Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini berbagai bentuk sediaan obat dapat dijumpai dipasaran.


Diantaranya adalah sediaan injeksi yang termasuk sediaan steril. Produk steril
adalah sediaan teraseptis dalam bentuk terbagi yang bebas dari
mikroorganisme hidup. Sediaan parenteral ini merupakan sediaan unik
diantara bentuk sediaan obat terbagi, karena sediaan ini disuntikkan melalui
kulit atau membran mukosa ke bagian dalam tubuh. Dan kemudian langsung
menuju reseptor.
Sediaan tersebut harus bebas dari kontaminasi mikroba dan dari
komponen toksik serta harus mempunyai tingkat kemurnian tinggi dan luar
biasa. Dalam injeksi intravena memberikan beberapa keuntungan antara lain
efek terapi lebih cepat didapat., dapat memastikan obat sampai pada tempat
yang diinginkan, cocok unyuk keadaan darurat, untuk obat obat yang rusak
oleh cairan lambung
Sediaan injeksi merupakan sediaan yang sangat penting bagi dunia
kesehatan. Karena pada keadaan sakit yang dianggap kronis, pemberian obat
minum sudah tidak maksimal lagi , sehingga perlu dan sangat penting untuk
di berikan sediaan injeksi, karena akan sangat membantu untuk mempercepat
mengurangi rasa sakit pada pasien, sebab sediaan injeksi bekerja secara cepat,
dimana obat langsung masuk ke dalam pembuluh darah dan akan bekerja
secara optimal pada bagian yang sakit. Sediaan injeksi merupakan salah satu
contoh sediaan steril , jadi keamanan dan kebersihan sediaan juga telah di uji.

1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini ialah
1. Apakah yang dimaksud sediaan parenteral ?
2. Bagaimanakah evaluasi sediaan parenteral ?
3. Bagaimanakah rute pemberian sediaan parenteral ?
4. Apa sajakah keuntungan dan kerugian sediaan parenteral ?

1.3 Tujuan Makalah


Adapun tujuan makalah ini ialah
1. Mengetahui definisi sediaan parenteral.
2. Mengetahui evaluasi sediaan parenteral.
3. Mengetahui pemberian sediaan parenteral.
4. Mengetahui keuntungan dan kerugian sediaan parenteral.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2
2.1 Definisi Sediaan Parenteral
Sediaan parenteral merupakan sediaan steril. Sediaan ini diberikan melalui
beberapa rute pemberian yaitu intravena, intraspinal, intramuskuler, subkutis dan
intradermal. Apabila injeksi diberikan melalui rute intramuscular, seluruh obat
akan berada di tempat itu. Dari tempat suntikan itu obat akan masuk ke pembuluh
darah di sekitarnya secara difusi pasif, baru masuk ke dalam sirkulasi. Cara ini
sesuai utnuk bahan obat , baik yang bersifat lipofilik maupun yang
hidrofilik. Kedua bahan obat itu dapat diterima dalam jaringan otot baik secara
fisis maupun secara kimia. Ahkan bentuk sediaan larutan, suspensi, atau
emulsi juga dapat diterima lewat intramskuler, begitu juga pembawanya bukan
hanya air melainkan yang non air juga dapat. Hanya saja apabila berupa larutan
air harus diperhatikan pH larutan tersebut.
Istilah parenteral berasal dari kata Yunani para dan enteron yang berari
disamping atau lain dari usus. Sediaan ini diberikan dengan cara menyuntikkan
obat di bawah atau melalui satu atau lebih lapisan kulit atau membrane mukosa.
Karena rute ini disekitar daerah pertahanan yang sangat tinggi dari tubuh, yaitu
kulit dan selaput/membrane mukosa, maka kemurniaan yang sangat tinggi dari
sediaan harus diperhatikan. Yang dimaksud dengan kemurnian yang tinggi itu
antara lain harus steril.
Obat suntik hingga volume 100 ml disebut sediaan parenteral volume kecil
sedangkan apabila lebih dari itu disebut sediaan parenteral volume besar, yang
biasa diberikan secara intravena.
Produk parenteral, selain diusahakan harus steril juga tidak boleh
mengandung partikel yang memberikan reaksi pada pemberian juga diusahakan
tidak mengandung bahan pirogenik. Bebas dari mikroba (steril) dapat dilakukan
dengan cara sterilisasi dengan pemanasan pada wadah akhir, namun harus diingat
bahwa ada bahan yang tidak tahan terhadap pemanasan. Untuk itu dapat
dilakukan teknik aseptic.
2.2 Evaluasi Sediaan Parenteral

3
1. Evaluasi Fisika
a. Penetapan pH (Farmakope Indonesia edisi IV, hal. 1039-1040)
Harga pH adalah harga yang diberikan oleh alat potensiometrik (pH
meter) yang sesuai, yang telah dibakukan sebagaimana mestinya, yang
mampu mengukur harga pH sampai 0,02 unit pH menggunakan elektrode
indikator yang peka terhadap aktivitas ion hidrogen, elektrode kaca dan
elektrode pembanding yang sesuai seperti elektrode kalomel atau
elektrode perak-perak klorida.
b. Bahan Partikulat dalam Injeksi (Farmakope Indonesia edisi IV, hal. 981-
984).
Batas bahan partikulat yang tercantum disini berlaku untuk masing-
masing bahan dalam adah dengan volume lebih dari 100 ml injeksi
volume besar dosis tunggal, untuk pemberian infus secara intravena batas
ini tidak berlaku untuk ineksi dosis ganda, untuk injeksi volume kecil,
dosis tunggal ataupun larutan injeksi yang dikonstitusi dari zat padat steril.
Ui bahan partikulat ini digunakan untuk menyatakan adanya
partikel dengan sumbu terpanjang atau dimensi linier efektif 10 m atau
lebih. Prosedur lain atau prosedur yang lebih rinci dapat digunakan untuk
menetapkan bahan partikulat jika hasil yang diperoleh sama meyakinkan.
Tetapi, jika terjadi perbedaan atau meragukan, hanya hasil yang diperoleh
dari prosedur Farmakope yang berlaku.
c. Penetapan Volume Injeksi Dlam Wadah (Farmakope Indonesia edisi IV,
hal. 1044).
Pilih satu atau lebih wadah, bila volume 10 ml atau lebih, 3 wadah
atau lebih bila volume lebih dari 3 ml dan kurang dari 10 ml, atau 5 wadah
atau lebih bila volume kurang dari 3 ml atau kurang. Ambil isi tiap wadah
dengan alat suntik hipodermik kering berukuran tidak lebih dari 3 kali
volume yang akan diukur dan dilengkapi dengan arum suntik nomor 21,
panang tidak kurang dari 2,5 cm. Keluarkan gelembung udara dari dalam
jarum dan alat suntik dan pindahkan isi dalam alat suntik, tanpa

4
mengosongkan bagian arum, kedalam gelas ukur kering volume tertentu
yang telah dibakukan sehingga volume yang diukur memenuhi sekurang-
kurangnya 40% volume dari kapasitas tertera (garis-garis penunjuk
volume gelas ukur menunjuk volume yang ditampung, bukan yang
dituang). Cara lain, isi alat suntik dapat dipindahkan kedalam gelas piala
kering yang telah ditara, volume dalam ml diperoleh dari hasil perhitungan
berat dalam g dibagi bobot jenis cairan. Isi dari dua atau tiga wadah 1 ml
atau 2 ml dapat digabungkan untuk pengukuran dengan menggunakan
jarum suntik kering terpisah untuk mengambil isi tiap wadah. Isi wadah 10
ml atau lebih dapat ditentukan dengan membuka wadah, memindahkan isi
secara langsung kedalam gelas ukur atau gelas piala yang telah ditara.
Volume tidak kurang dari volume yang tertera pada wadah bila diui
satu per satu atau bila wadah volume 1 ml dan 2 ml, tidak kurang dari
jumlah volume wadah yang tertera pada etiket bila isi digabung.
Bila dalam wadah dosis ganda berisi beberapa dosis volume tertera,
lakukan penentuan seperti diatas dengan seumlah alat suntik terpisah
sejumlah dosis tertera. Volume tiap alat suntik yang diambil tidak kurang
dari dosis yang tertera.
d. Uji Keseragaman Bobot dan Keseragaman Volume (Farmakope Indonesia
edisi III, hal. 19)
Sediaan yang sebelum digunakan sebagai injeksi dilarutkan terlebih
dahulu harus memenuhi syarat keseragaman bobot berikut : hilangkan
etiket 10 wadah, cuci bagian besar wadah dengan air, keringkan. Timbang
satu per satu dalam keadaan terbuka. Keluarkan isi wadah, cuci wadah
dengan air kemudian dengan etanol (95%)P, keringkan pada suhu 105 o
hingga bobot tetap, dinginkan, timbang satu per satu. Bobot isi wadah
tidak boleh menyimpang lebih dari batas yang tertera pada daftar berikut,
kecuali satu wadah yang boleh menyimpang tidak lebih dari 2 kali batas
yang tertera.
Bobot yang tertera pada etiket Batas penyimpangan

5
Tidak lebih dari 120 mg + 10
Antara 120 mg dan 300 mg 7,5
300 mg atau lebih 5
Volume isi netto tiap wadah harus sedikit berlebih dari volume yang
ditetapkan. Kelebihan volume yang dianjurkan tertera dalam daftar
dibawah ini.
Volume tambahan yang dianjurkan
Volume pada etiket
Cairan encer Cairan kental
0.5 ml 0.10 ml 0.12 ml
1.0 ml 0.10 ml 0.15 ml
2.0 ml 0.15 ml 0.25 ml
5.0 ml 0.30 ml 0.50 ml
10.0 ml 0.50 ml 0.70 ml
20.0 ml 0.60 ml 0.90 ml
30.0 ml 0.80 ml 1.20 ml
50.0 ml atau lebih 2% 3%

e. Uji Kejernihan Larutan (Farmakope Indonesia edisi IV, hal. 998).


Lakukan penetapan menggunakan tabung reaksi alas datar diameter
15 mm hingga 25 mm, tidak berwarna, transparan dan terbuat dari kaca
netral. Masukkan kedalam dua tabung reaksi masing-masing larutan uji
dan suspensi padanan yang sesuai secukupnya, yang dibuat segar dengan
cara seperti tertera dibawah sehingga volume larutan dalam tabung reaksi
terisi setinggi tepat 40 mm. Bandingkan kedua isi tabung setelah 5 menit
pembuatan suspensi padanan, dengan latar belakang hitam. Pengamatan
dilakukan dibawah cahaya yang terdifusi , tegak lurus ke arah bawah
tabung. Difusi cahaya harus sedemikian rupa sehingga suspensi padanan I
dapat langsung dibedakan dari air dan dari suspensi padanan II.
Suspensi padanan
I II III IV
Baku opalesan (ml) 5.0 10.0 30.0 50.0
Air (ml) 95.0 90.0 70.0 50.0

6
f. Uji Kebocoran (Goeswin Agus, Larutan Parenteral)
Pada pembuatan kecil-kecilan hal ini dapat dilakukan dengan mata
tetapi untuk produksi skala besar hal ini tidak mungkin
dikerjakan. Wadah-wadah takaran tunggal yang masih panas setelah
selesai disterilkan dimasukkan kedalam larutan biru metilen 0,1%. Jika
ada wadah-wadah yang bocor maka larutan biru metilen akan dimasukkan
kedalamnya karena perbedaan tekanan di luar dan di dalam wadah
tersebut. Cara ini tidak dapat dilakukan untuk larutan-larutan yang sudah
berwarna.Wadah-wadah takaran tunggal disterilkan terbalik, jika ada
kebocoran maka larutan ini akan keluar dari dalam wadah. Wadah-wadah
yang tidak dapat disterilkan, kebocorannya harus diperiksa dengan
memasukkan wadah-wadah tersebut ke dalam eksikator yang divakumkan.
Jika ada kebocoran akan diserap keluar.
g. Uji Kejernihan dan Warna ( Goeswin Agus, Larutan Parenteral).
Umumnya setiap larutan suntik harus jernih dan bebas dari kotoran-
kotoran. Uji ini sangat sulit dipenuhi bila dilakukan pemeriksaan yang
sangat teliti karena hampir tidak ada larutan jernih. Oleh sebab itu untuk
uji ini kriterianya cukup jika dilihat dengan mata biasa saja yaitu
menyinari wadah dari samping dengan latar belakang berwarna hitam dan
putih. Latar belakang warna hitam dipakai untuk menyelidiki kotoran-
kotoran berwarna muda, sedangkan latar belakang putih untuk menyelidiki
kotoran-kotoran berwarna gelap.
2. Evaluasi Biologi
a. Uji Sterilitas (Farmakope Indonesia edisi IV, hal. 855-863)
Prosedur berikut dapat digunakan untuk menetapkan apakah bahan
farmakope yang harus steril memenuhi syarat berkenaan dengan ui
sterilitas seperti yang tertera pada masing-masing monografi (untuk
prosedur uji sterilitas sebagai bagian dari pengawasan mutu dipabrik
seperti yang tertera pada sterilisasi dan jaminan sterilitas bahan
kompendia. Meningat kemungkinan hasil positif dapat disebabkan oleh

7
teknik aseptik yang salah atau kontaminasi lingkungan ada waktu
pengujian 2 tahap seperti yang tertera pada penafsiran hasil uji sterilitas.
b. Uji Endotoksin Bakteri (Farmakope Indonesia edisi IV, hal. 905-907)
Uji endotoksin bakteri adalah uji untuk memperkirakan kadar
endotoksin bakteri yang mungkin ada dalam atau pada bahan uji.
Pengujian dilakukan menggunakan Limulus Amebocyte Lysate (LAL),
yang diperoleh dari ekstrak air amebosit dalam kepiting ladam kuda,
Limulus polyphemus dan dibuat khusus sebagai pereaksi LAL untuk
pembentukan jenda-gel.
Penetapan titik akhir reaksi dilakukan dengan membandingkan
langsung enceran dari zat uji dengan enceran endotoksin baku dan jumlah
endotoksin dinyatakan dalam uji endotoksin (UE).
c. Uji Pirogen (Farmakope Indonesia edisi IV, hal. 908-909)
Uji pirogen dimaksudkan untuk membatasi resiko reaksi demam
pada tingkat yang dapat yang dapat diterima oleh pasien pada pemberian
sediaan injeksi. Pengujian meliputi pengukuran kenaikan suhu kelinci
setelah penyuntikan larutan uji secara intravena an ditujukan untuk
sediaan yang dapat ditoleransi dengan uji kelinci dengan dosis
penyuntikan tidak lebih dari 10 mg per kg bobot badan dalam jangka
waktu tidak lebih dari 10 menit. Untuk sediaan yang perlu penyiapan
pendahuluan atau cara pemberiannya perlu kondisi khusus ikuti petunuk
tambahan yang tertera pada masing-masing monografi.
d. Uji Kandungan Zat Antimikroba (Farmakope Indonesia edisi IV, 939-
942)
Komponen penting dalam injeksi yang dikemas dalam wadah dosis ganda
adalah zat atau zat-zat yang dapat mengurangi bahaya cemaran mikroba.
Farmakope mensyaratkan pencantuman nama dan jumlah zat antimikroba
pada etiket. Metode dibawah ini adalah untuk zat-zat yang paling umum
digunakan untuk menunjukkan bahwa zat yang tertera memang ada tetapi
tidak lebih dari 20% dari umlah yang tertera pada etiket.

8
3. Evaluasi Kimia
a. Uji Identifikasi (Sesuai dengan monografi sediaan masing-masing)
b. Penetapan Kadar (Sesuai dengan monografi sediaan masing-masing)

2.3 Rute Pemberian Sediaan Parenteral


Rute pemberian sedian parenteral atau injeksi dimuat dalam beberapa
pustaka, antara lain Farmakope Indonesia, Formularium Nasional kedua pustaka
tersebut di dalam antara kurung dan lain sebagainya. Pengetahuan tentang rute
pemeberian ini bukan dimaksudkan agar dapat menyuntikkan dengan benar,
tetapi untuk farmasis lebih ditekankan pada persyaratan produk ditinjau secara
farmasis
Persyaratan farmasetik yang dimaksud antara lain pemilihan wadah dengan
ukuran yang tepat, penentuan pH, pemilihan bahan pengawet dan penetapan
tonisitas. Untuk jelasnya dapat diikuti uraian masing-masing rute pemberian
injeksi.
1. Pemberian Subkutis (Subkutan)
Lapisan ini letaknya persis dibawah kulit, yaitu lapisan lemak (lipoid) yang
dapat digunakan untuk pemberian obat antara lain vaksin, insulin,
skopolamin, dan epinefrin atau obat lainnya. Injeksi subkutis biasanya
diberikan dengan volume samapi 2 ml (PTM membatasi tak boleh lebih dari
1 ml) jarum suntik yang digunakan yang panjangnya samapi sampai 1 inci
(1 inchi = 2,35 cm).
Cara formulasinya harus hati-hati untuk meyakinkan bahwa sediaan (produk)
mendekati kondisi faal dalam hal pH dan isotonis. FN (1978) mensyaratkan
larutannya isotoni dan dapat ditambahkan bahan vasokontriktor seperti
Epinefrin untuk molekulisasi obat (efek obat)
Cara pemberian subkutis lebih lambat apabila dibandingkan cara
intramuskuler atau intravena. Namun apabila cara intravena volume besar
tidak dimungkinkan cara ini seringkali digunakan untuk pemberian elektrolit
atau larutan infuse i.v sejenisnya. Cara ini disebut hipodermoklisis, dalam hal

9
ini vena sulit ditemukan. Karena pasti terjadi iritasi maka pemberiannya
harus hati-hati. Cara ini dpata dimanfaatkan untuk pemberian dalam jumlah
250 ml sampai 1 liter.
2. Pemberian intramuskuler
Intramuskuler artinya diantara jaringan otot. Cara ini keceparan
absorbsinya terhitung nomor 2 sesudah intravena. Jarum suntik ditusukkan
langsung pada serabut otot yang letaknya dibawah lapisan subkutis.
Penyuntikan dapat di pinggul, lengan bagian atas. Volume injeksi 1 samapi 3
ml dengan batas sampai 10 ml (PTMvolume injeksi tetap dijaga kecil,
biasanya tidak lebih dari 2 ml, jarum suntik digunakan 1 samai 1 inci.
Problem klinik yang biasa terjadi adalah kerusakan otot atau syaraf, terutama
apabila ada kesalahan dalam teknik pemberian (ini penting bagi praktisi yang
berhak menyuntik). Yang perlu diperhatikan bagi Farmasis anatara lain
bentuk sediaan yang dapat diberikan intramuskuler, yaitu bentuk larutan
emulsi tipe m/a atau a/m, suspensi dalam minyak atau suspensi baru dari
puder steril.
Pemberian intramuskuler memberikan efek depot (lepas lambat),
puncak konsentrasi dalam darah dicapai setelah 1-2 jam. Faktor yang
mempengaruhi pelepasan obat dari jaringan otot (im) anatar lain : rheologi
produk, konsentrasi dan ukuran partikel obat dalam pembawa, bahan
pembawa, volume injeksi, tonisitas produk dan bentuk fisik dari produk.
Persyaratan pH sebaiknya diperhatikan, karena masalah iritasi, tetapi dapat
dibuat pH antara 3-5 kalau bentuk suspensi ukuran partikel kurang dari 50
mikron.
3. Pemberian intravena
Penyuntikan langsung ke dalam pembuluh darah vena untuk
mendapatkan efek segera. Dari segi kefarmasian injeksi IV ini boleh dikata
merupakan pilihan untuk injeksi yang bila diberikan secara intrakutan atau
intramuskuler mengiritasi karena pH dan tonisitas terlalu jauh dari kondisi

10
fisiologis. Kelemahan cara ini adalah karena kerjanya cepat, maka pemberian
antidotum mungkin terlambat.
Volume pemberian dapat dimulai Dari 1 ml hingga 100 ml, bahkan
untuk infus dapat lebih besar dari 100 ml. Kecepatan penyuntikan sampai 5
ml diberikan 1 ml/10 detik, sedangkan untuk di atas 5 ml kecepatannya 1
ml/20 detik. Intravena hanya terbatas untuk pemberian larutan air, kalau
merupakan bentuk emulsi harus memenuhi ukuran partikel tertentu. Kalau
dapay diusahakan pH dan tonisitas sesuai dengan keadaan fisiologis.
4. Pemberian intrathekal-intraspinal
Penyuntikan langsung ke dalam cairan serebrospinal pada beberapa
tempat. Cara ini berbeda dengan cara spinal anastesi. Kedua pemberian ini
mensyaratkan sediaan dengan kemurniaannya yang sangat tinggi, karena
dearah ini ada barier (sawar) darah sehingga daerahnya tertutup.
Sediaan intraspinal anastesi biasanya dibuat hiperbarik yaitu cairannya
mempunyai tekanan barik lebih tinggi dari tekanan barometer. Cairan sediaan
akan bergerak turun karena gravitasi, oleh sebab itu harus pada posisi pasien
tegak.
5. Intraperitoneal
Penyuntikan langsung ke dalam rongga perut, dimana obat secara
cepat diabsorbsi. Sediaan intraperitoneal dapat juga diberikan secara
intraspinal, im,sc, dan intradermal

6. Intradermal
Cara penyuntikan melalui lapisan kulit superficial, tetapi volume
pemberian lebih kecil dan sc, absorbsinya sangat lambat sehingga onset yang
dapat dicapai sangat lambat.
7. Intratekal
Digunakan khusus untuk bahan obat yang akan berefek pada cairan
serebrospinal. Digunakan untuk infeksi ssp seperti meningitis, juga untuk
anestesi spinal. Intratekal umumnya diinjeksikan secara langsung pada
lumbar spinal atau ventrikel sehingga sediaan dapat berpenetrasi masuk ke
dalam daerah yang berkenaan langsung pada SSP.

11
2.4 Keuntungan dan Kerugian Sediaan Parenteral
1. Keuntungan :
a. Efek obat dapat diramalkan dengan pasti.
b. Bioavabiltas sempurna atau hampir sempurna.
c. Kerusakan obat dalam tractus gastrointestinalis dapat dihindarkan .
d. Obat dapat diberikan kepada penderita yang sedang sakit keras ataupun
koma.
2. Kerugian :
a. Pemberian sediaan parenteral harus dilakukan oleh personal yang terlatih
dan membutuuhkan waktu pemberian yang lebih lama.
b. Pemberian obat secara parenteral sangat berkaitan dengan ketentuan
prosedur aseptic rasa nyeri pada lokasi penyuntikan yang tidak selalu
dapat dihindari.
c. Bila obat telah diberikan secara parenteral, sukar sekali untuk
menghilangkan/merubah efek fisiologisnya karena obat telah berada
dalam sirkulasi sistemik.
d. Harganya relatif lebih mahal, karena persyaratan manufaktur dan
pegemasan.
e. Masalah lain dapat timbul pada pemberian obat secara parenteral dan
interaksi obat secara parenteral seperti septisema, infeksi jamur,
inkompatibilitas karena pencampuran sediaan parenteral dan interaksi
obat.
f. Persyaratan sediaan parenteral tentang sterilitas, bebas dari partikulat,
bebas dari pirogen, dan stabilitas parenteral harus oleh semua personel
yang terlihat.

12
TUGAS TEKNOLOGI SEDIAAN FARMASI
Sediaan Parenteral

DISUSUN OLEH

NAMA : ADE ABIYYATUN MAHDIYYAH

STAMBUK : G 701 15 045

13
KELAS : FARMASI E

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU

2017

14

Anda mungkin juga menyukai