Referat Akut Abd
Referat Akut Abd
A. Pendahuluan
Akut Abdomen adalah suatu kegawatan abdomen yang dapat terjadi karena masalah
nyeri abdomen yang terjadi tiba-tiba dan berlangsung kurang dari 24 jam (Rani, 2006).
Akut Abdomen adalah kelainan nontraumatik yang timbul mendadak dengan gejala
utama di daerah abdomen dan memerlukan tindakan bedah segera (Arif Mansjoer, 2001).
Akut Abdomen adalah interprestasi yang tepat terhadap nyeri abdomen. (isselbacher
et all, 2009).
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa akut abdomen adalah penyakit yang
disebabkan oleh nyeri yang timbul akibat masalah bedah dan non bedah serta terjadi secara
tiba-tiba (Sudoyo dkk, 2006).
s omentum
Obstruksi Rupture kista ovarium Ketoasidosis
usus diabetikum
Perforasi Kehamilan ektopik Inflamasi
viskus aneurisma
Pancreatitis Aneurisma aorta Volvulus sigmoid,
caecum, lambung
Peritonitis Prolaps diskus Herpes zoster
Salpingitis Abses
Adenitis Eksaserbasi ulkus
mesenterika peptikum
Kolik renal Ileitis: Chorns, Yersinia
spp
Rangsangan pada saraf sensorik aferen intraperitoneal pada acute abdominal pain
menimbulkan nyeri yang tumpul (tidak jelas pusat nyerinya), nyeri tidak terlokalisasi dengan
baik, dengan onset gradual/bertahap dan durasi yang lebih lama. Nervus vagus tidak
mengirimkan impuls nyeri dari usus. Sistem saraf aferen simpatik mengirimkan nyeri dari
esophagus ke spinal cord. (Snell, 2006).
Saraf aferen dari kapsul hepar, ligamen hepar, bagian central dari diafragma, kapsul
lien, dan perikardium memasuki sistem saraf pusat dari C3 sampai C5. Spinal cord dari T6
sampai T9 menerima serabut nyeri dari bagian diafragma perifer, kantong empedu, pankreas,
dan usus halus. Serabut nyeri dari colon, appendik, dan visera dari pelvis memasuki sistem
saraf pusat pada segmen T10 sampai L11. Kolon sigmoid, rektum, pelvis trenalis beserta
kapsulnya, ureter dan testis memasuki sistem saraf pusat pada T11 dan L1. Kandung kemih
dan kolon rektosigmoid dipersarafi saraf aferen dari S2 samapai S4.
Pemotongan, robek, hancur, atau terbakar biasanya tidak menghasilkan nyeri divisera
pada abdomen. Namun, perenggangan atau distensi pada peritonium akan menghasilkan
sensasi nyeri. Peradangan peritonium akan menghasilkan nyeri viseral, seperti halnya
iskemia. Kanker dapat menyebabkan intraabdominal pain jika mengenai saraf sensorik.
Abdominal pain dapt berupa viseral pain, pariental pain, atau reffered pain. Viseral pain
5
bersifat tumpul dan kurang terlokalisir dengan baik, biasanya diepigastrium, regio
periumbilikalis atau regio suprapubik. Pasien dengan nyeri viseral mungkin juga mengalami
gejala berkeringat, gelisah, dan mual.
Nyeri parietal atau nyeri somatik yang terkait dengan gangguan intra-abdominal akan
menyebabkan nyeri yang lebih inten dan terlokalisir dengan baik. Referred pain merupakan
sensasi nyeri dirasakan jauh dari lokasi sumber stimulus yang sebenernya. Misalnya, iritasi
pada diafragma dapat menghasilkan rasa sakit dibahu. Penyakit saluran empedu atau kantong
empedu dapat menghasilkan nyeri bahu. Distensi dari small bowel dapat menghasilkan rasa
sakit ke bagian punggung bawah.
Selama minggu ke-5 perkembangan janin, usus berkembang diluar rongga peritoneal,
menonjol melalui dasar umbilical cord, dan mengalami rotasi 180 berlawanan dengan arah
jarum jam. Selama proses ini, usus tetap berada di luar rongga peritoneal sampai kira-kira
minggu 10, rotasi embryologik menempatkan organ-organ visera pada posisi anatomis
dewasa, dan pengetahuan tentang proses rotasi semasa embriologis penting secara klinis
untuk evaluasi pasien dengan acute abdominal pain karena variasi dalam posisi (misalnya,
pelvic atau retrocecal appendix) (Snell, 2006).
D. Patofisiologi
Akut abdomen terjadi karena nyeri abdomen yang timbul tiba-tiba atau sudah
berlangsung lama. Nyeri abdomen ini dapat berupa nyeri viseral maupun nyeri somatik dan
dapat berasal dari berbagai proses pada berbagai organ di rongga perut atau di luar rongga
perut, misalnya di rongga dada. (Grace et all, 2006).
a. Nyeri Viseral
Nyeri viseral terjadi bila terdapat rangsangan pada organ atau struktur dalam
rongga perut, misalnya karena cedera atau radang. Peritoneum viserale yang
menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem saraf otonom dan tidak peka
terhadap rabaan, atau pemotongan. Dengan demikian, sayatan atau penjahitan
pada usus dapat dilakukan tanpa terasa oleh pasien. Akan tetapi, bila dilakukan
tarikan atau regangan organ, atau terjadi kontraksi yang berlebihan pada otot
yang menyebabkan iskemia, misalnya kolik atau radang, seperti apendisitis,
akan timbul nyeri. Pasien yang merasakan nyeri viseral biasanya tak dapat
6
b. Nyeri Somatik
Nyeri somatik terjadi karena rangsangan pada bagian yang dipersarafi oleh saraf
tepi, misalnya regangan pada peritoneum parietalis, dan luka pada dinding perut.
Nyeri dirasakan seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat menunjukkan
secara tepat letaknya dengan jari. Rangsang yang menimbulkan nyeri ini dapat
berupa rabaan, tekanan, rangsang kimiawi, atau proses radang. (Sjamsuhidayat,
2004).
Nyeri viseral dari suatu organ sesuai letaknya dengan asal organ tersebut pada
masa embrional, sedangkan letaknya nyeri somatik biasanya dekat dengan organ
sumber nyeri sehingga relatif mudah menentukan penyebabnya. Nyeri pada anak
prasekolah sulit ditentukan letaknya karena mereka selalu menunjuk daerah sekitar
pusat bila ditanya tentang nyerinya. Anak yang lebih besar baru dapat menentukan
letak nyeri (Sjamsuhidayat, 2004).
Sifat Nyeri
Berdasarkan letak atau penyebarannya, nyeri dapat bersifat nyeri alih dan nyeri
yang diproyeksikan. Untuk penyakit tertentu meluasnya rasa nyeri dapat membantu
menegakkan diagnosis. Nyeri bilier khas menjalar ke pinggang dan ke arah belikat.
nyeri pankreatitis dirasakan menembus ke bagian pinggang. Nyeri pada bahu
menunjukkan adanya rangsangan pada diafragma. (Sjamsuhidayat, 2004).
1. Nyeri Alih
Nyeri alih terjadi jika suatu segmen persarafan melayani lebih dari satu
daerah. Misalnya, diafragma yang berasal dari regio leher C3-5 pindah ke bawah
pada masa embrional sehingga rangsangan pada diafragma oleh perdarahan atau
peradangan akan dirasakan di bahu. (Sjamsuhidayat, 2004).
2. Nyeri Proyeksi
Nyeri proyeksi adalah nyeri yang disebabkan oleh rangsangan saraf sensorik
akibat cedera atau peradangan saraf. Contoh yang terkenal ialah nyeri fantom
setelah amputasi atau nyeri perifer setempat pada herpes zoster. Radang saraf Ini
pada herpes zoster dapat menyebabkan nyeri hebat di dinding perut sebelum
gejala atau tanda herpes zoster menjadi jelas. (Sjamsuhidayat, 2004).
8
3. Hiperestesia
Hiperestesi atau hiperalgesi sering ditemukan di kulit jlka ada peradangan pada
rongga di bawahnya. Pada gawat perut, tanda ini sering ditemukan pada
peritonitis setempat maupun peritonitis umum. (Sjamsuhidayat, 2004).
Nyeri peritoneum parietalis dirasakan tepat pada tempat terangsangnya
peritoneum sehingga penderita dapat menunjuk dengan tepat dan pada tempat itu
terdapat nyeri tekan, nyeri gerak, nyeri batuk, nyeri lepas, serta tanda rangsang
peritoneum lain dan defans muskuler yang sering disertai hiperestesi kulit
setempat. (Sjamsuhidayat, 2004).
Nyeri yang timbul pada pasien dengan gawat abdomen dapat berupa nyeri yang
terus-menems (kontinu) atau nyeri yang bersifat kolik. (Sjamsuhidayat, 2004).
4. Nyeri Kontinyu
5. Nyeri Kolik
Kolik merupakan nyeri viseral akibat spasme otot polos organ berongga dan
biasanya disebabkan oleh hambatan pasase dalam organ tersebut (obstruksi usus.
batu ureter, batu empedu, peningkatan tekanan intraluminer). Nyeri ini timbul
karena hipoksia yang dialami oleh Jaringan dinding saluran. Karena kontraksi
berbeda maka kolik dirasakan hilang timbul. Fase awal gangguan pendarahan
dinding usus juga berupa nyeri kolik. (Sjamsuhidayat, 2004).
6. Nyeri Iskemik
Nyeri perut dapat Juga berupa nyeri iskemik yang sangat hebat. menetap, dan
tidak menyurut. Nyeri ini merupakan tanda adanya jaringan yang terancam
nekrosis. Lebih lanjut akan tampak tanda intoksikasi umum, seperti takikardia,
keadaan umum yang jelek dan syok karena resorbsi toksin dari Jaringan nekrosis.
(Sjamsuhidayat, 2004).
7. Nyeri Pindah
Pada perforasi tukak peptik duodenum, isi duodenum yang terdiri atas cairan
asam garam dan empedu masuk di rongga abdomen yang sangat merangsang
peritoneum setempat. Si sakit merasa sangat nyeri di tempat rangsangan itu
yaitu di perut bagian atas. Setelah beberapa waktu cairan isi duodenum mengalir
ke kanan bawah melalul jalan di sebelah lateral kolon asendens sampai ke
tempat kedua, yaitu rongga perut kanan bawah sekitar sekum. Nyeri itu kurang
tajam dan kurang hebat dibandingkan nyeri pertama karena terjadi pengenceran.
Pasien sering mengeluh bahwa nyeri yang mulai di ulu hati pindah ke kanan
bawah. Proses ini berbeda sekali dengan proses nyeri pada apendisitis akut.
Akan tetapi kedua keadaan ini apendisitis akut maupun perforasi lambung atau
duodenum, akan mengakibatkan peritonitis purulenta umum jika tidak segera
ditanggulangi dengan tindak bedah. (Sjamsuhidayat, 2004).
Onset timbulnya nyeri dapat menunjukkan keparahan proses yang terjadi. Onset
dapat digambarkan dalam bahasa mendadak (dalam detik), cepat (dalam jam), dan
perlahan (dalam beberapa jam). Nyeri hebat yang terjadi mendadak pada seluruh
abdomen merupakan suatu keadaan bahaya yang terjadi intra abdomen seperti
perporasi viscus atau ruptur aneurisma, kehamilan ektopik, atau abses. Dengan adanya
gejala sistemik (tachykardi, berkeringat, tachypneu dan syok) menunjukkan
dibutuhkannya resusitasi dan laparotomi segera. (isselbacher et all, 2009).
Pada kasus kolesistitis akut, pankreatitis akut, strangulasi usus, infark mesenterium,
kolik renal atau ureter, obstruksi usus yang tinggi ditemukan nyeri abdomen yang
menetap, terlokalisasi dengan baik dalam 1 2 jam dan nyeri dirasakan lebih berat
pada bagian tengah. Pada akut appendisitis terutama pada retrocaecal atau retroileal,
hernia ingkarserata, obstruksi usus halus bagian bawah atau kolon, ulkus peptikum
yang tidak terkomplikasi, atau beberapa kelainan urologi dan ginekologi
menunjukkan gejala nyeri yang tidak jelas pada awal perjalanan penyakit, tetapi
kemudian nyeri lebih berat dirasakan pada suatu lokasi tertentu. (Isselbacher et all,
2009).
Karakteristik Nyeri
Sifat, derajat, dan lamanya nyeri akan sangat membantu dalam mencari penyebab
utama akut abdomen. Nyeri superfisial, tajam dan menetap biasanya terjadi pada
iritasi peritoneal akibat perporasi ulkus atau ruptur appendiks, ovarian abses atau
kehamilan ektopik. Nyeri kolik terjadi akibat adanya kontraksi intermiten otot polos,
seperti kolik ureter, dengan ciri khas adanya interval bebas nyeri. Tetapi istilah kolik
bilier sebenarnya tidak sesuai dengan pengertian nyeri kolik karena kandung empedu
dan ductus biliaris tidak memiliki gerakan peristalsis seperti pada usus atau ureter.
Nyeri kolik biasanya dapat reda dengan analgetik biasa. Sedangkan nyeri strangulata
akibat nyeri iskemia pada strangulasi usus atau trombosis vena mesenterika biasanya
hanya sedikit mereda meskipun dengan analgetik narkotik. Faktor-faktor yang
memicu atau meredakan nyeri penting untuk diketahui. Pada nyeri abdomen akibat
peritonitis, terutama jika mengenai organ-organ pada abdomen bagian atas, nyeri
dapat dipicu akibat gerakan atau nafas yang dalam. (isselbacher et all, 2009).
11
Pada sebagian besar akut abdomen, muntah merupakan keluhan yang sering terjadi
setelah nyeri, tetapi jika pasien tidak menyatakannya maka harus ditanyakan apakah terdapat
riwayat muntah. Muntah terjadi akibat rangsangan serabut aferen viseral sehingga
mengaktifasi pusat muntah di medulla yang kemudian dilanjutkan ke serabut eferen sehingga
terjadi muntah. Karakteristik muntah sangat penting karena terkadang muntah terjadi pada
saat awal nyeri pada kasus-kasus lesi inflamasi intra abdomen, tetapi dapat hilang dengan
cepat.
Pada kasus lainnya dimana terjadi akibat obstruksi usus, pada obstruksi tinggi,
keluhan muntah dapat muncul dengan cepat dan menetap, sedangkan pada obstruksi rendah
muntah terjadi lebih lambat hingga nyeri bertahan dalam beberapa jam atau hari. pada akut
pankreatitis biasanya terjadi muntah yang terus menerus, dan hal tersebut dapat membantu
membedakan dengan perporasi gaster atau duodenum dimana muntah tidak terjadi atau hanya
muntah ringan. (Grace et all, 2006).
Gejala lain yang penting dan sering ditemukan adalah perubahan pada aktifitas usus.
Sebagian besar lesi inflamasi pada abdomen menimbulkan refleks mengurangi pergerakan
usus sehingga terjadi konstipasi. Refleks ileus terkadang terinduksi oleh serabut aferen
visceral yang menstimulasi seranut eferen sistem simpatis (splanchnic nerve) sehingga
peristalsis usus menurun. Pada gastroenteritis atau inflamasi di daerah pelvis, biasanya pelvis
12
appendisitis, dapat menyebabkan iritasi pada rektum dan terjadi tenesmus, biasanya pasien
menganggapnya sebagai suatu diare. (Sjamsuhidayat, 2004).
F. Diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
G. Diagnosis Banding
Diagnosis banding gawat perut juga termasuk kelainan ekstra abdomen yang
menyebabkan nyeri di abdomen seperti kelainan di toraks, misalnya penyakit Jantung, paru
atau pleura, kelainan neurogen, kelainan metabolik, dan keracunan. Pada keadaan ini
gejala, tanda umum, dan nyeri perut sering cukup jelas, tetapi pada pemeriksaan perut
tidak ditemukan kelainan. (Sjamsuhidayat, 2004).
Kadang sukar membedakan kelainan akut di perut yang disertai nyeri perut dengan
kelainan akut di toraks yang menyebabkan nyeri perut. Umumnya pada anamnesis nyata
bahwa penyakit organ toraks tidak didahului atau disertai dengan mual atau muntah.
Kelainan perut umumnya tidak mulai dengan panas tinggi atau menggigil (kecuali pada
apendisitis dan tifus abdominalis). sedangkan panas tinggi dengan gigilan lazim ditemukan
sebagai tanda awal pada kelainan akut toraks seperti pleuritis. Pada pemeriksaan perut pun
tidak ditemukan tanda rangsangan peritoneum. (Sjamsuhidayat, 2004).
H. Penatalaksanaan
Secara umum pada akhirnya penanganan pasien dengan akut abdomen adalah
menentukan apakah pasien tersebut merupakan kasus bedah yang harus dilakukan
tindakan operasi atau jika tindakan bedah tidak perlu dilakukan segera, kapan kasus
tersebut harus dilakukan tindakan bedah. (Sudoyo dkk, 2006).
BAB III
16
PENUTUP
III.I. Kesimpulan
akut abdomen adalah penyakit yang disebabkan oleh nyeri yang timbul akibat
masalah bedah dan non bedah serta terjadi secara tiba tiba. Penyebab tersering dari
akut abdomen antara lain apendisitis, kolik bilier, kolisistitis, divertikulitis, obstruksi
usus, perforasi viskus, pankreatitis, peritonitis, salpingitis, adenitis mesenterika, dan
kolik renal. Akut abdomen terjadi karena nyeri abdomen yang timbul tiba-tiba atau
sudah berlangsung lama. Nyeri abdomen ini dapat berupa nyeri viseral maupun
nyeri somatik dan dapat berasal dari berbagai proses pada berbagai organ di rongga
perut atau di luar rongga perut, misalnya di rongga dada.
Jenis nyeri perut ada 2 macam yaitu nyeri perut visceral dan somatik. Sedangkan
berdasarkan sifatnya terdiri dari nyeri alih, proyeksi, hiperestesia, kontinyu, kolik,
iskemik, dan nyeri pindah. Onset nyeri dapat digambarkan dalam bahasa mendadak
(dalam detik), cepat (dalam jam), dan perlahan (dalam beberapa jam).
Gejala abdomen akut yang utama adalah nyeri. Selain nyeri yaitu muntah,
konstipasi, peristalsis usus menurun, pelvis appendisitis dan tenesmus.
Diagnosis akut abdomen berdasarkan anamnesis yaitu ditemukannya gejala-gejala
seperti yang disebutkan di atas, pada pemeriksaan fisik pada pasien dengan keluhan
nyeri perut harus dilakukan pemeriksaan colok dubur dan pemeriksaan vaginal
sedangkan pada pemeriksaan penunjang dilakukan pemeriksaan darah, urin, dan feses.
Diagnosis banding gawat perut juga termasuk kelainan ekstra abdomen yang
menyebabkan nyeri di abdomen seperti kelainan di toraks.
Secara umum pada akhirnya penanganan pasien dengan akut abdomen adalah
dengan tindakan bedah.
III.2. Saran
Dalam menangani pasien dengan akut abdomen seefektif mungkin, seorang klinisi
harus selalu mengingat bahwa terdapat banyak penyakit yang dapat menimbulkan
nyeri abdomen. Terlebih lagi, di antara barbagai penyakit tersebut, terdapat kondisi
yang memerlukan tindakan bedah, dan beberapa di antaranya tidak. Oleh karena itu,
terkait penatalaksanaan akut abdomen, keputusan untuk tindakan bedah haruslah
17
diambil melalui serangkaian metode diagnosis yang efektif agar tindakan bedah yang
sia-sia dapat dihindari.
Perforated Viscus
Perforated Viscus Objectives
Describe the classic history and physical examination findings for a perforated viscus
Discuss the advantages and limitations of the different radiologic studies utilized in
the diagnosis a perforated viscus
Recognize the acuity of a perforated viscus and the need for rapid diagnosis and
treatment
Classic Presentation
The patient with a perforated viscus classically presents with sudden and severe abdominal
pain. The pain may initially have a focal location especially in perforated peptic ulcers ? but
a generalized peritonitis shortly ensues as the leakage of air, chemical and bacterial
products contaminates the peritoneum. On abdominal exam, the patient may have board
like rigidity, involuntary guarding, and significant diffuse rebound tenderness.
Rapid contamination of the perforated site with a chemical and bacterial milieu may set up a
SIRS syndrome with the patient appearing acutely toxic, significantly hypotensive,
tachypneic, tachycardic and febrile. These patients are in shock or even present as
moribund. It is essential to include other life threatening causes of acute abdominal pain in
the differential such as AAA/aortic dissection and mesenteric ischemia.
In time, localization of the anatomic site of perforation may occur with pain in a particular
location due to peritoneal defenses with abscess formation. One example could be the case
18
of a ruptured appendix presenting days after the original perforation with persistent RLQ
pain and localized rigidity.
Immunocompromised patients and critically ill patients with other co-morbid states are at
greater risk for perforation, yet may have less obvious presentations of acute abdominal
pain. Patients with large volume pneumoperitoneum from iatrogenic accidents such a
perforated colon during routine colonoscopy may not have the obvious rigid abdomen or
toxic appearance until later in the disease process.
Diagnostic Testing
Plain radiography
Proponents of plain radiography as an initial screening exam point to the speed in which a
plain film can be accomplished compared to CT. Thus, a patient may more expediently go to
surgery with a positive plain x-ray film. Plain radiography also has the advantage of being
obtainable portably at the bedside with little interruption in patient monitoring or care.
Critics of plain radiography relate that 50 % of patients with a perforated viscus on
laparotomy had no findings of pneumoperitoneum of plain film and that 10-14% of
pneumoperitoneums may have a non surgical cause.
CT scan
Computerized Tomography is currently the most sensitive and specific imaging technique in
evaluating a perforated viscus. Its numerous advantages include detecting extremely small
volume pneumoperitoneum, retroperitoneal air, potential locations of the actual site or
organ that has perforated and finally providing alternative diagnoses if no free intra-
abdominal air is identified.
19
Many oral and IV protocols exist with sensitivities for detecting a perforated viscus in the 95-
98 % range. Its use necessitates the patient leaving the ED sometimes for a prolonged
period of time which is a consideration to make in an unstable patient undergoing
resuscitation.
Bedside Ultrasound
Recently, attention has been made to using bedside ultrasound as another highly sensitive
modality in looking for pneumoperitoneum. Characteristic ultrasound signs have been
repeatedly demonstrated as evidence of a pneumoperitoneum. The ring down artifact and
enhancement of the peritoneal stripe over the liver can be used in experienced hands to
achieve an almost 93 % sensitivity. Thus as more ultrasound experience is developed,
looking for pneumoperitoneum may join current FAST and aortic exams in evaluating the
patient with acute abdominal pain.
In the video to the left (courtesy of Dr. Blaivas), pneumoperitoneum is seen as the
hypoechoic (dark) space between two hyperechoic (bright) lines above the liver in this RUQ
FAST view. It doesnt move with respirations. This is the enhancement of the peritoneal
stripe sign.
Laboratory studies
These should be ordered with the goal of gathering information critical for the surgical
control of the perforation site thus type and screen/cross, initial hemoglobin/hematocrit,
platelet and coagulation studies should be considered as a minimum. Additional
laboratories such as the WBC, blood gas, lactic acid, renal and liver function, lipase/amylase
and urinalysis are also of value in guiding diagnosis, resuscitation, and post-surgical care.
The ill appearing patient presenting with acute severe abdominal pain and a characteristic
abdominal exam should be considered to have a perforated viscus. Further bedside
ultrasound examination that reveals no AAA or fluid collections thought to be
hemoperitoneum should heighten that suspicion. Use of a portable upright CXR or left
lateral decubitus abdomen view that reveals a pneumoperitoneum or even specific signs on
bedside ultrasound may rule in a perforated viscus, thus necessitating an immediate
surgical consultation. If a pneumoperitoneum is not ruled in by these methods then further
20
CT imaging is done in conjunction with the surgeon while resuscitation therapies are
continued.
Treatment
Antibiotic selection tends to follow suspected sites of perforation as lesions of the foregut
(stomach, first portion duodenum, PUD) tend to have lower bacterial colonization compared
to the distal organs such as the ileum and colon. The colon has significantly more anaerobic
organisms than the foregut, thus necessitating broader empiric coverage. In general, a
perforated viscus should have antibiotic coverage to treat gram negative, gram positive, and
anaerobic organisms. Some appropriate choices include ciprofloxacin and metronidazole,
piperacillin/tazobactam, or imipenem.
Few exceptions to this may include self sealing lesions such as a duodenal PUD
perforation being covered by omentum which may not require laparotomy. However,
those decisions are best left to the surgeon to decide with ongoing resuscitation in the ED
and rapid transfer of the patient to the OR or ICU.
Alternative methods of source control are being investigated such as the use of endoscopic
clips and other devices when an iatrogenetic injury to the colon occurs during colonoscopy.
In addition, interventional radiology offers percutaneous drainage of abscesses as adjuncts
to surgical source control and may serve as the only mechanical invention needed in limited
situations such as well defined colonic diverticular abscesses.
Disposition
OR
ICU
Interventional Radiology
21
Stable patients with abscesses secondary to colonic perforation that can be drained
by interventional radiology may be candidates for floor admission
Early surgical consultation for source control with simultaneous resuscitation and
antibiotics are the mainstays to therapy
Credits
Written by: Jeff Van Denmark, University of Texas, Southwestern, Dallas Texas
Selected References
Gajic O, Urrutia LE, Sewani H, Schroeder DR, Cullinane DC, Peters SG. Acute
abdomen in the medical intensive care unit. Crit Care Med. 2002 Jun;30(6):1187-90.
Langell JT, Mulvihill SJ. Gastrointestinal perforation and the acute abdomen. Med Clin
North Am. 2008 May;92(3):599-625, viii-ix. Review.
m
22
Ileus Obstruktif
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
merupakan penyumbatan yang sama sekali menutup atau menganggu jalannya isi
usus. Sekitar 20% pasien ke rumah sakit datang dengan keluhan akut abdomen oleh
karena obstruksi pada saluran cerna, 80% obstruksi terjadi pada usus halus
(Emedicine, 2009).
23
Setiap tahunnya 1 dari 1000 penduduk dari segala usia didiagnosis ileus. Di
Indonesia tercatat ada 7.059 kasus ileus paralitik dan obstruktif tanpa hernia yang
dirawat inap dan 7.024 pasien rawat jalan (Deparetemen Kesehatan RI, 2004).
.
TINJAUAN PUSTAKA
I. Ileus obstruksi
Adalah hambatan pasase isi usus yang disebabkan oleh sumbatan mekanik misalnya
oleh strangulasi, invaginasi, atau sumbatan di dalam lumen usus. Terdapat dua jenis obstruksi
yaitu, obstruksi sederhana dan obstruksi strangulasi. Obstruksi sederhana adalah obstruksi yang
tidak disertai terjepitnya pembuluh darah. Pada obstruksi strangulasi ada pembuluh darah yang
terjepit sehingga bisa terjadi iskemia yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren yang
ditandai dengan gejala umum berat yang disebabkan oleh toksin dari jaringan ganggren (Wim de
Jong, 2005).
A. Adhesi
Ileus karena adhesi umumnya tidak disertai strangulasi. Adhesi bisa berasal dari
rangsangan peritonium akibat peritonitis setempat atau umum, atau pascaoperasi. Adhesi dapat
berupa perlengketan mungkin dalam bentuk tunggal maupun multiple, mungkin setempat
maupun luas.
B. Hernia inkarserata
Hernia yang tidak dapat direposisi kembali ke dalam rongga perut. Hernia
jenis ini dapat menimbulkan gangguan pasase usus, tetapi belum terdapat gangguan
vaskularisasi.
C. Askariasis
Kebanyakan cacing askaris hidup di usus halus bagian Jejunum. Biasanya ada
puluhan hingga ratusan ekor. Askaris jantan berukuran antara 15-30 cm, sedangkan
yang betina antara 15-30 cm. Obstruksi bisa terjadi dimana saja di usus halus, tetapi
kontraksi lokal di dinding usus yang disertai dengan reaksi radang setempat yang
D. Tumor
F. Kelainan kongenital
Gangguan pasase usus kongenital dapat berbentuk stenosis atau atresia. Setiap cacat
bawaan berupa stenosis atau atresia dari sebagian saluran cerna akan menyebabkan obstruksi
G. Invaginasi
Invaginasi atau intususepsi sering ditemukan pada anak dan jarang pada
dewasa. Invaginasi pada anak biasanya bersifat idiopatik karena tidak diketahui
penyebabnya. Kebanyakan ditemukan pada kelompok umur 2-12 bulan, dan lebih
banyak pada anak laki-laki. Sering terdapat serangan rinitis atau infeksi saluran
ileosekal yang masuk naik ke kolon asendens dan mungkin terus keluar rektum.
Invaginasi dapat mengakibatkan nekrosis iskemik pada bagian usus yang masuk
H. Volvulus
Obstruksi usus halus akibat bahan makanan ditemukan pada orang yang
anastomosis. Obstruksi lain yang jarang ditemukan, dapat terjadi setelah makan
di ileum terminal, seperti serat buah jeruk atau biji buah tertentu yang banyak
ditelan sekaligus. Keadaan ini harus dibedakan dari impaksi feses kering pada
Obstruksi usus halus merupakan obstruksi saluran cerna tinggi, disertai dengan
pengeluaran banyak cairan dan elektrolit, baik di dalam lumen usus maupun oleh muntah.
Keadaan umum akan memburuk dalam waktu relatif singkat. Pada anamnesis obstruksi tinggi
dapat ditemukan penyebab misalnya berupa adhesi dalam perut karena pernah dioperasi atau
terdapat hernia. Gejala umum berupa syok, oliguri, dan gangguan elektrolit. Ditemukan
meteorismus dan kelebihan cairan di usus, hiperperistaltik berkala berupa kolik yang disertai
mual dan muntah. Kolik tersebut terlihat pada inspeksi perut sebagai gerakan usus atau kejang
usus, dan pada auskultasi sewaktu serangan kolik, hiperperistaltik terdengar jelas sebagai bunyi
nada tinggi. Penderita tampak gelisah dan menggeliat sewaktu kolik dan setelah satu dua kali
defekasi tidak ada lagi flatus atau defekasi (Wim de Jong, 2005).
V. Patofisiologi
atau fungsional. Lumen usus yang tersumbat secara progresif akan teregang oleh
cairan dan gas (70% dari gas yang ditelan). Hal ini mengakibatkan peningkatan
tekanan intralumen, sehingga menurunkan pengaliran air dan natrium dari usus ke
darah. Oleh karena sekitar 8 liter cairan disekresi ke dalam saluran cerna setiap hari,
kehilangan utama cairan dan elektrolit. Pengaruh atas kehilangan ini adalah
curah jantung, penurunan perfusi jaringan, dan asidosis metabolik. Peregangan usus
cairan dan peningkatan sekresi cairan ke dalam usus. Efek lokal peregangan adalah
(price, 2006).
A. Anamnesa
Perut kembung
Nyeri-kolik
Oliguri
B. Pemeriksaan fisik
massa abdomen berbentuk sosis. Adanya adhesi dapat dicurigai bila ada bekas luka
operasi sebelumnya.
Pada fase lanjut bising usus dan peristaltik melemah sampai hilang.
C. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium :
- Hemokonsentrasi
- Lekositosis
- pH meningkat
A. Monitor :
30
Keseimbangan cairan dan elektrolit : mengoreksi defisit atau kelebihan cairan dan
peritonitis.
Pasang kateter urin untuk menghitung balance cairan. Bila urine output berkurang,
waspadai syok.
Darm contour
Suara usus
Lavement
C. Memperbaiki ventilasi :
Menganjurkan penderita bernafas melalui hidung dan tidak menelan udara karena
D. Obat-obatan :
Strangulasi
Obstruksi lengkap
Hernia inkarserata
bedah. Terapi awal yang dilakukan adalah terapi konservatif, dan dilakukan tindakan
laparotomi jika pada terapi konservatif tidak berhasil. Tindakan laparotomi saat ini
mulai diganti dengan tindakan bedah seminimal mungkin. Penelitian yang dilakukan
oleh Franklin yang dimulai pada bulan Mei tahun 1991 sampai 2001 pada 167 pasien
obstruksi pada semua pasien. Laparoskopi juga berhasil melakukan terapi pada 154
31
pasien (92,2%) tanpa laparotomi. Komplikasi pada saat operasi dan pasca operasi
obstruksi saluran cerna dengan menggunakan laparoskopi lebih aman dan efektif
tidak hanya untuk menegakkan diagnosis juga untuk terapi pada pasien. (Franklin, et
all.2003).
KESIMPULAN
1. Ileus obstruksi adalah hambatan pasase isi usus yang disebabkan oleh sumbatan
mekanik misalnya oleh strangulasi, invaginasi, atau sumbatan di dalam lumen usus.
dan efektif tidak hanya untuk menegakkan diagnosis juga untuk terapi pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA
3. Franklin Jr, et all. Laparoscopic Diagnosis and Treatment of Intestinal Obstruction. Texas
5. Schteingart, DE. (2006). In S.A. Price, & L.M. Wilson. Patofisiologi: Konsep klinis
6. Standar Pelayanan Medik Bagian Ilmu Bedah RSUD Tidar Magelang, 1999.