendi dan osteomielitis. Dapat juga terjadi
ARDS, emboli paru dan tetanus.(2,4)
3. Komplikasi lanjut
Komplikasi lanjut akibat fraktur dapat berupa penyembuhan abnormal dari
fraktur seperti malunion ununion delayed union, osteomielitis kronik, gangguan
pertumbuhan, patah tulang rekuren, osteomielitis kronis, ankilosis, penyakit
degeneratif pasca trauma dan kerusakan saraf. Compartement Syndrome
merupakan komplikasi yang harus diwaspadai dan dicegah, kejadian compartment
syndrome dapat memperburuk kualitas hidup pasien.(2,4,10)
13
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan utama
Nyeri kaki kiri
3.2.2 Keluhan tambahan
Sulit menggerakkan kaki kiri
3.2.3 Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke RSUDZA dengan keluhan sakit di kaki kiri dan
sulit menggerakkan kaki kiri setelah pasien mengalami kecelakaan
lalulintas 4 jam SMRS. Pasien mengalami kecelakaan lalu lintas dengan
menggunakan sepeda motor yang kemudian lepas kendali dengan
kecepatan 60 km/jam pasien menabrak samping kanan mobil. Pasien
mengaku saat menabrak mobil pasien terlempar ke arah depan dengan
paha kiri membentur setang motor dengan kuat sebelum akhirnya pasien
terjatuh ke aspal, pasien mengaku tidak mengalami benturan kepala.
Riwayat perdarahan disangkal, riwayat kejang dan penurunan kesadaran
disangkal, riwayat muntah disangkal.
14
3.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami hal yang sama seperti yang dialami
saat ini sebelumnya. Riwayat kelainan perdarahan disangkal, riwayat
infeksi ulang, DM dan hipertensi sebelumnya disangkal.
3.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien menyangkal adanya riwayat patah tulang di
keluarga dan mengangkal adanya riwayat kelainan perdarahan.
15
b. Kepala
Bentuk : Normosefal, tidak tampak adanya jejas. Deformitas (-)
Wajah : simetris, jejas tidak ada, edema dan deformitas tidak dijumpai
Mata : konjungtiva pucat (-/-), ikterik (-/-), pupil bulat isokor 3
mm/3 mm, refleks cahaya langsung (+/+), dan refleks
cahaya tidak langsung (+/+)
Telinga : Bentuk normal, serumen minimal.
Hidung : NCH (-/-), sekret (-/-), mukosa hiperemis (-/-)
Mulut : sianosis tidak ada, mukosa bibir kering tidak ada.
c. Leher
Inspeksi : Tidak ada deformitas, jejas ataupun massa.
Palpasi : TVJ (N) R-2 cm H2O, kaku kuduk (-), pembesaran KGB (-)
d. Thoraks
Inspeksi : simetris, retraksi interkostal (-), epigastium (-/-), jejas (-)
Palpasi : simetris (-/-), sf kanan=sf kiri, krepitasi (-)
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : RR 22x/menit, vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
e. Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di linea midklavikula sinistra.
Perkusi : Batas jantung kesan normal
Auskultasi : HR 81x/menit, BJ I > BJ II normal, reguler, murmur tidak ada.
f. Abdomen
Inspeksi :Bentuk tampak simetris, keadaan di dinding perut: sikatrik (-),
striae alba (-), kaput medusa (-), pelebaran vena (-), kulit kuning(-),
gerakan peristaltik usus (-), dinding perut tegang (-), jejas (-).
Palpasi : Tidak ada pembesaran pada hati, limpa dan ginjal, nyeri tekan (-).
16
Auskultasi : Peristaltik usus kesan normal, bising pembuluh darah tidak
dijumpai.
Perkusi : tidak dilakukan pemeriksaan
g. Tulang Belakang
Simetris, spina bifida (-)
h. Ekstremitas
Sianosis (-), ikterus (-).
Superior Inferior
17
3.4 Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Tanggal Pemeriksaan Jenis Hasil Nilai Rujukan
29 Maret 2016 Hematologi
DarahRutin
Hemoglobin 14,1 14,0-17,0 mg/dL
Hematokrit 40 45-55 mg/dl
Eritrosit 4,6 4,7-6,1 .106/mm3
Leukosit 10,6 4,5-10,6 .103/mm3
Trombosit 238 150-450 .103/mm3
Hitung Jenis 0-6%
Eosinofil 5 0-2%
Basofil 1 2-6%
Neutrofil batang 0 50-70%
Neutrofil segmen 56 20-40%
Limfosit 31 2-8%
Monosit 7
FAAL HEMOSTASIS 5-15 menit
CT 7 1-7 menit
BT 2
Kimia Klinik
Ginjal-Hipertensi 13-43 mg/dL
Ureum 33 0,67-1,17 mg/dL
Kreatinin 1,20
Diabetes <200 mg/dl
GDS 115
Tabel 3.2 Hasil Laboratorium.
18
b. Foto femur AP/lateral
kesimpulan :
Cor dan pulmo dalam batas normal
3.5 Diagnosis Banding
19
3.6 Diagnosis kerja
3.7 Terapi
- IVFD RL 20 gtt/i
3.8 Tatalaksana
ORIF
3.9 Prognosis
20
BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien datang ke RSUDZA dengan keluhan sakit di kaki kiri dan sulit
menggerakkan kaki kiri setelah pasien mengalami kecelakaan lalulintas 4 jam
SMRS. Pasien mengalami kecelakaan lalu lintas dengan menggunakan sepeda
motor yang kemudian lepas kendali dengan kecepatan 60 km/jam pasien
menabrak samping kanan mobil. Pasien mengaku saat menabrak mobil pasien
terlempar ke arah depan dengan paha kiri membentur setang motor dengan kuat
sebelum akhirnya pasien terjatuh ke aspal. Keluhan yang dirasakan pasien setelah
terjadi kecelakaan lalulintas sesuai dengan kepustakaan yang ada bahwa keluhan
yang terjadi dapat berupa nyeri, ketidakmampuan menggerakkan kaki, deformitas,
bengkak ataupun gangguan gerak dan pembatasan aktivitas.(2,4,6)
Selain gejala klinis yang sesuai, Pemeriksaan fisik terhadap pasien
didapatkan adanya deformitas pada kaki kiri pasien dengan adanya shortening
pada kaki kiri yang ditandai dengan perbedaan mencolok true lenght dan
appearence leg lenght kaki kanan dan kaki kiri yang menandakan adanya suatu
fraktur tulang di kaki kiri yang mengalami penarikan oleh otot rangka sehingga
tampak pemendekkan kaki kiri disertai dengan pembatasan gerak dan nyeri saat
digerakkan. Hal ini diperkuat dengan adanya temuan radiologis pada foto femur
AP dan lateral berupa fraktur femur 1/3 medial.(2,4,6)
Hasil laboratorium menunjukkan Hb: 14,1gr/dl, Ht: 40%, leukosit
10.000/mm3 dengan hasil lab lainnya normal dan vital sign dalam batas normal
menandakan tidak adanya gangguan hemodinamik, sesuai dengan temuan klinis
yang tidak ditemukannya perdarahan aktif baik eksternal ataupun yang bersifat
internal. (2,4,6)
Pasien diberikan terapi medika mentosa berupa ketorolac 3% 1 ampul/ 8
jam dan ranitidine 50 mg/ 12 jam. Ketorolac merupakan obat golongan NSAID
yang bekerja dengan menghambat COX 1 dan 2 sehingga menghambat
terbentuknya prostaglandin yang berperan dalam terjadinya rasa nyeri, obat ini
memiliki sifat antipiretik lemah dan analgetik. Ranitidine merupakan penghambat
histamin pada reseptor H2 di sel parietal lambung sehingga menghambat
terbentuknya asam lambung tanpa menghambat terbentuknya enzim lain seperti
21
pepsin dan gastrin. Pada pasien ini diberikan ketorolac sebagai antinyeri akibat
adanya fraktur pada femur sinistra, ketorolac dipilih karena obat ini menghambat
rangsang nyeri perifer dengan sifat nyeri ringan-sedang sedangkan ranitidine
diberikan pada pasien ini sebagai protektif dari pemberian ketorolac yang
menurunkan faktor protektif lambung terhadap asam lambung yaitu prostaglandin
dengan cara menekan produksi asam lambung.(12,13)
Pasien dengan penatalaksanaan operatif berupa ORIF. Metode ini
merupakan metode operatif dengan cara membuka daerah fraktur dan fragmen
direduksi secara akurat. Adapun dipilihnya tindakan ini untuk pasien tersebut
sesuai dengan indikasi reduksi terbuka dengan fiksasi interna antara lain:
diperlukan fiksasi rigid misalnya pada fraktur leher femur, fraktur terbuka grade I-
II, fraktur yang tidak dapat direduksi dengan baik, eksisi fragmen yang kecil,
fraktur epifisis, dan fraktur multipel pada tungkai atas dan bawah. Dalam kasus ini
fraktur femur yang tidak dapat direduksi hanya dengan metode traksi luar. Fiksasi
eksterna (OREF) tidak dipilih pada pasien ini mengingat kelainan pada pasien
bukan open fraktur grade II-III dan masih memiliki soft tisue yang utuh.(2,4,10,11)
22
BAB V
KESIMPULAN
Close fraktur femur adalah patahnya tulang femur yang jaringan di dalam
tidak memiliki hubungan dengan dunia luar baik traumatik, patologik ataupun
stress sebagai etiologinya. Close fraktur femur dapat diklasifikasikan berdasarkan
lokasi fraktur, konfigurasi maupun menurut hubungan antara fragmen dengan
fragmen sesuai dengan letak patahan.
Penatalaksanaan kasus fraktur dilakukan dengan empat prinsip berupa
recognition, reduction, retention dan rehabilitation. Dengan tindakan ORIF
ataupun OREF sesuai dengan temuan klinis dan radiologis untuk dipilihnya salah
satu metode apabila tidak dapat diperbaiki dengan fiksasi biasa.
23
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran
24
14.
25