Anda di halaman 1dari 14

SISTEM BARU DALAM AKUNTANSI :

PENGGABUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN DAN


SOSIAL DALAM PELAPORAN EKSTERNAL
Sejarah perkembangan akuntansi, yang berkembang pesat setelah terjadi
revolusi industri, menyebabkan pelaporan akuntansi lebih banyak digunakan
sebagai alat pertanggungjawaban kepada pemilik modal (kaum kapitalis)
sehingga mengakibatkan orientasi perusahaan lebih berpihak kepada pemilik
modal. Dengan keberpihakan perusahaan kepada pemilik modal mengakibatkan
perusahaan melakukan eksploitasi sumber-sumber alam dan masyarakat (sosial)
secara tidak terkendali sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan alam dan
pada akhirnya mengganggu kehidupan manusia. Kapitalisme, yang hanya
berorientasi pada laba material, telah merusak keseimbangan kehidupan dengan
cara menstimulasi pengembangan potensi ekonomi yang dimiliki manusia secara
berlebihan yang tidak memberi kontribusi bagi peningkatan kemakmuran mereka
tetapi justru menjadikan mereka mengalami penurunan kondisi sosial [Galtung &
Ikeda (1995) dan Rich (1996) dalam Chwastiak(1999)].
Di dalam akuntansi konvensional (mainstream accounting), pusat perhatian yang
dilayani perusahaan adalah stockholders dan bondholders sedangkan pihak
yang lain sering diabaikan. Dewasa ini tuntutan terhadap perusahaan semakin
besar. Perusahaan diharapkan tidak hanya mementingkan kepentingan
manajemen dan pemilik modal (investor dan kreditor) tetapi juga karyawan,
konsumen serta masyarakat. Perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial
terhadap pihak-pihak di luar manajemen dan pemilik modal. Akan tetapi
perusahaan kadangkala melalaikannya dengan alasan bahwa mereka tidak
memberikan kontribusi terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Hal ini
disebabkan hubungan perusahaan dengan lingkungannya bersifat non reciprocal
yaitu transaksi antara keduanya tidak menimbulkan prestasi timbal balik.

Tuntutan terhadap perusahaan untuk memberikan informasi yang transparan,


organisasi yang akuntabel serta tata kelola perusahaan yang semakin bagus
(good corporate governance) semakin memaksa perusahaan untuk memberikan
informasi mengenai aktivitas sosialnya. Masyarakat membutuhkan informasi
mengenai sejauh mana perusahaan sudah melaksanakan aktivitas sosialnya
sehingga hak masyarakat untuk hidup aman dan tentram, kesejahteraan
karyawan, dan keamanan mengkonsumsi makanan dapat terpenuhi. Oleh
karena itu dalam perkembangan sekarang ini akuntansi konvensional telah
banyak dikritik karena tidak dapat mengakomodir kepentingan masyarakat
secara luas, sehingga kemudian muncul konsep akuntansi baru yang disebut
sebagai Social Responsibility Accounting (SRA) atau Akuntansi
Pertanggungjawaban Sosial.

Owen (2005) mengatakan bahwa kasus Enron di Amerika telah menyebabkan


perusahaan-perusahaan lebih memberikan perhatian yang besar terhadap
pelaporan sustainabilitas dan pertanggungjawaban sosial perusahaan. Isu-isu
yang berkaitan dengan reputasi, manajemen risiko dan keunggulan kompetitif
nampak menjadi kekuatan yang mendorong perusahaan untuk melakukan
pengungkapan informasi sosial. Dari hasil studi literatur yang dilakukan oleh
Finch (2005) menunjukkan bahwa motivasi perusahaan untuk melakukan
pengungkapan sosial lebih banyak dipengaruhi oleh usaha untuk
mengkomunikasikan kepada stakeholder mengenai kinerja manajemen dalam
mencapai manfaat bagi perusahaan dalam jangka panjang.

Standar akuntansi keuangan di Indonesia belum mewajibkan perusahaan untuk


mengungkapkan informasi sosial terutama informasi mengenai tanggung jawab
perusahaan terhadap lingkungan, akibatnya yang terjadi di dalam praktik
perusahaan hanya dengan sukarela mengungkapkannya. Perusahaan akan
mempertimbangkan biaya dan manfaat yang akan diperoleh ketika mereka
memutuskan untuk mengungkapkan informasi sosial. Bila manfaat yang akan
diperoleh dengan pengungkapan informasi tersebut lebih besar dibandingkan
biaya yang dikeluarkan untuk mengungkapkannya maka perusahaan akan
dengan sukarela mengungkapkan informasi tersebut.

Belkaoui (1989) menemukan hasil (1) pengungkapan sosial mempunyai


hubungan yang positif dengan kinerja sosial perusahaan yang berarti bahwa
perusahaan yang melakukan aktivitas sosial akan mengungkapkannya dalam
laporan sosial, (2) ada hubungan positif antara pengungkapan sosial dengan
visibilitas politis, dimana perusahaan besar yang cenderung diawasi akan lebih
banyak mengungkapkan informasi sosial dibandingkan perusahaan kecil, (3) ada
hubungan negatif antara pengungkapan sosial dengan tingkat financial leverage,
hal ini berarti semakin tinggi rasio utang/modal semakin rendah pengungkapan
sosialnya karena semakin tinggi tingkat leverage maka semakin besar
kemungkinan perusahaan akan melanggar perjanjian kredit. Sehingga
perusahaan harus menyajikan laba yang lebih tinggi pada saat sekarang
dibandingkan laba di masa depan. Supaya perusahaan dapat menyajikan laba
yang lebih tinggi, maka perusahaan harus mengurangi biaya-biaya (termasuk
biaya- biaya untuk mengungkapkan informasi sosial).

Eipstein & Freedman (1994) menemukan bahwa investor individual tertarik


terhadap informasi sosial yang dilaporkan dalam laporan keuangan. Informasi
tersebut berupa keamanan dan kualitas produk serta aktivitas lingkungan. Selain
itu mereka menginginkan informasi mengenai etika, hubungan dengan karyawan
dan masyarakat. Hackston & Milne (1996) menyajikan bukti empiris mengenai
praktik pengungkapan lingkungan dan sosial pada perusahaan-perusahaan di
New Zealand serta menguji beberapa hubungan potensial antara karakteristik
perusahaan dengan

pengungkapan sosial dan lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan adanya


konsistensi penelitiannya dengan penelitian yang sudah dilakukan di negara lain.
Ukuran perusahaan dan industri berhubungan dengan jumlah pengungkapan
sedangkan profitabilitas tidak. Interaksi antara ukuran perusahaan dan industri
menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan yang lebih kuat antara perusahaan
dalam industri yang high-profile dibandingkan dengan industri yang low-profile.

HUBUNGAN ANTARA PERUSAHAAN DAN LINGKUNGAN

Selama ini perusahaan dianggap sebagai lembaga yang dapat memberikan


banyak keuntungan bagi masyarakat, di mana menurut pendekatan teori
akuntansi tradisional, perusahaan harus memaksimalkan labanya agar dapat
memberikan sumbangan yang maksimum kepada masyarakat sesuai konsep
trickle down kapitalisme. Namun seiring dengan perjalanan waktu, masyarakat
semakin menyadari adanya dampak-dampak sosial yang ditimbulkan oleh
perusahaan dalam menjalankan operasinya untuk mencapai laba yang
maksimal, yang semakin besar dan semakin sulit untuk dikendalikan. Oleh
karena itu, masyarakat pun menuntut agar perusahaan senantiasa
memperhatikan dampak-dampak sosial yang ditimbulkannya dan berupaya
mengatasinya.

Aksi protes terhadap perusahaan sering dilakukan oleh para karyawan dan
buruh dalam rangka menuntut kebijakan upah dan pemberian fasilitas
kesejahteraan lainnya yang dirasakan kurang mencerminkan keadilan. Aksi yang
serupa juga tidak jarang dilakukan oleh pihak masyarakat, baik masyarakat
sebagai konsumen, maupun masyarakat di lingkungan sekitar pabrik.
Masyarakat sebagai konsumen seringkali melakukan protes terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan mutu produk sehubungan dengan kesehatan,
keselamatan, dan kehalalan suatu produk bagi konsumennya. Sedangkan protes
yang dilakukan masyarakat di sekitar pabrik biasanya berkaitan dengan
pencemaran lingkungan yang disebabkan limbah pabrik.
Pendekatan modern menyebutkan bahwa organisasi sebagai suatu sistem
terbuka, yang berarti bahwa organisasi merupakan bagian (sub sistem) dari
lingkungannya, sehingga organisasi dapat dipengaruhi maupun mempengaruhi
lingkungannya (Lubis dan Huseini, 1987). Selanjutnya dalam Lubis dan Huseini
(1987) menyebutkan bahwa ada sembilan segmen lingkungan yang
mempengaruhi perusahaan, yaitu: 1) industri, 2) bahan baku, 3) tenaga kerja, 4)
keuangan, 5) pasar, 6) teknologi, 7) kondisi ekonomi, 8) pemerintah dan 9)
kebudayaan.

Pengaruh lingkungan terhadap sebuah organisasi menjadi sangat kental, hal ini
terjadi karena adanya ketergantungan organisasi terhadap sumber-sumber yang
terdapat pada lingkungan. Hal ini ditegaskan oleh Lubis dan Huseini (1987) yang
menyebutkan bahwa organisasi mempunyai ketergantungan ganda terhadap
lingkungannya, karena produk dan jasa yang merupatkan output organisasi
dikonsumsi oleh pemakai yang terdapat dalam lingkungannya. Dari pihak lain,
organisasi juga mendapatkan berbagai jenis input dari lingkungannya. Posisi
input dan output ini menjadi berbahaya jika pertukaran input dan output menjadi
tidak seimbang.

Menurut Grayson dan Hodges ( 2004), bahwa perusahaan tidak beroperasi di


dalam ruang kosong, melainkan dalam kondisi interaksi yang kompleks dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, situasi politik, pembangunan
sosial dan ekonomi, juga risiko-risiko yang mungkin timbul. Jonker dan Witte
(2004) menyebutkan bahwa Organisasi sekarang ini tidak hanya bertanggung
jawab bagaimana menghasilkan kualitas produk dan jasa yang baik, tetapi juga
harus dapat memenuhi kebutuhan para external stakeholders sebagai suatu cara
untuk mencegah timbulnya dampak negatif sosial.

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)

Seperti angin semilir kemudian bertiup kencang, begitulah gambaran hembusan


wacana Corporate Social Responsibility (CSR) seiring dengan kesadaran akan
hubungan perusahaan dengan lingkungannya. Bahkan aktivitas CSR kini
ditempatkan diposisi terhormat. Hingga tampaknya wacana CSR ini akan
menjadi tren perusahaan-perusahaan berskala nasional maupun multisnasional.
Tidak sedikit perusahaan-perusahaan raksasa maupun menengah, baik yang
multinasional maupun domestik, kini telah mengklaim bahwa CSR ini telah
diimplementasikan dengan baik dalam perusahaan mereka. Banyak perusahaan
telah menggeser paradigma sempit yang menyatakan bahwa orientasi seluruh
kegiatan hanyalah berorientasi profit.
Salah satu definisi CSR yang dikembangkan dan diimplementasikan dalam
aktivitas CSR adalah definisi yang dikemukakan oleh The World Business
Council For Sustainable Development (WBCSD) dalam Wibisono (2007:7),
mengemunkakan bahwa:

CSR is the continuing commitment by business to be have ethically and


contribute to economic development while improving the quality of life of the
workforce and their families as well as of the local community and society at
large, yaitu komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi
berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan
tersebut, berikut komuniti-komuniti setempat (lokal) dan masyarakat secara
keseluruhan dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan. Peningkatan
kualitas kehidupan mempunyai arti adanya kemampuan manusia sebagai
individu anggota masyarakat untuk dapat menanggapi keadaan sosial yang ada
dan dapat menikmati serta memanfaatkan lingkungan hidup termasuk
perubahan-perubahan yang ada sekaligus memelihara

Terobosan terbesar dalam kontek CSR ini dilakukan oleh John Elkington melalui
konsep 3P (profit, people, dan planet) yang dituangkan dalam bukunya
Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business
yang dirilis pada tahun 1997. Ia berpendapat bahwa jika perusahaan ingin
sustain, maka ia perlu memperhatikan 3P, yakni, bukan cuma profit yang diburu,
namun juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people)
dan ikut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).

Perusahaan sebagai entitas ekonomi, bertujuan untuk mencetak laba yang


optimal guna meningkatkan kekayaan para pemilik saham. Namun itu saja belum
cukup, keberlanjutan bisnis perusahaan (sustainable business) tidak terjamin bila
hanya mengandalkan laba yang tinggi semata, tetapi perusahaan juga harus
memiliki komitmen yang tinggi dalam menjalankan program CSR (Darwin,
2006:115). Jadi, jika ditelaah lebih lanjut, ternyata tidak ada pertentangan antara
motif perusahaan untuk meraih laba dan di satu sisi juga turut aktif
melaksanakan program-program CSR. Bahkan program CSR merupakan
investasi bagi perusahaan demi pertumbuhan dan keberlanjutan (sustainability)
perusahaan. Artinya, CSR bukan lagi dilihat sebagai sentra biaya (cost center)
melainkan sebagai sentra laba (profit center) di masa mendatang.

PERKEMBANGAN DALAM PRAKTEK PELAPORAN LINGKUNGAN DAN


SOSIAL
Beberapa perusahaan di dunia membuat catatan yang menyatakan bahwa
organisasi mereka memiliki komitmen untuk suistainability development yang
kemudian menghasilkan informasi yang menunjukkan pendapatan dan kinerja
dalam pengembangan suistainability tersebut berupa CSR. Dokumen pelaporan
suistainability hadir dalam berbagai bentuk. Laporan singkat ini menghasilkan
agenda global untuk perubahan dalam menentang atau mengurangi tekanan
yang terus menerus dalam lingkungan global. Pelaporan ini mendefinisikan
perkembangan suistainability sebagai kemapuan untuk memenuhi kebutuhan
saat ini tanpa harus membahayakan kemampuan generasi mendatang untuk
memenuhi kebutuhannya. Dalam perspektif suistainability harus dipastikan
bahwa pola konsumsi generasi sekarang tidak memberikan dampak negati
terhadap generasi selanjutnya. Banyak organisasi yang selanjutnya menyatakan
secara eksplisit bahwa fokus mereka adalah pertimbangan suistainability yang
mempunyai implikasi terhadap profitability jangka pendek dan merupakan hal
pokok dalam keberlangsungan hidup jangka panjang.

Ada tiga komponen utama dalam suistainability yaitu keadaan ekonomi,


lingkungan dan masyarakat. Ketika pertimbangan lingkungan dan masyarakat
dilakukan dalam sebuah bisnis, ada dua komponen terpisah lainnya yang sering
teridentifikasi yaitu peertimbangan eco-efficiency dan eco-justice. Dimana saat
perusahaan memilih untuk membuat laporan lingkungannya sendiri maka
perusahaan tersebut akan cenderung hanya fokus pada eco-efficiency.
Sedangkan dalam suistainability dua komponen ini harus terlibat. Eco-efficiency
fokus untuk memaksimalkan kegunaan jumlah sumber daya yang digunakan dan
meminimalkan keterlibatan lingkungan dalam menggunakan sumber daya.
Sedangkan eco-justice akan memperlihatkan bagaimana entitas menggunakan
sumber daya yang terbatas untuk memastikan bahwa kelompok tertentu yang
dirugikan tidak dilupakan. Hal lain yang dipertimbangkan adalah kepedulian
terhadap keselamatan, pendidikan dan peluang karyawan, ketaatan atas hak-
hak manusia dan kesamaan peluang, keterlibatan orang-orang pribumi serta
dukungan atas kemajuan negara.

Perubahan menuju suistainability memiliki syarat yang cukup mendasar untuk


mengubah pola konsumsi dan produksi telah disampaikan oleh berbagai pihak
sebagai kebutuhan global. Dengan menggunakan perspektif yang berasal dari
teori legitimacy kita dapat mengatakan bahwa jika suistainability menjadi bagian
dari harapan utama masyarakat, maka ia akan menjadi sebuah tujuan bisnis.
Bila konsep dari suistainability development berkembang menjadi bagian dari
berbagai harapan komunitas, maka komunitas itu akan mengharapkan berbagai
informasi tentang bagaimana organisasi, perusahaan, dan entitas melaksanakan
syarat utama dari suistainabilty. Selain itu penyediaan informasi tentang keadaan
sosial akan meningkatkan kepercayaan berbagai komunitas yang ada dalam
organisasi.

Perusahaan-perusahaan yang memiliki komitmen sustainability yang biasanya


dalam bentuk implementasi CSR harus membuat laporan yang menggambarkan
perhatian terhadap sustainability sebagai fase akhir setelah serangkaian proses
panjang dilewati; sejak desain, implementasi program, monitoring, hingga
evaluasi. Manfaatnya, selain bisa digunakan untuk bahan evaluasi terpadu, juga
bisa menjadi alat komunikasi dengan stakeholders, termasuk mitra bisnis dan
kalangan investor. Pelaporan ini, menjadi kajian dalam bidang ilmu Akuntansi
Sosial. Arfan Ikhsan- Muhammad Ishak, dalam bukunya, Akuntansi
Keperilakuan, mendefinisikan Akuntansi sosial sebagai penyusunan,
pengukuran, dan analisis terhadap konsekuensi-konsekuenai sosial dan ekonomi
dari perilaku yang berkaitan dengan pemerintah dan wirausahawan. Akuntansi
sosial ini berguna untuk mengukur dan melaporkan kontribusi suatu perusahaan
kepada lingkungannya.

Menyangkut pelaporan (reporting), di Eropa sendiri telah cukup lama


mengeluarkan praktik dan pelaporan CSR. Pada 1975, misalnya, The Accounting
Standards Steering Committee of The Institute of Chartered Accountant di
Inggris, mengeluarkan pedoman bagi perusahaan untuk pelaporan informasi
tentang sosial dan lingkungan. Namun, aspek pelaporan sosial baru bergaung di
tahun 1990-an setelah stakeholders kian menuntut agar perusahaan tak hanya
membuat laporan keuangan menyangkut profit, tapi juga laporan yang
transparan seputar hubungan perusahaan dengan aspek sosial dan lingkungan.
Seperti halnya definisi CSR yang tak tunggal, dalam membuat laporan pun
masingmasing perusahaan menempuh cara yang beragam. Tujuannya pun
berbeda; ada yang untuk kepentingan internal, ada juga yang eksternal.

Menimbang hal itu, maka berinisiatiflah sejumlah institusi guna menciptakan


sistem pelaporan yang bisa berlaku universal untuk semua perusahaan. Salah
satu yang terkenal adalah Global Reporting Initiative (GRI) yang diluncurkan
tahun 1997. GRI membuat sustainability reporting guideline yang memberi
petunjuk pembuatan laporan dengan memperhatikan aspek ekonomi-sosial-
lingkungan, atau yang dikenal dengan aspek triple bottom line. Hanya saja, GRI
pun tak bisa mewajibkan perusahaan membuat laporan. Sebagai pelaporan yang
paling banyak dijadikan rujukan dalam CSR reporting saat ini, GRI memberi
pilihan dan fleksibilitas bagi penggunanya.
Perusahaan berhak memilih bentuk pelaporan yang sesuai dengan kebutuhan
atau kompleksitas organisasinya. Kendati sukarela, namun pelaporan CSR ini
amatlah bermanfaat untuk masa depan. Mengingat kalangan mitra dan investor-
khususnya internaional-kian melihat aktivitas CSR sebagai rujukan untuk menilai
potensi keberlanjutan (going concern) suatu perusahaan.

KETERBATASAN DALAM AKUNTANSI TRADISIONAL

Dengan adanya komitmen sustainability, harapan untuk menyediakan infromasi


adalah akuntansi. Hal ini terkait keberadaan akuntansi sebagai alat sebuah
entitas dalam menyajikan informasi mengenai kegiatan operasionalnya. Namun
akuntansi yang ada sekarang atau biasa disebut akuntansi konvensional atau
tradisional memiliki kelemahan-kelemahan, antara lain:

Akuntansi keuangan focus pada informasi yang dibutuhkan oleh pihak-pihak


yang berkepentingan dalam membuat keputusan terhadap alokasi sumber daya
yang ada. Sehingga hanya focus kepada kepentingan keuangan stakeholders
dalam entitas.

Sehubungan dengan focus informasi tersebut, salah satu landasan dari


akuntansi keuangan adalah prinsip materialis, yang akan menghalangi informasi
pelaporan lingkungan dan masyarakat dan memberikan kesulitan dalam
mengukur biaya sosial dan lingkungan.

Hal penting yang dinyatakan oleh Gray, Owen dan Adams (1996) hal lain yang
muncul bahwa ternyata pelaporan entitas sering mengabaikan liability,
khususnya yang tidak dapat diselesaikan dalam beberapa tahun dengan
menggunakan present value. Hal ini cenderung membuat expenditure yang akan
datang sedikit lebih signifikan pada periode saat ini.

Akuntansi keuangan menggunakan asumsi entitas. Dimana syaratnya adalah


organisasi diperlakukan sebagai entitas yang berbeda dari pemiliknya, organisasi
lain, dan dari stakeholders yang lain. Jika transaksi atau kegiatan tidak
memberikan dampak secara langsung terhadap entitas, maka kegiatan atau
transaksi ini diabaikan sebagai manfaat akuntansi. Ini berarti pihak luar ditolak
oleh pelaporan entitas sehingga penyajian dan penilaian kinerja tidak dilengkapi
oleh perspektif atau pandangan masyarakat luas.

Expences didefinisikan sebagai cara untuk meniadakan pengeluaran atas


berbagai dampak pada sumber penghasilan yang tidak dapat dikendalikan oleh
entitas.

Keterbatasan lain terkait dengan pengukuran. Dimana setiap item yang dicatat
dalam akuntansi keuangan harus dapat diukur dengan alasan yang tepat.

AKUNTANSI SOSIAL EKONOMI

Akuntansi sosial ekonomi merupakan alat yang sangat berguna bagi perusahaan
dalam mengungkapan aktivitas sosialnya di dalam laporan keuangan.
Pengungkapan tanggung jawab sosial dalam laporan keuangan penting karena
melalui social reporting disclosure, pemakai laporan keuangan akan dapat
menganalisis sejauh mana perhatian dan tanggung jawab sosial perusahaan
dalam menjalankan bisnis. Diharapkan melalui media ini tingkat tanggung jawab
sosial perusahaan dapat mempengaruhi secara positif perilaku investor. Investor
seharusnya tidak hanya melihat aspek keuangan saja, tetapi juga tanggung
jawab sosial perusahaan harus mendapatkan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan bisnis.

Akan tetapi sampai saat ini pengungkapan tanggung jawab sosial dalam laporan
keuangan masih bersifat sukalera, dalam Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) No. 1 Paragraf ke sembilan dinyatakan:

Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai


lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya
bagi industri di mana faktor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting
dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna
laporan yang memegang peranan penting. PSAK tersebut tidak secara tegas
mengharuskan perusahaan untuk melaporkan tanggung jawab sosial mereka.
Pengelompokan, pengukuran dan pelaporan juga belum diatur, jadi untuk
pelaporan tanggung jawab sosial diserahkan pada masing-masing perusahaan.

Akuntansi Social Economi (ASE) menurut Belkaoui (1984) lahir dari anggapan
bahwa akuntansi sebagai alat manusia dalam kehidupannya harus juga sejalan
dengan tujuan sosial hidup manusia. ASE berfungsi untuk memberikan informasi
social report tentang sejauh mana unit organisasi, Negara dan dunia
memberikan kontribusi yang positive dan negative terhadap kualitas hidup
manusia. ASE sebagai suatu penerapan akuntansi di bidang ilmu sosial
termasuk bidang sosiologi, politik ekonomi. Ada juga yang memberikan istilah
lain dari ASE yaitu Akuntansi Sosial yang terdiri dari Akuntansi Mikro Sosial dan
Akuntansi Makro Sosial.

Beberapa ahli telah mendefinisikan akuntansi sosial ekonomi, antara lain:

a. Menurut Mathews dan Perera akuntansi sosial ekonomi (Rusmanto, 2004: 85)
adalah:

To describe a comprehensive form of accounting which takes into account


externalities the cost imposed on the public by private sector organizations as
well as the more usual public costs.

b. Menurut Linowes akuntansi sosial ekonomi (Belkaoui, 1998: 339) adalah:

Penerapan akuntansi di bidang ilmu sosial yang meliputi ilmu pengetahuan


masyarakat, ilmu pengetahuan politik dan ilmu pengetahuan ekonomi.

c. Menurut Ahmed Belkaoui (1998: 339) akuntansi sosial ekonomi adalah:

Proses pengurutan, pengukuran, dan pengungkapan pengaruh yang kuat dari


pertukaran antara suatu perusahaan dan lingkungan sosialnya.

d. Menurut Lee D. Parker et. al (1989: 169-170) akuntansi sosial ekonomi


adalah:

The construction and maintenance of organizational social information system


designed to evaluate an organizations social impact, assess the effectiveness of
its social programs, and report upon the overall discharge of its social
responsibilities.

e. Menurut Kavasseri V. Ramanathan (1987: 64) akuntansi sosial ekonomi


adalah:

The process of selecting firm level social perfomance variabels, measures, and
measurement procedures; systematically developing information useful for
evaluating the firms social perfomance; and communicating such information to
concerned social groups, both within and outside the firm.

f. Menurut Haniffa akuntansi sosial ekonomi (Rusmanto, 2004: 87) adalah:

Ekspresi dari tanggung jawab sosial perusahaan, melalui pengungkapan


pelaporan aktivitas sosial perusahaan dapat menunjukkan apa yang telah
mereka capai dan penuhi dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial.

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa akuntansi sosial ekonomi
adalah alat yang berfungsi untuk mengidentifikasi, mengukur, dan menilai
dampak sosial yang ditimbulkan oleh perusahaan, baik social cost maupun social
benefit, dan mengkomunikasikannya kepada stakeholder, yaitu stockholder,
karyawan, masyarakat, pemasok dan pemerintah dalam bentuk pelaporan
pertanggungjawaban sosial.

Gray et. al. mengelompokkan teori yang dipergunakan oleh para peneliti untuk
menjelaskan kecendrungan pengungkapan sosial ke dalam tiga kelompok
(Henny dan Murtanto, 2001: 26-27) yaitu:

a. Decision usefullness studies: pengungkapan sosial dilakukan karena informasi


tersebut dibutuhkan oleh para pemakai laporan keuangan dan ditempatkan pada
posisi yang moderatly important.

b. Economy theory studies: sebagai agen dari suatu prinsipal yang mewakili
seluruh intrest group perusahaan, pihak manajemen melakukan pengungkapan
sosial sebagai upaya untuk memenuhi tuntutan publik.

c. Social and political theory studies: pengungkapan sosial dilakukan sebagai


reaksi terhadap tekanan-tekanan dari lingkungannya agar perusahaan merasa
eksistensi dan aktifitasnya terlegitimasi.

Menurut Harahap (2003: 351-352) ada beberapa paradigma yang menimbulkan


kecendrungan perusahaan untuk mengungkapkan tanggung jawab sosialnya:

a. Kecenderungan Terhadap Kesejahteraan Sosial: kecendrungan ini


berdasarkan kenyataan bahwa kelangsungan hidup manusia, kesejaterahan
masyarakat hanya dapat lahir dari sikap kerjasama antar unit-unit masyarakat itu
sendiri. Sehingga timbulah kesadaran dan kebutuhan pertanggungjawaban
sosial perusahaan terhadap lingkungan sosialnya.

b. Kecendrungan Terhadap Kesadaran Lingkungan: kecendrungan ini


berdasarkan kenyataan bahwa manusia adalah makhluk di antara bermacam-
macam makhluk yang mendiami bumi yang saling mempunyai keterkaitan dan
sebab akibat serta dibatasi oleh sifat keterbatasan dunia itu sendiri, baik sosial,
ekonomi, dan politik. Akibat semakin meningkatnya kesadaran perusahaan
terhadap kenyataan tersebut, sehingga timbul kebutuhan tentang perlunya
melakukan pertanggungjawaban sosial kepada stakeholder.

c. Perspektif Ekosistem: dalam perspektif ini perusahaan sadar bahwa kegiatan


ekonomi yang dilakukan akan menimbulkan dampak bagi ekosistem yang
berada di sekitarnya.

d. Ekonomisasi vs Sosialisasi: ekonomi mengarahkan perhatian hanya kepada


kepuasan individual sebagai unit yang selalu mempertimbangkan cost dan
benefit tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat. Sebaliknya, sosialis
menfokuskan perhatiannya terhadap kepentingan sosial dan selalu
memperhatikan efek sosial yang ditimbulkan oleh kegiatannya.

Pengungkapan kinerja sosial pada laporan tahunan perusahaan seringkali


dilakukan secara sukarela oleh perusahaan. Menurut Henderson dan Peirson,
adapun alasan-alasan perusahaan mengungkapan kinerja sosial secara sukalera
(Henny dan Murtanto, 2001: 27) antara lain:

a. Internal decision making: manajemen membutuhkan informasi untuk


menentukan efektivitas dari informasi sosial tertentu dalam mencapai tujuan
sosial perusahaan. Data harus tersedia agar biaya dari pengungkapan tersebut
dapat diperbandingkan dengan manfaatnya bagi perusahaan. Walaupun hal ini
sulit diidentifikasi dan diukur namun analisis secara sederhana lebih baik
daripada tidak sama sekali.

b. Product differentiation: manajer dari perusahaan yang bertanggung jawab


secara sosial memiliki insentif untuk membedakan diri dari pesaing yang tidak
bertanggung jawab secara sosial kepada masyarakat.

c. Enlightened self interest: perusahaan melakukan pengungkapan untuk


menjaga keselarasan sosialnya dengan para stakeholder yang terdiri dari
stockholder, kreditor, karyawan, pemasok, pelanggan, pemerintah dan
masyarakat karena dapat mempengaruhi pendapatan penjualan dan harga
saham perusahaan.

Menurut Mathews dan Perera (Rusmanto, 2004: 83) terdapat beberapa alasan
perusahaan mencantumkan kegiatan sosial mereka dalam laporan keuangan,
antara lain ialah:

a. Mencoba mempengaruhi pasar modal


b. Sebagai wujud dari kontrak sosial antara perusahaan dan masyarakat, dan

c. Pelaksanaan legistimasi organisasi

Pengungkapan kinerja akuntansi sosial perusahaan, baik secara internal


maupun eksternal, dapat ditempuh melalui beberapa pendekatan, yaitu:

(1) Audit sosial, yaitu mengukur dan melaporkan dampak ekonomi, sosial, dan
lingkungan dari program-program yang berorientasi sosial dan operasi
perusahaan yang reguler. Mulanya, manajer perusahaan diminta membuat daftar
aktivitas dengan konsekuensi sosial. Setelah daftar tersebut dihasilkan, auditor
sosial kemudian menilai dan mengukur dampak-dampak dari kegiatan sosial
perusahaan. Audit sosial dilaksanakan secara rutin oleh kelompok konsultan
internal maupun eksternal, sebagai bagian dari pemeriksaan internal biasa,
sehingga manajer mengetahui konsekuensi sosial dari tndakan mereka.

(2) Laporan-Laporan Sosial. Laporan eksternal terpisah yang menggambarkan

hubungan perusahaan dengan komunitasnya, dikembangkan salah satunya oleh


David Linowes. Ia membagi laporannya dalam tiga kategori: hubungan dengan
manusia, hubungan dengan lingkungan, dan hubungan dengan produk. Pada
setiap kategori, ia membuat daftar mengenai konstribusi sukarela perusahaan
dan kemudian mengurangkannya dengan kerugian yang disebabkan oleh
aktivitas perusahaan itu. Linowes memoneterisasi segala sesuatunya dalam
laporan tersebut, sampai pada saldo akhir, yang disebutnya sebagai tindakan
sosio-ekonomi netto untuk tahun tersebut. Dalam laporan Linowes, seluruh
kontribusi dan kerugian harus dihitung secara moneter. Selain Linowes, Ralph
Estes juga mengembangkan suatu model pelaporan mengenai manfaat dan
biaya sosial. Ia menghitung manfaat sosial sebagai seluruh kontribusi kepada
masyarakat yang berasal dari operasi perusahaan (misalnya, lapangan kerja
yang disediakan, sumbangan, pajak, perbaikan lingkungan). Sedangkan biaya
sosial, meliputi seluruh biaya operasi perusahaan (bahan baku yang dibeli, utang
kerusakan lingkungan, luka-luka dan penyakit yang berkaitan dengan pekerjaan).
Manfaat sosial dikurangkan dengan biaya social untuk memperoleh manfaat atau
biaya netto.

(3) Pengungkapan dalam laporan tahunan. Beberapa perusahaan menerbitkan


laporan tahunan kepada pemegang saham disertai beberapa informasi sosial
yang dilakukan. Namun, melalui informasi yang dicantumkan dalam laporan
tahunan tersebut, belum dapat dinilai kinerja sosial perusahaan secara
komprehensif, karena kebanyakan informasi yang diungkapkan dalam laporan
tahunan bersifat sukarela dan selektif. Dalam artian, bisa jadi perusahaan hanya
menyoroti kontribusi positifnya dan mengabaikan dampak negatif yang
ditimbulkan dari aktivitas usahanya.

MASALAH-MASALAH PELAPORAN AKUNTANSI SOSIAL

Dalam pelaporan akuntansi sosial, diinformasikan seberapa besar manfaat sosial


netto yang diberikan perusahaan pada masyarakat. Manfaat sosial netto
tersebut, diperoleh dari selisih antara kontribusi suatu perusahaan kepada
masyarakat (manfaat sosial) dengan kerugian yang ditimbulkan (biaya sosial).
Namun dalam menentukan manfaat sosial netto tersebut tidaklah semudah
menyajikan laporan keuangan biasa. Masalah yang muncul, terkait (1)
bagaimana menentukan apa yang menjadi pos-pos biaya ataupun manfaat
sosial perusahaan, (2) bagaimana mengukur (nilai moneter) biaya dan manfaat
sosial yang ditimbulkan perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai