Anda di halaman 1dari 8

POLA KERENTANAN PSEUDOMONAS TERHADAP

ANTIBIOTIK PADA ULKUS KORNEA KARENA


PENGGUNAAN LENSA KONTAK

ABSTRAK
Tujuan : Untuk mengevaluasi resistensi atau kerentanan Pseudomonas
aeruginosa, bakteri patogen dalam keratitis lensa kontak dan ulkus
kornea, dengan regimen antibiotik yang berbeda.
Bahan dan Metode: Penelitian cross-sectional termasuk semua pasien
yang didiagnosis dengan ulkus kornea akibat lensa kontak dengan hasil
kultur positif untuk P. aeruginosa, dari Maret 2009 sampai Maret 2010.
Terapi antibiotik empiris diubah menjadi antibiotik yang tepat sesuai
dengan hasil kultur, dengan syarat perbaikan klinis yang memuaskan tidak
tercapai dengan regimen antibiotik awal. Sensitivitas atau resisten dari P.
aeruginosa terhadap antibiotik yang paling sering digunakan dinilai
berdasarkan hasil antibiograms.
Hasil : Melibatkan lima puluh dua pasien (43 perempuan dan 9 laki-laki).
Empat puluh lima pasien (86%) memakai lensa kontak kosmetik ,
sementara 7 pasien (14%) yang menggunakan lensa kontak terapeutik.
Tiga puluh sembilan pasien (75%) yang dirawat di rumah sakit and13
pasien (25%) ditindaklanjuti sebagai pasien rawat jalan. Tiga puluh pasien
(58%) terdapat ulkus sentral , sedangkan 22 pasien (42%) terdapat ulkus
perifer. Dua belas pasien (23%) didapatkan hipopion pada pemeriksaan
awal. Kisaran waktu untuk mendiagnosis ulkus setelah pemakaian terakhir
kali adalah 2 hari (kisaran:12 jam sampai 5 hari). AMT diperlukan untuk 10
pasien (19%) . Berdasarkan antibiograms , PA menunjukkan sensitif 100
% kasus pada ceftazidime dan ciprofloxacin . Amikasin, imipenem, dan
gentamisin adalah antibiotik kedua yang paling efektif.
Kesimpulan : P. aeruginosa sangat sensitif terhadap ceftazidime,
ciprofloxacin, dan amikasin . Semua kasus resisten terhadap cefazolin.
Resistensi terhadap banyak antibiotik mungkin signifikan pada pasien
dengan ulkus kornea . Di pusat-pusat rujukan yang berkaitan dengan
ulkus kornea, regimen antibiotik awal harus berubah dari waktu ke waktu
untuk mencegah fenomena ini.
PENDAHULUAN
Pseudomonas adalah penyebab utama dari lensa kontak induced
keratitis dan ulkus kornea. P. aeruginosa adalah bakteri gram negatif,
yang biasanya menghasilkan bau manis yang membuat membedakan
bakteri ini pada kultur bakteri lain. Dalam sebagian besar organ, seperti
paru-paru, saluran kencing dll, P. aeruginosa dianggap sebagai patogen
oportunistik dengan kecenderungan untuk menyebabkan infeksi pada
pasien immunocompromized. Demikian immunocompromized daerah
sekitar dalam mata meliputi kornea, aqueous humor dan vitreous humor.
Pada mata, enzim ekstraseluler menyebabkan destruksi cepat pada lesi
yang dapat menyebabkan keratitis, ulkus kornea dan endoftalmitis.
Beberapa faktor predisposisi seperti trauma, penggunaan kontak
lens, penyakit ocular, perawatan intensif di rumah sakit mungkin
memainkan peranan penting pada perkembangan ulkus kornea. Diantara
faktor-faktor ini, kontak lens yang berhubungan dengan keratitis dan ulkus
sepenuhnya dapat mengakibatkan selulitis atau endoftalmitis yang dapat
menyebabkan kecatatan pada pasien yang sehat.
Ini merupakan latihan untuk memilih terapi antibiotik empiris
terhadap P. aeruginosa dalam ulkus kontak lens sampai hasil kultur
diketahui. Kami menggunakan pendekatan ini secara potensial untuk
pengembangan strain P aeruginosa yang resisten antibiotik masih menjadi
perhatian. Rumah sakit pusat kami merupakan salah satu rumah sakit
rujukan utama di negara dan Timur Tengah. Tujuan dari penelitian ini
dengan studi cross-sectional untuk menentukan keberhasilan terapi
antibiotik empiris sebagai pengobatan inisial untuk kontak lens-induced
ulkus kornea dan untuk membandingkan hasil antibiograms yang
berkaitan dengan regimen antibiotik inisial yang paling efektif.

BAHAN DAN METODE


Penelitian cross-sectional ini menginklusikan semua pasien dengan
kontak lens induced-ulkus kornea yang dirawat di rumah sakit kami dari
Maret 2009 sampai 2010. Setelah pemeriksaan awal, 52 responden
termasuk 9 laki-laki dan 43 perempuan yang hasil kulturnya positif untuk
P. aeruginosa dimasukkan ke dalam penelitian. Pada pusat praktek rutin
kami untuk kasus dengan ulkus kornea untuk melakukan apusan untuk
kultur gram dan kemudian kultur spesimen dalam tiga media yang
berbeda: agar darah, agar coklat, dan agar saburode (untuk infeksi jamur).
Ketika kultur menjadi positif pada keratitis bakteri setelah 72 jam,
antibiogram dan kerentanan (resisten) ditentukan dengan media Mueller
Hinton-.
Semua subjek pemakai lensa kontak baik menggunakan lensa sekali
pakai atau soft kontak lens harian. Disinfeksi regimen dengan hidrogen
peroksida atau tanpa regimen kebersihan.

HASIL
Usia rata-rata kohort berusia 21,5 tahun (range: 17-31 tahun). Pada
39 subyek (75%), regimen antibiotik empiris dianjurkan termasuk
ceftazidime fortifikasi dan vankomisin (setiap 5 menit untuk satu jam
pertama dan kemudian tiap jam) segera setelah kerokan pada kornea
untuk pengujian sensitivitas. Ulkus kecil eksentrik (22 mm) (13 pasien
(25%)) diberi ciprofloxacin setiap jam setelah dilakukan kerokan kornea.
Regimen dilanjutkan untuk semua subjek lebih dari 72 jam dan dokter
mencatat respon efektif klinis. Kasus di mana tidak ada perubahan ukuran
ulkus dan tidak ada respon klinis setelah 72 jam menerima antibiotik
regimen baru berbasis pada hasil antibiogram. Kasus dengan ceftriakson
dan carbenicillin diekslusikan dari penelitian, karena perbandingan sampel
yang tidak adekuat.
45 responden (86%) dengan pemakaian kontak lens disposable
harian, dan 7 responden (14%) menggunakan kontak lens harian. 20
responden (38%) menggunakan hidrogen peroksida untuk disinfeksi
kontak lens, dan 32 responden (62%) tidak menggunakan larutan
disinfeksi. 39 responden (75%) yang dirawat di rumah sakit, 13 responden
(25%) dipantau sebagai pasien rawat jalan.
Ukuran ulkus 2mm atau kurang dari 2 mm pada 13 responden
(25%), 2-3mm2 pada 16 responden (31%). 30 responden (58%) terdapat
ulkus sentral, 22 responden(42%) terdapat ulkus perifer. Hipopion
ditemukan pada 12 responden (23%). Rentang waktu untuk mendiagnosa
ulkus setelah pemakaian kontak lens terakhir adalah sekitar 2 hari (range
12 jam sampai 5 hari).
Respon klinis yang berhasil pada 81% diobservasi pada studi
kohort dengan terapi antibiotik. Transplantasi membran amniotic pada 10
responden (19%) dengan usia rata-rata 21 tahun dengan ukuran ulkus
4x4 mm. Hipopion terdapat pada 58% responden yang memerlukan
transplantasi membran amniotic. Hasil antibiogram menunjukkan 100%
kasus P.aeruginosa sensitif terhadap ceftazidime dan ciprofloksasin,
sedangkan amikasin, imipenem, dan gentamisin merupakan antibiotik
paling yang efektif kedua.

PEMBAHASAN
Penggunaan kontak lens meningkatkan resiko untuk berkembang
menjadi keratitis bakterial dan ulkus kornea. P.aeruginosa adalah
penyebab paling sering pada kontak lens-berhubungan dengan ulkus.
P.aeruginosa cenderung melekat pada permukaan lensa kontak kemudian
kerusakan pada epitel kornea, penetrasi lapisan kornea dalam dan
menyebabkan ulkus kornea. Infeksi yang berat dapat menyebabkan
kebutaan permanen.
Pada studi sebelumnya dapat mengestimasi insiden dari keratitis
bakteri dari 2/100.000 pertahun untuk lensa kontak rigid, 2.2-4.1/100.000
per tahun untuk penggunaan harian soft lens dan 13.3-20.9/10.000 per
tahun untuk pemakaian soft lens jangka waktu panjang. Risiko dengan
kontak lens terapeutik bahkan lebih tinggi pada sekitar 52/10.000
pertahun. Beberapa penulis percaya bahwa pengenalan lensa kontak
silikon hidrogel (yang dapat dipakai untuk 30 malam) dan lensa kontak
sekali pakai harian telah mengubah insiden infeksi kornea dan bahwa
penelitian paling baru menjamin selama estimasi yang akurat tentang
lensa kontak-induced keratitis dan ulkus kornea .
Faktor risiko utama untuk keratitis mikroba dan ulkus kornea adalah
lensa yang dipakai semalaman, merokok, jenis kelamin laki-laki, dan
sosial ekonomi. Penelitian ini ditemukan peningkatan responden
perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki dengan ulkus kornea.
Namun, kesimpulan tentang kemungkinan peran gender sebagai faktor
risiko dari hasil penelitian ini tidak mungkin karena ukuran sampel yang
kecil. Promosi iklan mendorong penggunaan lensa kontak berwarna
sebagai aksesori fashion untuk wanita telah mengakibatkan peningkatan
penggunaan lensa kontak yang dapat menjelaskan perbedaan antara
studi kami dengan studi sebelumnya.
Metode pencegahan yang menurunkan risiko Pseudomonas-
induced keratitis sedang diteliti. Sampai saat ini, efektivitas dari strategi
pencegahan tetap belum terbukti. Metode ini meliputi sistem alternatif
desinfektan, lensa kontak yang mengandung perak , antimikroba chitosan,
polyquats, peptida kationik, dan selenium. Meskipun meluasnya
penggunaan saat lensa kontak kosmetik dan ancaman keratitis,
pengenalan sistem desinfektan dapat membantu untuk mengurangi
tingkat infeksi kedepannya.
Secara klinis, kegagalan pengobatan mungkin diduga oleh
beberapa faktor predisposisi seperti usia tua, ukuran ulkus sedang atau
besar, hypopyon, dan turunnya tajam penglihatan. Pada studi sebelumnya
menunjukkan bahwa hipopion ukuran ulkus yang besar, keduanya
meningkat secara dramatis lebih tinggi pada kelompok pasien yang
menjalani transplantasi membran amnion selama pengobatan mereka (19
% dari pasien) . Kita tidak bisa berpendapat bahwa peran kemungkinan
usia tua atau ketajaman visual , karena ini merupakan kedua faktor yang
tidak diteliti dalam studi ini.
Pinna dkk, melaporkan bahwa resistensi multiple antibiotik
terdapat pada semua strain P. aeruginosa, saat tingkat kerentanannya
100% untuk aminoglikosida dan fluoroquinolones. Hal ini juga dikonfirmasi
oleh Ly et al, yang menemukan bahwa sebagian besar ulkus kornea
sensitif terhadap ciprofloxacin dan aminoglikosida. Dalam studi ini, hampir
semua kasus resisten terhadap lebih dari empat antibiotik, sedangkan
sensitivitas terhadap ceftazidime dan ciprofloxacin adalah 100%. Hal yang
menarik, resistensi terhadap cefazolin dan vankomisin diamati pada
seluruh subjek pada studi ini. Saat ini tidak ada antibiotik tunggal yang
efektif terhadap semua spesies bakteri yang menyebabkan keratitis
mikroba. Terapi inisial spektrum luas direkomendasikan sampai
mikroorganisme penyebab dapat diidentifikasi dengan kultur. Terapi
kombinasi dengan antibiotik yang efektif untuk bakteri gram-positif
(vancomycin, bacitracin, neosporin, cefuroxime dan cefazoline) dan
antibiotik yang efektif untuk bakteri gram-negatif (tobramycin, gentamicin,
amikacin, ceftazidime, ciprofloksasin, levofloxacin, dan ofloxacin)
merupakan antibiotik inisial broad spektrum. Meskipun vancomycin
adalah antibiotik anti-staphylococcal yang jarang resisten, dapat
digunakan untuk terapi infeksi staphylococcal yang resisten terhadap
semua jenis antibiotik.
Walaupun beberapa penulis berpendapat bahwa sefalosporin
generasi pertama dengan aminoglikosida merupakan terapi inisial yang
efektif pada ulkus kornea, Studi kami menganggap bahwa cefazolin tidak
efektif pada pasien dengan ulkus kornea. Hasil pada studi ini
berpendapat bahwa penggunaan bersamaan ceftazidime dan amikasin
atau ceftazidime dengan ciprofloksasin sebagai terapi inisial. Antibiotik
alternatif harus dipertimbangkan pada pasien yang tidak menunjukkan
respon klinis atau perkembangan toksisitas bakteri dari agen penyebab
dapat diberikan terapi inisial. Tes sensitivitas antimikroba dilakukan pada
agen penyebab yang sesuai pada kelompok pasien ini. Pendekatan
terapeutic diperlukan untuk mengurangi perkembangan dari strain yang
resisten terhadap seluruh antibiotik.
Parameter klinik ini dapat digunakan untuk monitoring respon klinis
dari terapi antibiotik : blunting dari perimeter infiltrat stroma, penurunan
densitas infiltrat stroma, reduksi edem stroma dan inflamasi plak endotel,
reduksi inflamasi chamber anterior, reepitelisasi dan cessation penipisan
kornea. Frekuensi antibiotik topikal perlahan harus dikurangi untuk
mengatasi inflamasi stroma.
Pada studi ini, hampir seluruh kohort resisten terhadap
kloramfenikol, trimethoprim, vankomisin, dan cefazolin. Oleh karena itu,
kami menyarankan bahwa antibiotik tersebut tidak dimasukkan ke dalam
regimen antibiotik empiris terhadap P.aeruginosa. Resisten terhadap
kloramfenikol sudah dilaporkan sebelumnya.
Walaupun perawatan optimal kontak lens dan higienis, keratitis
tidak dapat dihindarkan dari pasien yang menggunakan kontak lens.
Masalah ini mungkin lebih sering terjadi pada pasien yang menggunakan
kontak lens kosmetik daripada pasien yang menggunakan kontak lens
untuk keperluan terapeutik. Pada studi ini, 45 responden (86%) terdapat
ulkus kornea setelah memakai kontak lens kosmetik. Pemakaian kontaak
lens kosmetik simptomatik, terdapat peningkatan kecenderungan
pemakaian steroid topikal tanpa konsultasi dengan ahli ophtalmologist,
dimana akhirnya dapat menyebabkam ulkus kornea.
Sekelompok lensa kontak kosmetik berwarna yang dapat dibeli
melalui pemasok non-profesional merupakan sumber utama dari ulkus
kornea dalam penelitian ini. Di sebagian besar negara, orang yang bukan
praktisi medis atau ahli optik seharusnya tidak menjual lensa kontak,
namun tindakan ini tidak termasuk pembelian lensa kontak kosmetik Plano
(atau Afocal), yang tidak memiliki daya optik. Laporan terbaru dari potensi
komplikasi yang sama pada kedua jenis lensa kontak (terapeutik atau
kosmetik) menunjukkan bahwa semua jenis lensa kontak harus
disesuaikan hanya oleh praktisi medis yang terdaftar atau Optik terdaftar.
Kami setuju dengan posisi ini karena tingginya prevalensi ulkus kornea
pada kelompok pasien dalam studi kami. Semua pasien memakai lensa
kontak dan terutama pemakai lensa terutama kosmetik harus higienis
dengan pencegahan sederhana seperti mencuci sebelum memegang
lensa dan menggunakan agen desinfeksi tangan.
Kesimpulan, diagnosis ulkus kornea dan keratitis dan pengobatan
dengan antibiotik yang tepat mencegah gangguan visual dan kebutaan.
Pasien yang memakai kontak lensa kosmetik berada pada risiko tinggi
karena pendidikan pasien rendah dan tidak adanya kunjungan lanjutan.
Multidrug resistance mungkin menjadi perhatian yang signifikan
dalam kasus ulkus kornea dan keratitis. Di pusat-pusat rujukan
berhubungan dengan ulkus kornea, regimen antibiotik awal harus berubah
dari waktu ke waktu untuk mencegah fenomena ini. Resistensi terhadap
antibiotik seperti kloramfenikol, cefazolin, dan trimethoprim sering terjadi
dan antibiotik ini tidak dipertimbangkan untuk pengobatan empiris. Hasil
kami menunjukkan ceftazidime atau ciprofloxacin dalam kombinasi
dengan amikasin adalah rejimen yang paling efektif untuk pengobatan
awal keratitis dan ulkus kornea.

Anda mungkin juga menyukai