Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH METODOLOGI PENELITIAN

CROSS SECTIONAL

Makalah ini diajukan untuk memenuhi syarat mata kuliah Research


Methodology

Pengampu: DR. Ir. Titiek Sumarawati, M. Kes

Disusun Oleh:

1. Al-Afifka Feviansyah (MBK 168010098)


2. Eka Sarofatul Jannah (MBK 168010101)
3. Riri Emilia (MBK 168010107)
4. Rokh Edi Shofi L (MBK 168010108)

PROGRAM STUDI MAGISTER BIOMEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SULTAN AGUNG SEMARANG
2016/2017

KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan atas kehadiran Allah SWT, atas berkat dan karuniaNya
yang telah diberikan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami berharap
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang penelitian bagi yang
membacanya sehingga dapat memberikan kemudahan apabila melakukan sebuah penelitian.

Tak lupa pula kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Dosen yang telah
membimbing kami dan teman-teman yang telah membantu dan memberikan kami motifasi
sehingga makalah ini dapat selesai tepat waktu. Kami menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan untuk itu kami mengharapkan saran-saran dari teman-teman yang
bersifat membangun sehingga makalah ini dapat mendekati kesempurnaan.

DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................................................i

Daftar Isi....................................................................................................................................ii

Bab I Pendahuluan

Latar belakang............................................................................................................................1

Rumusan Masalah......................................................................................................................1

Bab II Pembahasan

Pengertian Dasar Penelitian Cross Sectional.............................................................................

Tujuan dan Manfaat Penelitian Cross Sectional.......................................................................

Langkah-langka pada Penelitian Cross-sectional......................................................................

Interprestasi Hasil......................................................................................................................

Contoh Penelitian Cross Sectional............................................................................................

Kelebihan dan Kekurangan Penelitain Cross sectional ............................................................

Bab III Penutup

Kesimpulan...............................................................................................................................

Daftar Pustaka

BAB I

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Penelitian kedokteran dan penelitian epidemiologi dapat dilakukan dengan mengikuti


proses perjalanan penyakit secara prospektif atau secara retrospektif untuk mencari hubungan
sebab akibat

Disamping itu, penelitian kedokteran juga dapat dilakukan tanpa mengikuti perjalanan
penyakit, tetapi dilakukan pengamatan sesaat atau dalam suatu periode tertentu dan setiap
subjek studi hanya dilakukan satu kali pengamatan selama penelitian.

Pengamatan demikian seolah-olah merupakan suatu penampang melintang dan


disebut penelitian cross sectional diantaranya adalah penelitian eksploratif, penelitian
deskriptif, dan dalam hal hal tertentu, penelitian analitik.

Pada umumnya, penelitian cross sectional disebut juga studi prevalensi dengan tujuan
mengadakan deskripsi subjek studi seperti pada penelitian deskriptip murni atau mengadakan
penelusuran seperti pada penelitian eksploratif. Dalam hal-hal tertentu, penelitian dengan
pendekatan cross sectional dapat digunakan untuk penelitian analitik.

Rumusan Masalah

Pengertian Dasar Penelitian Cross Sectional

Tujuan dan Manfaat Penelitian Cross Sectional

Langkah-langka pada Penelitian Cross-sectional

Interprestasi Hasil

Contoh Penelitian Cross Sectional

Kelebihan dan Kekurangan Penelitain Cross sectional

BAB II

PEMBAHASAN
Pengertian Dasar Studi Cross Sectional

Penelitian cross secsional adalah peneliti mencari hubungan antara variabel bebas
(faktor resiko) dengan variabel tergantung (efek) dengan melakukan pengukuran sesaat.
Tentunya tidak semua subyek harus diperiksa pada hari atau saat yang sama, namun baik
variabel resiko serta efek tersebut diukur menurut keadaan atau statusnya pada waktu
observasi, jadi pada sesain cress sectional tidak ada prosedur tindak lanjut atau follow up.
Selain itu temporal relationship (hubungan waktu) antara faktor resiko dan efek tidak selalu
tergambar dari data yang terkumpul.

Hasil pengamatan cross sectional untuk mengidentifikasi faktor resiko ini kemudian
disusun dalam tabel 2x2 untuk desain seperti ini biasanya yang dihitung adalah rasio
prevalens yakni perbandingan antara prevalens suatu penyakit atau efek pada subyek
kelompok yang mempunyai faktor resiko, dengan prevalens penyakit atau efek pada subyek
yang tidak mempunyai faktor resiko. Rasio prevalens menunjukkan peran faktor resiko dalam
terjadinya efek pada studi cross-sectional.

Studi cross-sectional merupakan salah satu studi observasional untuk menentukan


hubungan antara faktor resiko dengan penyakit. Studi cross-sectional untuk mempelajari
etiologi suatu penyakit digunakan terutama untuk mempelajari faktor resiko penyakit yang
mempunyai onset yang lama (slow onset) dan lama sakit (duration of illness) yang panjang,
sehingga biasanya pasien tidak mencari pertolongan sampai penyakitnya relatif telah
beranjut. Contohnya adalah osteortatis, bronkitis kronik, dan sebagian besar penyakit
kejiwaan.studi kohort

Kurang tepat digunakan pada penyakit penyakit tersebut oleh karena itu diperlukan
sampel yang besar, follow up yang sangat lama, dan sulit mengetahui saat mulainya penyakit
(sulit untuk menentukan insidens). Sebalinnya jenis penyakit yang mempunyai masa sakit
yang pendek tidak tepat dikaji dengan studi cross-sectional, karena hanya sedikit kasus yang
diperoleh dalam waktu yang pendek. Sesuai dengan namanya maka pada studi cross-
sectional yang dinilai adalah prevalens (basien baru dan lama). Insidens penyakit (hanya
pasien baru) tidak dapat diperoleh pada studi cross-sectional.

Tujuan Dan Manfaat Penelitian


Secara garis besar apat dikatakan bahwa penelitian cross sectional dilakukan dengan
tujuan sebagai berikut :

1. Tujuan utama penelitan cross sectional adalah untuk mencari prevalensi satu atau
beberapa penyakit tertentu yang terdapat di masyarakat seperti pada studi deskriptif,
tetapi pada keadaan tertentu, studi cross sectional dapat juga digunakan untuk
memperkirakan insidensi, misalnya penyakit dengan bekas yang permanen seperti
variola. Dengan menemukan prevalensi bekas yang ditinggalkan oleh variola dapat
diperkirakan bahwa pada masa lalu terjadi peningkatan insiden penyakit tersebut,
tetapi cara ini tidak dapat digunakan bila bekas yang ditinggalkan penyakit akan
hilang dalam waktu tertentu dan penemuan insidensi dengan studi cross sectional
hasilnya akan bias. Misalnya varicella, walaupun menggialkan bekas, tetapi pada
suatu waktu bekas tersebut akan hilang dan pencarian insidensi penyakit tersebut
hanya dapat dilakukan seperti wawancara

2. Memperkirakan danya hubungan sebab-akibat pada penyakit-penyakit dengan


perubahan yang jelas, misalnya, hubungan golongan darah (ABO) dengan ulkus
gaster dan duodenum. Dan penelitian tersebut ditemukan bahwa ulkus gaster dan
duodeni banyak terdapat pada orang dengan golongan darah A.

3. Penelitian cross sectional dapat digunakan untuk menghitung besarnya risiko


kelompok, risiko relatif, dan risiko atribut. Misalnya, suatu survei yang dilakukan di
suatu desa untuk mengetahui prevalensi diare pada anak-anak. Dan penelitian tersebut
ditemukan bahwa sebagian anak-anak yang menggunakan kolam sebagai sarana air
minum menderita diare dan sebagian lagi tidak. Demikian pula anak-anak yang tidak
menggunakan kolam sebagai sarana air minum sebagian menderita diare dan sebagian
tidak. Dan ternuan tersebut dapat dihitung besarnya risiko diare pada anak-anak yang
menggunakan kolam dan risiko diane bagi yang tidak menggunakan air kolam. Dan
hasil perhitungan risiko tiap kelompok dapat dihitung risiko relatif dengan
membandingkan besarnya nisiko tiap kelompok dan dapat dihitung pula risiko atribut
serta diuji secara statistik. Dengan cara demikian penelitian cross sectional seolah-
olah menjadi penelitian prospektif. Penelitian ini tidak menjamin komparabilitas
kelompok yang dibandingkan dan hasilnya mempunyai potensi untuk menimbulkan
bias. Untuk penelitian epidemiologis dan penelitian operasional, penelitian cross
sectional sudah cukup memadai untuk mengadakan perbaikan program pelayanan
kesehatan. Seperti rancangan penelitian yang lain, rancangan penelitian cross
sectional memiliki beberapa keuntungan dan kerugian.

Langkah-Langkah Pada Studi Cross-sectional

Gambar 7-1 melukiskan dengan sederhana rancangan studi Icross-sectional.I sejalan dengan
sekema tersebut dapat disusun langkah-langkah yang terpenting dalam rancangan studi cross-
sectional, yaitu:

1. Merumuskan pertanyaan penelitian dan hipotesis


Pertanyaan penelitian yang akan dijawab harus dikemukakan dengan jelas, dan
dirumuskan hipotesis yang sesuai. Dalam studi cross-sectional analitik hendaklah
dikemukakan hubungan antara-variabel yang diteliti. Misalnya, pertanyaan yang akan
dijawab adalah apakah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan orang tua dengan
kejadian enuresis pada anaknya.
Pengukuran faktor resiko dan efek dilakukan sekaligus

a efek
(b+) efek (-)
Faktor resiko
c efek
(d+) efek (-)
Gambar 7-1. Struktur studi cross-sectional menilai peran faktor resiko dan terjadinya
efek. Fattor resiko dan efek diperiksa pada saat yang sama

Efek

Ya Tidak jumlah
Faktor resiko Ya a b a+b
Tidak c d c+d

Jumlah a+c b+d a+b+c+d

Gambar 7-2. Tabel 2x2 menunjukkan hasil cross-sectional.


a= subyek dengan faktor resiko yang mengalami efek.
B= subyek dengan faktor resiko yang tidak mengalami efek.
C= subyek tanpa faktor resiko yang mengalami efek
D= subyek tanpa faktor resiko yang tidak mengalami efek.
Rasio prevalens= prevalens efek pada kelompok dengan resiko dibagi prevalens efek pada
kelompok tanpa resiko. RP=a/(a+b) : c/(c+d).
2. Mengidentifikasi variabel penelitian
Semua variabel dalam studi prevalen harus diidentifikasi dengan cermat dan dituliskan
dalam metodologi. Untuk ini perlu ditetapkan definisi operasional yang jelas variabel
mana saja yang dimaksud dengan faktor resiko yang akan diteliti (variabel independen),
faktor resiko yang tidak diteliti, serta variabel afek yang dipelajari (variabel dependen).
Faktor faktor lain yang mungkin merupakan resiko terjadinya efek namun tidak diteliti
perlu di identifikasi, agar dapat disingkirkan atau paling tidak dikurangi pada waktu
pemilihan subyek penelitian.
3. Menetapkan subyek penelitian
Menetapka populasi penelitian. Bergantung pada tujuan penelitian, maka ditentukan dari
populasi-terjangkau mana subyek penelitian akan dipilih, apakah dari rumah sakit/fasilitas
kesehatan, atau dari masyarakat umum, atau keduanya. Salah satu yang harus diperhatikan
dalam penentuan populasi terjangkau penelitian adalah besarnya kemungkinan untuk
memperoleh faktor resiko yang diteliti. Pada studi cross-sectional mengenai infeksi
HIV/AIDS, populasi yang dipilih hendaklah kelompok subyek yang sering terpapar oleh
virus jenis ini, misalnya kaum homoseksual atau penyalahguna narkotik. Apabila pada
penelitian pada infeksi HIV subyek dipilih dari populasi umum, maka kemungkinan untuk
memperoleh subyek dengan infeksi HIV menjadi amat sangat kecil, sehingga diperlukan
jumlah subyek yang besar.
Mementukan sampel dan memperkirakan besar sampel. Besar sampel(jumlah subyek
yang diteliti) diperkirakan dengan formula yang sesuai, tabel, atau dengan cara lain.
Berdasarkan perkiraan besar sampel serta perkiraan prevalens kelainan, maka dapat
ditentukan apakah seluruh subyek yang ada dalam populasi-terjangkau akan diteliti atau
dipilih ataukah dipilih sampel yang mewakili populasi-terjangkau tersebut. Penetapan
besar sampel untuk penelitian cross-sectional yang mencari rasio prevalens sama dengan
penetapan besar sampel untuk studi kohort yang mencari resiko relatif.
4. Melaksanakan pengukuran
Pengukuran variabel bebas (faktor resiko) dan variabel tergantung (efek, atau penyakit)
harus dilakukan sesuai dengan prinsip prinsip pengukuran.
Pengukuran faktor resiko. Penepatan faktor resiko dapat dilakukan dengan berbagai
cara, bergantung pada sifat faktor resiko. Pengukuran dapat dilakukan dengan kuesioner,
rekam medis, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan fisik, atau prosedur khusus. Bila
faktor resiko diperoleh dengan wawancara, mungkin diperoleh informasi yang tidak akurat
atau tidak lengkap, yang merupakan keterbatasan studi ini. Karena itu maka jenis studi ini
lebih tepat untuk mengukur faktor faktor resiko yang tidah berubah (variabel atribut),
misalnya golongan darah, jenis kelamin, atau HLA.
Pengukuran efek (penyakit). Terdapatnya efek atau penyakit tertentu dapat ditentukan
dengan menggunakan kuesioner, pemeriksaan fisik, atau pemeriksaan khusus, yang
bergantung pada karakteristik penyakit yang dipelajari. Cara apapun yang dipergunakan,
harus ditetapkan kriteria diagnosisnya dengan batasan operasional yang jelas. Harus selalu
diingat hal hal yang akan mengurangi validitas penelitian, termasuk subyek yang tidak
ingat timbulnya penyakit, terutama pada penyakit yang timbul secara perlahan. Untuk
penyakit yang mempunyai eksaserbasi atau remisi, penting untuk menayai subyek, apakah
pernah mengalami gejala tersebut sebelumnya.
5. Melakukan analisis data
Analisis hubungan antar-variabel atau perbedaan prevalens antar kelompok yang diteliti
dilakukan setelah dilakuka validasi dan pengelompokan data. Analisis ini dapat dilakukan
berupa suatu uji hipotesis ataupun analisis untuk memperoleh resiko relatif. Hal yang
terakhir inilah yang lebih sering dihitung dalam studi cross-sectional untuk
mengidentifikasi faktor resiko.
Yang dimaksud dengan resiko relatif pada studi cross-sectional adalah perbandingan
antara prevalens penyakit (efek) pada kelompok dengan resiko, dengan prevalens efek
pada kelompok tanpa resiko. Pada studi cross-sectional ini, resiko relatif diperoleh bukan
resiko relatif yang murni. Resiko relatif yang murni hanya dapat diperoleh dengan
penelitian kohort dengan membandingkan insiden penyakit pada kelompok dengan resiko
dengan insiden penyakit pada kelompok tanpa resiko.
Pada studi cross-sectional, estimasi resiko relatif dinyatakan dengan rasio prevalens (RP),
yakni perbandingan antara jumlah subyek dengan penyakit (lama dan baru) pada satu saat
dengan seluruh subyek yang ada. RP dihitung dengan cara sederhana, yakni dengan
menggunakan tabel 2x2 seperti dilukiskan dalam gambar7-2. Dari skema tersebut rasio
prevalens dapat dihitung dengan formula:
RP = a /(a+b) : c /(c+d)
a/(a+b) = Proporsi (prevalens) subyek yang mempunyai faktor resiko yang
mengalami efek
c/(c+d) = Proporsi (prevalens) subyek tanpa faktor resiko yang mengalami efek
Rasio prevalens harus selalu disertai dengan interval kepercayaan (confidence interval)
yang dikehendaki, misal interval kepercayaan 95%. Interval kepercayaan menunjukkan
tentang rasio prevalens yang diperoleh pada populasi terjangkau bila sampling dilakukan
berulang ulang dengan cara yang sama. Cara perhitungan interval kepercayaan untuk rasio
prevalens dapat dilihat dalam lampiran, atau dapat dihitung dengan berbagai program
statistika komputer. Bagi kita yang penting adalah pemahaman bahwa interval
kepercayaan tersebut harus dihitung, dan memahami bagaimana menginterpretasinya.

Interprestasi hasil

1. Bila nilai rasio prevalens = 1 berarti variabel yang diduga sebagai faktor risiko tidak
ada pengaruhnya dalam terjadinya efek, atau dengan kata lain ia bersifat netral.
Misalnya semula diduga bahwa dengan kata lain ia bersifat netral. Misalnya semula
diduga bahwa pemakaian kontrasepsi oral pada awal kehamilan merupakan faktor
risiko untuk terjadinya penyakit jantung bawaan pada bayi yang akan dilahirkan
apabila ternyata pada akhir penelitian ditemukan rasio prevalensnya =1, maka hal
tersebut berati bahwa pemakaian obat kontrasepsi oral oleh ibu pada awal kehamilan
bukan merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit jantung bawaan pada bayi
yang kemudian dilahirkan.
2. Bila rasio prevalens >1 dan rentang interval kepercayaan tidak mencakup angka 1,
berarti variabel tersbut merupakan faktor risiko untuk timbulnya penyakit. Misalnya
rasio prevalens pemakaian KB suntik pada ibu memberikan ASI eksklusif terhadap
kejadian kurang gizi pada anak =2. Ini berarti bahwa KB suntik merupakan risiko
untuk terjadinya defisiensi gizi pada bayi., yakni bayi yang ibunya akseptor KB
suntik mempunyai risiko menderita defisiensi gizi 2 kali lebih besar ketimbang bayi
yang ibunya bukan pemakaian KB suntik.
3. Bila nilai rasio prevalens <1 dan rentang interval kepercayaan tidak mencakup angka
1, berati faktor yang iteliti merupakan faktor protektif, bukan faktor risiko. Misalnya
rasio prevalens pemakaian ASI untuk terjadinya diare pada bayi adalah 0,3, berarti
ASI justru faktor pencegah diare pada bayi, yakni bayi yang minum ASI memiliki
risiko untuk menderita diare 0,3 kali apabila dibandingkan dengan bayi yang tidak
minum ASI.
4. Bila nilai interval kepercayaan rasio prevalens mencakup angka 1, maka berati pada
populasi yang diwakili oleh sampel tersebut masih mungkin nilai rasio
prevalensnya=1. Ini berati bahwa dari data yang ada belum dapat disimpulkan bahwa
faktor yang dikaji benar-benar merupakan faktor risiko atau faktor protektif.

Contoh

Rasio prevalens (RP) sebesar 3, dengan interval kepercayan 95% 1,4 sampai 6,8
menunjukan bahwa dalam populasi yang diwakili oleh sampel yang diteliti, kita
percaya 95% bahwa rasio prevalensnya terletak antara 1,4 sampai 6,8 (selalu lebih
dari 1). Namun satu RP sebesar engan interval kepercayaan 95% antara 0,8 sampai 7,
menunjukan bahwa variabel bebas yang diteliti belum tentu merupakan faktor risiko,
sebab di dalam populasi yang diwakili oleh sampel, 95% nilaiRP-nya terletak diantara
0,8 dan 7, jadi mecakup nilai 1. RP= 1 menunjukan bahwa variabel yang diteliti
bersifat netral. Hal yang sama juga berlaku untuk faktor protektif (RP kurang dari 1),
apabila nilai interval kepercayaan selalu kurang dari 1 berati benar bahwa dalam
populasi variabel independent tersebut merupakan faktr protektif. Namun apabila
rentang interval kepercayaan mencakup angka 1, faktor yang diteliti tersebut belum
tentu merupakan faktor protektif.

CONTOH STUDY CROSS-SECTIONAL

STUDI CROSS-SECTIONAL DENGAN SATU FAKTOR RISIKO

Misalnya peneliti ingin mencari hubungan antara pengguna obat nyamuk semprot
dengan batuk krnik beruang (BKB) pada balita dengan desain cross-sectional.
Langkah-langkah yang diperlukan adalah sebagai berikut :

1. Penetapan pertanyaan penelitian dan hipotesis


Pertanyaan penelitian : Apakah terdapat hubungan antara kebiasaan memakai
obat nyamuk semprot dengan kejadian BKB paada anak balita ?
Hipotesis yang sesuai adalah : Pemakaian obat nyamuk semprot berhubungan
dengan kejaian BKB pada balita.
2. Identivikasi variabel
Faktor risiko yang diteliti penggunaan obat nyamuk semprot
Efek : BKB pada balita
Faktor risiko yang tidak diteliti: adanya riwayat asma dalam keluarga, tingkat
sosial ekonomi, jumlah anak, dll.
Semua istilah tersebut harus dibuat definisi operasionalnya dengan jelas,
sehingga tidak bermakna ganda.
3. Penetapan subyek penelitian
Populasi-terjangkau : misalnya ditetapkan bahwa responden adalah semua
balita pengunjung poliklinik yang tidak memiliki riwayat asma dalam
keluarga, memiliki tingkat sosial ekonomi tertentu, serta jumlah anak dalam
keluarga tertentu.
Sampel : Dipilih sejumlah anak balita sesuai dengan perkiraan besar sampel
yang diperlukan (misalnya telah dihitung diperlukan sejumlah 250 anak).
Pemilihan subjek dilakukan dengan random sampling dengan mempergunakan
tabel angka random.
4. Pengukuran
Faktor risiko : ditanyakan apakah dirumah subyek digunakan obat nyamuk
semprot.
Effek : dengan kriteria tertentu ditetapkan apakah subyek tersebut menderita
BKB
5. Analisis
Hasil pengamatan tersebut dimasukan kedalam tabel 2x2 (Gambar 7-3). Pada
Gambar 7-3 terdapat 100 anak yang terpajan obat nyamuk semprot, 30 anak
diantaranya menderita BKB (prevalens BKB pasda kelompok terpajan obat
nyamuk 30/100=0,3). Terdapat 150 anak tidak terpajan obat nyamuk, 15
diantaranya menderita BKB (prevalens BKB kelompok tidak terpajan obat
nyamuk 15/150= 0,1 ). Maka rasio prevalens dalah 0,3/0,1 = 3.0.
Selanjutnya perlu dihitung interval kepercayaan rasio prevalens (RP) tersebut.
Pada data hipotesis kita nilai interval kepercayaan 95% RP tersebut selalu diatas
nilai 1 (yakni antara 1,70 sampai 5,28) artinya dalam populasi 95% RP terletak
diantara 1,70 sampai 5,28 sehingga dapat disimpulkan bahwa benar penggunaan
obat nyamuk semprot merupakan faktor risiko untuk terjadinya BKB pada anak.
Namun, meski (pada data lain) RP-nya 3, bila interval kepercayaan mencakup
angka 1 (mialnya antara 0,9 sampai 6,7), maka penggunaan obat nyamuk semprot
belum dapat dikatakan secara definitif sebagai faktor risiko. Ini dapat disebabkan
oleh dua hal : (1) obat nyamuk semprot memang bukan merupakan faktor risiko
terjadinya BKB pada anak balita, atau (2) jumlah subyek yang diteliti kurang
banyak, bila ini yang terjadi, maka penambahan subyek pasti akan mempersempit
interval kepercayaan.

BKB
Ya Tidak Jumlah
Ya
Obat nyamuk 30 70 100
Tidak 15 135 150
Jumlah 45 205 250
Gambar 7-3, Hasil pengamatan cross-sectional untuk mengetahui hubungan
antara pemakaian obat nyamuk semprot dengan kejadian BKB pada balita. Rasio
Prevalens 30/100 : 15/150 = 3

Dari contoh tersebut tampaklah bahwa pada rancangan penelitian cross-setional


faktor prevalens adalah penting. Prevalens adalah proporsi subyek yang sakit pada
suatu waktu tertentu (kasus lama dan baru), yang harus dibedakan dengan insidens
pada rancangan penelitian kohort yang berati proporsi subyek yang semula sehat
kemudian menjadi sakit (kasus baru) dalam periode tertentu.

Walaupun istilah prevalens sering dihubungkan dengan penyakit, tetapi dapat


juga diartikan sebagai bukan penyakit, misalnya prevalens faktor risiko, atau faktor
lain yang akan diteliti. Prevalens sering digunakan oleh perencana kesehatan untuk
mengetahui beberapa banyak penduduk yang terkena penyakit terentu dan juga
penting diklinik untuk mengetahui penyakit yang banyak terdapat dalam suatu
pusat kesehatan.

STUDI CROSS-SECTIONAL DENGAN BEBERAPA


FAKTOR RISIKO

Tidak jarang peneliti ingin memperoleh peran beberapa faktor risiko untuk
terjadinya suatu penyakit sekaligus, atau data yang dikumpulkan tidak dapat
menyingkirkan adanya faktor-faktor lain yang mungkin merupakan faktor perancu
(confounding factor). Untuk data ini dapat dilakukan analisis multivariat. Dua jenis
analisis multivariat yang sering digunakan adalah regresi multipel dan regresi
logistik. Keduanya disinggung sekilas.

1. Bila semua faktor risiko berskala numerik dan variabel efek juga berskala
numerik, maka dipergunakan regresi multipel.

Contoh
Ingin diketahui peran kadar kolesterol total, trigliserida, hemoglobin, jumlah
konsumsi rokok, dan usia terhadap tekanan darah diastolik guru lelaki
dijakarta. Desain yang dipilih adalah cross-sectional. Hubungan anatara
variabel independent (faktor risiko) dengan variabel dependent (tekanan darah)
dinyatakan dalam persamaan regresi multiple.

2. Bila variabel efek berskala nominal, dan variabel bebas numerik, ordinal, dan
nominal, maka yang dipakai adalah regresi logistik.

Contoh
Dengan suatu studi cross-sectional ingin diketahui peran faktor jenis kelamin,
status gizi, usia, kadar gula puasa, dan kadar trigliserida untuk terjadinya
gangren diabetikum. Karena variabel tergantung berskala nominal dikotom
(gangren-tidak gangren), dan faktor risikonya berskala numerik (yakni usia,
kadar gula, kadar trigliserida) dan nominal (jenis kelamin, status gizi), maka
analisi yang sesuai adalah regresi logistik.
Baik persamaan regresi multiple maupun regresi logistik merupakan cara
yang kuat untuk menunjukan peran banyak variabel independent terhadap
terjadinya variabel dependen, namun mempunyai berbagai persyaratan,
keterbatasan, dan pendekatan interprestasi tertentu, yang tidak dibahas di sini.
Pertanyaannya adalah mengapa bila teknik multivariat ini baik serta efisien
(karena sekaligus mendeteksi banyak faktor risiko) tidak selalu digunakan
dalam studi kedokteran? Jawabanya adalah oleh karena meskipun teknik
multivariat dapat mendeteksi banyak variabel independent (faktor risiko)
sekaligus, namun dalam penghitungannya untuk uji parametrik diasumsikan
bahwa data yang ada mempunyai distribusi yang normal., dalam kenyataan
tidak jarang asumsi tersebut tidak dipenuhi oleh data.
Dalam studi apapun, asosiasi yang langsung lebih dapat diperoleh dengan
desain yang sederhana. Makin sederhana desain, makin sedikit asumsi yang
diperlukan, makin langsung pula asosiasi yang diperoleh. Hasil penelitian yang
menggunakan desain yang sederhana lebih mudah pula untuk diinterpretasikan.
Oleh karena itulah maka studi multivariat oleh sebagian ahli dianggap sebagai
penelitian untuk membangun hipotesis ( hypothesis generating research), dan
bukan penelitian untuk menguji hipotesis (hypothesis testing research). Artinya
hasil analisis multivariat dapat digunakan sebagai latar belakang untuk
mengembangkan penelitian baru yang menguji asosiasi antara variabel
independent dan variabel dependent dengan menggunakan desain penelitian
yang lebih sederhana dan terarah.

Kelebihan dan Kekurangan Penelitian Cross-Sectional


Kelebihan
1. Keuntungan yang utama desain cross-sectional adalah desain ini relatif
mudah, murah, dan hasilnya cepat dapat diperoleh
2. Memungkinkan penggunaan populasi dari masyarakat umum, tidak hanya
pasien yang mencari penggobatan, dengan demikian maka generalisasinya
cukup memadai.
3. Dapat dipakai untuk meneliti banyak variabel sekaligus
4. Jarang terancam loss to follow-up (drop out)
5. Dapat dipakai sekaligus dasar untuk penelitian selanjutnya yang bersifat
lebih konklusif.

Kekurangan

1. Sulit untuk menentukan sebab dan akibat karena pengambilan data risiko
dan efek dilakukan pada satu saat yang bersamaan (temporal relationship
tidak jelas). Akibatnya seringkali tidak mungkin ditentukan mana penyebab
dan mana akibat (dilema telur dan ayam, horse dan cart)
2. Study prevalens lebih banyak menjaringsubyek dengan masa sakit yang
panjang dripada yang mempunyai masa sakit pendek, karena individu yang
cepat sembuh atau cepat meninggal mempunyai kesempatan yang lebih
kecil untuk terjaring.
3. Dibutuhkan jumlah subyek yang cukup banyak terutama bila variabel yang
dipelajari banyak.
4. Tidak menggambarkan perjalanan penyakit, insiden, pragnosis
5. Tidak praktis untuk meneliti kasus yang sangat jarang, misalnya kanker
lambung, karena pada populasi usia 45-59 tahun diperlukan paling tidak
10.000 subyek untuk mendapatkan satu kasus. Kekurangan ini sebagaian
dapat diatasi dengan cara memilih populasi dari daerah yang
endemik/kelompok risiko tinggi daripada memilih populasi umum
6. Mungkin terjadi bila prevalens atau bias insidens karena suatu efek faktor
risiko selama priode tertentu dapat disalahtafsirkan sebagai efek penyakit.
Misalnya pada rancangan cross-sectional didapatkan frekuensi HLA-A2
yang tinggi pada pasien leukimia limfositik akut (LLA), memberi kesan
bahwa pasien dengan HLA-A2 mempunyai risiko yang lebih besar untuk
menderita LLA. Namun dalam penelitian lain yang dilakukan kemudian
terbukti bahwa HLA-A2 justru memili prognosis yang baik, yakni umur
pasien lebih panjang, akibatnya pasien LLA dengan HLA-A2 dijumpai
lebih banyak daripada pasien LLA dengan HLA lain.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Penelitian cross-sectional adalah penelitian yang dilakukan pada satu waktu dan satu
kali, tidak ada follow up, untuk mencari hubungan antara variabel independen (faktor resiko)
dengan variabel dependen (efek).

Beberapa tujuannya adalah, mencari prevalensi serta indisensi satu atau beberapa
penyakit tertentu yang terdapat di masyarakat, Memperkirakan adanya hubungan sebab
akibat pada penyakit-penyakit tertentu dengan perubahan yang jelas, Menghitung besarnya
resiko tiap kelompok, resiko relatif, dan resiko atribut.

Anda mungkin juga menyukai