Anda di halaman 1dari 4

Pendidikan Pemilih pada Pemilu 2009 dengan Basis Evaluasi Pemilu 2004[1]

Oleh Drs. M. Mufti Syarfie, MM[2]


Pendahuluan
Amanah konstitusi menegaskan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-undang Dasar, artinya rakyat memiliki kedaulatan, tanggungjawab, hak dan
kewajiban untuk secara demokratis paling kurang dalam dua hal yaitu memilih pemimpin yang
akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh komponen masyarakat, kedua
untuk memilih wakil rakyat yang akan ditugasi mengawal dan mengawasi jalannya pemerintahan
Cara perwujudan kedaulatan tersebut, adalah melalui pemilihan umum secara langsung
sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang akan ditugasi menjalankan fungsi
pengawasan, menyalurkan aspirasi politik masyarakat, membuat undang-undang, serta merumuskan
anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi di atas. Target utama dalah
kesejateraan rakyat.
Di sisi lain, pemilu DPR, DPD, DPRD Prov dan DPRD Kab/Kota dengan azas luber dan
jurdil di setiap lima tahun sekali, dilaksanakan dengan menjamin prinsip keterwakilan, yang
memberikan jaminan setiap warga terjamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan.
Dengan azas langsung, rakyat sebagai pemilih memiliki hak untuk memberikan suaranya
secara langsung sesuai keinginannya, tanpa perantara. Azas umum menjamin kesempatan yang
berlaku menyeluruh bagi semua warga tanpa diskriminasi.
Penyelenggaraan pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil memberikan
dampak positif dalam penguatan demokrasi baik di tingkat lokal maupun nasional. Masyarakat
diberikan hak suara untuk memilih calon, maupun partai politik yang mereka nilai akan mampu
memperjuangkan aspirasinya apabila nantinya terpilih dalam pemilu. Pemilih dituntut cerdas untuk
bisa memilih dan menilai dengan baik dan cermat siapa wakil rakyat yang pantas dan bisa
memperjuangkan aspirasinya. Hal ini dapat diartikan bahwa pemilih haruslah mempunyai
pengetahuan yang baik mengenai hak dan kewajibannya dalam pemilu sehingga tumbuh suatu
kesadaran yang tinggi akan pentingnya keikutsertaan dalam pemilu. Meningkatnya kesadaran dan
keikutsertaan atau partisipasi politik publik serta pengetahuan yang baik dalam pemilu akan dapat
mewujudkan suatu pemilihan umum yang berkualitas.
Pemilih dalam Pemilu
Warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belas ) tahun
atau sudah / pernah kawin mempunyai hak untuk memilih. Dalam hal ini, warga negara dapat
menggunakan hak untuk memilih jika telah terdaftar sebagai pemilih dan memenuhi syarat-syarat
yaitu nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya dan tidak sedang dicabut hak pilihnya
berdasarkan putusan pengadilan. Hak untuk memilih harus dilaksanakan dengan kesadaran dan
penuh tanggung jawab.
Fungsi Pendidikan Pemilih
Berdasarkan hasil evaluasi penyelenggaraan Pemilu 2004, baik pemilu anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi dan DPRD Kab/Kota, maupun pemilu presiden dan wapres (putaran pertama dan putaran
kedua), ditemukan kecenderungan perbaikan kualitas penerimaan dan pemahaman masyarakat
(Sumatera Barat), terhadap proses teknis pemberian suara. Sejak awal penyelenggara pemilu (KPU,
KPU Prov, Kab/Kota dan kepanitiaan) di tingkat bawah menyadari, bahkan sempat
mengkhawatirkan bahwa tingkat pemahaman masyarakat terhadap proses teknis pemilu itu sendiri
rendah.
Dasar kekhawatiran itu antara lain, selain perangkat undang-undang politik baru, masyarakat
juga dihadapkan pada sistem pemilihan yang baru pula. Pertama kali diperkenalkan sistim pemilu
proporsional terbuka untuk memilih anggota dewan perwakilan dan sistem distrik
berwakil banyak untuk anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Masyarakat (pemilih)
disuguhkan juga dengan kerumitan cara mengimplementasikan pilihannya. Selain mencoblos tanda
gambar juga dianjurkan mencoblos nama calon di yang ada di surat suara. Menyadari hal tersebut,
KPU Provinsi dan Kab/Kota di Sumatera Barat, berupaya mengajak dan membuka berbagai
kesempatan kepada kelompok kelompok masyarakat dan kelompok profesional, seperti LSM, PWI
dan lembaga pemerintahan untuk melakukan sosialisasi yang kemudian menjadi bagian dari upaya
pendidikan pemilih.
Sasaran utama, tidak hanya masyarakat pemilih secara umum, tapi memberikan prioritas
kepada kelompok potensial, seperti pemuka masyarakat, para guru, niniak mamak dan alim ulama
dibekali proses teknis penyelenggaraan pemilu tersebut, untuk mengejar pemilih pemula.
Hasil sosialisasi dan pendidikan pemilih bisa dilihat, baik dari perbandingan angka
partisipasi pemilih, maupun dari tingkat kesalahan coblos (suara sah dan tidak sah) di antara tiga
kali pemilihan pada tahun 2004 lalu (Pileg, Pilpres I dan II). Pada Pemilu anggota DPR, DPD dan
DPRD Prov, Kab/Kota persentase suara sah (betul cara mencoblos) 91.04% (8,96% suara tidak sah)
pada putaran pertama Pilpres, meningkat menjadi 98,26% (1.74% tidak saha) dan putaran kedua,
naik lagi menjadi 98,52% (1,49% suara tak sah). Hasil ini mengembirakan. Paling tidak bisa ditarik
kesimpulan sangat sederhana, bahwa pemahaman masyarakat pemilih terhadap cara mencoblos
yang benar, semakin membaik dari satu pemilihan ke pemilihan lain.
Namun di sisi lain kita kembali khawatir setelah disuguhi angka partisipasi pemilih yang
justru bertolak belakang dengan persentase suara sah atau tidak sahnya. Angka partisipasi justru
menurun. Pada pemilu legislatif, angka partisipasi mencapai 75,56%, pada Pilpres I, menurun
menjadi 72,23% dan Pilpres II anjlok menjadi 66,39%. Gambaran angka ini menimbulkan banyak
argumentasi penyebabnya, antara lain, selain masalah kecerdasan memilih, juga bisa disebabkan
faktor hubungan emosional (kedekatan) antara pemilih dengan calon pada setiap pemilihan tersebut.
Ada pendapat yang mengemukakan, bahwa pada pemilu legislatif, pemilih memiliki hubungan
kedekatan yang cukup signifikan dengan caleg dan parpol, bisa saja disebabkan hubungan
kekeluargaan, intensitas caleg dalam mendorong pemilih ke TPS dll, sementara hubungan
emosional ini, kurang berperan dalam pemilihan Presiden dan Wapres. Pada putaran pertama,
partisipasi pemilih masih cukup tinggi, tapi di putaran kedua partisipasi tersebut anjlok. Bisa jadi
calon atau jagoan tertentu tak mampu masuk ke putaran kedua.
Pendidikan pemilih merupakan bagian dari pendidikan politik. Pendidikan politik tidak
hanya menjadi tanggungjawab penyelenggara, tapi menjadi domain partai politik. Dalam ketentuan
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyatakan bahwa partai
politik berfungsi sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi
warga Negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Pendidikan politik dilaksanakan dalam rangka untuk membangun etika
dan budaya politik sesuai dengan Pancasila.
Hal yang sama juga ditegaskan dalam Pasal 13 UU Nomor 2 tahun 2008, bahwa partai
politik berkewajiban melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik anggotanya.
Secara lebih tegas lagi mengenai pendidikan politik dapat dilihat dalam Pasal 31 UU Nomor 2
tahun 2008, yang menyatakan bahwa Partai politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat
sesuai ruang lingkup tanggung jawabnya dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender
dan tujuannya antara lain :
a. Meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
b. Meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c. Meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam rangka
memelihara persatuan dan kesatuan bangsa
Pada bagian lain pendidikan pemilih merupakan proses pencerdasan pemilih. Harusnya
tidak terpaku hanya pada soal teknis pemilu saja, tapi juga cerdas dalam menganalisa dan
menentukan pilihannya, sehingga perwakilan atau pemimpin yang dipilih tersebut betul-betul orang
yang kredibel dalam menjalankan kedaulatan rakyat. Ini artinya ada faktor lain yang diperlukan
oleh pemilih, paling tidak, fator kemampuan analisa terhadap calon yang akan dipilih, namun faktor
pengenalan teknis juga diperlukan agar suara yang diberikan itu bisa sah dan menjadi penentu.
Bagi penyelenggara pemilu, pendidikan pemilih itu diisi dengan memperjelas fungsi
informasi pemilih, terutama yang berkenaan dengan pelaksanaan pemilihan secara demokratis
berdasarkan prinsip-prinsip terarah, partisipasi publik, luber dan jurdil.
Sebagian besar penyebaran informasi pemilih bisa disajikan kepada publik melalui
sosialisasi yang terstruktur. Prioritas pesan yang disampaikan antara lain sebagai berikut;
1. Proses pendaftaran pemilih
2. Tahapan dan jadwal pemilihan, terutama tentang kapan, di mana pemungutan suara dakan
dilakukan, termasuk lokasi TPS
3. Metode atau cara penconterangan surat suara untuk menjamin sahnya suara yang
diberikan
4. Metode penghitungan suara dan penentuan calon terpilih
5. Informasi lain tentang cara penyampaian keluhan, prosedur penyelesaian perselisihan
hasil dan imbauan kepada pemilih untuk tidak tergiur dengan suap atau politik uang,
imbauan memilih dengan hati nurani dan berdasarkan pertimbangan elegan.
Sasarannya adalah, para pemilih, terutama pemilih pemula sadar tentang proses pendaftaran
menjadi pemilih, proses pemilihan, termasuk jadwal tentang kapan dan di mana pemungutan suara
dilaksanakan di lingkungannya, tentang bagaimana cara memberikan suara agar sah, bagaimana
suara itu dihitung. Pemilih juga diharapkan mengenal para calon yang bersaing dalam pemilihan dll.
Media yang digunakan dalam pendidikan pemilih ini, bisa berbentuk pertemuan langsung maupun
tak lansung atau melalui media terpilih sesuai dengan segmentasi target. Ada banyak jenis media
komunikasi yang bisa digunakan, antara lain media televisi, media cetak, elektornika,yang akan
menyampaikan seruan, iklan dan melalui poster, leaflet dll. Sarana komunikasi yang perlu
dipertimbangkan dalam melaksanakan pendidikan pemilih adalah pertemuan kelompok masyarakat
berpengaruh, seperti pemuka masyarakat, para guru di pedesaan, pengumuman keliling sebelum
hari H.
Media center juga sangat membantu, untuk memudahkan wartawan dalam mengemas peristiwa dan
proses pemilihan yang dilakukan oleh penyelenggara. Kemudahan akses bagi wartawan juga sangat
menentukan penyebaran informasi pemilih yang menjadi bagian materi pendidikan pemilih
tersebut.

Kesimpulan
1. Penyelenggara pemilu dituntut harus mendorong keterlibatan publik seluasnya melalui LSM dan
lembaga nirlaba lainnya dalam menyebarkan informasi tentang adanya pemilihan. Peran LSM dan
kelompok profesi seperti PWI bisa didorong tidak hanya memberikan informasi tentang apa, tapi
juga tentang mengapa.
2. Sasaran pendidikan pemilih adalah tumbuhnya partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam
pemilihan umum. Dengan adanya kesadaran berpolitik dari pemilih dapat menstimulus pemilih dan
lingkungannya untuk secara aktif mendaftarkan diri sebagai pemilih.
3. bahwa pendidikan pemilih tidak semata-mata menjadi tanggungjawab penyelenggara, tapi
pemerintah dan partai politik juga mempunyai tanggungjawab yang besar dalam melakukan
pendidikan pemilih ini.
4. Pendidikan pemilih pada Pemilu 2009 harus dikemas sedemikian rupa, lebih komplit karena
perobahan undang-undang politik yang menjadi dasar penyelenggaraan pemilu 2009 diperkirakan
menimbulkan kesulitan baru bagi pemilih, terutama cara pemberian suara yang tidak lagi dengan
cara coblos, tapi dengan memberi satu kali (x) pada surat suara

Anda mungkin juga menyukai