CROSS SECTIONAL
Disusun Oleh:
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan atas kehadiran Allah SWT, atas berkat dan karuniaNya
yang telah diberikan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami berharap
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang penelitian bagi yang
membacanya sehingga dapat memberikan kemudahan apabila melakukan sebuah penelitian.
Tak lupa pula kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Dosen yang telah
membimbing kami dan teman-teman yang telah membantu dan memberikan kami motifasi
sehingga makalah ini dapat selesai tepat waktu. Kami menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan untuk itu kami mengharapkan saran-saran dari teman-teman yang
bersifat membangun sehingga makalah ini dapat mendekati kesempurnaan.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................................................i
Daftar Isi....................................................................................................................................ii
Bab I Pendahuluan
Latar belakang............................................................................................................................1
Rumusan Masalah......................................................................................................................1
Bab II Pembahasan
Interprestasi Hasil......................................................................................................................
Kesimpulan...............................................................................................................................
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Disamping itu, penelitian kedokteran juga dapat dilakukan tanpa mengikuti perjalanan
penyakit, tetapi dilakukan pengamatan sesaat atau dalam suatu periode tertentu dan setiap
subjek studi hanya dilakukan satu kali pengamatan selama penelitian.
Pada umumnya, penelitian cross sectional disebut juga studi prevalensi dengan tujuan
mengadakan deskripsi subjek studi seperti pada penelitian deskriptip murni atau mengadakan
penelusuran seperti pada penelitian eksploratif. Dalam hal-hal tertentu, penelitian dengan
pendekatan cross sectional dapat digunakan untuk penelitian analitik.
Rumusan Masalah
Interprestasi Hasil
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Dasar Studi Cross Sectional
Penelitian cross secsional adalah peneliti mencari hubungan antara variabel bebas
(faktor resiko) dengan variabel tergantung (efek) dengan melakukan pengukuran sesaat.
Tentunya tidak semua subyek harus diperiksa pada hari atau saat yang sama, namun baik
variabel resiko serta efek tersebut diukur menurut keadaan atau statusnya pada waktu
observasi, jadi pada sesain cress sectional tidak ada prosedur tindak lanjut atau follow up.
Selain itu temporal relationship (hubungan waktu) antara faktor resiko dan efek tidak selalu
tergambar dari data yang terkumpul.
Hasil pengamatan cross sectional untuk mengidentifikasi faktor resiko ini kemudian
disusun dalam tabel 2x2 untuk desain seperti ini biasanya yang dihitung adalah rasio
prevalens yakni perbandingan antara prevalens suatu penyakit atau efek pada subyek
kelompok yang mempunyai faktor resiko, dengan prevalens penyakit atau efek pada subyek
yang tidak mempunyai faktor resiko. Rasio prevalens menunjukkan peran faktor resiko dalam
terjadinya efek pada studi cross-sectional.
Kurang tepat digunakan pada penyakit penyakit tersebut oleh karena itu diperlukan
sampel yang besar, follow up yang sangat lama, dan sulit mengetahui saat mulainya penyakit
(sulit untuk menentukan insidens). Sebalinnya jenis penyakit yang mempunyai masa sakit
yang pendek tidak tepat dikaji dengan studi cross-sectional, karena hanya sedikit kasus yang
diperoleh dalam waktu yang pendek. Sesuai dengan namanya maka pada studi cross-
sectional yang dinilai adalah prevalens (basien baru dan lama). Insidens penyakit (hanya
pasien baru) tidak dapat diperoleh pada studi cross-sectional.
1. Tujuan utama penelitan cross sectional adalah untuk mencari prevalensi satu atau
beberapa penyakit tertentu yang terdapat di masyarakat seperti pada studi deskriptif,
tetapi pada keadaan tertentu, studi cross sectional dapat juga digunakan untuk
memperkirakan insidensi, misalnya penyakit dengan bekas yang permanen seperti
variola. Dengan menemukan prevalensi bekas yang ditinggalkan oleh variola dapat
diperkirakan bahwa pada masa lalu terjadi peningkatan insiden penyakit tersebut,
tetapi cara ini tidak dapat digunakan bila bekas yang ditinggalkan penyakit akan
hilang dalam waktu tertentu dan penemuan insidensi dengan studi cross sectional
hasilnya akan bias. Misalnya varicella, walaupun menggialkan bekas, tetapi pada
suatu waktu bekas tersebut akan hilang dan pencarian insidensi penyakit tersebut
hanya dapat dilakukan seperti wawancara
Gambar 7-1 melukiskan dengan sederhana rancangan studi Icross-sectional.I sejalan dengan
sekema tersebut dapat disusun langkah-langkah yang terpenting dalam rancangan studi cross-
sectional, yaitu:
a efek
(b+) efek (-)
Faktor resiko
c efek
(d+) efek (-)
Gambar 7-1. Struktur studi cross-sectional menilai peran faktor resiko dan terjadinya
efek. Fattor resiko dan efek diperiksa pada saat yang sama
Efek
Ya Tidak jumlah
Faktor resiko Ya a b a+b
Tidak c d c+d
Interprestasi hasil
1. Bila nilai rasio prevalens = 1 berarti variabel yang diduga sebagai faktor risiko tidak
ada pengaruhnya dalam terjadinya efek, atau dengan kata lain ia bersifat netral.
Misalnya semula diduga bahwa dengan kata lain ia bersifat netral. Misalnya semula
diduga bahwa pemakaian kontrasepsi oral pada awal kehamilan merupakan faktor
risiko untuk terjadinya penyakit jantung bawaan pada bayi yang akan dilahirkan
apabila ternyata pada akhir penelitian ditemukan rasio prevalensnya =1, maka hal
tersebut berati bahwa pemakaian obat kontrasepsi oral oleh ibu pada awal kehamilan
bukan merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit jantung bawaan pada bayi
yang kemudian dilahirkan.
2. Bila rasio prevalens >1 dan rentang interval kepercayaan tidak mencakup angka 1,
berarti variabel tersbut merupakan faktor risiko untuk timbulnya penyakit. Misalnya
rasio prevalens pemakaian KB suntik pada ibu memberikan ASI eksklusif terhadap
kejadian kurang gizi pada anak =2. Ini berarti bahwa KB suntik merupakan risiko
untuk terjadinya defisiensi gizi pada bayi., yakni bayi yang ibunya akseptor KB
suntik mempunyai risiko menderita defisiensi gizi 2 kali lebih besar ketimbang bayi
yang ibunya bukan pemakaian KB suntik.
3. Bila nilai rasio prevalens <1 dan rentang interval kepercayaan tidak mencakup angka
1, berati faktor yang iteliti merupakan faktor protektif, bukan faktor risiko. Misalnya
rasio prevalens pemakaian ASI untuk terjadinya diare pada bayi adalah 0,3, berarti
ASI justru faktor pencegah diare pada bayi, yakni bayi yang minum ASI memiliki
risiko untuk menderita diare 0,3 kali apabila dibandingkan dengan bayi yang tidak
minum ASI.
4. Bila nilai interval kepercayaan rasio prevalens mencakup angka 1, maka berati pada
populasi yang diwakili oleh sampel tersebut masih mungkin nilai rasio
prevalensnya=1. Ini berati bahwa dari data yang ada belum dapat disimpulkan bahwa
faktor yang dikaji benar-benar merupakan faktor risiko atau faktor protektif.
Contoh
Rasio prevalens (RP) sebesar 3, dengan interval kepercayan 95% 1,4 sampai 6,8
menunjukan bahwa dalam populasi yang diwakili oleh sampel yang diteliti, kita
percaya 95% bahwa rasio prevalensnya terletak antara 1,4 sampai 6,8 (selalu lebih
dari 1). Namun satu RP sebesar engan interval kepercayaan 95% antara 0,8 sampai 7,
menunjukan bahwa variabel bebas yang diteliti belum tentu merupakan faktor risiko,
sebab di dalam populasi yang diwakili oleh sampel, 95% nilaiRP-nya terletak diantara
0,8 dan 7, jadi mecakup nilai 1. RP= 1 menunjukan bahwa variabel yang diteliti
bersifat netral. Hal yang sama juga berlaku untuk faktor protektif (RP kurang dari 1),
apabila nilai interval kepercayaan selalu kurang dari 1 berati benar bahwa dalam
populasi variabel independent tersebut merupakan faktr protektif. Namun apabila
rentang interval kepercayaan mencakup angka 1, faktor yang diteliti tersebut belum
tentu merupakan faktor protektif.
Misalnya peneliti ingin mencari hubungan antara pengguna obat nyamuk semprot
dengan batuk krnik beruang (BKB) pada balita dengan desain cross-sectional.
Langkah-langkah yang diperlukan adalah sebagai berikut :
BKB
Ya Tidak Jumlah
Ya
Obat nyamuk 30 70 100
Tidak 15 135 150
Jumlah 45 205 250
Gambar 7-3, Hasil pengamatan cross-sectional untuk mengetahui hubungan
antara pemakaian obat nyamuk semprot dengan kejadian BKB pada balita. Rasio
Prevalens 30/100 : 15/150 = 3
Tidak jarang peneliti ingin memperoleh peran beberapa faktor risiko untuk
terjadinya suatu penyakit sekaligus, atau data yang dikumpulkan tidak dapat
menyingkirkan adanya faktor-faktor lain yang mungkin merupakan faktor perancu
(confounding factor). Untuk data ini dapat dilakukan analisis multivariat. Dua jenis
analisis multivariat yang sering digunakan adalah regresi multipel dan regresi
logistik. Keduanya disinggung sekilas.
1. Bila semua faktor risiko berskala numerik dan variabel efek juga berskala
numerik, maka dipergunakan regresi multipel.
Contoh
Ingin diketahui peran kadar kolesterol total, trigliserida, hemoglobin, jumlah
konsumsi rokok, dan usia terhadap tekanan darah diastolik guru lelaki
dijakarta. Desain yang dipilih adalah cross-sectional. Hubungan anatara
variabel independent (faktor risiko) dengan variabel dependent (tekanan darah)
dinyatakan dalam persamaan regresi multiple.
2. Bila variabel efek berskala nominal, dan variabel bebas numerik, ordinal, dan
nominal, maka yang dipakai adalah regresi logistik.
Contoh
Dengan suatu studi cross-sectional ingin diketahui peran faktor jenis kelamin,
status gizi, usia, kadar gula puasa, dan kadar trigliserida untuk terjadinya
gangren diabetikum. Karena variabel tergantung berskala nominal dikotom
(gangren-tidak gangren), dan faktor risikonya berskala numerik (yakni usia,
kadar gula, kadar trigliserida) dan nominal (jenis kelamin, status gizi), maka
analisi yang sesuai adalah regresi logistik.
Baik persamaan regresi multiple maupun regresi logistik merupakan cara
yang kuat untuk menunjukan peran banyak variabel independent terhadap
terjadinya variabel dependen, namun mempunyai berbagai persyaratan,
keterbatasan, dan pendekatan interprestasi tertentu, yang tidak dibahas di sini.
Pertanyaannya adalah mengapa bila teknik multivariat ini baik serta efisien
(karena sekaligus mendeteksi banyak faktor risiko) tidak selalu digunakan
dalam studi kedokteran? Jawabanya adalah oleh karena meskipun teknik
multivariat dapat mendeteksi banyak variabel independent (faktor risiko)
sekaligus, namun dalam penghitungannya untuk uji parametrik diasumsikan
bahwa data yang ada mempunyai distribusi yang normal., dalam kenyataan
tidak jarang asumsi tersebut tidak dipenuhi oleh data.
Dalam studi apapun, asosiasi yang langsung lebih dapat diperoleh dengan
desain yang sederhana. Makin sederhana desain, makin sedikit asumsi yang
diperlukan, makin langsung pula asosiasi yang diperoleh. Hasil penelitian yang
menggunakan desain yang sederhana lebih mudah pula untuk diinterpretasikan.
Oleh karena itulah maka studi multivariat oleh sebagian ahli dianggap sebagai
penelitian untuk membangun hipotesis ( hypothesis generating research), dan
bukan penelitian untuk menguji hipotesis (hypothesis testing research). Artinya
hasil analisis multivariat dapat digunakan sebagai latar belakang untuk
mengembangkan penelitian baru yang menguji asosiasi antara variabel
independent dan variabel dependent dengan menggunakan desain penelitian
yang lebih sederhana dan terarah.
Kekurangan
1. Sulit untuk menentukan sebab dan akibat karena pengambilan data risiko
dan efek dilakukan pada satu saat yang bersamaan (temporal relationship
tidak jelas). Akibatnya seringkali tidak mungkin ditentukan mana penyebab
dan mana akibat (dilema telur dan ayam, horse dan cart)
2. Study prevalens lebih banyak menjaringsubyek dengan masa sakit yang
panjang dripada yang mempunyai masa sakit pendek, karena individu yang
cepat sembuh atau cepat meninggal mempunyai kesempatan yang lebih
kecil untuk terjaring.
3. Dibutuhkan jumlah subyek yang cukup banyak terutama bila variabel yang
dipelajari banyak.
4. Tidak menggambarkan perjalanan penyakit, insiden, pragnosis
5. Tidak praktis untuk meneliti kasus yang sangat jarang, misalnya kanker
lambung, karena pada populasi usia 45-59 tahun diperlukan paling tidak
10.000 subyek untuk mendapatkan satu kasus. Kekurangan ini sebagaian
dapat diatasi dengan cara memilih populasi dari daerah yang
endemik/kelompok risiko tinggi daripada memilih populasi umum
6. Mungkin terjadi bila prevalens atau bias insidens karena suatu efek faktor
risiko selama priode tertentu dapat disalahtafsirkan sebagai efek penyakit.
Misalnya pada rancangan cross-sectional didapatkan frekuensi HLA-A2
yang tinggi pada pasien leukimia limfositik akut (LLA), memberi kesan
bahwa pasien dengan HLA-A2 mempunyai risiko yang lebih besar untuk
menderita LLA. Namun dalam penelitian lain yang dilakukan kemudian
terbukti bahwa HLA-A2 justru memili prognosis yang baik, yakni umur
pasien lebih panjang, akibatnya pasien LLA dengan HLA-A2 dijumpai
lebih banyak daripada pasien LLA dengan HLA lain.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Penelitian cross-sectional adalah penelitian yang dilakukan pada satu waktu dan satu
kali, tidak ada follow up, untuk mencari hubungan antara variabel independen (faktor resiko)
dengan variabel dependen (efek).
Beberapa tujuannya adalah, mencari prevalensi serta indisensi satu atau beberapa
penyakit tertentu yang terdapat di masyarakat, Memperkirakan adanya hubungan sebab
akibat pada penyakit-penyakit tertentu dengan perubahan yang jelas, Menghitung besarnya
resiko tiap kelompok, resiko relatif, dan resiko atribut.