Disusun oleh:
Caroline 030505011
Furqoni C 030505028Y
Muthia Rachma 0305050396
Oloan 0304057087
Rizki Reza M 0606070945
Wulan Yuliastuti 0606061046
Universitas Indonesia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Departemen Farmasi
2009
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bu Atiek selaku Dosen Diagnostik
Klinik yang telah membimbing penulis dalam menyusun makalah ini. Penulis
juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu demi
terselesaikannya makalah ini.
Penulis
BAB I
ABSES
I.1 Abses
Abses adalah suatu penimbunan nanah, biasanya terjadi akibat suatu
infeksi bakteri. Jika bakteri menyusup ke dalam jaringan yang sehat, maka akan
terjadi infeksi. Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi
jaringan dan sel-sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan
pertahanan tubuh dalam melawan infeksi, bergerak ke dalam rongga tersebut dan
setelah menelan bakteri, sel darah putih akan mati. Sel darah putih yang mati
inilah yang membentuk nanah, yang mengisi rongga tersebut.
Akibat penimbunan nanah ini, maka jaringan di sekitarnya akan terdorong.
Jaringan pada akhirnya tumbuh di sekeliling abses dan menjadi dinding pembatas
abses. Hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi
lebih lanjut. Jika suatu abses pecah di dalam, maka infeksi bisa menyebar di
dalam tubuh maupun di bawah permukaan kulit, tergantung kepada lokasi abses.
Penyebab
Suatu infeksi bakteri bisa menyebabkan abses melalui beberapa cara:
bakteri masuk ke bawah kulit akibat luka yang berasal dari tusukan jarum
yang tidak steril,
bakteri menyebar dari suatu infeksi di bagian tubuh yang lain,
bakteri yang dalam keadaan normal hidup di dalam tubuh manusia dan tidak
menimbulkan gangguan, kadang bisa menyebabkan terbentuknya abses.
Diagnosis
Abses di kulit atau dibawah kulit sangat mudah dikenali, sedangkan abses
dalam seringkali sulit ditemukan. Pada penderita abses, biasanya pemeriksaan
darah menunjukkan peningkatan jumlah sel darah putih. Untuk menentukan
ukuran dan lokasi abses dalam, bisa dilakukan pemeriksaan rontgen, USG, CT
scan atau MRI.
Pengobatan
Suatu abses seringkali membaik tanpa pengobatan, abses pecah dengan
sendirinya dan mengeluarkan isinya. Kadang abses menghilang secara perlahan
karena tubuh menghancurkan infeksi yang terjadi dan menyerap sisa-sisa infeksi.
Abses tidak pecah dan bisa meninggalkan benjolan yang keras.
Untuk meringankan nyeri dan mempercepat penyembuhan, suatu abses
bisa ditusuk dan dikeluarkan isinya. Suatu abses tidak memiliki aliran darah,
sehingga pemberian antibiotik biasanya sia-sia. Antibiotik bisa diberikan setelah
suatu abses mengering dan hal ini dilakukan untuk mencegah kekambuhan.
Antibiotik juga diberikan jika abses menyebarkan infeksi ke bagian tubuh lainnya
Penyebab
Infeksi otak awalnya berasal dari penyebaran langsung bibit penyakit dari
sumber infeksi di daerah lain yang berdekatan dengan otak (seperti infeksi pada
telinga tengah, infeksi sinus, abses pada gigi) atau melalui peredaran darah yang
berasal dari sumber infeksi di seluruh tubuh. Masuknya kuman penyakit ke dalam
jaringan otak dapat terjadi secara langsung akibat trauma lesakkan (misalnya
peluru yang menembus otak) sehingga terjadi pembentukkan abses. Abses otak
juga dapat disebabkan karena tindakan pembedahan pada otak dan trauma di
daerah wajah.
Berbagai mikroorganisme dapat ditemukan pada abses otak, yaitu bakteri,
jamur dan parasit. Bakteri yang tersering adalah Staphylococcus aureus,
Streptococcus anaerob, Streptococcusbeta hemolyticus, Streptococcus alpha
hemolyticus, E. coli dan Bacteroides. Abses oleh Staphylococcus biasanya
berkembang dari perjalanan otitis media atau fraktur kranii. Bila infeksi berasal
dari sinus paranasalis penyebabnya adalah Streptococcus aerob dan anaerob,
Staphylococcus dan Haemophilus influenzae. Abses oleh Streptococcus dan
Pneumococcus sering merupakan komplikasi infeksi paru. Abses pada penderita
jantung bawaan sianotik umumnya oleh Streptococcus anaerob. Jamur penyebab
abses otak antara lain Nocardia asteroides, Cladosporium trichoides dan spesies
Candida dan Aspergillus. Walaupun jarang, Entamuba histolitica, suatu parasit
amuba usus dapat menimbulkan abses secara hematogen. Kira-kira 62% abses
otak disebabkan oleh flora campuran, kurang lebih 25% abses otak adalah
kriptogenik (tidak diketahui sebabnya).
Gejala
Gejala yang timbul bervariasi dari seorang dengan yang lain, tergantung
pada ukuran dan lokasi abses pada otak. Lebih dari 75% penderita mengeluh sakit
kepala dan merupakan gejala utama yang paling sering dikeluhkan. Sakit kepala
yang dirasakan terpusat pada daerah abses dan rasa sakit semakin hebat dan parah.
Aspirin atau obat lainnya tidak akan menolong menyembuhkan sakit kepala
tersebut. Kuranglebih separuh dari penderita mengalami demam tetapi tidak
tinggi. Gejala-gejala lainnya adalah mual dan mintah, kaku kuduk, kejang,
gangguan kepribadian dan kelemahan otot pada salah satu sisi bagian tubuh.
Diagnosis
Gejala awal abses otak tidak jelas karena tidak spesifik. Pada beberapa
kasus, penderita yang berobat dalam keadaan distress, terus menerus sakit kepala
dan semakin parah, kejang atau defisit neurologik (misalnya otot pada salah satu
sisi bagian tubuh melemah).
Dokter harus mengumpulkan riwayat medis dan perjalanan penyakit
penderita serta keluhan-keluhan yang diderita oleh pasien. Harus diketahui kapan
keluhan pertama kali timbul, perjalanan penyakit dan apakah baru-baru ini pernah
mengalami infeksi.
Untuk mendiagnosis abses otak dilakukan pemeriksaan CT scan
(computed tomography) atau MRI scan (magnetic resonance imaging) yang
secara mendetil memperlihatkan gambaran potongan tiap inci jaringan otak. Abses
terlihat sebagai bercak/ noktah pada jaringan otak. Kultur darah dan cairan tubuh
lainnya akan menemukan sumber infeksi tersebut. Jika diagnosis masih belum
dapat ditegakkan, maka sampel dari bercak/noktah tersebut diambil dengan jarum
halus yang dilakukan oleh ahli bedah saraf.
Abses otak akan memburuk dengan cepat, dan jelas terlihat sekitar dua
minggu. Jika diagnosis telah ditegakkan, maka dokter segera mengobatinya.
Terapi yang cepat dan tepat merupakan kunci utama dalam mengatasi dan
mengobati gejala dengan cepat. Pengobatan dan tindakan lanjut dilakukan selama
dua atau beberapa bulan.
Tanpa pengobatan yang adekuat, abses otak berakibatkan fatal. Saat ini,
dengan pemeriksaan diagnostik dan antibiotika yang canggih, banyak penderita
abses otak terobati dengan sangat baik. Sayangnya, masalah-masalah neurologis
jangka lama sering terjadi setelah abses diangkat dan infeksi telah diobati.
Misalnya, gejala-gejala sisa yang menyangkut fungsi tubuh, perubahan
kepribadian atau kejang akibat jaringan parut atau kerusakan lain yang terbentuk
pada jaringan otak.
Penyebab
Kebanyakan abses paru muncul sebagai komplikasi dari pneumonia
aspirasi akibat bakteri anaerob di mulut. Penderita abses paru biasanya memiliki
masalah periodontal (jaringan di sekitar gigi). Sejumlah bakteri yang berasal dari
celah gusi sampai ke saluran pernafasan bawah dan menimbulkan infeksi. Tubuh
memiliki sistem pertahanan terhadap infeksi semacam ini, sehingga infeksi hanya
terjadi jika sistem pertahanan tubuh sedang menurun, seperti yang ditemukan
pada:
seseorang yang berada dalam keadaan tidak sadar atau sangat mengantuk
karena pengaruh obat penenang, obat bius atau penyalahgunaan alkohol,
penderita penyakit sistem saraf.
Gejala
Gejala awalnya menyerupai pneumonia yaitu kelelahan, hilang nafsu
makan, berat badan menurun, berkeringat, demam, dan batuk berdahak. Dahaknya
bisa mengandung darah. Dahak seringkali berbau busuk karena bakteri dari mulut
atau tenggorokan cenderung menghasilkan bau busuk. Ketika bernafas, penderita
juga bisa merasakan nyeri dada, terutama jika telah terjadi peradangan pada
pleura.
Diagnosis
Diagnosis abses paru tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan gejalanya
yang menyerupai pneumonia maupun hasil pemeriksaan fisik saja. Diduga suatu
abses paru jika gejala yang menyerupai pneumonia terjadi pada keadaan-keadaan
berikut:
kelainan sistem saraf,
penyalahgunaan alkohol atau obat lainnya,
penurunan kesadaran karena berbagai sebab.
Rontgen dada seringkali bisa menunjukkan adanya abses paru. Abses paru
tampak sebagai rongga dengan bentuk yang tidak beraturan dan di dalamnya
tampak perbatasan udara dan cairan. Abses paru akibat aspirasi paling sering
menyerang segmen posterior paru lobus atas atau segmen superior paru lobus
bawah. Ketebalan dinding abses paru bervariasi, bisa tipis ataupun tebal, batasnya
bisa jelas maupun samar-samar. Dindingnya mungkin licin atau kasar. Gambaran
yang lebih jelas bisa terlihat pada CT scan.
Biakan dahak dari paru-paru bisa membantu menentukan organisme
penyebab terjadinya abses.
Pengobatan
Untuk penyembuhan sempurna diperlukan antibiotik, baik intravena
(melalui pembuluh darah) maupun per-oral (melalui mulut).
Pengobatan ini dilanjutkan sampai gejalanya hilang dan rontgen dada
menunjukkan bahwa abses telah sembuh. Untuk mencapai perbaikan seperti ini,
biasanya antibiotik diberikan selama 4-6 minggu. Pada rongga yang berukuran
besar (diameter lebih dari 6 cm), biasanya perlu dilakukan terapi jangka panjang.
Perbaikan klinis, yaitu penurunan suhu tubuh, biasanya terjadi dalam
waktu 3-4 hari setelah pemberian antibiotik. Jika dalam waktu 7-10 hari setelah
pemberian antibiotik demam tidak juga turun, berarti telah terjadi kegagalan terapi
dan sebaiknya dilakukan pemeriksaan diagnostik lebih lanjut untuk menentukan
penyebab dari kegagalan tersebut.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan pada penderita yang memberikan
respon yang buruk terhadap pemberian antibiotik adalah penyumbatan bronkial
oleh benda asing atau tumor; atau infeksi oleh bakteri, mikobakteri maupun jamur
yang resisten.
Pada abses paru tanpa komplikasi sangat jarang dilakukan pembedahan.
Indikasi pembedahan biasanya adalah kegagalan terhadap terapi medis,
kecurigaan adanya tumor atau kelainan bentuk paru-paru bawaan. Prosedur yang
dilakukan adalah lobektomi atau pneumonektomi.
Angka kematian karena abses paru mencapai 5%. Angka ini lebih tinggi
jika penderita memiliki gangguan sistem kekebalan, kanker paru-paru atau abses
yang sangat besar.
Penyebab
Infeksi payudara biasanya disebabkan oleh bakteri yang banyak ditemukan
pada kulit yang normal (Staphylococcus aureus). Bakteri seringkali berasal dari
mulut bayi dan masuk ke dalam saluran air susu melalui sobekan atau retakan di
kulit (biasanya pada puting susu).
Mastitis biasanya terjadi pada wanita yang menyusui dan paling sering
terjadi dalam waktu 1-3 bulan setelah melahirkan. Sekitar 1-3% wanita menyusui
mengalami mastitis pada beberapa minggu pertama setelah melahirkan.
Pada wanita pasca menopause, infeksi payudara berhubungan dengan
peradangan menahun dari saluran air susu yang terletak di bawah puting susu.
Perubahan hormonal di dalam tubuh wanita menyebabkan penyumbatan saluran
air susu oleh sel-sel kulit yang mati. Saluran yang tersumbat ini menyebabkan
payudara lebih mudah mengalami infeksi.
Gejala
Gejalanya berupa:
nyeri payudara,
benjolan pada payudara,
pembengkakan salah satu payudara,
jaringan payudara membengkak, nyeri bila ditekan, kemerahan dan teraba
hangat,
nipple discharge (keluar cairan dari puting susu, bisa mengandung nanah),
gatal-gatal,
pembesaran kelenjar getah bening ketiak pada sisi yang sama dengan
payudara yang terkena,
demam.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Jika
tidak sedang menyusui, bisa dilakukan mammografi atau biopsi payudara.
Pengobatan
Dilakukan pengompresan hangat pada payudara selama 15-20 menit, 4
kali/hari. Diberikan antibiotik dan untuk mencegah pembengkakan, sebaiknya
dilakukan pemijatan dan pemompaan air susu pada payudara yang terkena. Jika
terjadi abses, biasanya dilakukan penyayatan dan pembuangan nanah, serta
dianjurkan untuk berhenti menyusui.
Untuk mengurangi nyeri bisa diberikan obat pereda nyeri (misalnya
acetaminophen atau ibuprofen). Kedua obat tersebut aman untuk ibu menyusui
dan bayinya.
Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya mastitis bisa dilakukan beberapa tindakan
berikut:
Menyusui secara bergantian payudara kiri dan kanan,
untuk mencegah pembengkakan dan penyumbatan saluran, kosongkan
payudara dengan cara memompanya,
gunakan teknik menyusui yang baik dan benar untuk mencegah robekan/luka
pada puting susu,
minum banyak cairan,
menjaga kebersihan puting susu,
mencuci tangan sebelum dan sesudah menyusui.
Penyebab
Abses abdomen seringkali terjadi akibat cedera, infeksi atau perforasi
usus, dan infeksi organ perut lainnya.
Gejala
Abses di bawah diafragma terjadi jika cairan yang terinfeksi (misalnya
karena pecahnya usus buntu) naik ke atas akibat tekanan perut atau organ perut
dan akibat tarikan ketika diafragma bergerak selama proses pernafasan. Gejalanya
berupa batuk, nyeri yang timbul ketika menghirup nafas, dan nyeri di bahu
(referred pain, karena diafragma dan bahu memiliki saraf yang sama dan otak
salah mengartikan sumber nyerinya).
Abses di pertengahan perut bisa terjadi akibat:
pecahnya usus buntu,
perforasi usus besar,
penyakit peradangan usus,
penyakit divertikulum.
Abses limpa bisa disebabkan oleh suatu infeksi yang terbawa oleh aliran
darah ke limpa, cedera pada limpa, dan penyebaran infeksi dari abses di dekat
limpa (misalnya abses dibawah diafragma). Nyeri bisa dirasakan di perut sebelah
kiri, di punggung atau di bahu sebelah kiri.
Abses di dalam pankreas biasanya terbentuk setelah suatu serangan
pankreatitis akut. Gejalanya berupa demam, nyeri perut, mual dan muntah, yang
seringkali timbul 1 minggu atau lebih setelah penderita sembuh dari pankreatitis.
Abses hati bisa disebabkan oleh bakteri atau amuba (parasit bersel
tunggal). Amuba dari suatu infeksi usus sampai ke hati melalui pembuluh getah
bening. Abses hati nanti akan dibahas lagi lebih jauh.
Abses prostat biasanya terjadi akibat suatu infeksi saluran pencernaan
yang menyebabkan prostatitis (infeksi kelenjar prostat). Abses prostat paling
sering terjadi pada usia 40-60 tahun. Penderita merasakan nyeri ketika berkemih,
sering berkemih atau sulit untuk berkemih. Kadang penderita merasakan nyeri
dalam di pangkal penis dan air kemihnya mengandung darah atau nanah.
Diagnosis
Diagnosis abses abdomen ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya. Untuk
menentukan lokasi yang pasti, dilakukan pemeriksaan CT scan atau USG.
Pengobatan
Pada hampir semua kasus abses abdomen, nanah harus dibuang, baik
melalui pembedahan maupun dengan bantuan sebuah jarum yang dimasukkan
melalui kulit.
Dilakukan analisa nanah di laboratorium guna menentukan organisme
penyebab infeksi, sehingga bisa diberikan antibiotik yang paling efektif untuk
organisme yang bersangkutan.
Pengobatan
Pengobatan terhadap penderita abses hepar terdiri dari:
1. Kemoterapi menggunakan antiamuba yang kemudian dilanjutkan oleh
pemberian Metronidazole, Chloroquin, dan Dehydroemetine (DHE) dengan
dosis yang sesuai.
2. Aspirasi, tindakan ini dianjurkan bila pengobatan kemoterapi tidak berhasil
dalam 3-5 hari, terdapat kontraindikasi pada penggunaan metronidazol seperti
kehamilan, atau abses yang beresiko mengalami ruptur.
3. Drainase perkutan, merupakan prosedur yang dilakukan oleh dokter untuk
mengangkat atau mengeluarkan kumpulan cairan infeksi (abses) dari bagian
tubuh seperti dada, abdomen, atau panggul. Drainase juga berguna untuk
mengurangi nyeri abdomen. Selama prosedur, jarum halus dimasukkan ke
dalam cairan abses dibawah panduan radiologis seperti CT-Scan.
4. Drainase bedah dilakukan pada kasus komplikasi termasuk ruptur abses.
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil
membaik dengan pengobatan. Juga diindikasikan untuk perdarahan yang
mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa ruptur abses.
Diagnosis
Penegakan diagnosis abses hepar piogenik dapat ditegakkan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan
radiologi.
1. Anamnesis
Hepatomegali terdapat pada semua penderita, yang teraba sebesar tiga jari
sampai enam jari
3. Pemeriksaan Laboratorium
BAB II
PERITONITIS
Peritonitis merupakan peradangan membran serosa rongga abdomen dan
organ-organ yang terkandung di dalamnya. Peritonitis bisa terjadi karena proses
infeksi atau proses steril dalam abdomen melalui perforasi dinding perut,
misalnya pada ruptur apendiks atau divertikulum colon. Penyakit ini bisa juga
terjadi karena adanya iritasi bahan kimia, misalnya asam lambung dari perforasi
ulkus gastrikum atau kandung empedu dari kantong yang pecah atau hepar yang
mengalami laserasi. Pada wanita, peritonitis juga terjadi terutama karena terdapat
infeksi tuba falopii atau ruptur kista ovarium.
II.4 Epidemiologi
Sindrom dari peritonitis bakterial spontan umumnya terjadi pada
peritonitis akut pada pasien dengan dasar sirosis. Sirosis mempengaruhi 3,6 dari
1000 orang dewasa di Amerika Serikat dan bertanggungjawab terhadap 26000
kematian per tahun. Perdarahan variseal akut dan peritonitis bakterial spontan
merupakan beberapa komplikasi dari sirosis yang mengancam jiwa. Kondisi yang
berkaitan yang menyebabkan abnormalitas yang signifikan mencakup ascites dan
enselofati hepatik. Sekitar 50% pasien dengan sirosis yang menimbulkan ascites
meninggal dalam 2 tahun setelah diagnosis.
Streptococcus
spesies Enterobacter Cephalosporin generasi ke-2
Gram-negatif spesies Pseudomonas Cephalosporin generasi ke-3
spesies Enterococcus Penisilin dengan aktvitas
Gram-positif Spesies Staphylococcus
anaerob
Quinolon dengan aktifitas
anaerob
Quinolon dan metronidazol
Tersier
Aminoglikosia dan
BAB III
HUBUNGAN PERITONITIS DAN ABSES
Tanda-tanda dan gejala yang mengikuti tumpahan isi usus yang akut ke
dalam abdomen cenderung mengalami 2 fase. Fase pertama adalah stadium
peritonitis, dengan nyeri akut yang berkaitan dengan infeksi E coli dan bakteri
anaerob fakultatif lainnya; ini terjadi selama 1-2 hari pertama dan jika tidak
diobati mengakibatkan angka kematian yang tinggi. Tahap kedua adalah
pembentukan abses yang disebabkan oleh B fragilis dan bakteri anaerob obligat
lainnya. Jadi abses merupakan tahapan selanjutnya dari peritonitis.
Boyd, Robert F. dan J. Joseph Marr. 1980. Medical Microbiology, first edition.
Boston, USA: Little, Brown and Company (Inc.).
DiPiro, Joseph T., Robert L.Talbert, Gary C. Yee, et al. 2005. Pharmacotherapy:
A PAthophysiologic Approach, sixth edition. New York, USA: McGraw-
Hill Medical Publishing Division.
Peralta, Ruben. Peritonitis and Abdominal Sepsis, Agustus 2006. 30 April 2009
15:40: http://emedicine.medscape.com/article/192329-overview
Rhodes, George K. dan John Fernald. 1934. Peritonitis and Drainage A
Pathological and Clinical Study. California.
Wells, Barbara G, dkk. 2006. Pharmacotherapy Handbook Sixth Edition. USA:
McGraw-Hill
http://ilmukedokteran.net
http://medicastore.com
http://tbmcalcaneus.org
http://www.conectique.com
http://www.kalbe.co.id
http://www.majalah-farmacia.com
http://www.mamashealth.com
www.klinikindonesia.com
www.warmasif.co.id