(PEMILU): Jutaan dolar AS dana diberikan untuk berbagai LSM. Tidak jelas apa
kriteria yang ditetapkan bagi penerima dana.
Pemilu kali ini, merupakan berkah bagi sebagian Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM). Pasalnya, karena komitmen negara-negara donor untuk mensukseskan
penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, puluhan juta dolar AS dialirkan pada
lembaga-lembaga ini.
Menurut berita yang dilansir berbagai media ibukota, jumlah dana yang akan
disalurkan lewat lembaga PBB, UNDP (United Nations Development Programme)
bernilai 80 hingga 100 juta dolar AS. Tidak semua dari jumlah itu akan jatuh
ke LSM. Sebab, UNDP mengklasifikasi tiga program yang akan didukungnya,
yaitu Pendidikan bagi Pemilih, Pemantauan Pemilu dan Penguatan KPU. Jumlah
terbesar, tentu saja akan jatuh ke KPU. Sedangkan sisanya, diberikan pada
berbagai LSM yang bergerak di pendidikan pemilih maupun pemantauan Pemilu.
Kendati begitu, pemberian dana bagi sejumlah LSM ini dinilai berbagai pihak
sebagai sesuatu yang kontroversial. Soalnya, tidak jelas kriteria apa yang
diberlakukan untuk mengabulkan proposal berbagai LSM ini. Banyak di antara
LSM ini yang tiba-tiba saja "putar haluan" meng-urusi Pemilu, karena adanya
peluang mendapatkan dana dari UNDP. Tak jelas siapa yang menyetujui proposal
mereka, apakah pihak UNDP sendiri ataukah sekelompok orang yang dipekerjakan
oleh UNDP. Mereka antara lain, Emil Salim, Ichlasul Amal dan Moeslim
Abdulrahman yang merupakan anggota dari High Level Advisory Committee UNDP.
Kebanyakan dari dana untuk LSM ini, disalurkan untuk program Pendidikan
Pemilih. Program ini memang sangat penting, namun dengan singkatnya waktu
yang tersisa -sejak dari persetujuan dana dengan hari 'H' Pemilu yang kurang
dari 2 bulan- menjadi pertanyaan besar, apakah program pendidikan pemilih
ini cukup efektif? LSM-LSM lain yang sudah sejak lama menjalankan program
semacam ini saja -yang tidak mengandalkan dana UNDP-, mendapat kritikan
pedas dari kalangan akademisi kritis. Pertanyaan yang diajukan pada mereka
adalah apa ukuran keberhasilan sebuah program pendidikan pemilih menjelang
Pemilu 1999 ini? Jika dibilang berhasil, mengapa dalam tahap pendaftaran
pemilih, masyarakat tidak antusias untuk mendaftarkan diri?
Problem yang hampir sama juga dihadapi oleh LSM-LSM yang bergerak di bidang
pemantauan Pemilu. Bagi yang telah melakukan konsolidasi sejak jauh-jauh
hari sebelumnya, tidak persoalan dengan keterlambatan dana. Tapi, bagi yang
baru mau melakukan konsolidasi bila telah ada dana, sulit membayangkan
mereka bisa berkiprah dengan baik. Apalagi, jika LSM tersebut melakukan
kedua program secara bersamaan, yaitu pendidikan untuk pemilih dan
pemantauan Pemilu. Bayangkan betapa repotnya.
B. Pemantauan Pemilu
1. Unfrel Rp. 5.146.574.050
2. KIPP Rp. 2.685.400.000
---------------------------------------------------------------
Itu sebabnya, banyak di antara LSM-LSM ini yang disinyalir menjadikan Pemilu
sebagai proyek meraup dana belaka. Setidaknya, beberapa informasi yang
diterima Xpos dari kalangan LSM sendiri membenarkan hal ini. Misalnya, ada
sebuah LSM lingkungan yang berniat mengkoordinir berbagai organisasi
pemantau pemilu dalam sebuah sekretariat bersama, dengan mengajukan proposal
sebesar Rp80 milyar. Hal ini kontan ditolak oleh berbagai organisasi
pemantau itu, sebab biaya operasional pemantauan saja tidak sebesar itu. Ada
pula sebuah LSM yang biasa mendapat dana besar dari luar negeri, menolak
ketika diberitahu bahwa dana yang bakal diterimanya 'hanya' Rp2 milyar.
Barangkali masih terlalu pagi untuk mencurigai semua LSM sama seperti itu.
Bagaimanapun, masing-masing pihak punya perhitungan tersendiri untuk
melaksanakan sebuah proyek. Lagi pula, penilaian akhir baru bisa dilakukan
setelah menilai keseluruhan kinerja masing-masing LSM itu.