Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa
tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara.
Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia
produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena
mobilitas yang tinggi dikalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga
keselamatan di jalan masih rendah, disamping penanganan pertama yang belum benar-benar,
serta rujukan yang terlambat.1

Di Indonesia kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000


kasus. Dari jumlah diatas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari pasien
yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk
cedera sedang dan 10% sedang, dan 10 % termasuk cedera kepala berat.1

Pada kehidupan sehari-hari, cedera kepala adalah tantangan umum bagi kalangan
medis untuk menghadapinya, dimana tampak keberlangsungan proses patofisiologi yang
diungkapkan dengan segala terobosan investigasi diagnostik medis mutakhir cenderung
bukanlah suatu hal yang sederhana. Berbagai istilah lama seperti: komosio dan kontusi kini
sudah ditinggalkan dan klasifikasi cedera kepala lebih mengarah dalam aplikasi penanganan
klinis dalam mencapai keberhasilan penanganan yang maksimal.2

Cedera pada kepala dapat melibatkan seluruh struktur lapisan, mulai dari lapisan kulit
kepala atau tingkat paling ringan, tulang tengkorak, duramater, vaskuler otak, sampai jaringan
otaknya sendiri; baik berupa luka yang tertutup, maupun trauma tembus. Dengan pemahaman
landasan biomekanisme-patofisiologi terperinci dari masing-masing proses diatas, yang
dihadapkan dengan prosedur penanganan cepat dan akurat, diharapkan dapat menekan
morbiditas dan mortalitasnya.2

BAB II

1
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak.
Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit
neurologik dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya.3
2.2 Anatomi

2.2.1 Kulit Kepala (SCALP)

Kulit kepala terdiri dari 5 lapis jaringan yang disingkat sebagai SCALP yaitu: (1) Skin
atau kulit, (2) Connective Tisuue atau jaringan penyambung, (3) Aponeurosis atau galea
aponeurotika, (4) Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar, (5) Perikranium.
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan merupakan
tempat tertimbunnya darah hematoma subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh
darah sehingga bila terjadi luka kulit kepala dapat menyebabkan kehilangan darah cukup
banyak, terutama pada bayi dan anak-anak.4

2.2.2 Tulang Tengkorak

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Khusus diregio
temporal, kalvaria tipis dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii terbentuk tidak rata
sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi. Lantai dasar rongga tengkorak dibagi atas 3 fosa, yaitu: fosa anterior, fosa media
dan fosa posterior adalah ruang untuk bagian bawah batang otak dan otak kecil (serebelum).4

2.2.3 Meningen (Selaput Otak)

2
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan, yaitu:
duramater, arachnoid dan piamater. Duramater merupakan selaput yang kuat, terdiri atas
jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam cranium. Pada beberapa
tempat tertentu, duramater membelah menjadi 2 lapis membentuk sinus venosus besar yang
mengalirkan darah vena otak. Sinus sagitalis superior yang terletak digaris tengah
mengalirkan darah vena ke sinus transversus kanan dan kiri lalu ke sinus sigmoideus yang
umumnya sebelah kanan lebih besar. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat.4

Arteri-arteri meningenia terletak antara duramater dan permukaan dalam dari cranium
(ruang epidural). Patah tulang kepala diatasnya dapat menyebabkan laserasi arteri-arteri itu
dan menyebabkan perdarahan epidural, yang berlokasi di fossa temporal. Perdarahan yang
hebat dari cedera arteri ini dapat menyebabkan perburukan yang sangat cepat bahkan
kematian.4

Perdarahan epidural dapat juga terjadi karena robekan sinus-sinus duramater dan
fraktur tulang, yang berkembang lebih perlahan-lahan dan penekanan yang lebih ringan
terhadap otak dibawahnya. Akan tetapi, sebagian besar perdarahan epidural merupakan
kondisi gawat darurat yang mengancam nyawa, dan sebab itu itu harus dievaluasi segera oleh
ahli bedah saraf. 4

Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan tembus
pandang disebut arachnoid. Karena duramater tidak melekat ke arachnoid, maka ada satu
rongga diantaranya yaitu rongga subdural yang kedalamnya dapat berkumpul perdarahan.
Pada cedera otak, vena-vena bridging yang berjalan dari permukaan otak ke sinus-sinus
duramater dapat saja mengalami robekan, yang menyebabkan terjadinya perdarahan
subdural.4

Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat erat pada permukaan korteks serebri.
Cairan serebrospinal mengisi rongga antara arachnoid yang kedap air dengan piamater
(rongga subarachnoid) yang menjadi bantalan otak dan medulla spinalis. Perdarahan ke
rongga yang penuh cairan serebrospinal ini (subarachnoid) sering terlihat pada kontusi
jaringan otak ataupun pada cedera pembuluh darah besar di daerah dasar otak.4

3
2.2.4 Otak

Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum dan batang otak. Serebrum terdiri dari
hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri, yaitu lipatan duramater yang
merupakan lanjutan dari sinus sagitalis superior di garis tengah. Pada hemisfer serebri kiri
terdapat pusat bicara pada semua manusia yang bekerja dengan tangan kanan, dan juga pada
lebih 85% orang kidal. Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara disebut sebagai
hemisfer dominan. Lobus frontal mengontrol inisiatif, emosi, fungsi motoric dan pada sisi
yang dominan mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara motorik). Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi
memori tertentu. Pada semua orang yang bekerja dengan tangan kanan dan sebagian orang
kidal, lobus temporal kiri bertanggung jawab dalam kemampuan menerima rangsang dan
integrasi bicara. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam penglihatan.4

Batang otak terdiri dari mesensefalon (midbrain), pons dan medulla oblongata.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi system aktivasi reticular yang berfungsi dalam
kesadaran dan kewaspadaan. Pusat kardiorespiratorik berada di medulla oblongata yang
berlanjut memanjang menjadi medulla spinalis. Lesi yang kecil saja pada batang otak sudah
dapat menyebabkan deficit neurologis yang berat. Serebelum terutama bertanggung jawab
dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan, terletak dalam fosa posterior, membentuk
hubungan dengan medulla spinalis, batang otak dan akhirnya dengan kedua hemisfer serebri.4

4
2.2.5 Sistem Ventrikel

Ventrikel-ventrikel adalah suatu system berupa rongga yang berisi cairan


serebrospinal (CSS). Berlokasi dibagian atap ventrikel lateralis kanan dan kiri dan ventrikel
III terdapat pleksus khoroideus yang menghasilkan CSS dengan kecepatan kira-kira 20
ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral ke foramen Monroe menuju ventrikel III, lalu ke
akuaduktus Sylvius menuju ventrikel IV di fossa posterior. Selanjutnya CSS keluar dari
system ventrikel dan masuk dalam rongga subarachnoid yang berada di seluruh permukaan
otak dan medula spinalis dan akan mengalami reabsorbsi kedalam sirkulasi vena melalui
granulasio arachnoid menuju sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat
mengganggu penyerapan CSS, menyebabkan tekanan tinggi intracranial dan pembesaran
ventrikel (hidrosefalus komunikan pasca trauma). Pembengkakan atau edema dan lesi massa
(misalnya perdarahan) dapat menyebabkan pergeseran ventrikel yang biasanya simetris yang
dengan mudah terlihat pada hasil CT scan otak.4

2.2.6 Tentorium

5
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri
dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii
posterior). Mesensefalon (midbrain) menghubungkan hemisfer serebri dengan batang otak
(pons dan medulla oblongata) dan berjalan melalui celah lebar tentorium serebeli yang
disebut insisura tentorial. Nervus okulomotorius berjalan sepanjang tepi tentorium, dan saraf
ini dapat tertekan bila terjadi herniasi lobus temporal, yang umumnya diakibatkan oleh
adanya massa supratentorial atau edema otak. Serabut-serabut parasimpatik yang berfungsi
melakukan konstriksi pupil mata berjalan dipermukaan nervus okulomotorius. Tekanan
terhadap serabut superfisial ini saat terjadinya herniasi menyebabkan pupil dilatasi sebagai
akibat tidak adanya hambatan terhadap aktivitas serabut simpatis, sering disebut sebagai
blown pupil.4

Bagian otak yang sering mengalami herniasi melalui insisura tentorial adalah sisi
medial lobus temporal yang disebut Unkus. Herniasi Unkus juga menyebabkan penekanan
traktus kortikospinal (piramidalis) yang berjalan di midbrain otak tengah. Traktus piramidalis
atau traktus motorik menyilang garis tengah menuju sisi berlawanan pada level foramen
magnum, sehingga penekanan pada traktus ini menyebabkan paresis otot-otot sisi tubuh
kontralateral (hemiparese kontralateral). Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiparese
kontralateral dikenal sebagai sebagai sindrom klasik herniasi unkus. Kadang-kadang, lesi
massa yang terjadi akan menekan dan mendorong sisi kontralateral midbrain pada tentorium
serebeli sehingga mengakibatkan hemiparese dan dilatasi pupil pada sisi yang sama dengan
hematoma intrakranialnya (sindroma lekukan Kernohan).

2.3 Fisiologi

6
Konsep fisiologis yang berhubungan dengan cedera otak meliputi tekanan
intrakranial, doktrin Monro-Kellie, dan aliran darah otak.

2.3.1 Tekanan Intrakranial

Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat menyebabkan kenaikan tekanan
intrakanial (TIK). Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau
memperberat iskemia. TIK normal pada keadaan istirahat kira-kira 10 mmHg. TIK lebih
tinggi dari 20 mmHg, terutama bila menetap dan sulit diatasi menyebabkan kesudahan yang
sangat buruk.4

2.3.2 Doktrin Monro-Kellie

Doktrin Monro-Kellie merupakan suatu konsep sederhana tetapi penting untuk


memahami dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa tekanan intracranial harus selalu
konstan, karena rongga cranium pada dasarnya merupakan rongga yang kaku, tidak mungkin
mekar. Darah didalam vena dan CSS dapat dikeluarkan dan dipindahkan dari rongga
tengkorak, sehingga TIK tetap normal. Sehingga segera setelah cedera otak, suatu massa
seperti perdarahan dapat bertambah dengan TIK masih tetap normal. Namun sewaktu batas
pemindahan /pengeluaran CSS dan darah intravascular tadi terlewati maka TIK secara sangat
cepat akan meningkat.4

2.3.3 Aliran Darah ke Otak (ADO, Cerebral Blood Flow)

7
ADO normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 mL per 100 gr jaringan
otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar bergantung pada usianya. Pada usia 1 tahun,
ADO hampir seperti orang dewasa, tetapi pada usia 5 tahun ADO bisa mencapai 90
ml/100gr/menit, dan secara bertahap akan turun sampai seperti ADO dewasa saat mencapai
pertengahan atau akhir masa remaja.4

Cedera otak berat yang dapat menyebabkan koma dapat mengakibatkan penurunan
ADO dalam beberapa jam pertama sejak trauma. ADO biasanya akan meningkat setelah 2-3
hari, tetapi pada pasien yang tetap koma, ADO tetap dibawah normal sampai beberapa hari
atau minggu setelah trauma. Semakin banyak bukti yang menyatakan bahwa ADO tidak
dapat mencukupi kebutuhan metabolisme otak segera setelah trauma, sehingga sering
mengakibatkan iskemi otak fokal ataupun menyeluruh.4

Pembuluh darah prekapiler normal memiliki kemampuan untuk berkonstriksi ataupun


dilatasi sebagai respon terhadap perfusi otak/TPO (CPP= Cerebral perfusion pressure), yang
secara klinis didefinisikan sebagai tekanan darah arteri rata-rata dikurangi tekanan
intracranial. CPP sebesar 50-150 mmHg diperlukan untuk memelihara aliran darah otak tetap
konstan (autoregulasi tekanan).

Konsekuensinya, otak yang cedera akan mengalami iskemia dan infark sehubungan
dengan penurunan ADO sebagai akibat cedera itu sendiri. Keadaan iskemi awal tersebut akan
dengan mudah diperberat oleh adanya hipotensi, hipoksia, dan hipokapnia sebagai akibat
hiperventilasi agresif yang kita lakukan.4

Oleh karena itu, semua tindakan ditujukan untuk meningkatkan aliran darah dan
perfusi otak dengan cara menurunkan TIK, memelihara kecukupan volume intrakranial,
mempertahankan tekanan darah arteri rata-rata (MAP= Mean Arterial Blood Pressure) dan
memperbaiki oksigenasi serta mengusahakan normokapnia.4

Perdarahan dan lesi lain yang meningkatkan volume intrakranial harus segera
dievakuasi. Mempertahankan tekanan perfusi otak diatas 60 mmHg sangat membantu untuk
memperbaiki ADO (namun tekanan yang sangat tinggi dapat memperburuk keadaan paru-
paru).

Sekali mekanisme kompensasi terlewati dan terdapat peningkatan eksponensial TIK,


maka perfusi otak akan terganggu, terutama pada pasien yang mengalami hipotensi. Akhirnya
akan berkontribusi pada terjadinya cedera sekunder yang dapat terjadi pada jaringan otak

8
yang masih bertahan pada beberapa hari pertama setelah cedera otak berat. Proses
patofisiologi tersebut ditandai oleh proses inflamasi progresif, permeabilitas pembuluh darah,
dan pembengkakan jaringan otak, dan kemudian peningkatan TIK yang menetap dan
mengakibatkan kematian.4

2.4 Klasifikasi Cedera Kepala

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal sebagai 3
deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan: (1) Mekanisme, (2) Berat-Ringannya, (3) Morfologi.4

Klasifikasi Cedera Kepala


Mekanisme
Tumpul Kecepatan tinggi (kecelakaan lalu lintas)
Kecepatan rendah (jatuh,dipukuli)
Tajam/Tembus Luka tembak
Cedera tajam/tembus lainnya

Berat-ringannya cedera
Ringan GCS 14-15
Sedang GCS 9-13
Berat GCS 3-8
Morfologi
Fraktur tulang
Kalvaria Garis vs bintang
Depresi/ non depresi
Terbuka/tertutup
Dasar tengkorak Dengan/tanpa kebocoran LCS
Dengan/tanpa parese N.VII

Lesi Intrakranial
Perdarahan Epidural
Fokal Perdarahan Subdural
Perdarahan Intraserebral
Konkusi
Difus Konkusio Multipel
Hipoksik/Iskemia
Glasgow Coma Scale

Penilaian Nilai
Respon Buka Mata (E)
Spontan 4
Terhadap suara 3
Terhadap nyeri 2
1
Tidak ada

9
Respon Motorik terbaik (M)
Turut perintah 6
Melokalisir nyeri 5
Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang) 4
3
Fleksi abnormal (dekortikasi)
2
Ekstensi abnormal (deserebrasi) 1
Tidak ada (flasid)
Respon verbal (V)
Beroientasi baik 5
Berbicara mengacau 4
Kata-kata tidak teratur 3
2
Suara tidak jelas
1
Tidak ada

2.4.1 Mekanisme Cedera Kepala

Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor, jatuh atau
pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan.

Adanya penetrasi selaput duramater menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera
tembus atau cedera tumpul.4

2.4.2 Beratnya Cedera

Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan untuk kelainan neurologis dan dipakai secara
umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala. Nilai GCS juga dipergunakan balam
menilai tingkat kesadaran penderita akibat berbagai penyebab lain.4

Koma didefinisikan bila penderita tidak mampu melaksanakan perintah, tidak dapat
mengeluarkan suara dan tidak dapat membuka mata. Penderita yang mampu membuka kedua
matanya secara spontan, mematuhi perintah dan berorientasi mempunyai nilai GCS total
sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstremitasnya flaksid dan tidak
dapat membuka mata sama sekali nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3.4

10
Sebenarnya istilah koma tidak dapat dinyatakan dengan tepat apabila memakai GCS.
Namun sebanyak 90% penderita dengan nilai GCS sama atau kurang dari menilai secara
kuantitatif 8 adalah dalam keadaan koma, dan tidak satupun penderita dengan nilai GCS
diatas 9 akan dalam keadaan koma, bila memakai definisi koma seperti tersebut di atas.
Karenanya nilai GCS lebih kecil atau sama dengan 8 dianggap sesuai dengan definisi koma.4

Berdasarkan nilai GCS maka penderita cedera kepala dengan nilai GCS 9-13
dianggap sebagai cedera kepala sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15 dianggap
sebagai cedera kepala ringan. Hal penting dalam penilaian GCS adalah menggunakan nilai
respons motorik pada sisi yang terbaik, namun dicatat respons pada kedua sisinya.4

2.4.3 Morfologi Cedera

CT scan secara dramatis merubah klasifikasi cedera kepala dan penatalaksanaannya.


Penderita cedera kepala yang mengalami perburukan yang cepat, baik neurologis maupun
hemodinamik dapat saja dioperasi tanpa CT scan, namun mayoritas penderita akan
memerlukan CT scan sebelum tindakan operatif. Bahkan pemeriksaan CT scan yang berturut-
turut (serial) sangatlah penting, karena penderita cedera kepala sering mengalami perubahan-
perubahan morfologis dalam waktu beberapa jam, hari atau minggu. Secara morfologis
cedera kepala dapat dibagi atas Fraktur Kranium dan Lesi Intrakranial.4

1. Fraktur Kranium

Fraktur Kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak , dan dapat berbentuk
garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya
memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik "Jendela Tulang" (bone window) untuk
memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan
petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara
lain ekimosis periorbital (Raccon eyes sign), ekimosis retro aurikuler (Battle's Sign),
kebocoran CSS (rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervus fasialis. Sebagai patokan umum bila
terdapat fragmen tulang yang menekan ke dalam, biasanya memerlukan tindakan
pembedahan. Fraktur kranium terbukanya atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan
antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput duramater. Keadaan
ini memerlukan tindakan pembedahan segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk
bahwa benturan yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya tulang tengkorak.
Pada penderita sadar, bila ditemukan fraktur linier pada kalvaria, meningkatkan kemungkinan

11
adanya perdarahan intrakranial sampai 400 kali. Pada penderita koma kemungkinan
ditemukannya perdarahan intra-kranial pada fraktur linier adalah 20 kali karena resiko adanya
perdarahan intrakranial memang sudah lebih tinggi. Fraktur dasar tengkorak sering disertai
dengan kebocoran CSS baik melalui hidung (rhinorrhea) atau melalui telinga (otofrhea).
Fraktur ini juga sering menyebabkan paresis nervus fasialis yang dapat terjadi segera setelah
cedera atau timbul beberapa hari kemudian. Umumnya prognosis pemulihan paresis nervus
fasialis lebih baik pada keadaan paresis yang terjadi beberapa waktu kemudian.4

Diagnosis berdasarkan anamnesis dan gejala klinis, seperti perdarahan dari hidung
atau telinga, dan hematom di sekitar mastoid atau orbita. Roentgen pada waktu akut tidak
diperlukan karena pada umumnya tidak memberikan tambahan informasi yang berarti,
bahkan dapat membahayakan jiwa penderita. Saraf otak dapat juga mengalami cedera.

Raccon`s eyes (brill haematoma) Otorrhea

Rhinorrhea Battle sign

2. Lesi intrakranial

12
Lesi ini diklasifikasi dalam lesi fokal dan lesi difus:

Cedera lesi fokal yaitu perdarahan epidural, perdarahan subdural dan kontusio (atau
perdarahan intra cerebral).

Cedera otak difus umumnya menunjukkan gambaran CT scan yang normal namun
keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan koma.
Berdasarkan pada dalamnya dan lamanya koma, maka cedera difus dikelompokkan menurut
Kontusio Ringan, Kontusio Klasik dan Cedera Aksonal Difus (CAD).

A. Perdarahan epidural

Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan cirinya
berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area temporal atau
temporo-parietal yang disebabkan oleh robeknya a.meningea media akibat retaknya tulang
tengkorak. Gumpalan darah yang terjadi dapat berasal dari pembuluh arteri, namun pada
sepertiga kasus dapat terjadi akibat perdarahan vena, karena tidak jarang perdarahan epidural
terjadi akibat robeknya sinus venosus terutama pada regio parieto oksipital dan pada fosa
posterior.4

Perdarahan epidural bila ditolong segera pada tahap dini, prognosisnya sangat baik
karena kerusakan langsung akibat penekanan gumpalan darah pada jaringan otak tidak
berlangsung lama. Keberhasilan pada penderita perdarahan epidural berkaitan langsung
dengan status neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan perdarahan
epidural dapat menunjukan adanya "Interval Lucid" yang klasik atau keadaan dimana
penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meninggal (talk and die).4

Diagnosis didasarkan pada gejala klinis serta pemeriksaan penunjang seperti foto
roentgen kepala. Adanya garis fraktur menyokong didiagnosis hematom epidural bila sisi
fraktur terletak ipsilateral dengan pupil yang melebar. Garis fraktur juga dapat menunjukkan
lokasi hematom.5

Penatalaksanaan dilakukan segera dengan cara trepanasi untuk mengevakuasi


hematom dan menghentikan perdarahan.5

13
B. Perdarahan subdural

Sering terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara korteks
serebri dan sinus venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat juga terjadi akibat laserasi
pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh
permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosis lebih
buruk daripada perdarahan epidural.4

C. Kontusio dan perdarahan intraserebral

14
Kontusio serebri hampir selalu berkaitan dengan perdarahan subdural akut. Kontusio
serebri sangat sering terjadi di frontal dan lobus termporal, walaupun dapat terjadi juga pada
setiap bagian otak, termasuk batang otak dan serebelum. Batas perbedaan antara kontusio dan
perdarahan intra serebral traumatika memang tidak jelas. Kontusio serebri dapat saja dalam
waktu beberapa jam atau hari mengalami evolusi membentuk perdarahan intra serebral.4

D. Cedera difus

Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan
deselerasi (bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala). Komosio serebri ringan adalah
cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang
bersifat sementara dalam berbagai derajat.4

Bentuk yang paling ringan dari kontusio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa
amnesia (pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali). Cedera komosio yang lebih berat
menyebabkan keadaan bingung disertai amnesia retrograd dan amnesia antegrad (keadaan
amnesia pada peristiwa-peristiwa sebelum dan sesudah cedera).4

Komosio serebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau


hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya
amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera. Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung
beberapa waktu lamanya dan reversibel. Dalam definisi klasik penderita ini akan kembali
sadar dalam waktu kurang dari 6 jam. Banyak penderita dengan komosio serebri klasik pulih
kembali tanpa cacat neurologis selain amnesia terhadap peristiwa yang terjadi (pada beberapa
penderita dapat timbul defisit neurologis untuk beberapa waktu). Defisit neurologis itu
misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejaa lainnya (gejala-
gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat).4

15
Cedera aksonal difus (Diffirse Axonal injury, DAI) adalah keadaan dimana penderita
mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleti suatu lesi
masa atau serangan iskemia. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap
koma selama beberapa waktu. Penderita sering menunjukan gejala dekortikasi atau
deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup.
Penderita-penderita sering menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi,
hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera batang otak primer.
Membedakan antara cedera aksonal difus dan cedera otak karena hipoksia secara klinis tidak
mudah, dan memang kedua keadaan tersebut sering terjadi bersamaan.4

2.5 Penatalaksanaan Cedera Kepala

2.5.1 Penatalaksanaan Cedera Kepala Ringan (GCS=14-15)

Kira-kira 80 % penderita yang dibawa ke UGD dengan cedera kepala akan termasuk
dalam cedera kepala ringan. Penderita-penderita tersebut sadar namun dapat mengalami
amnesia terhadap hal-hal yang bersangkutan dengan cedera yang dialaminya. Dapat disertai
riwayat hilangnya kesadaran yang singkat namun sulit untuk dibuktikan terutama bila disertai
minum alkohol atau di bawah pengaruh obat-obatan.4

Sebagian besar penderita cedera kepala ringan pulih sempurna, walaupun mungkin
ada gejala sisa yang sangat ringan. Namun sebanyak 3% mengalami perburukan yang tidak
terduga, dengan akibat disfungsi neurologis yang berat, yang seharusnya dapat dicegah
dengan penemuan perubahan kesadaran yang lebih awal.4
Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan, terutama bila
dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau sakit kepala
hebat. Namun bila pemeriksaan CT scan tidak dapat dilakukan segera dan kondisi penderita
tanpa gejala neurologis dan sadar penuh maka penderita dapat diobservasi selama 12-24 jam
di rumah sakit. Dalam suatu penelitian terhadap 658 penderita dengan cedera kepala ringan
yang mengalami kehilangan kesadaran sementara atau amnesia, dijumpai sebanyak 18%

16
terdapat abnormalitas pada pemeriksaan awal CT scan dan 5% diantaranya memerlukan
tindakan pembedahan, sedangkan 40% penderita dengan GCS 13 mempunyai CT scan yang
abnormal dan 10% memerlukan tindakan pembedahan, oleh karena itu GCS 13 diklasifikasi
sebagai cedera kepala sedang. Tidak seorangpun dari 542 penderita dengan CT scan Kepala
normal pada saat masuk rumah sakit menunjukan perburukan neurologis ataupun
memerlukan tindakan operatif. Walaupun demikian mungkin saja pada beberapa kasus
dengan CT scan awal yang normal timbul lest masa beberapa jam kemudian.4
Dewasa ini, pemeriksaan foto ronsen kepala hanya dilakukan pada cedera kepala
tembus atau bila CT scan tidak tersedia. Bila pemeriksaan foto ronsen dilakukan maka dokter
harus menilai hal-hal berikut ini : (1) fraktur liner/depresi, (2) posisi kelenjar pineal yang
biasanya digaris tengah (bila terkalsifikasi), (3) batas udara air pada sinus-sinus, (4)
pneumosefalus, (5) fraktur tulang wajah, (6) benda asing. Pada cedera kepala ringan dijumpai
adanya fraktur tengkorak pada 3% penderita sedangkan pada cedera kepala berat sampai
65%. Kalvaria 3 kali lebih sering mengalami fraktur daripada dasar tengkorak. Fraktur dasar
tengkorak sering tidak tampak pada foto ronsen kepala, namun adanya gejala klinis seperti
ekimosis periorbital, rhinorea, otorea, hemotimpani atau Battle's sign merupakan indikasi
adanya fraktur dasar tengkorak dan penderita harus dirawat dengan observasi khusus.4

Foto ronsen servikal dilakukan bila penderita mengeluh nyeri atau rasa pegal di leher.
Bila diperlukan dapat diberikan obat anti nyeri non narkotik seperti Kepala acetaminophen,
walaupun dapat juga diberikan kodein pada keadaan yang sangat nyeri. Suntikan toksoid
tetanus secara rutin diberikan pada setiap luka terbuka Bila tidak ada cedera lain,
pemeriksaan darah rutin tidak perlu dilakukan Pemeriksaan kadar alkohol dalam darah dan
pemeriksaan zat-zat toksik dalam urine sangat berguna baik untuk diagnostik maupun untuk
tujuan medikolegal. Penderita cedera kepala ringan yang memungkinkan untuk dibawa
kembali ke rumah sakit bila memburuk dapat dipulangkan dengan nasihat-nasihat yang perlu
bagi keluarganya. Pada keluarga penderita diberikan lembar observasi penderita selama
sedikitnya 12 jam dan bila terdapat tanda-tanda perburukan agar segera dibawa kembali ke
rumah sakit (lihat Tabel 3, Lembar Instruksi Penderita Cede Kepala di luar RS). Bila tidak
ada keluarga yang dapat dipercaya untuk observasi penderita dan CT scan pun tidak tersedia,
maka penderita sebaiknya tidak dilakukan observasi di rumah sakit selama beberapa jam dan
dilakukan evaluasi secara periodik mengenai fungsi neurologisnya dan dibolehkan pulang
bila tidak terdapat gejala perbutukan. Bila pada CT scan jelas terdapat lesi masa, maka
penderita harus dirawat oleh seorang ahli bedah saraf dan mendapat penatalaksanaan selama

17
beberapa hari sesuai dengan perubahan status, neurologisnya. Bila ahli bedah saraf tidak ada
di rumah sakit semula maka, penderita harus segera dirujuk ke rumah sakit yang memiliki
seorang ahli bedah saraf. Pemeriksaan CT scan ulang perlu dilakukan sebelum penderita
pulang atau segera dilakukan bila keadaan memburuk.4
Ringkasan tata laksana yang dapat dilakukan yaitu:1
Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan, terutama bila dijumpai
adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau sakit kepala hebat.
3 % penderita CK. Ringan ditemukan fraktur tengkorak.
Klinis :
a. Keadaan penderita sadar
b. Mengalami amnesia yang berhubungna dengan cedera yang dialaminya
c. Dapat disertai dengan hilangnya kesadaran yang singkat.
Pembuktian kehilangan kesadaran sulit apabila penderita dibawah pengaruh obat-obatan /
alkohol.
d. Sebagain besar penderita pulih sempurna, mungkin ada gejala sisa ringan
Fractur tengkorak sering tidak tampak pada foto ronsen kepala, namun indikasi adanya
fractur dasar tengkorak meliputi :
a. Ekimosis periorbital
b. Rhinorea
c. Otorea
d. Hemotimpani
e. Battles sign
Penilaian terhadap Foto ronsen meliputi :
a. Fractur linear/depresi
b. Posisi kelenjar pineal yang biasanya digaris tengah
c. Batas udara air pada sinus-sinus
d. Pneumosefalus
e. Fractur tulang wajah
f. Benda asing
Pemeriksaan laboratorium :
a. Darah rutin tidak perlu
b. Kadar alkohol dalam darah, zat toksik dalam urine untuk diagnostik / medikolagel
Therapy :

18
a. Obat anti nyeri non narkotik
b. Toksoid pada luka terbuka
Penderita dapat diobservasi selama 12 24 jam di Rumah Sakit
2.5.2 Penatalaksanaan Cedera Kepala Sedang (GCS 9-13)

Sepuluh persen dari penderita cedera kepala di UGD menderita cedera kepala sedang.
Mereka umumnya masih mampu menuruti perintah-perintah sederhana, namun biasanya
mereka tampak bingung atau mengantuk dan dapat disertai defisit neurologis fokal seperti
hemi paresis. Sebanyak 10-20% dari penderita cedera kepala sedang mengalami perburukan
dan jatuh dalam koma. Karena itu, penderita-penderita cedera kepala sedang harus
diperlakukan sebagai 'penderita cedera kepala berat, walaupun tidak secara rutin dilakukan
intubasi. Namun demikian airway harus selalu diperhatikan dan dijaga kelancarannya.4

Pada saat diterima di UGD, dilakukan anamnesis singkat dan segera dilakukan
stabilisasi kardiopulmoner sebelum pemeriksaan neurologis dilaksanakan. CT scan kepala
selalu dilakukan pada setiap penderita cedera kepala sedang (dalam penelitian terhadap 341
penderita dengan GCS 9-13, ternyata 40% kasus menunjukan gambaran abnormal pada CT
scan inisial ini dan 8% diantaranya memerlukan tindakan pembrdahan). Penderita harus
dirawat untuk observasi walaupun gambaran CT scan-nya normal. Bila status neurologis
penderita membaik dan CT scan berikutnya tidak menunjukan adanya lesi masa yang
memerlukan tindakan pembedahan maka penderita dapat dipulangkan beberapa hari
kemudian. Tetapi bila penderita jatuh dalam koma, maka prinsip penatalaksanaanya menjadi
sama dengan penatalaksanaan penderita dengan cedera kepala berat.4

Ringkasan tatalaksana yang dapat dilakukan pada cedera kepala sedang yaitu:1

Pada 10 % kasus :

Masih mampu menuruti perintah sederhana

Tampak bingung atau mengantuk

Dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemi paresis

Pada 10 20 % kasus :

Mengalami perburukan dan jatuh dalam koma

Harus diperlakukan sebagai penderita cedera kepala berat.

19
Tindakan di UGD :

Anamnese singkat

Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan neulorogis

Pemeriksaan CT. scan

Penderita harus dirawat untuk diobservasi

Penderita dapat dipulangkan setelah dirawat bila :

Status neulologis membaik

CT. scan berikutnya tidak ditemukan adanya lesi masa yang memerlukan pembedahan

Penderita jatuh pada keadaan koma, penatalaksanaanya sama dengan CK. Berat.

Airway harus tetap diperhatikan dan dijaga kelancarannya

2.5.3 Penatalaksanaan Cedera Kepala Berat (GCS: 3-8)

Penderita dengan cedera kepala berat tidak mampu melakukan perintah-perintah


sederhana walaupun status kardiopulmonernya telah distabilisasi. Walaupun definisi ini
mencakup berbagai jenis cedera kepala, tetapi mengidentifikasikan penderita-penderita yang
mempunyai resiko besar menderita morbiditas dan mortalitas yang berat. Pendekatan
"Tunggu dulu" pada penderita-penderita cedera kepala berat sangat berbahaya, karena
diagnosis serta terapi yang cepat sangatlah penting.4

Ringkasan tatalaksana yang dapat dilakukan pada cedera kepala berat yaitu:1

Kondisi penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana walaupun status


kardiopulmonernya telah distabilkan.

Cedera kepala berat mempunyai resiko morbiditas sangat tinggi.

Diagnosa dan therapy sangat penting dan perlu dengan segara penanganan.

Tindakan stabilisasi kardiopulmoner pada penderita cedera kepala berat harus dilakukan
secepatnya.

A. Primary survey dan resusitasi

Di UGD ditemukan :

20
30 % hypoksemia ( PO2 < 65 mmHg )

13 % hypotensia ( tek. Darah sistolik < 95 mmHg ) Mempunyai mortalitas 2 kali lebih
banyak dari pada tanpa hypotensi

12 % Anemia ( Ht < 30 % )

1. Airway dan breathing

Sering terjadi gangguan henti nafas sementara, penyebab kematian karena terjadi
apnoe yang berlangsung lama.
Intubasi endotracheal tindakan penting pada penatalaksanaan penderita cedera kepala
berat dengan memberikan oksigen 100 %.
Tindakan hyeprveltilasi dilakukan secara hati-hati untuk mengoreksi sementara
asidosis dan menurunkan TIK pada penderita dengan pupil telah dilatasi dan
penurunan kesadaran.
PCo2 harus dipertahankan antara 25 35 mm Hg.

2. Sirkulasi

Normalkan tekanan darah bila terjadi hypotensi


Hypotensi petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat pada kasus multiple
truama, trauma medula spinalis, contusio jantung / tamponade jantung dan tension
pneumothorax.
Saat mencari penyebab hypotensi, lakukan resusitasi cairan untuk mengganti cairan
yang hilang
UGS / lavase peritoneal diagnostik untuk menentukan adanya akut abdomen

B. secondary survey

Penderita cedera kepala perlu konsultasi pada dokter ahli lain.

C. Pemeriksaan Neurologis

Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan terdiri dari :

GCS

Reflek cahaya pupil

21
Gerakan bola mata

Tes kalori dan Reflek kornea oleh ahli bedah syaraf

Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum penderita dilakukan


sedasi atau paralisis.

Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang.

Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 6 mg ) IV.

Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon motorik, bila
timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang terbaik.

Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita.

Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah.

Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau perburukan pasien.

D. Prosedur-Prosedur Diagnosis

Pemeriksaan CT Scan hatus segera diperoleh secepat mungkin, idealnya dalam waktu 30
menit setelah cedera. Dan pemeriksaan CT Scan ulang harus juga dapat dikerjakan bila
terjadi perubahan status klinis penderita.

Dalam interpretasi CT Scan kepala harus dilakukan secara sistematik agar tak ada yang
terlewatkan. Kulit kepala pada tempat benturan biasanya mengalami pembengkakan atau
dijumpai hematoma subgaleal. Retak atau garis fraktur dapat tampak jelas pada pemeriksaan
teknik bone window , walaupun kadang.

Advanced Trauma Life Support kadang dapat tampak juga pada CT Scan teknik jaringan
lunak. Penemuan penting dalam CT Scan kepala adalah adanya perdarahan intra kranial dan
pergeseran garis tengah (efek masa). Septum pelusidum yang terletak di antara kedua
ventrikel lateralis seharusnya terletak di tengah-tengah. Garis tengah dapat ditarik antara
krista galea di bagian anterior dan Inion di bagian posterior. Derajat pergeseran septum
pelusidum terhadap garis tengah harus dicatat dan dihitung menurut skala yang tertera di
samping hasil scan. Pergeseran aktual 5 mm atau lebih umumnya dianggap cukup bermakna
pada penderita cedera kepala dan biasanya merupakan indikasi tindakan pembedahan.

22
Walaupun tidak selalu dapat dibedakan antara perdarahan epidural dan subdural pada CT
Scan, namun yang khas pada perdarahan epidural gumpalan darah tampak berbentuk
bikonveks atau menyerupai lensa cembung, karena perdarahan terletak di antara dura dan
tabula interna yang melekat erat yang mencegah perdarahan melebar. Sebanyak 20% dari
perdarahan ekstra serebral dijumpai adanya gumpalan darah baik pada epidural maupun pada
ruang subdural. Pada hakekatnya membedakan perdarahan epidural dan subdural lebih
bersifat akademis karena keduanya memerlukan tindakan operatif bila terdapat pergeseran
struktur garis tengah yang bermakna. Perdarahan subdural dibedakan atas perdarahan akut,
subakut dan kronik. Riwayat penyakit pada tiap penderita membantu dalam membedakan
keduanya. Pada CT Scan perdarahan subdural akut tampak gambaran lesi hiperdens dan
perdarahan subdural subakut tampak sebagai lesi yang isodens atau densitas campuran,
sedangkan pada perdarahan kronik gambaran lesinya adalah hipodens, dibandingkan dengan
densitas jaringan otak.

Perdarahan intraserebral traumatika biasanya terletak di lobus frontalis dan lobus temporalis
anterior, walaupun dapat terjadi di lokasi lain. Perdarahan ini umumnya terjadi segera setelah
cedera, walaupun jenis perdarahan yang terjadi kemudian sering juga dijumpai, biasanya
dalam minggu pertama. Pada CT Scan tampak sebagai tesi yang hiperdens yang biasanya
dikelilingi oleh zona berdensitas rendah. Hematoma kecil yang multipel biasanya disebut
sebagai kontusio jaringan otak dan ciri-cirinya. Pada CT Scan adalah gambaran menyerupai
"garam dan merica" (salt and pepper appearance).

Perdarahan intraventrikular traumatika, biasanya dianggap sebagai fenomena yang


mempunyai prognosis buruk, namun anggapan itu ternyata tidak benar. Perdarahan ini kerap
disertai dengan perdarahan parenkimal. Darah akan menjadi isodens secara relatif cepat dan
tidak tampak sama sekali dalam beberapa minggu. Dengan tindakan ventrikulostomi maka
CSS akan mengalir keluar sehingga tekanan intra kranial menurun dan perdarahan akan
berhenti.

Hidrosefalus obstruktif akut pasca trauma dapat terjadi sekunder akibat adanya perdarahan
pada fosa posterior yang menyumbat saluran ventrikel. Sedangkan hidrosefalus komunikans
biasanya terjadi akibat perdarahan subaraknoid.

23
Sebelum era CT Scan, pemeriksaan ventrikulografi udara dan angiografi serebral merupakan
cara diagnostik penting dalam evaluasi penderita cedera kepala yang koma. Namun kini
prosedur ini sudah jarang dilakukan di Amerika Utara. Ventrikulografi memberikan 2
informasi penting yaitu (1) Beratnya pergeseran garis tengah supratentorial dan (2)
pengukuran tekanan intra kranial. Bila prosedur ini dilakukan dengan hati-hati menurut
protokol baku maka ventrikel biasanya dapat dikanulasi untuk memudahkan mengukur TIK.

Kira-kira 5-10 ml CSS dikeluarkan dan dimasukkan udara steril dengan jumlah yang sama.
Kemudian dibuat foto polos kranium dalam proyeksi AP dan diukur derajat pergeseran garis
tengahnya.

Pergeseran lebih dari 5 mm merupakan indikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan
pembedahan. Ventrikulografi juga dapat dilakukan secara darurat dikamar operasi bila
penderita sedang menjalani operasi untuk cedera lain.

Angiografi dapat dilakukan pada penderita cedera kepala akut bila CT Scan tidak ada. Lesi
masa supratentorial biasanya menyebabkan pergeseran ke kontra lateral arteri serebri anterior
dan vena serebri interna. Vena serebri interna berada dekat titik tengah kranium. Karenanya
vena ini tidak terpengaruh oleh rotasi kranium yang sering menjadi masalah pada pergerakan
kepala. Lesi masa infra tentorial sangat sulit dideteksi dengan angiografi.

Karena sekarang ini CT Scan hampir terdapat di mana-mana, maka prosedur ini sudah sangat
jarang dilakukan pada penderita cedera kepala. Namun bila CT scan tidak ada dapat
dilakukan direct stick angiografi (langsung menusuk arteri karotis komunis). Angiografi
dikerjakan terutama bila terdapat cedera vaskuler seperti misalnya diseksi arteri karotis
traumatika.

2.6 TERAPI MEDIKA MENTOSA

Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder
terhadap otak yang telah mengalami cedera.

Prinsip dasarnya adalah bila sel saraf diberikan suasana yang optimal untuk
pemulihan maka diharapkan dapat berfungsi normal kembali, sebaliknya bila sel saraf dalam
keadaan tak memadai maka sel akan kehilangan fungsi sampai mengalami kematian.4

A. Cairan intravena

24
Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemia. Tindakan dehidrasi yang dulu dianggap sebagai konsep terapi bagi cedera
kepala, kini ternyata justru merupakan tindakan yang membahayakan bagi penderita.4

Namun, perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih. Jangan berikan
cairan hipotonik pada penderita cedera kepala. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa
dapat menyebabkan hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu
cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam fisiologis atau Ringer's Lactate.4

Kadar Natrium atau serum juga harus dipertahankan dalam batas normal. Keadaan
hiponatremia sangat berkaitan dengan timbulnya edema otak yang, harus dicegah atau diobati
secara agresif bila terjadi.4

C. Hiperventilasi

Hiperventilasi bekerja dengan menurunkan PC02 dan menyebabkan vasokonstriksi


pembuluh darah otak. Penurunan volume intra kranial ini akan menurunkan TIK.

Hiperventilasi yang berlangsung lama dan agresif dapat menyebabkan iskemia otak
karena terjadinya vasokonstriksi serebri berat yang pada akhirnya menurunkan perfusi otak.
Terutama bila PC02 turun sampai di bawah 25 mm Hg (3,3 kPa).4

Umumnya, PC02 dipertahankan pada 30 mm Hg (4 kPa) atau sedikit di atas. Nilai


PC02 antara 25-30 mm Hg (3,3-4 kPa) dapat dipertahankan pada keadaan TIK yang tinggi.
Tetapi yang penting hiperventilasi harus dicegah bila PCO2 < 25 mm Hg.

C. Manitol

Manitol digunakan secara luas untuk menurunkan TIK, biasanya dengan konsentrasi
cairan 20%. Dosis yang biasanya dipakai adalah 1 gram / kg BB diberikan secara bolus intra
vena. Dosis tinggi manitol tidak boleh diberikan pada penderita hipotensi karena akan
memperberat hipovolemia. Indikasi yang jelas penggunaan manitol adalah pada penderita
koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal tetapi kemudian timbul dilatasi pupil
dengan atau tanpa hemiparesis. Pada keadaan ini pemberian bolus manitol (1 g/kg) harus
dihabiskan secara cepat (sampai 5 menit) dan penderita segera dibawa ke CT Scan atau
langsung ke kamar operasi.4

25
Manitol juga diberikan pada penderita-penderita dengan pupil dilatasi bilateral dan
reaksi cahaya pupil negatif namun tidak hipotensi. Indikasi pemberian manitol untuk
penderita-penderita cedera kepala tanpa defisit neurologis fokal atau tanpa perburukan
neurologis tidaklah jelas.4

D. Furosemide (Lasix )

Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK. Penggunaan kombinasi
kedua obat ini akan meningkatkan diuresis. Dosis yang lazim adalah 0,3-0,5 mg/kg BB,
diberikan secara intra vena. Penggunaan obat ini harus sepengetahuan ahli bedah saraf.4

E. Steroid

Steroid tidak bermanfaat, baik dalam mengendalikan kenaikan TIK maupun


memperbaiki hasil terapi penderita dengan cedera kepala berat.4

F. Barbiturat

Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obat atau
prosedur yang biasa. Namun tidak boleh diberikan bila terdapat hipotensi, karena barbiturat
sendiri juga menurunkan tekanan darah (tidak boleh diberikan pada fase akut resusitasi).4

G. Antikonvulsan

Epilepsi pasca trauma terjadi pada 5% penderita yang dirawat di RS dengan cedera
kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Terdapat 3 fakor utama yang berkaitan
dengan epilepsi (1) kejang awal yang terjadi dalam minggu pertama, (2) perdarahan intra
kranial, dan (3) fraktur depresi. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa penggunaan
antikonvulsan profilaktik tidak bermanfaat mencegah terjadinya epilepsi pasca trauma, tetapi
dalam penelitian uji buta ganda tzrnyata phenytoin bermanfaat dalam mengurangi insidens
terjadinya kejang dalam minggu pertama cedera namun tidak setelah itu. Penelitian ini
menganjurkan untuk menghentikan antikonvulsan profilaktik setelah minggu pertama.
Phenobarbital dan phenytoin sering dipakai dalam fase akut ini.4

Obat lain yang juga bermanfaat untuk antikonvulsan dalam fase akut adalah diazepam
dan lorazepam.

26
2.7 PENATALAKSANAAN PEMBEDAHAN

A. Luka Kulit Kepala

Penyebab utama infeksi luka kulit kepala adalah pencucian luka dan debridement
yang tidak adekuat. Luka kulit kepala dapat menyebabkan kehilangan darah yang cukup
ekstensif terutama pada anak-anak.4

Pada penderita dewasa, perdarahan akibat luka kulit kepala jarang menyebabkan syok.
Perdarahan dari laserasi kulit kepala yang dalam dapat dihentikan dengan penekanan lokal
langsung, kauterisasi atau ligasi pembuluh besar, kemudian dilakukan penjahitan luka. Hal
penting yang harus dilakukan adalah inspeksi secara cermat untuk menentukan adanya
fraktur tengkorak atau benda asing. Terdapatnya CSS pada luka menunjukkan adanya
robekan duramater.4

Tidak jarang, perdarahan subgaleal teraba seperti fraktur depresi. Dalam keadaan ini
diperlukan pemeriksaan foto polos tengkorak atau CT Scan.

Luka kulit kepala yang berada di atas daerah sinus sagitalis superior atau sinus
venosus lainnya harus ditolong oleh seorang ahli bedah saraf di kamar operasi.4

B. Fraktur depresi Tengkorak

Umumnya fraktur depresi yang memerlukan koreksi secara operatif adalah bila
tebalnya depresi lebih besar dari ketebalan tulang didekatnya. Pemeriksaan CT Scan dapat
menggambarkan secara jelas beratnya depresi tulang dan yang lebih penting menentukan ada
tidaknya perdarahan intra kranial atau adanya suatu kontusio.4

C. Lesi-lesi Masa Intra kranial

Dalam keadaan itu tindakan trepanasi darurat (emergency burr holes) dapat
dikerjakan oleh seorang ahli bedah yang pernah dilatih untuk melakukan prosedur itu.

Tujuan melakukan trepanasi darurat ini adalah untuk mencegah kematian dengan
mengeluarkan hematoma intra kranial. Prosedur, ini. terutama penting pada penderita yang
mengalami perburukan secara cepat dan tidak menunjukkan respon yang baik dengan terapi
yang diberikan.4

Tindakan trepanasi darurat harus dipertimbangkan dengan hati-hati :

27
1. Sebagian besar penderita cedera kepala yang koma tidak menunjukkan adanya perdarahan
intra kranial
2. Lubang bor yang dibuat sejauh 2 cm dari hematoma mungkin tidak akan menemukan
perdarahan itu.
3. Hanya sedikit hematoma saja yang dapat dikeluarkan melalui lubang bor. Karena darah telah
menggumpal dan tidak mudah dikeluarkan.
4. Lubang bor sendiri dapat menyebabkan kerusakan otak atau menyebabkan per-darahan intra
kranial.
5. Evakuasi hematoma melalui lubang bor tidak selalu dapat menyelamatkan jiwa penderita,
walaupun itu suatu perdarahan epidural.
6. Membuat lubang bor mungkin membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan membawa
penderita ke ahli bedah saraf.

2.8 PROGNOSIS
Semua penderita mendapat terapi agresif menurut konsultasi seorang ahli bedah saraf.
terutama pada penderita anak-anak yang biasanya memiliki daya pemulihan yang baik.
Penderita berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk
pemulihan dari cedera kepala.4

28
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak.
Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit
neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya.
Terjadinya cedera kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu cedera
primer yang merupakan akibat yang langsung dari suatu ruda paksa. Dan cedera sekunder
yang terjadi akibat berbagai prosese patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari
kerusakan otak primer.
Aspek-aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi beberapa klasifikasi
yaitu berdasarkan mekanisme cedera kepala, beratnya cedera kepala, dan morfologinya.
Tetapi dari beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedera
kepala, yang walaupun bukan merupakan penyebab kematian namun merupakan penyebab
kecacatan yang akan menetap seumur hidup yang perlu dipertimbangkan.
Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap, yang
bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas (terlokalisir) atau lebih

29
menyebar (difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga tergantung kepada bagian otak mana
yang terkena.
Penegakan klasifikasi cedera kepala sedini mungkin harus dilaksanakan, sehingga
dapat dilakukan penatalaksanaan berdasarkan klasifikasinya. Penatalaksanaan meliputi
primary survey, secondary survey. Tujuan utama penatalaksanaan ini adalah untuk mencegah
terjadinya kerusakan sekunder terhadap kepala yang mengalami cedera. Sehingga akan
memberikan prognosis yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Akbar KA. Head Trauma. Diunduh dari URL:
http://id.scribd.com/doc/122957281/cedera-kepala
2. Satyanegara, Listiono D. Ilmu Bedah Saraf. Edisi ke-3. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama;
1998
3. Anton LB. Cedera Kepala. Diunduh dari URL:
http://id.scribd.com/doc/126314265/cedera-kepala
4. American College of Surgeon Committee on Trauma. Advanced Trauma Life Support for
Doctors. Chicago. IL: 4. American College of Surgeon Committee on Trauma;2008.
5. Sjamsuhidrat R, Dejong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2010.

30

Anda mungkin juga menyukai