Anda di halaman 1dari 20

Tugas Ujian

Ilmu Kesehatan Anak RS Bhakti Yudha Depok

Vita Paramitha Teken


11 2016 053

ASMA BRONKIAL
Defenisi : Penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang ditandai adanya mengi
episodik, batuk, dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas, termasuk dalam
kelompok penyakit saluran pernapasan kronik.

Etiologi
Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Faktor genetik
(a) Hiperreaktivitas
(b) Atopi/Alergi bronkus
(c) Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
(d) Jenis Kelamin
(e) Ras/Etnik
2. Faktor lingkungan
(a) Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur)
(b) Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
(c) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut,
susu sapi, telur)
(d) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker dll)
(e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)
(f) Ekspresi emosi berlebih
(g) Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
(h) Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
(i) Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan
aktivitas tertentu
(j) Perubahan cuaca
Klasifikasi
Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan (akut).

a) Asma saat tanpa serangan


Pada anak, secara arbiteri Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA)
mengklasifikasikan derajat asma menjadi:
1) Asma episodik jarang;
2) Asma episodik sering;
3) Asma persisten .

Tabel 1. Klasifikasi derajat asma pada anak


Parameter klinis,
Asma episodik Asma episodik
No Asma persisten
kebutuhan obat dan jarang sering
faal paru asma

1 Frekuensi serangan <1x/bulan >1x/bulan Sering

Hampir sepanjang
tahun, tidak ada
2 Lama serangan <1minggu >1minggu
periode bebas
serangan

3 Intensitas serangan Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat

Sering ada Gejala siang dan


4 Diantara serangan Tanpa gejala
gejala malam

Tidak Sering
5 Tidur dan aktifitas Sangat tergganggu
tergganggu tergganggu

Mungkin
Normal (tidak tergganggu
Pemeriksaan fisik
6 ditemukan Tidak pernah normal
diluar serangan
kelainan) (ditemukan
kelainan)

Obat
7 pengendali(anti Tidak perlu Perlu Perlu
inflamasi)

Uji faal paru(diluar PEFatauFEV1>8 PEFatauFEV1<6


8 PEVatauFEV<60%
serangan) 0% 0-80%

Variabilitas faal Variabilitas 20-30%.


Variabilitas>15 Variabilitas>30
9 paru(bila ada
% %
serangan) Variabilitas >50%

b) Asma saat serangan


Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan
sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan. Global Initiative
for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda
klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi
yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan
sedang dan asma serangan berat.
Tabel 2. Klasifikasi asma menurut derajat serangan
Parameter klinis,
Ancaman henti
fungsi faal paru, Ringan Sedang Berat
napas
laboratorium

Berjalan Berbicara Istirahat

Bayi tangis
Sesak (breathless)
Bayi Menangis pendek dan Bayi tidak mau
keras lemah, kesulitan makan/minum
menetek/makan

Lebih suka Duduk bertopang


Posisi Bisa berbaring
duduk lengan

Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata

Mungkin Biasanya
Kesadaran Biasanya iritabel Kebingungan
iritabel iritabel

Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata

Nyaring,
Sedang, sering Sangat nyaring,
sepanjang Sulit/tidak
Wheezing hanya pada terdengar tanpa
ekspirasi terdengar
akhir ekspirasi stetoskop
inspirasi

Gerakan
Penggunaan otot paradok
Biasanya tidak Biasanya ya Ya
bantu respiratorik torako-
abdominal

Sedang,
Dangkal, Dalam, ditambah
ditambah Dangkal/
Retraksi retraksi napas cuping
retraksi hilang
interkostal hidung
suprasternal

Frekuensi napas Takipnu Takipnu Takipnu Bradipnu

Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar:

Usia Frekuensi napas normal/menit

< 2 bulan < 60

2-12 bulan < 50

1-5 tahun < 40


6-8 tahun < 30

Normal Takikardi Takikardi Bradikardi

Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak

Usia Frekuensi nadi normal per menit


Frekuensi nadi
2-12 bulan < 160

1-2 tahun < 120

6-8 tahun < 110

Tidak ada,
Tidak ada Ada Ada
tanda
Pulsus paradoksus
kelelahan otot
(< 10 mmHg) (10-20 mmHg) (>20mmHg)
respiratorik

PEFR atau FEV1

(%nilai dugaan/
%nilai terbaik)

Pra bonkodilator
>60% 40-60%
<40%

Pasca bronkodilator
>80% 60-80%
<60%, respon<2
jam

SaO2 % >95% 91-95% 90%

Normal
(biasanya tidak
PaO2 >60 mmHg <60 mmHg
perlu
diperiksa)

PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan asma klasifikasikan menjadi:
1) Penatalaksanaan asma akut/saat serangan,
2) Penatalaksanaan asma jangka panjang.

a) Penatalaksanaan asma akut (saat serangan)


Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui oleh
pasien. Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan oleh pasien di rumah (lihat bagan 1), dan
apabila tidak ada perbaikan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan. Penanganan harus cepat
dan disesuaikan dengan derajat serangan. Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat
serangan termasuk gejala, pemeriksaan fisik dan sebaiknya pemeriksaan faal paru, untuk
selanjutnya diberikan pengobatan yang tepat dan cepat.
Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah bronkodilator (2 agonis kerja
cepat dan ipratropium bromida) dan kortikosteroid sistemik. Pada serangan ringan obat yang
digunakan hanya 2 agonis kerja cepat yang sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila
tidak memungkinkan dapat diberikan secara sistemik. Pada dewasa dapat diberikan
kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral.
Pada keadaan tertentu (seperti ada riwayat serangan berat sebelumnya) kortikosteroid
oral (metilprednisolon) dapat diberikan dalam waktu singkat 3- 5 hari. Pada serangan sedang
diberikan 2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral. Pada dewasa dapat ditambahkan
ipratropium bromida inhalasi, aminofilin IV (bolus atau drip). Pada anak belum diberikan
ipratropium bromida inhalasi maupun aminofilin IV. Bila diperlukan dapat diberikan oksigen
dan pemberian cairan IV.
Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV, 2 agonis kerja
cepat ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminofilin IV (bolus atau drip).
Apabila 2 agonis kerja cepat tidak tersedia dapat digantikan dengan adrenalin subkutan.
Pada serangan asma yang mengancam jiwa langsung dirujuk ke ICU.
Pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan dalam bentuk inhalasi menggunakan
nebulizer. Bila tidak ada dapat menggunakan IDT (Inhalasi Dosis Terukur) dengan alat bantu
(spacer).

b) Penatalaksanaan asma jangka panjang


Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan
mencegah serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan klasifikasi
beratnya asma. Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi: 1) Edukasi; 2) Obat asma
(pengontrol dan pelega); dan Menjaga kebugaran.

Edukasi yang diberikan mencakup: kapan pasien berobat/ mencari pertolongan,


mengenali gejala serangan asma secara dini, mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol
serta cara dan waktu penggunaannya, mengenali dan menghindari faktor pencetus, kontrol
teratur. Alat edukasi untuk dewasa yang dapat digunakan oleh dokter dan pasien adalah
pelangi asma , sedangkan pada anak digunakan lembaran harian.

Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega diberikan pada saat
serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan serangan asma dan
diberikan dalam jangka panjang dan terus menerus. Untuk mengontrol asma digunakan anti
inflamasi (kortikosteroid inhalasi). Pada anak, kontrol lingkungan mutlak dilakukan sebelum
diberikan kortikosteroid dan dosis diturunkan apabila dua sampai tiga bulan kondisi telah
terkontrol. Obat asma yang digunakan sebagai pengontrol antara lain: Inhalasi kortikosteroid,
2 agonis kerja panjang, antileukotrien, teofilin lepas lambat.

Tabel 3. Jenis obat asma


Jenis obat Golongan Nama generik Bentuk/kemasan obat

Pengontrol Steroid inhalasi Flutikason propionat IDT


(Anti inflamasi)
Budesonide IDT, turbuhaler

Antileukokotrin Zafirlukast Oral(tablet)

Kortikosteroid Metilprednisolon Oral(injeksi)


sistemik
Prednison Oral
Pelega Agonis beta-2
Prokaterol Oral
(Bronkodilator) kerjalama
Formoterol Turbuhaler

Salmeterol IDT
kombinasi steroid
dan Flutikason + Salmeterol. IDT

Agonis beta-2 Budesonide + formoterol Turbuhaler

kerjalama

Agonis beta-2 kerja Salbutamol Oral, IDT, rotacap


cepat solution

Oral, IDT, turbuhaler,


Terbutalin solution, ampul (injeksi)

IDT

Prokaterol IDT, solution

Fenoterol IDT, solution


Antikolinergik
Ipratropium bromide Oral
Metilsantin
Teofilin Oral, injeksi

Aminofilin Oral

Teofilin lepas lambat

Oral, inhaler
Kortikosteroid
sistemik Metilprednisolon Oral

Prednison
Bagan 1.
Alur Tatalaksana Serangan Asma pada Anak

Klinik / IGD

Nilai derajat
serangan
Tatalaksana awal
nebulisasi -agonis 1-3x, selang 20 menit
nebulisasi ketiga + antikolinergik
jika serangan berat, nebulisasi. 1x
(+antikoinergik)

Serangan ringan Serangan sedang Serangan berat


(nebulisasi 1-3x, (nebulisasi 1-3x, (nebulisasi 3x,
respons baik, gejala respons parsial) respons buruk)
hilang) berikan oksigen sejak awal
observasi 2 jam nilai kembali berikan O2 saat /
jika efek derajat serangan, di luar nebulisasi
bertahan, boleh jika sesuai dgn pasang jalur
pulang serangan sedang, parenteral
jika gejala observasi di Ruang nilai ulang
Boleh pulang Ruang Rawat Sehari/observasi Ruang Rawat Inap
timbul lagi, Rawat klinisnya, jika
bekali obat -agonis oksigen teruskan oksigen teruskan
perlakukan Sehari/observasi sesuai dengan
(hirupan / oral) berikan steroid oral atasi dehidrasi dan
sebagai pasang jalur serangan
jika sudah ada obat nebulisasi tiap 2 jam asidosis jika berat,
ada
pengendali, teruskan bila dalam 12 jam steroid IV tiap 6-8 jam
jika infeksi virus perbaikan klinis stabil, nebulisasi tiap 1-2 jam
sbg. pencetus, dapat boleh pulang, tetapi aminofilin IV awal,
diberi steroid oral jika klinis tetap belum lanjutkan rumatan

Catatan: dalam 24-48 jam membaik atau jika membaik dalam
1. Jika menurut
kontrol penilaian
ke Klinikserangannya
R. berat, nebulisasi
meburuk, alih cukup
rawat 1x
ke 4-6x nebulisasi, interval
langsung dengan
Jalan, untuk -agonis + antikolinergik
jadi 4-6 jam
2. Bila terdapat tanda ancaman henti napas segera ke Ruang Rawat
Intensif jika dalam 24 jam
3. JikaBagan
tidak ada
2.alatnya, nebulisasi dapat diganti dengan adrenalin perbaikan klinis stabil,
subkutan 0,01ml/kgBB/kali maksimal 0,3ml/kali boleh pulang
4. Untuk serangan sedang dan terutama
Alur berat, oksigen
Tatalaksana Asma2-4 L/menit
Anak Panjang
jangka jika dengan steroid dan
diberikan sejak awal, termasuk saat nebulisasi aminofilin parenteral
tidak membaik, bahkan
timbul Ancaman henti
napas, alih rawat ke
Ruang Rawat Intensif
Bagan 2.
Alur Tatalaksana Asma Anak jangka Panjang
Asma episodik jarang
Obat pereda: -agonis atau
teofilin
(hirupan atau oral) bila perlu

P
3-4 minggu, obat E
N
dosis / minggu > 3x 3x
G
H
I
Asma episodik sering Tambahkan obat pengendali:
N
Kortikosteroid hirupan dosis D
A
R
6-8 minggu, respons: () (+)
A
N
Asma persisten Pertimbangkan alternatif
penambahan salah satu obat:
-agonis kerja panjang (LABA)
teofilin lepas lambat
antileukotrien
atau dosis kortikosterid
ditingkatkan (medium)

6-8 minggu, respons: () (+)

Kortikosteroid dosis medium


ditambahkanan salah satu obat:
-agonis kerja panjang
teofilin lepas lambat
antileukotrien
atau dosis kortikosteroid
ditingkatkan (tinggi)

6-8 minggu, respons: () (+)

Obat diganti kortikosteroid oral


*) Ketotifen dapat digunakan pada pasien balita dan/atau asma tipe rinitis

MENINGITIS TB

Definisi Meningitis Tuberkulosis


Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini merupakan salah satu
bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru. Infeksi primer
muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah
tubuh di luar paru-paru, seperti perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak.

Etiologi Meningitis Tuberkulosis


Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang pleomorfik gram
positif, berukuran 0,4-3m mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama berminggu-
minggu dalam keadaan kering, serta lambat bermultiplikasi (setiap 15 sampai 20 jam).
Bakteri ini merupakan salah satu jenis bakteri yang bersifat intracellular pathogen pada
hewan dan manusia. Selain Mycobacterium tuberkulosis, spesies lainnya yang juga dapat
menimbulkan tuberkulosis adalah Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum,
Mycobacterium microti.

Manifestasi Klinis Meningitis Tuberkulosis


Menurut Lincoln, manifestasi klinis dari meningitis tuberkulosis dapat
dikelompokkan dalam tiga stadium, yaitu:
1. Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal)
Prodromal berlangsung 1 - 3 minggu.
Biasanya gejalanya tidak khas.
Timbul perlahan-lahan.
Tanpa kelainan neurologis.
Gejala yang biasa muncul:
o Demam (tidak terlalu tinggi).
o Rasa lemah.
o Nafsu makan menurun (anorexia).
o Nyeri perut.
o Sakit kepala.
o Tidur terganggu.
o Mual.
o Muntah.
o Konstipasi.
o Apatis.
o Irritable.
Pada bayi, irritable dan ubun-ubun menonjol merupakan manifestasi yang sering
ditemukan, sedangkan pada anak yang lebih tua memperlihatkan perubahan suasana hati yang
mendadak, prestasi sekolah menurun, letargi, apatis, mungkin saja tanpa disertai demam dan
timbul kejang intermiten. Kejang bersifat umum dan didapatkan sekitar 10-15%.
Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka stadium I akan
berlangsung singkat sehingga sering terabaikan dan akan langsung masuk ke stadium III.
2. Stadium II (stadium transisional / fase meningitik)
Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak / meningen. Ditandai oleh adanya
kelainan neurologik, akibat eksudat yang terbentuk diatas lengkung serebri. Pemeriksaan
kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+) kecuali pada bayi.

Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna abu) di dasar
otak menyebabkan gangguan otak / batang otak. Pada fase ini, eksudat yang mengalami
organisasi akan mengakibatkan kelumpuhan saraf kranial dan hidrosefalus, gangguan
kesadaran, papiledema ringan serta adanya tuberkel di koroid. Vaskulitis menyebabkan
gangguan fokal, saraf kranial dan kadang medulla spinalis. Hemiparesis yang timbul
disebabkan karena infark/ iskemia, quadriparesis dapat terjadi akibat infark bilateral atau
edema otak yang berat.
Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala utamanya,
sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak yang lebih besar, sakit
kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya makin menurun.
Gejala yang dapat muncul, yaitu antara lain:
Akibat rangsang meningen sakit kepala berat dan muntah (keluhan utama).
Akibat peradangan / penyempitan arteri di otak, antara lain:
o disorientasi
o bingung
o kejang
o tremor
o hemibalismus / hemikorea
o hemiparesis / quadriparesis
o penurunan kesadaran
o Gangguan otak / batang otak / gangguan saraf kranial: saraf kranial yang sering
terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII
- strabismus
- diplopia
- ptosis
- reaksi pupil lambat
- gangguan penglihatan kabur
3. Stadium III (koma / fase paralitik)
Terjadi percepatan penyakit, berlangsung selama 2-3 minggu. Pada stadium ini
gangguan fungsi otak semakin tampak jelas. Hal ini terjadi akibat infark batang otak akibat
lesi pembuluh darah atau strangulasi oleh eksudat yang mengalami organisasi. Gejala-gejala
yang dapat timbul, antara lain:
pernapasan irregular
demam tinggi
edema papil
hiperglikemia
kesadaran makin menurun
irritable dan apatik
mengantuk
stupor
koma
otot ekstensor menjadi kaku dan spasme
opistotonus
pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali
nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur
hiperpireksia
Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu dengan yang
lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu sebelum pasien meninggal.
Dikatakan akut bila 3 stadium tersebut berlangsung selama 1 minggu.
Hidrosefalus dapat terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang penyakitnya telah
berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila pengobatan terlambat atau tidak
adekuat.

Kriteria Diagnosis Meningitis Tuberkulosis


Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat kejang atau penurunan kesadaran
(tergantung stadium penyakit), adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis (baik yang
menunjukkan gejala, maupun yang asimptomatik), adanya gambaran klinis yang ditemukan
pada penderita (sesuai dengan stadium meningitis tuberkulosis). Pada neonatus, gejalanya
mungkin minimalis dan dapat menyerupai sepsis, berupa bayi malas minum, letargi, distress
pernafasan, ikterus, muntah, diare, hipotermia, kejang (pada 40% kasus), dan ubun-ubun
besar menonjol (pada 33,3% kasus).
Dari pemeriksaan fisik dilihat berdasarkan stadium penyakit. Tanda rangsang
meningen seperti kaku kuduk biasanya tidak ditemukan pada anak berusia kurang dari 2
tahun.
Tabel 2.1. Sistem skoring gejala dan pemeriksaan TB
Uji tuberkulin positif. Pada 40% kasus, uji tuberkulin dapat negatif. Pada anak, uji
tuberkulin merupakan pemeriksaan screening tuberkulosis yang paling bermanfaat. Penelitian
menunjukkan bahwa efektivitas uji tuberkulin pada anak dapat mencapai 90%. Ada beberapa
cara melakukan uji tuberkulin, tetapi hingga saat ini cara mantoux lebih sering dilakukan.
Pada uji mantoux, dilakukan penyuntikan PPD (Purified Protein Derivative) dari kuman
Mycobacterium tuberculosis. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada bagian atas
lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji
tuberkulin dilakukan 4872 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan
(indurasi) yang terjadi. 9
Berikut ini adalah interpretasi hasil uji mantoux :
1. Pembengkakan (indurasi) : 0-4 mm uji mantoux negatif.
Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosa.
2. Pembengkakan (indurasi) : 3-9 mm uji mantoux meragukan.
Arti klinis : hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium
atypic atau setelah vaksinasi BCG.
3. Pembengkakan (indurasi) : 10 mm uji mantoux positif.
Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosa.
Bila dalam penyuntikan vaksin BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari) berupa
kemerahan dan indurasi 5 mm, maka anak dicurigai telah terinfeksi Mycobacterium
tuberculosis.
Dari pemeriksaan laboratorium biasa disapatkan anemia ringan dan peningkatan laju
endap darah pada 80% kasus.
Pada pemeriksaan cairan otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis (dengan
cara pungsi lumbal) didapatkan:
Warna: jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan membentuk batang-batang.
Dapat juga berwarna xanhtochrom bila penyakitnya telah berlangsung lama dan ada
hambatan di medulla spinalis.
Jumlah sel: 100 500 sel / l. Mula-mula, sel polimorfonuklear dan limfosit sama
banyak jumlahnya, atau kadang-kadang sel polimorfonuklear lebih banyak
(pleositosis mononuklear). Kadang-kadang, jumlah sel pada fase akut dapat mencapai
1000 / mm3.
Kadar protein: meningkat (dapat lebih dari 200 mg / mm 3). Hal ini menyebabkan
liquor cerebrospinalis dapat berwarna xanthochrom dan pada permukaan dapat
tampak sarang laba-laba ataupun bekuan yang menunjukkan tingginya kadar
fibrinogen.
Kadar glukosa: biasanya menurun (liquor cerebrospinalis dikenal sebagai
hipoglikorazia. Adapun kadar glukosa normal pada liquor cerebrospinalis adalah
60% dari kadar glukosa darah.
Kadar klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun.
Pada pewarnaan Gram dan kultur liquor cerebrospinalis dapat ditemukan kuman.
Untuk mendapatkan hasil positif, dianjurkan untuk melakukan pungsi lumbal selama
3 hari berturut-turut. Terapi dapat langsung diberikan tanpa menunggu hasil
pemeriksaan pungsi lumbal kedua dan ketiga.
Dari pemeriksaan radiologi:
Foto toraks : dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis.
Pemeriksaan EEG (electroencephalography) menunjukkan kelainan kira-kira
pada 80% kasus berupa kelainan difus atau fokal.
CT-scan kepala : dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah
basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus.
Gambaran dari pemeriksaan CT-scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging)
kepala pada pasien meningitis tuberkulosis adalah normal pada awal penyakit.
Seiring berkembangnya penyakit, gambaran yang sering ditemukan adalah
enhancement di daerah basal, tampak hidrosefalus komunikans yang disertai
dengan tanda-tanda edema otak atau iskemia fokal yang masih dini. Selain itu,
dapat juga ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah korteks
serebri atau talamus.

Pemeriksaan Penunjang Meningitis Tuberkulosis


Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain:
Darah lengkap
Uji tuberculin
Radiologi
Pungsi cairan otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis (dengan cara pungsi
lumbal)

Pengobatan Meningitis Tuberkulosis


Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk kemoterapi
yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan tekanan intrakranial.
Terapi harus segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis ke arah meningitis
tuberkulosis. 6,7,8,9 Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yakni:
Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis, yakni
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol. Terapi dilanjutkan dengan 2
obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan rifampisin hingga 12 bulan.
Terapi untuk meningitis terbagi menjadi terapi umum dan terapi khusus, yaitu:
Terapi Umum
Istirahat mutlak, bila perlu diberikan perawatan intensif
Pemberian gizi tinggi kalori tinggi protein
Posisi penderita dijaga agar tidak terjadi dekubitus.
Keseimbangan cairan tubuh
Perawatan kandung kemih dan defekasi
Mengatasi gejala demam, kejang.
Terapi Khusus
a. Penatalaksanaan meningitis serosa meliputi:
Rejimen terapi : 2RHZE - 7RH
Untuk 2 bulan pertama.
INH : 1 x 400 mg/hari, oral
Rifampisin : 1 x 600 mg/hari, oral
Pirazinamid : 15-30 mg/kgBB/hari, oral
Etambutol :15-20 mg/kgBB/hari, oral
Untuk 7-12 bulan selanjutnya.
INH : 1 x 400 mg/hari, oral
Rifampisin : 1 x 600 mg/hari, oral
Steroid, diberikan untuk :
Menghambat reaksi inflamasi
Mencegah komplikasi infeksi
Menurunkan edem cerebri
Mencegah perlengketan arachnoid dan otak
Mencegah arteritis/ infark otak
Indikasi :
Kesadaran menurun
Defisit neurologi fokal
Dosis : Dosis Dexametason 10 mg bolus intravena, kemudian 4-5 mg intravena
selama 2-3 minggu, selanjutnya turunkan perlahan selama 1 bulan.
b. Penatalaksanaan meningitis Purulenta
Pemberian antibiotika harus cepat dan tepat sesuai dengan bakteri penyebabnya dan
dalam dosis yang cukup tinggi. Sambil menunggu hasil biakan sebaiknya diberikan
antibiotika dengan spektrum luas. Antibiotika diberikan selama 10-14 hari atau
sekurang-kurangnya 7 hari setelah bebas demam.
Penisilin G dosis 1-2 juta unit setiap 2 jam untuk infeksi Pneumococcus,
Streptococcus, Meningiococcus.
Kloramphenicol dosis 4 x 1 g/hari atau ampisilin 4 x 3 g/hari untuk infeksi
Haemophilus.
Gentamisin untuk infeksi E.coli. Klebsiella, Proteus, dan kuman-kuman gram negatif.

Karakteristik Obat
Isoniazid
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman intrasel dan
ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor
cerebrospinalis, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki adverse reaction
yang rendah. Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15
mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari dan diberikan dalam satu kali pemberian.
Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk
sirup 100 mg / 5 ml. Konsentrasi puncak di darah, sputum, dan liquor cerebrospinalis dapat
dicapai dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid terdapat
dalam air susu ibu yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta.
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik dan neuritis perifer.
Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya lebih banyak terjadi pada pasien dewasa dengan
frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Untuk mencegah timbulnya neuritis
perifer, dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10 mg
piridoksin setiap 100 mg isoniazid.

Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua
jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid.
Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1
jam sebelum makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam. Rifampisin diberikan
dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg / kgBB / hari, dosis maksimalmya 600 mg per hari
dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis
rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis isoniazid 10 mg/ kgBB / hari.
Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor
cerebrospinalis. Distribusi rifampisin ke dalam liquor cerebrospinalis lebih baik pada
keadaan selaput otak yang sedang mengalami peradangan daripada keadaan normal. Efek
samping rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata
menjadi warma oranye kemerahan. Efek samping lainnya adalah mual dan muntah,
hepatotoksik, dan trombositopenia. Rifampisin umumya tersedia dalam bentuk kapsul 150
mg, 300 mg, dan 450 mg.

Pirazinamid
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan
cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Obat ini bersifat bakterisid hanya pada intrasel
dan suasana asam dan diresorbsi baik pada saluran cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg /
kgBB / hari dengan dosis maksimal 2 gram / hari. Kadar serum puncak 45 g / ml tercapai
dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik
diberikan pada saat suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat
banyak. Efek samping pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan
hiperurisemia (jarang pada anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg.

Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraselular pada
keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraselular. Saat
ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunaannya
penting pada pengobatan fase intensif meningitis tuberkulosis dan MDR-TB (multi drug
resistent-tuberculosis). Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg /
kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari, dan kadar puncak 45-50 g /ml dalam waktu 1-2 jam.
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati
selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan
cairan pleura dan diekskresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika
terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita tuberkulosis
berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu
keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga berdengung (tinismus) dan
pusing. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam
menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merudak saraf pendengaran janin, yaitu
30% bayi akan menderita tuli berat.

Steroid
Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis tuberkulosis sebagai
terapi ajuvan. Penggunaan steroid selain sebagai anti inflamasi, juga dapat menurunkan
tekanan intrakranial dan mengobati edema otak. Steroid yang dipakai adalah prednison
dengan dosis 1-2 mg / kgBB / hari selama 4-6 minggu, setelah itu dilakukan penurunan dosis
secara bertahap (tappering off) selama 4-6 minggu sesuai dengan lamanya pemberian
regimen.
Pada bulan pertama pengobatan, pasien harus tirah baring total.
Steroid diberikan untuk:
Menghambat reaksi inflamasi
Mencegah komplikasi infeksi
Menurunkan edema serebri
Mencegah perlekatan
Mencegah arteritis/infark otak
Indikasi Steroid :
Kesadaran menurun
Defisit neurologist fokal

Ethambutol
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterid jika
diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman,
obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah
15-20 mg / kgBB / hari, maksimal 1,25 gram / hari dengan dosis tunggal. Kadar serum
puncak 5 g dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500
mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral
dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga
pada keadaan meningitis. Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan
buta warna merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum
dapat diperiksa tajam penglihatannya. Penelitian di FKUI menunjukkan bahwa pemberian
etambutol dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari tidak menimbulkan kejadian neuritis optika
pada pasien yang dipantau hingga 10 tahun pasca pengobatan. Rekomendasi WHO yang
terakhir mengenai pelaksanaan tuberkulosis pada anak, etambutol dianjurkan penggunaannya
pada anak dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan
TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak
dapat digunakan. 7

Tabel 2.2. Efek samping ringan obat dan penatalaksanaannya.

Tabel 2.3. Efek samping berat obat dan penatalaksanaanya.


DEFINISI

Dispepsia atau indigesti adalah rasa tidak nyaman pada perut bagian atas atau dada
akibat gangguan pada sistem pencernaan. Terdapat dua tipe dispepsia, yaitu organik
dan fungsional. Dispepsia fungsional adalah dispepsia yang terjadi tanpa adanya
kelainan organ lambung, baik dari pemeriksaan klinis, biokimiawi hingga
pemeriksaan penunjang lainnya. Dispepsia organik adalah dispepsia yang disebabkan
kelainan struktur organ percernaan seperti luka di lambung atau kanker.
Gejala Klinis
Gejala yang timbul pada dispepsia umumnya berasal dari saluran cerna bagian atas, terutama
lambung dan usus halus. Gejala dapat berupa nyeri perut di atas pusar, kembung, bersendawa,
mual dengan atau tanpa muntah, sensasi penuh pada perut, rasa cepat kenyang, dan
pembesaran perut. Gejala ini umumnya dirasakan setelah makan.Dispepsia klasik tidak
berbahaya; namun, dispepsia dengan karakteristik atau gejala penyerta berikut memerlukan
pemeriksaan lebih lanjut:
-Dispepsia yang menetap pada orang usia di atas 55 tahun;
-Penurunan berat badan lebih dari 3 kilogram;
-Anemia defisiensi besi;
-Perdarahan saluran cerna;
-Kesulitan menelan atau nyeri menelan;
-Riwayat operasi lambung sebelumnya;
-Massa pada perut;
-Riwayat luka pada lambung;
-Riwayat konsumsi obat anti inflamasi non steroid (NSAID) jangka panjang;
-Nyeri perut sangat hebat.

Penyebab
Dispepsia dapat disebabkan oleh banyak hal, antara lain udara yang tertelan, intoleransi
laktosa, kecemasan, depresi, luka pada lambung atau usus, kanker lambung, penyakit pada
kantung empedu, regurgitasi makanan atau cairan dari lambung, serta efek samping dari kopi,
alkohol, minuman bersoda dan obat obatan. Obat yang dapat menyebabkan dispepsia antara
lain aspirin, antibiotik, steroid, digoxin, dan teofilin.
Pengobatan
Pengobatan dispepsia umumnya adalah pemberian obat yang menekan produksi asam
lambung, terutama obat golongan anti-histamin (seperti simetidin) atau penghambat kanal
proton (sperti omeprazole, pantoprazole). Selain itu, juga dapat digunakan obat yang
meningkatkan gerakan usus serperti metoklopramid, cisapride, dan domperidon.
Jika gejala tidak membaik setelah 2 minggu mengkonsumsi obat tersebut, mungkin perlu
dipertimbangkan untuk pemeriksaan khusus seperti endoskopi (teropong lambung). Selain
obat obatan, diperlukan modifikasi gaya hidup, yaitu menghindari makanan pedas dan
asam, rokok, alkohol, kopi, dan menurunkan stres.

DEFINISI

Regurgitasi : naiknya makanan dari kerongkongan atau lambung tanpa disertai oleh
rasa mual maupun kontraksi otot perut yang sangat kuat
Penyebab : Regurgitasi sering disebabkan oleh asam yang naik dari lambung (refluk
asam). Regurgitasi juga bisa disebabkan oleh penyempitan (striktur) atau
penyumbatan kerongkongan. Penyumbatan bisa terjadi karena beberapa penyebab,
termasuk di dalamnya kanker kerongkongan. Penyumbatan juga bisa disebabkan oleh
gangguan pengendalian saraf kerongkongan dan katupnya di mulut
lambung. Regurgitasi tanpa penyebab fisik disebut ruminasi. Regurgitasi semacam ini
sering terjadi pada bayi dan jarang ditemukan pada orang dewasa. Ruminasi pada
orang dewasa lebih sering terjadi pada mereka yang mengalami kelainan emosi,
terutama selama mengalami stres.

Gejala : Asam yang berasal dari lambung menyebabkan regurgitasi dari bahan-bahan
yang terasa asam atau pahit. Penyempitan atau penyumbatan kerongkongan
menyebabkan regurgitasi cairan berlendir yang tidak berasa atau makanan yang belum
dicerna.
Pada ruminasi, penderita mengeluarkan sejumlah kecil makanan dari lambung,
biasanya 15-30 menit setelah makan. Mereka kemudian mengunyah bahan-bahan
tersebut dan menelannya lagi. Penderita tidak merasakan mual, nyeri atau kesulitan
menelan.

Pengobatan: Pengobatan dari penyempitan atau penyumbatan kerongkongan


tergantung dari penyebabnya. Bila tidak ditemukan penyebab fisik, bisa diberikan
obat metoklopramid atau cisaprid, yang merangsang kerongkongan untuk
berkontraksi secara normal. Pilihan lainnya adalah terapi relaksasi atau biofeedback.

Anda mungkin juga menyukai