Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH DIAGNOSTIK KLINIK

ABSES DAN PERITONITIS

Disusun oleh:

Caroline 030505011
Furqoni C 030505028Y
Muthia Rachma 0305050396
Oloan 0304057087
Rizki Reza M 0606070945
Wulan Yuliastuti 0606061046

Universitas Indonesia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Departemen Farmasi
2009
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bu Atiek selaku Dosen Diagnostik
Klinik yang telah membimbing penulis dalam menyusun makalah ini. Penulis
juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu demi
terselesaikannya makalah ini.

Melalui makalah ini, penulis bertujuan membahas mengenai abses,


peritonitis dan hubungan keduanya.
Penulis sadar makalah ini masih jauh dari sempurna. Kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat.

Depok, Mei 2009

Penulis
BAB I
ABSES

I.1 Abses
Abses adalah suatu penimbunan nanah, biasanya terjadi akibat suatu
infeksi bakteri. Jika bakteri menyusup ke dalam jaringan yang sehat, maka akan
terjadi infeksi. Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi
jaringan dan sel-sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan
pertahanan tubuh dalam melawan infeksi, bergerak ke dalam rongga tersebut dan
setelah menelan bakteri, sel darah putih akan mati. Sel darah putih yang mati
inilah yang membentuk nanah, yang mengisi rongga tersebut.
Akibat penimbunan nanah ini, maka jaringan di sekitarnya akan terdorong.
Jaringan pada akhirnya tumbuh di sekeliling abses dan menjadi dinding pembatas
abses. Hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi
lebih lanjut. Jika suatu abses pecah di dalam, maka infeksi bisa menyebar di
dalam tubuh maupun di bawah permukaan kulit, tergantung kepada lokasi abses.

Penyebab
Suatu infeksi bakteri bisa menyebabkan abses melalui beberapa cara:
bakteri masuk ke bawah kulit akibat luka yang berasal dari tusukan jarum
yang tidak steril,
bakteri menyebar dari suatu infeksi di bagian tubuh yang lain,
bakteri yang dalam keadaan normal hidup di dalam tubuh manusia dan tidak
menimbulkan gangguan, kadang bisa menyebabkan terbentuknya abses.

Peluang terbentuknya suatu abses akan meningkat jika:


terdapat kotoran atau benda asing di daerah tempat terjadinya infeksi,
daerah yang terinfeksi mendapatkan aliran darah yang kurang,
terdapat gangguan sistem kekebalan.
Gejala
Gejala dari abses tergantung kepada lokasi dan pengaruhnya terhadap
fungsi suatu organ atau saraf. Gejalanya bisa berupa nyeri, nyeri tekan, teraba
hangat, pembengkakan, kemerahan, dan demam.
Suatu abses yang terbentuk tepat di bawah kulit biasanya tampak sebagai
suatu benjolan. Jika abses akan pecah, maka daerah pusat benjolan akan lebih
putih karena kulit diatasnya menipis. Sedangkan, suatu abses di dalam tubuh,
sebelum menimbulkan gejala seringkali terlebih dahulu tumbuh menjadi lebih
besar. Abses dalam lebih mungkin menyebarkan infeksi ke seluruh tubuh.

Diagnosis
Abses di kulit atau dibawah kulit sangat mudah dikenali, sedangkan abses
dalam seringkali sulit ditemukan. Pada penderita abses, biasanya pemeriksaan
darah menunjukkan peningkatan jumlah sel darah putih. Untuk menentukan
ukuran dan lokasi abses dalam, bisa dilakukan pemeriksaan rontgen, USG, CT
scan atau MRI.

Pengobatan
Suatu abses seringkali membaik tanpa pengobatan, abses pecah dengan
sendirinya dan mengeluarkan isinya. Kadang abses menghilang secara perlahan
karena tubuh menghancurkan infeksi yang terjadi dan menyerap sisa-sisa infeksi.
Abses tidak pecah dan bisa meninggalkan benjolan yang keras.
Untuk meringankan nyeri dan mempercepat penyembuhan, suatu abses
bisa ditusuk dan dikeluarkan isinya. Suatu abses tidak memiliki aliran darah,
sehingga pemberian antibiotik biasanya sia-sia. Antibiotik bisa diberikan setelah
suatu abses mengering dan hal ini dilakukan untuk mencegah kekambuhan.
Antibiotik juga diberikan jika abses menyebarkan infeksi ke bagian tubuh lainnya

Abses bisa terbentuk di seluruh bagian tubuh, termasuk otak, paru-paru,


payudara, serta organ-organ di abdomen khususnya hati. Berikut ini akan
diuraikan lebih jauh mengenai abses pada organ-organ tersebut.

I.2 Abses Otak


Abses otak adalah kumpulan nanah yang terbungkus oleh suatu kapsul
dalam jaringan otak yang disebabkan karena infeksi bakteri atau jamur. Abses
otak biasanya akibat komplikasi dari suatu infeksi, trauma atau tindak
pembedahan. Keadaan-keadaan ini jarang terjadi, namun demikian insiden
terjadinya abses otak sangat tinggi pada penderita yang mengalami gangguan
kekebalan tubuh (seperti penderita HIV positif atau orang yang menerima
transplantasi organ).

Penyebab
Infeksi otak awalnya berasal dari penyebaran langsung bibit penyakit dari
sumber infeksi di daerah lain yang berdekatan dengan otak (seperti infeksi pada
telinga tengah, infeksi sinus, abses pada gigi) atau melalui peredaran darah yang
berasal dari sumber infeksi di seluruh tubuh. Masuknya kuman penyakit ke dalam
jaringan otak dapat terjadi secara langsung akibat trauma lesakkan (misalnya
peluru yang menembus otak) sehingga terjadi pembentukkan abses. Abses otak
juga dapat disebabkan karena tindakan pembedahan pada otak dan trauma di
daerah wajah.
Berbagai mikroorganisme dapat ditemukan pada abses otak, yaitu bakteri,
jamur dan parasit. Bakteri yang tersering adalah Staphylococcus aureus,
Streptococcus anaerob, Streptococcusbeta hemolyticus, Streptococcus alpha
hemolyticus, E. coli dan Bacteroides. Abses oleh Staphylococcus biasanya
berkembang dari perjalanan otitis media atau fraktur kranii. Bila infeksi berasal
dari sinus paranasalis penyebabnya adalah Streptococcus aerob dan anaerob,
Staphylococcus dan Haemophilus influenzae. Abses oleh Streptococcus dan
Pneumococcus sering merupakan komplikasi infeksi paru. Abses pada penderita
jantung bawaan sianotik umumnya oleh Streptococcus anaerob. Jamur penyebab
abses otak antara lain Nocardia asteroides, Cladosporium trichoides dan spesies
Candida dan Aspergillus. Walaupun jarang, Entamuba histolitica, suatu parasit
amuba usus dapat menimbulkan abses secara hematogen. Kira-kira 62% abses
otak disebabkan oleh flora campuran, kurang lebih 25% abses otak adalah
kriptogenik (tidak diketahui sebabnya).
Gejala
Gejala yang timbul bervariasi dari seorang dengan yang lain, tergantung
pada ukuran dan lokasi abses pada otak. Lebih dari 75% penderita mengeluh sakit
kepala dan merupakan gejala utama yang paling sering dikeluhkan. Sakit kepala
yang dirasakan terpusat pada daerah abses dan rasa sakit semakin hebat dan parah.
Aspirin atau obat lainnya tidak akan menolong menyembuhkan sakit kepala
tersebut. Kuranglebih separuh dari penderita mengalami demam tetapi tidak
tinggi. Gejala-gejala lainnya adalah mual dan mintah, kaku kuduk, kejang,
gangguan kepribadian dan kelemahan otot pada salah satu sisi bagian tubuh.

Diagnosis
Gejala awal abses otak tidak jelas karena tidak spesifik. Pada beberapa
kasus, penderita yang berobat dalam keadaan distress, terus menerus sakit kepala
dan semakin parah, kejang atau defisit neurologik (misalnya otot pada salah satu
sisi bagian tubuh melemah).
Dokter harus mengumpulkan riwayat medis dan perjalanan penyakit
penderita serta keluhan-keluhan yang diderita oleh pasien. Harus diketahui kapan
keluhan pertama kali timbul, perjalanan penyakit dan apakah baru-baru ini pernah
mengalami infeksi.
Untuk mendiagnosis abses otak dilakukan pemeriksaan CT scan
(computed tomography) atau MRI scan (magnetic resonance imaging) yang
secara mendetil memperlihatkan gambaran potongan tiap inci jaringan otak. Abses
terlihat sebagai bercak/ noktah pada jaringan otak. Kultur darah dan cairan tubuh
lainnya akan menemukan sumber infeksi tersebut. Jika diagnosis masih belum
dapat ditegakkan, maka sampel dari bercak/noktah tersebut diambil dengan jarum
halus yang dilakukan oleh ahli bedah saraf.
Abses otak akan memburuk dengan cepat, dan jelas terlihat sekitar dua
minggu. Jika diagnosis telah ditegakkan, maka dokter segera mengobatinya.
Terapi yang cepat dan tepat merupakan kunci utama dalam mengatasi dan
mengobati gejala dengan cepat. Pengobatan dan tindakan lanjut dilakukan selama
dua atau beberapa bulan.

Pencegahan dan Pengobatan


Kebanyakkan abses otak berhubungan dengan higiene mulut yang buruk,
infeksi sinus yang kompleks atau gangguan sistem kekebalan tubuh. Oleh karena
itu, pencegahan yang terbaik adalah menjaga dan membersihkan rongga mulut
dan gigi dengan baik serta secara teratur mengunjungi dokter gigi. Infeksi sinus
diobati dengan dekongestan dan antibiotika yang tepat. Infeksi HIV dicegah
dengan tidak melakukan hubungan seks yang tidak aman.
Ada 2 pendekatan yang dilakukan dalam terapi abses otak, yaitu:
1. Antibiotika untuk mengobati infeksi jika diketahui infeksi yang terjadi
disebabkan oleh bakteri yang spesifik, maka diberikan antibiotika yang
sensitif terhadap bakteri tersebut, paling tidak antibiotika berspektrum luas
untuk membunuh lebih banyak kuman penyakit. Paling sedikit antibiotika
yang diberikan selama 6 hingga 8 minggu untuk menyakinkan bahwa infeksi
telah terkontrol.
2. Aspirasi atau pembedahan untuk mengangkat jaringan abses. Jaringan abses
diangkat atau cairan nanah dialirkan keluar tergantung pada ukuran dan lokasi
abses tersebut. Jika lokasi abses mudah dicapai dan kerusakkan saraf yang
ditimbulkan tidak terlalu membahayakan maka abses diangkat dengan
tindakan pembedahan. Pada kasus lainnya, abses dialirkan keluar baik dengan
insisi (irisan) langsung atau dengan pembedahan yaitu memasukkan jarum ke
lokasi abses dan cairan nanah diaspirasi (disedot) keluar. Jarum ditempatkan
pada daerah abses oleh ahli bedah saraf dengan bantuan neurografi
stereotaktik, yaitu suatu tehnik pencitraan radiologi untuk melihat jarum yang
disuntikkan ke dalam jaringan abses melalui suatu monitor. Keberhasilan
pengobatan dilakukan dengan menggunakan MRI sken atau CT sken untuk
menilai keadaan otak dan abses tersebut. Antikonvulsan diberikan untuk
mengatasi kejang dan penggunaanya dapat diteruskan hingga abses telah
berhasil diobati.

Tanpa pengobatan yang adekuat, abses otak berakibatkan fatal. Saat ini,
dengan pemeriksaan diagnostik dan antibiotika yang canggih, banyak penderita
abses otak terobati dengan sangat baik. Sayangnya, masalah-masalah neurologis
jangka lama sering terjadi setelah abses diangkat dan infeksi telah diobati.
Misalnya, gejala-gejala sisa yang menyangkut fungsi tubuh, perubahan
kepribadian atau kejang akibat jaringan parut atau kerusakan lain yang terbentuk
pada jaringan otak.

I.3 Abses Paru


Abses paru diartikan sebagai kematian jaringan paru-paru dan
pembentukan rongga yang berisi sel-sel mati atau cairan akibat infeksi bakteri.

Penyebab
Kebanyakan abses paru muncul sebagai komplikasi dari pneumonia
aspirasi akibat bakteri anaerob di mulut. Penderita abses paru biasanya memiliki
masalah periodontal (jaringan di sekitar gigi). Sejumlah bakteri yang berasal dari
celah gusi sampai ke saluran pernafasan bawah dan menimbulkan infeksi. Tubuh
memiliki sistem pertahanan terhadap infeksi semacam ini, sehingga infeksi hanya
terjadi jika sistem pertahanan tubuh sedang menurun, seperti yang ditemukan
pada:
seseorang yang berada dalam keadaan tidak sadar atau sangat mengantuk
karena pengaruh obat penenang, obat bius atau penyalahgunaan alkohol,
penderita penyakit sistem saraf.

Jika bakteri tersebut tidak dapat dimusnahkan oleh mekanisme pertahanan


tubuh, maka akan terjadi pneumonia aspirasi dan dalam waktu 7-14 hari kemudian
berkembang menjadi nekrosis (kematian jaringan), yang berakhir dengan
pembentukan abses.
Mekanisme pembentukan abses paru lainnya adalah bakteremia atau
endokarditis katup trikuspidalis, akibat emboli septik pada paru-paru. Pada 89%
kasus, penyebabnya adalah bakteri anaerob. Yang paling sering adalah
Peptostreptococcus, Bacteroides, Fusobacterium dan Microaerophilic
streptococcus.
Organisme lainnya yang tidak terlalu sering menyebabkan abses paru
adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumonia,
Klebsiella pneumonia, Haemophilus influenza, spesies Actinomyces dan
Nocardia, serta Basil gram negatif.
Penyebab non-bakteri juga bisa menyebabkan abses paru, diantaranya:
Parasit (Paragonimus, Entamoeba)
Jamur (Aspergillus, Cryptococcus, Histoplasma, Blastomyces, Coccidioides)
Mycobacteria

Gejala
Gejala awalnya menyerupai pneumonia yaitu kelelahan, hilang nafsu
makan, berat badan menurun, berkeringat, demam, dan batuk berdahak. Dahaknya
bisa mengandung darah. Dahak seringkali berbau busuk karena bakteri dari mulut
atau tenggorokan cenderung menghasilkan bau busuk. Ketika bernafas, penderita
juga bisa merasakan nyeri dada, terutama jika telah terjadi peradangan pada
pleura.

Diagnosis
Diagnosis abses paru tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan gejalanya
yang menyerupai pneumonia maupun hasil pemeriksaan fisik saja. Diduga suatu
abses paru jika gejala yang menyerupai pneumonia terjadi pada keadaan-keadaan
berikut:
kelainan sistem saraf,
penyalahgunaan alkohol atau obat lainnya,
penurunan kesadaran karena berbagai sebab.

Rontgen dada seringkali bisa menunjukkan adanya abses paru. Abses paru
tampak sebagai rongga dengan bentuk yang tidak beraturan dan di dalamnya
tampak perbatasan udara dan cairan. Abses paru akibat aspirasi paling sering
menyerang segmen posterior paru lobus atas atau segmen superior paru lobus
bawah. Ketebalan dinding abses paru bervariasi, bisa tipis ataupun tebal, batasnya
bisa jelas maupun samar-samar. Dindingnya mungkin licin atau kasar. Gambaran
yang lebih jelas bisa terlihat pada CT scan.
Biakan dahak dari paru-paru bisa membantu menentukan organisme
penyebab terjadinya abses.
Pengobatan
Untuk penyembuhan sempurna diperlukan antibiotik, baik intravena
(melalui pembuluh darah) maupun per-oral (melalui mulut).
Pengobatan ini dilanjutkan sampai gejalanya hilang dan rontgen dada
menunjukkan bahwa abses telah sembuh. Untuk mencapai perbaikan seperti ini,
biasanya antibiotik diberikan selama 4-6 minggu. Pada rongga yang berukuran
besar (diameter lebih dari 6 cm), biasanya perlu dilakukan terapi jangka panjang.
Perbaikan klinis, yaitu penurunan suhu tubuh, biasanya terjadi dalam
waktu 3-4 hari setelah pemberian antibiotik. Jika dalam waktu 7-10 hari setelah
pemberian antibiotik demam tidak juga turun, berarti telah terjadi kegagalan terapi
dan sebaiknya dilakukan pemeriksaan diagnostik lebih lanjut untuk menentukan
penyebab dari kegagalan tersebut.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan pada penderita yang memberikan
respon yang buruk terhadap pemberian antibiotik adalah penyumbatan bronkial
oleh benda asing atau tumor; atau infeksi oleh bakteri, mikobakteri maupun jamur
yang resisten.
Pada abses paru tanpa komplikasi sangat jarang dilakukan pembedahan.
Indikasi pembedahan biasanya adalah kegagalan terhadap terapi medis,
kecurigaan adanya tumor atau kelainan bentuk paru-paru bawaan. Prosedur yang
dilakukan adalah lobektomi atau pneumonektomi.
Angka kematian karena abses paru mencapai 5%. Angka ini lebih tinggi
jika penderita memiliki gangguan sistem kekebalan, kanker paru-paru atau abses
yang sangat besar.

I.4 Infeksi dan Abses Payudara


Infeksi payudara (Mastitis) adalah suatu infeksi pada jaringan payudara.
Pada infeksi yang berat atau tidak diobati, bisa terbentuk abses payudara
(penimbunan nanah di dalam payudara).

Penyebab
Infeksi payudara biasanya disebabkan oleh bakteri yang banyak ditemukan
pada kulit yang normal (Staphylococcus aureus). Bakteri seringkali berasal dari
mulut bayi dan masuk ke dalam saluran air susu melalui sobekan atau retakan di
kulit (biasanya pada puting susu).
Mastitis biasanya terjadi pada wanita yang menyusui dan paling sering
terjadi dalam waktu 1-3 bulan setelah melahirkan. Sekitar 1-3% wanita menyusui
mengalami mastitis pada beberapa minggu pertama setelah melahirkan.
Pada wanita pasca menopause, infeksi payudara berhubungan dengan
peradangan menahun dari saluran air susu yang terletak di bawah puting susu.
Perubahan hormonal di dalam tubuh wanita menyebabkan penyumbatan saluran
air susu oleh sel-sel kulit yang mati. Saluran yang tersumbat ini menyebabkan
payudara lebih mudah mengalami infeksi.
Gejala
Gejalanya berupa:
nyeri payudara,
benjolan pada payudara,
pembengkakan salah satu payudara,
jaringan payudara membengkak, nyeri bila ditekan, kemerahan dan teraba
hangat,
nipple discharge (keluar cairan dari puting susu, bisa mengandung nanah),
gatal-gatal,
pembesaran kelenjar getah bening ketiak pada sisi yang sama dengan
payudara yang terkena,
demam.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Jika
tidak sedang menyusui, bisa dilakukan mammografi atau biopsi payudara.

Pengobatan
Dilakukan pengompresan hangat pada payudara selama 15-20 menit, 4
kali/hari. Diberikan antibiotik dan untuk mencegah pembengkakan, sebaiknya
dilakukan pemijatan dan pemompaan air susu pada payudara yang terkena. Jika
terjadi abses, biasanya dilakukan penyayatan dan pembuangan nanah, serta
dianjurkan untuk berhenti menyusui.
Untuk mengurangi nyeri bisa diberikan obat pereda nyeri (misalnya
acetaminophen atau ibuprofen). Kedua obat tersebut aman untuk ibu menyusui
dan bayinya.

Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya mastitis bisa dilakukan beberapa tindakan
berikut:
Menyusui secara bergantian payudara kiri dan kanan,
untuk mencegah pembengkakan dan penyumbatan saluran, kosongkan
payudara dengan cara memompanya,
gunakan teknik menyusui yang baik dan benar untuk mencegah robekan/luka
pada puting susu,
minum banyak cairan,
menjaga kebersihan puting susu,
mencuci tangan sebelum dan sesudah menyusui.

I.5 Abses Abdomen


Abses Abdomen (abses perut) bisa terbentuk di bawah diafragma, di
pertengahan perut, di rongga panggul atau di belakang rongga perut. Abses juga
bisa terbentuk di dalam atau di sekitar organ perut, misalnya ginjal, limpa,
pankreas atau hati, atau di dalam kelenjar prostat.

Penyebab
Abses abdomen seringkali terjadi akibat cedera, infeksi atau perforasi
usus, dan infeksi organ perut lainnya.

Gejala
Abses di bawah diafragma terjadi jika cairan yang terinfeksi (misalnya
karena pecahnya usus buntu) naik ke atas akibat tekanan perut atau organ perut
dan akibat tarikan ketika diafragma bergerak selama proses pernafasan. Gejalanya
berupa batuk, nyeri yang timbul ketika menghirup nafas, dan nyeri di bahu
(referred pain, karena diafragma dan bahu memiliki saraf yang sama dan otak
salah mengartikan sumber nyerinya).
Abses di pertengahan perut bisa terjadi akibat:
pecahnya usus buntu,
perforasi usus besar,
penyakit peradangan usus,
penyakit divertikulum.

Biasanya timbul nyeri di daerah terbentuknya abses.


Penyebab terjadinya abses panggul sama dengan penyebab terjadinya
abses di pertengahan perut ditambah dengan infeksi ginekologis (kandungan).
Gejalanya berupa nyeri perut, diare akibat iritasi usus, dan desakan berkemih atau
sering berkemih akibat iritasi kandung kemih.
Abses retroperitoneal (abses di belakang rongga perut) terletak di belakang
peritoneum (selaput tipis yang melapisi rongga dan organ perut). Penyebab
terjadinya abses retroperitoneal adalah perdangan usus buntu (apendisitis) dan
peradangan pankreas (pankreatitis). Nyeri biasanya dirasakan di punggung
sebelah bawah dan semakin memburuk jika penderita menggerakkan tungkainya
ke arah pinggul.
Abses ginjal bisa disebabkan oleh bakteri yang berasal dari suatu infeksi
yang terbawa ke ginjal melalui aliran darah atau akibat suatu infeksi saluran
kemih yang terbawa ke ginjal dan menyebar ke dalam jaringan ginjal. Abses di
permukaan ginjal (abses perinefrik) hampir selalu disebabkan oleh pecahnya suatu
abses di dalam ginjal, yang menyebarkan infeksi ke permukaan dan jaringan di
sekitarnya. Gejala dari abses ginjal adalah:
demam, menggigil,
nyeri di punggung sebelah bawah,
nyeri ketika berkemih,
air kemih mengandung darah (kadang-kadang).

Abses limpa bisa disebabkan oleh suatu infeksi yang terbawa oleh aliran
darah ke limpa, cedera pada limpa, dan penyebaran infeksi dari abses di dekat
limpa (misalnya abses dibawah diafragma). Nyeri bisa dirasakan di perut sebelah
kiri, di punggung atau di bahu sebelah kiri.
Abses di dalam pankreas biasanya terbentuk setelah suatu serangan
pankreatitis akut. Gejalanya berupa demam, nyeri perut, mual dan muntah, yang
seringkali timbul 1 minggu atau lebih setelah penderita sembuh dari pankreatitis.
Abses hati bisa disebabkan oleh bakteri atau amuba (parasit bersel
tunggal). Amuba dari suatu infeksi usus sampai ke hati melalui pembuluh getah
bening. Abses hati nanti akan dibahas lagi lebih jauh.
Abses prostat biasanya terjadi akibat suatu infeksi saluran pencernaan
yang menyebabkan prostatitis (infeksi kelenjar prostat). Abses prostat paling
sering terjadi pada usia 40-60 tahun. Penderita merasakan nyeri ketika berkemih,
sering berkemih atau sulit untuk berkemih. Kadang penderita merasakan nyeri
dalam di pangkal penis dan air kemihnya mengandung darah atau nanah.

Diagnosis
Diagnosis abses abdomen ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya. Untuk
menentukan lokasi yang pasti, dilakukan pemeriksaan CT scan atau USG.
Pengobatan
Pada hampir semua kasus abses abdomen, nanah harus dibuang, baik
melalui pembedahan maupun dengan bantuan sebuah jarum yang dimasukkan
melalui kulit.
Dilakukan analisa nanah di laboratorium guna menentukan organisme
penyebab infeksi, sehingga bisa diberikan antibiotik yang paling efektif untuk
organisme yang bersangkutan.

I.6 Abses Hati


Abses hepar adalah jenis abses abdomen berupa infeksi pada hati akibat
bakteri, parasit (amuba), jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan
pembentukan pus (nanah) didalam parenkim hati. Selain bakteri dan parasit jenis
amuba, cacing pita Echinococcus merupakan penyebab utama abses hepar. Amuba
merupakan parasit bersel tunggal.
Berdasarkan penyebabnya diatas, abses hepar terbagi atas abses hepar
amuba, abses hepar piogenik dan abses hepar fungal. Tulisan ini hanya akan
membahas abses hepar amuba dan abses hepar piogenik.

Abses Hepar Amuba


Abses hepar amuba adalah infeksi hati akibat Entamoeba hystolitica atau
akibat komplikasi ekstraintestinal Entamoeba hystolitica yang menghasilkan
bentuk pus. Entamoeba hystolitica merupakan parasit usus atau protozoa saluran
cerna yang juga menyebabkan amebiasis atau disentri amuba. Nama lain abses
hepar amuba antara lain hepatic amebiasis, extraintestinal amebiasis,
abscessamebic liver.

Etiologi dan Faktor Resiko


Abses hepar amuba disebabkan infeksi Entamoeba histolytica. Abses ini
jarang berasal dari komplikasi amubiasis gastrointestinal. Tropozoid Amuba
dengan Pseudopodia. Lebar prevalensi infeksi abses hepar amuba sangat
bervariasi. Biasanya paling sering terjadi pada daerah yang beriklim tropis, sub
tropis dan negara berkembang. Wilayah yang penduduknya padat dan memiliki
sanitasi yang buruk, status sosial ekonomi yang rendah dan status gizi yang
kurang baik serta tempat dimana strain virulen E. hystolitica yang masih tinggi
merupakan faktor predisposisi utama atau prevalensi tertinggi.
Faktor resiko lainnya antara lain malnutrisi, usia tua, kehamilan,
penggunaan steroid, kanker, immunosupresi, alkoholisme, riwayat mengunjungi
wilayah beriklim tropis dan homoseksual. Juga termasuk adanya riwayat
menderita infeksi amuba, kadar kolesterol tinggi dan pascatrauma hepar.

Gejala dan Diagnosis


Diagnosa abses hepar amuba ditegakkan berdasarkan gejala klinik, uji
serologik dan gambaran radiologi. Sherlock mengajukan kriteria diagnostik abses
hati amuba antara lain:
1. Tinggal / pernah bepergian di daerah endemik.
2. Hepatomegali yang nyeri tekan.
3. Respon baik terhadap metronidasol.
4. Lekositosis dengan atau tanpa anemia.
5. Peninggian diafragma kanan pada foto dada.
6. Pemeriksaan ultra sonografi sesuai dengan abses.
7. Tes hemaglutinasi amuba positip.
Gejala abses hepar amuba yang dapat ditemukan antara lain:
1. Demam intermitten
2. Nyeri perut kanan atas
3. Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan
4. Keringat malam
5. Menggigil
6. Mual & muntah
7. Batuk
8. Dispnue
9. Diare
10. Gelisah
11. Malaise
12. Jaundice
13. Penurunan nafsu makan
14. Penurunan berat badan
Keluhan pasien abses hepar amuba terutama demam, sakit di
hipokondrium kanan, dan pernah buang air besar lendir darah. Pemeriksaan fisik
terutama hepatomegali, demam, nyeri tekan di hati, fluktuasi tekan di hati, dan
ikterus. Pemeriksaan laboratorium terutama anemia (Hb kurang 10 gr %),
leukositosis dan pada tinja dapat ditemukan amuba baik kista maupun tropozoid.
Kadang gejalanya tidak khas, timbul pelan-pelan atau asimptomatis. Demam
intermitten merupakan keluhan paling awal dari penderita abses hepar menahun.
Prosentase demam sekitar 74%-97%.
Penderita dengan abses hepar amuba biasanya juga menderita dysentri
amoeba atau ada riwayat pernah menderita dysentri amoeba, tetapi mungkin juga
tak ada riwayat pernah menderita dysentri amoeba. Sebanyak 35,71%, pasien
pernah berak lendir/darah. Umumnya, pasien merupakan penduduk di daerah
endemik atau pernah mengunjungi tempat tersebut meskipun tanpa riwayat diare.
Kista dan tropozoit pada kotoran hanya teridentifikasi pada 15% - 50% penderita
karena infeksi usus besar seringkali telah mereda saat penderita mengalami abses
hepar.
Complement fixation test lebih dapat dipercaya dibanding riwayat diare,
pemeriksaan kotoran, dan proktoskopi. Cairan abses hasil aspirasi berwarna coklat
kemerahan (achovy paste atau chocolate syrup) sebagai akibat jaringan nekrotik
hepar serta sel darah merah yang dicerna atau mencair. Cairan tersebut tidak
berbau dan di dalamnya dapat ditemukan bentuk trofozoit E. Histolytica pada 40-
50 % kasus, juga ada sarjana yang mengatakan kuman penyebab dapat ditemukan
pada bahan kerokan dinding abses. Hasilnya akan lebih tinggi jika yang diperiksa
bahan kerokan dari dinding abses. Selain pemeriksaan kuman yang terdapat dalam
cairan abses, pada abses hati amuba dapat dilakukan pemeriksaan serologi
(seramuba), hasil uji serologi positip dijumpai pada 85-98 % kasus abses hati
amuba, dan hal ini memberi nilai diagnostik. Dilain pihak bila hasilnya negatif
abses hati amuba dapat disingkirkan.
Beberapa pemeriksaan yang dapat digunakan untuk diagnosis abses hepar
amuba yaitu:
1. Foto rontgen dada
2. USG abdomen
3. CT scan abdomen
4. MRI abdomen
5. Hitung darah lengkap
6. Biopsi hati
7. Tes fungsi hati
8. Uji serologi amuba

Pengobatan
Pengobatan terhadap penderita abses hepar terdiri dari:
1. Kemoterapi menggunakan antiamuba yang kemudian dilanjutkan oleh
pemberian Metronidazole, Chloroquin, dan Dehydroemetine (DHE) dengan
dosis yang sesuai.
2. Aspirasi, tindakan ini dianjurkan bila pengobatan kemoterapi tidak berhasil
dalam 3-5 hari, terdapat kontraindikasi pada penggunaan metronidazol seperti
kehamilan, atau abses yang beresiko mengalami ruptur.
3. Drainase perkutan, merupakan prosedur yang dilakukan oleh dokter untuk
mengangkat atau mengeluarkan kumpulan cairan infeksi (abses) dari bagian
tubuh seperti dada, abdomen, atau panggul. Drainase juga berguna untuk
mengurangi nyeri abdomen. Selama prosedur, jarum halus dimasukkan ke
dalam cairan abses dibawah panduan radiologis seperti CT-Scan.
4. Drainase bedah dilakukan pada kasus komplikasi termasuk ruptur abses.
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil
membaik dengan pengobatan. Juga diindikasikan untuk perdarahan yang
mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa ruptur abses.

Abses Hepar Piogenik


Nama lain abses hepar piogenik yaitu hepatic abscess, bacterial hepatic
abscess, bacterial liver abscess, atau bacterial abscess of the liver.

Etiologi dan Faktor Resiko


Kebanyakan pasien abses hati piogenik disebabkan oleh infeksi
polimikroba gram negatif aerobik dan anaerobik. Kebanyakan sumbernya berasal
dari feses dengan infeksi Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Bacteroides,
Enterococcus, Anaerobic streptococci, dan Microaerophilic streptococci.
Staphylococcus, Haemolytic streptococci, dan Streptococcus milleri sebagai
sumber infeksi primer dari endokarditis bakterial atau sepsis dental.
Penyebab lainnya adalah Enterobacteriaceae, Fusobacterium,
Staphylococcus aureus, Staphylococcus milleri, Candida albicans, Aspergillus,
Actinomyses, Eikenella corrodens, Yersinia enterolitica, Salmonella typhi,
Brucella melitensis dan fungal.
E. coli, Klebsiella pneumoniae dan Streptococcus faecalis merupakan
bakteri usus sebagai kuman piogenik, penyebab abses hepar. Staphylococcus
merupakan coccus gram negatif. Bacteroides dan Clostridium merupakan bakteri
anaerob.
Pada era pre-antibotik, abses hepar piogenik terjadi akibat komplikasi
appendisitis bersamaan dengan pylephlebitis. Setelah kemajuan cara diagnosa dan
penanganan tercapai, frekuensi timbulnya abses hepar menurun hingga mencapai
10%. Sekarang, abses hepar piogenik paling banyak berasal dari gangguan saluran
empedu.
Kebanyakan abses hepar piogenik merupakan infeksi sekunder yang
berasal dari infeksi abdomen pada apendiks, kandung empedu, atau usus. Abses
ini dapat juga berhubungan dengan trauma atau komplikasi prosedur bedah.
Kolangitis yang berhubungan dengan batu atau striktur adalah penyebab
terbanyak, diikuti oleh infeksi abdomen yang berhubungan dengan divertikulitis
atau apendisitis. Sekitar 15% kasus abses hepar tidak dapat ditemukan
penyebabnya (abses kriptogenik).

Diagnosis
Penegakan diagnosis abses hepar piogenik dapat ditegakkan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan
radiologi.
1. Anamnesis

Dicurigai adanya abses hepar piogenik apabila ditemukan sindrom klinis


klasik berupa nyeri spontan pada daerah perut kanan atas, yang di tandai oleh
pasien berjalan membungkuk ke depan dengan kedua tangan diletakkan di atas
daerah tersebut. Selain keluhan nyeri pada kuadran kanan atas abdomen dan
disertai syok, demam / panas tinggi merupakan keluhan yang paling utama.
Apabila abses hepar piogenik letaknya dekat diafragma, maka akan terjadi
iritasi diafragma sehingga terjadi nyeri pada bahu sebelah kanan, batuk
ataupun terjadi atelektesis, rasa mual dan muntah, berkurangnya nafsu makan,
terjadi penurunan berat badan. Gejala klasik abses hepar piogenik berupa nyeri
abdomen, demam & keringat malam hari, muntah, anoreksia, malaise dan
kehilangan berat badan. Infeksi primer (seperti divertikulitis atau apendisitis)
dapat berkembang menjadi abses hepar. Abses tunggal cenderung mengawali
penyakit secara berangsur-angsur dan seringkali bersifat kriptogenik. Abses
multipel dihubungkan dengan ciri-ciri sistemik akut dan lebih mudah
teridentifikasi.
2. Pemeriksaan Fisik

Hepatomegali terdapat pada semua penderita, yang teraba sebesar tiga jari
sampai enam jari
3. Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium yang di periksa adalah darah rutin termasuk


kadar Hb darah, jumlah leukosit darah, laju endap darah dan percobaan fungsi
hati, termasuk kadar bilirubin total, total protein dan kadar albumin dan
globulim dalam darah. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis
yang tinggi dengan pergeseran ke kiri, anemia, peningkatan laju endap darah,
peningkatan alkalin fosfatase, peningkatan enzim transaminase dan serum
bilirubin, berkurangnya kadar albumin serum dan waktu protrombin yang
memanjang menunjukan bahwa terdapat kegagalan fungsi hati yang
disebabkan AHP. Peningkatan jumlah sel darah putih dan sedimen eritrosit
dengan anemia ringan. Dua pertiga pasien mengalami leukositosis, seringkali
diikuti oleh anemia akibat infeksi kronik dan peningkatan rata-rata sedimen
eritrosit. Peningkatan aktivitas alkali phosphatase, hipoalbuminemia, dan
aktivitas transaminase serum dapat abnormal. Cairan abses hasil aspirasi
berbau busuk, warnanya tidak terlalu khas, dan didalamnya dapat ditemukan
kuman penyebabnya pada 30-50 % kasus.
4. Pemeriksaan Radiologi

Hemidiafragma kanan terangkat pada radiografi dada. USG merupakan alat


pemeriksaan penunjang utama pada 92,9% pasien. USG memperlihatkan
abses hati pada 95,2% pasien. Sensitifitas USG lebih besar dari 89,4%. Pada
pemeriksaan USG, abses hati piogenik tampak sebagai lesi hipoekoik multipel
atau soliter, tepi tidak rata, bulat atau oval, dan kadang bersepta. Tampak
bayangan cairan dan udara dengan akustik shadow.
Pengobatan
Abses hepar piogenik dapat diatasi dengan terapi antibiotik atau kombinasi
antara antibiotik dengan drainase berupa drainase bedah terbuka (open surgical
drainage), drainase kateter perkutaneus dan aspirasi perkutaneus (percutaneous
aspiration).
Kira-kira 39,3% kasus menggunakan terapi non bedah (drainase aspirasi
perkutaneus dan antibiotik) dan 54,1% kasus menggunakan terapi drainase bedah.
Kira-kira 69,2% kasus menggunakan terapi konservatif yaitu antibiotik dan 30,7%
kasus menggunakan terapi kombinasi antara antibiotik dan drainase kateter
perkutaneus.

BAB II
PERITONITIS
Peritonitis merupakan peradangan membran serosa rongga abdomen dan
organ-organ yang terkandung di dalamnya. Peritonitis bisa terjadi karena proses
infeksi atau proses steril dalam abdomen melalui perforasi dinding perut,
misalnya pada ruptur apendiks atau divertikulum colon. Penyakit ini bisa juga
terjadi karena adanya iritasi bahan kimia, misalnya asam lambung dari perforasi
ulkus gastrikum atau kandung empedu dari kantong yang pecah atau hepar yang
mengalami laserasi. Pada wanita, peritonitis juga terjadi terutama karena terdapat
infeksi tuba falopii atau ruptur kista ovarium.

II.1 Pengertian dan Pembagian Peritonitis


Dalam istilah peritonitis meliputi kumpulan tanda dan gejala, di antaranya
nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muskular, dan tanda-tanda umum
inflamasi. Pasien dengan peritonitis dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan
dan terbatas, atau penyakit berat dan sistemik dengan syok sepsis. Peritoneum
bereaksi terhadap stimulus patologik dengan respon inflamasi bervariasi,
tergantung penyakit yang mendasarinya.
Tabel: Penyebab Peritonitis

Area Sumber Penyebab


Esofagus Keganasan, Trauma, Iatrogenik, Sindrom
Boerhaave
Lambung Perforasi ulkus peptikum, Keganasan (mis.
Adenokarsinoma, limfoma, tumor stroma
gastrointestinal), Trauma, Iatrogenik
Duodenum Perforasi ulkus peptikum, Trauma (tumpul dan
penetrasi), Iatrogenik
Traktus bilier Kolesistitis, Perforasi batu dari kandung
empedu, Keganasan, Kista duktus koledokus
Trauma, Iatrogenik
Pankreas Pankreatitis (mis. Alkohol, obat-obatan, batu
empedu), Trauma, Iatrogenik
Kolon asendens Iskemia kolon, Hernia inkarserata, Obstruksi
loop, Penyakit Crohn, Keganasan,
Divertikulum Meckel, Trauma
Kolon desendens dan apendiks Iskemia kolon, Divertikulitis, Keganasan,
Kolitis ulseratif dan penyakit Crohn,
Apendisitis, Volvulus kolon, Trauma,
Iatrogenik
Salping uterus dan ovarium Pelvic inflammatory disease, Keganasan,
Trauma
Ket: Penyebab iatrogenik umumnya berasal dari trauma saluran cerna bagian atas,
termasuk pankreas, saluran empedu, dan kolon. Kadang bisa juga berasal dari
trauma endoskopi. Jahitan operasi yang bocor (dehisensi) merupakan penyebab
tersering terjadinya peritonitis.

II.2 Patofisiologi Peritonitis


Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik intraabdomen
(meningkatkan aktivitas inhibitor aktivator plasminogen) dan sekuestrasi fibrin
dengan adanya pembentukan jejaring pengikat. Produksi eksudat fibrin
merupakan mekanisme terpenting dari sistem pertahanan tubuh, dengan cara ini
akan terikat bakteri dalam jumlah yang sangat banyak di antara matriks fibrin.
Pembentukan abses pada peritonitis pada prinsipnya merupakan
mekanisme tubuh yang melibatkan substansi pembentuk abses dan kuman-kuman
itu sendiri untuk menciptakan kondisi abdomen yang steril. Pada keadaan jumlah
kuman yang sangat banyak, tubuh sudah tidak mampu mengeliminasi kuman dan
berusaha mengendalikan penyebaran kuman dengan membentuk kompartemen-
kompartemen yang kita kenal sebagai abses. Masuknya bakteri dalam jumlah
besar ini bisa berasal dari berbagai sumber. Yang paling sering ialah kontaminasi
bakteri transien akibat penyakit viseral atau intervensi bedah yang merusak
keadaan abdomen.
Selain jumlah bakteri transien yang terlalu banyak di dalam rongga
abdomen, peritonitis terjadi juga memang karena virulensi kuman yang tinggi
hingga mengganggu proses fagositosis dan pembunuhan bakteri dengan neutrofil.
Keadaan makin buruk jika infeksinya dibarengi dengan pertumbuhan bakteri lain
atau jamur, misalnya pada peritonitis akibat koinfeksi Bacteroides fragilis dan
bakteri gram negatif, terutama E. coli. Isolasi peritoneum pada pasien peritonitis
menunjukkan jumlah Candida albicans yang relatif tinggi, sehingga dengan
menggunakan skor APACHE II (acute physiology and cronic health evaluation)
diperoleh mortalitas tinggi, 52%, akibat kandidosis tersebut. Saat ini peritonitis
juga diteliti lebih lanjut karena melibatkan mediasi respon imun tubuh hingga
mengaktifkan systemic inflammatory response syndrome (SIRS) dan multiple
organ failure (MOF).

II.3 Tanda dan Gejala Klinis


Diagnosis peritonitis biasanya ditegakkan secara klinis dengan adanya
nyeri abdomen (akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas
lokasinya (peritoneum viseral) kemudian lama kelamaan menjadi jelas lokasinya
(peritoneum parietal). Pada keadaan peritonitis akibat penyakit tertentu, misalnya
perforasi lambung, duodenum, pankreatitis akut yang berat, atau iskemia usus,
nyeri abdomennya berlangsung luas di berbagai lokasi.
Tanda-tanda peritonitis relatif sama dengan infeksi berat lainnya, yakni
demam tinggi, atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, takikardi,
dehidrasi, hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya
memiliki punctum maximum di tempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding
perut akan terasa tegang, biasanya karena mekanisme antisipasi penderita secara
tidak sadar untuk menghindari palpasi yang menyakitkan, atau bisa juga memang
tegang karena iritasi peritoneum. Nyeri ini kadang samar dengan nyeri akibat
apendisitis yang biasanya di bagian kanan perut, atau kadang samar juga dengan
nyeri akibat abses yang terlokalisasi dengan baik. Pada penderita wanita
diperlukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic
inflammatory disease, namun pemeriksaan ini jarang dilakukan pada keadaan
peritonitis yang akut.
Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa saja jadi positif palsu pada
penderita dalam keadaan imunosupresi, (misalnya diabetes berat, penggunaan
steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran
(misalnya trauma kranial, ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan
analgesik), penderita dengan paraplegia, dan penderita geriatri. Penderita tersebut
sering merasakan nyeri yang hebat di perut meskipun tidak terdapat infeksi di
perutnya.

II.4 Epidemiologi
Sindrom dari peritonitis bakterial spontan umumnya terjadi pada
peritonitis akut pada pasien dengan dasar sirosis. Sirosis mempengaruhi 3,6 dari
1000 orang dewasa di Amerika Serikat dan bertanggungjawab terhadap 26000
kematian per tahun. Perdarahan variseal akut dan peritonitis bakterial spontan
merupakan beberapa komplikasi dari sirosis yang mengancam jiwa. Kondisi yang
berkaitan yang menyebabkan abnormalitas yang signifikan mencakup ascites dan
enselofati hepatik. Sekitar 50% pasien dengan sirosis yang menimbulkan ascites
meninggal dalam 2 tahun setelah diagnosis.

II.5 Etiologi Peritonitis


Peritonitis diklasifkasian menjadi primer (spontan), sekunder
(berhubungan dengan proses patologis di organ dalam), tersier (infeksi yang
persisten atau berulang setelah terapi yang cukup). Peritonitis terjadi karena
adanya infeksi intra-abdominal yang nyata dan dan hampir kebanyakan terjadi
dengan pembentukan ascites dari penyakit kronik hati. Kontaminasi dari rongga
perut merupakan hasil dari translokasi bakteri melewati dinding usus atau limpa
mesenteric dan frekuensi yang lebih kecil terjadi melalui bibit hematogen denan
adanya bakteremia.
Lebih dari 90% kasus peritonitis disebabkan oleh infeksi monomikroba,
terutama bakteri gram-negatif (seperti Escherichia coli [40%], Klebsiella
pneumoniae [7%], spesies Pseudomonas, spesies Proteus, dan spesies gram-
negatif lainnya [20%]) dan organisme gram-positif (seperti Streptococcus
pneumoniae [15%], spesies Streptococcus lainnya [15%], spesies Staphylococcus
[3%]) (lihat tabel 1). Mikroorganisme anaerob ditemukan kurang dari 5% kasus.

Tabel: Mikrobiologi dari peritonitis primer, sekunder, dan tersier.


Peritonitis Bakteri Terapi Antibiotik (yang
(Tipe) Kelas Tipe Organisme disarankan)
Primer Gram-negatif E coli (40%) Cephalosporin generasi ke-3
K pneumoniae (7%)
spesies Pseudomonas(5%)
spesies Proteus (5%)
spesies Streptococcus(15%)
spesiesStaphylococcus(3%)
spesies Anaerob ( <5%)
E coli
spesies Enterobacter Cephalosporin generasi ke-2
Gram-negatif
spesies Klebsiella Cephalosporin generasi ke-3
spesies Proteus Penisilin dengan aktivitas
spesies Streptococcus
Gram-positif anaerob
spesies Enterococcus
Sekunder Bacteroides fragilis Quinolon dengan aktivitas

spesies Bacteroides lainnya anaerob


spesies Eubacterium Quinolon dan metronidazol
Anaerob
spesies Clostridium Aminoglikosida dan

spesies anaerob metronidazol

Streptococcus
spesies Enterobacter Cephalosporin generasi ke-2
Gram-negatif spesies Pseudomonas Cephalosporin generasi ke-3
spesies Enterococcus Penisilin dengan aktvitas
Gram-positif Spesies Staphylococcus
anaerob
Quinolon dengan aktifitas
anaerob
Quinolon dan metronidazol
Tersier
Aminoglikosia dan

Fungi spesies Candida metronidazol


Carbapenem
Triazol atau amfoterisin
(berdasarkan etiologi fungi)
(Perubahan terapi berdasarkan
pada hasil pembiakan)

Peritonitis sekunder sejauh ini adalah bentuk terbanyak peritonitis yang


ditemua di klinik. Ini disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural)
dari organ dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal.
Spektrum patogen tergantung dari dimana penyakit tersebut berasal.
Organisme gram-positif menonjol di saluran gastrointestinal bagian atas; dimana
peritonitis yang disebabkan oleh bakteri gram-negatif dicatat banyak terjadi pada
terapi yang lama dari penekanan asam lambung.
Kontaminasi dari lengkus distal atau kolon awalnya merupakan hasil dari
pelepasan beberapa spesies bakteri (dan jamur); dimana host mengeliminasi
dengan cepat kebanyakan organisme tersebut sebagai mekanisme pertahanan
tubuh. Peritonitis hampir selalu disebabkan oleh polimikroba, yang terdiri dari
campuran bakteri aerob dan anaeron dengan organisme gram-negatif yang
menonjol.
Sebanyak 15% pasien yang memiliki sirosis dan ascites diduga awalnya
memiliki peritoitis sekunder. Pada pasien tersebut, gejala klinik tidak cukup
sensitif atau spesifik untuk membedakan kedanya. Dibutuhkan evalusasi cairan
peritoneal dan uji diagnostik untuk menentukan diagnosis dan penanganan yang
tepat pada pasien tersebut.
Abses peritoneal menunjukkan pembentukan cairan infeksi melalui
eksudat fibrinous, omentum, dan atau organ dalam yang berdekatan. Mayoritas
yang paling besar dan abses terjadi setelah peritonitis sekunder. Hampir setengah
dari pesien peritonitis sekunder berkembang menjadi abses yang masih sederhana
tanpa loculation. Selain itu, setengah pasien yang lain berkembang menjadi abses
sekunder yang kompleks. Pembentukan abses terjadi lebih sering di daerah
subhepatik, pelvis, dan usus parakolik, tetapi ini juga terjadi di daerah perisplenic,
dan di usus besar.
Pada umumnya, kejadian pembentuk abses setelah operasi andominal
kurang dari 1-2%, bahkan ketika operasi ditujukan untuk proses inflamasi akut.
Kejadian ini meningkat dengan pembedahan hollow viscus, kontaminasi feses
yang signifikan, ischema, diagnosis dan terapi awal peritonitis yang terlambat,
kebutuhan untuk reoperasi, dan pengaturan imunosupresan. Misalnya, resiko
pembentukan abses sekitar 10-30%. Semua dari kasus tersebut, pembentukan
abses sudah pasti menyebabkan infeksi yang persisten (terus menerus) dan
berkembang menjadi peritonitis tersier.
Peritonitis tersier menggambarkan keadaan persisten dari infeksi
peritoneal dimana terapi yang cukup untuk SBP dan SP sering tidak disertai
dengan patologi organ dalam. Pasien dengan peritonitis terseir biasanya terjadi
dengan abses atau dahak, dengan atau tanpa fistulization. Peritonitis berkembang
lebih sering pada pasien dengan adanya kondisi comorbid yang signifikan dan
terjadi juga pada pasien immunocompromised. Meskipun jarang terjadi pada
infeksi peritoneal tanpa komplikasi, kejadian peritonitis tersier pada pasien yang
membutuhkan perawatan ACU untuk beberapa infeksi sekunder mungkin sekitar
50-74%.
Pasien yang berkembang menjadi peritonitis tersier secara signifikan
membutuhkan perawatan ICU, banyak organ yang mengalami disfungsi, dan laju
kematian sekitar 50-70%. Organisme yang resisten dan luar biasa (seperti spesies
Enterococcus, Candida, Staphylococcus, Enterobacter, and Pseudomonas)
ditemukan pada peritonitis tersier. Kebanyakn pasien dengan peritonitis terseier
berkembang menjadi abses yang kompleks. Terapi antibitotik kurang efektif
diberikan pada peritonitis tersier dibandingkan dengan bentuk peritonitis yang
lain.
Selain tiga bentuk di atas, terdapat pula bentuk peritonitis lain, yakni
peritonitis steril atau kimiawi. Peritonitis ini dapat terjadi karena iritasi bahan-
bahan kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan substansi kimia lain atau
proses inflamasi transmural dari organ-organ dalam (mis. Penyakit Crohn) tanpa
adanya inokulasi bakteri di rongga abdomen. Tanda dan gejala klinis serta metode
diagnostik dan pendekatan ke pasien peritonitis steril tidak berbeda dengan
peritonitis infektif lainnya.

BAB III
HUBUNGAN PERITONITIS DAN ABSES

Tanda-tanda dan gejala yang mengikuti tumpahan isi usus yang akut ke
dalam abdomen cenderung mengalami 2 fase. Fase pertama adalah stadium
peritonitis, dengan nyeri akut yang berkaitan dengan infeksi E coli dan bakteri
anaerob fakultatif lainnya; ini terjadi selama 1-2 hari pertama dan jika tidak
diobati mengakibatkan angka kematian yang tinggi. Tahap kedua adalah
pembentukan abses yang disebabkan oleh B fragilis dan bakteri anaerob obligat
lainnya. Jadi abses merupakan tahapan selanjutnya dari peritonitis.

III.1 Pengobatan Peritonitis dan Abses


Tiga cara utama yang dilakukan untuk perawatan dari infeksi/peradangan
intra-abdominal adalah promp drainage, mendukung fungsi-fungsi penting, dan
pemilihan anti mikroba yang sesuai untuk infeksi/peradangan tidak yang hilang
oleh perawatan.

Terapi Peritoniotis dan Abses Nonfarmakologi


Peritonitis sekunder membutuhkan operasi correction of the underlying
pathology. Drainase material yang purulent baik secara operasi maupun
disedot melalui subkutan, merupakan element yang paling penting dalam
penanganan abses intra-abdominal.
Manajemen dan Aggressive fluid repletion dibutuhkan untuk mempartahankan
dan mengotrol volume intravascular, output urin yang adekuat dan
menghentikan asidosis.
Pada beberapa jam di awal terapi, perlu ditambahkan sejumlah besar infuse
sebesar 1 L/jam selama beberapa jam untuk mengembalikan volume
intramuskular dan kesesimbangan cairan.
Pada pasien yang kehilangan darah cukup banyak (hematokrit > 25%), perlu
ditransfusikan darah yang berisi sel darah merah

Terapi Farmakologi Peritonitis dan Abses Farmakologi


Tujuan terapi antimikroba adalah untuk mengontrol jumlah bakteri dan
mencegah perkembangan infeksi, mengurangi komplikasi akibat kontaminasi
bakteri serta mencegah penyebaran infeksi.
Satu antimikroba harus dipilih ketika dicurigai adanya infeksi/peradangan
intra-abdominal yang mungkin disebabkan oleh mikroba patogen-patogen
yang beragam.
Untuk peritonitis primer atau spontaneous bacterial peritonitis (SBP), bisa
dimulai dengan pemberian sefalosporin generasi ketiga. Setelah itu, pemberian
antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur. Untuk pasien dengan penyakit hati
kronis, penggunaan aminoglikosida sebaiknya dihindari karena berisiko
nefrotoksisitas. Pada SBP, durasi terapi yang optimal belum diketahui, tapi
biasanya direkomendasikan sekitar 10 hari. Meski demikian, sebuah studi
terbaru menunjukkan, pemberian antibiotik selama 5 hari sudah mencukupi
untuk sebagian besar kasus, tapi dengan catatan penurunan peritoneal fluid
WBC hingga 250 cells/L
Sementara untuk peritonitis sekunder dan tersier, terapi antibiotik sistemik
merupakan terapi utama kedua. Pemberian terapi antibiotik sistemik awal
(praoperatif) bisa menurunkan secara signifikan konsentrasi dan tingkat
pertumbuhan bakteri patogen dalam cairan peritoneal. Namun beberapa studi
menunjukkan, pemberian antibiotik tidak begitu efektif lagi, bila diberikan
pada infeksi tahap akhir. Oleh karena itu, antibiotik harus diberikan sesegera
mungkin saat diagnosis mengarah pada infeksi peritonitis. Terapi awal untuk
peritonitis sekunder terutama adalah antibiotik yang melawan organisme gram
negatif (seperti E coli dan spesies Enterobacteriaceae) dan bakteri anaerob
(seperti B fragilis).
Pada infeksi yang didapat dari komunitas, pemberian sefalosporin generasi
dua atau tiga atau kuinolon. Dengan atau tanpa metronidazole bisa mengatasi
infeksi secara adekuat. Golongan penisilin yang berspektrum luas dengan
aktivitas anaerob (ampicillin/sulbactam) atau kuinolon yang lebih baru
(trovafloxacin, clinafloxacin) juga menunjukkan efek yang baik. Sedangkan
untuk kasus infeksi intra-abdominal parah dan didapat dari rumah sakit
(nosokomial), pemberian imipenem, piperacillin/tazobactam, dan kombinasi
dari aminoglikosida dan metromidazole seringkali efektif mengatasi infeksi
peritonitis.
Untuk kasus-kasus infeksi persisten (peritonitis tersier) dan sakit kritis yang
lama terkadang dibutuhkan tindakan lain untuk eradikasi kuman. Salah
satunya adalah dengan pengambilan cairan peritoneal dan atau abscess
cultures. Langkah ini sangat penting dilakukan dan cukup membantu untuk
mengatasi organisme yang tidak biasa seperti jamur dan organisme yang
resisten ( Enterococcus, Staphylococcus, Pseudomonas, resistant Bacteroides,
dan spesies Candida). Kehadiran organisme tak biasa ini diduga karena
kondisi sebelum peritonitis, imunokompetensi, terapi penekanan asam
lambung, dan penggunaan antibiotik yang belum begitu lama, yang akhirnya
bisa mempengaruhi spektrum mikroorganisme.
Pemberian antibiotik pada peritonitis bisa dilakukan secara tunggal maupun
kombinasi. Menurut hasil sebagian besar studi, terapi antibiotik tunggal sama
efektif dengan terapi kombinasi pada infeksi abdominal sedang sampai berat

Individualiasasi Lama Terapi


Agar memperoleh hasil terapi yang optimal, maka lama pemberian
antibiotik yang optimal harus diindividualisasikan dan tergantung pada patologi
yang mendasari,keparahan infeksi, kecepatan dan keefektifan kontrol sumber
infeksi, dan respon pasien terhadap terapi. Pada uncomplicated peritonitis dengan
kontrol awal sumber infeksi yang adekuat, pemberian 5-7 hari sudah cukup untuk
sebagian besar kasus. Sedangkan pada kasus ringan semisal early appendicitis,
cholecystitis, pemberian terapi lebih dari 24-72 jam pasca operasi.
Terapi antibiotik harus diberikan untuk jangka panjang pada pasien infeksi
peritonitis persisten yang kompleks. Pada kasus ini, lama seseorang mendapat
terapi bervariasi dan sering dikaitkan dengan tanda proses inflamasi (panas badan
berkurang selama 24-48 jam, nilai WBC kembali pada range normal). Satu hal
penting yang harus dilakukan adalah, upaya untuk terus mencari dan mengobati
dengan agresif semua sumber ekstraperitoneal baru dan sumber intra abdominal
menetap.
Pencegahan
Cara mencegah utamanya adalah menghindari semua penyebabnya,baik
penyebab utama maupun penyebab sekundernya.
Mengurangi minum alkohol dan obat yang dapat menyebabkan sirosis. Karena
sirosis dapat menimbulkan PBS (Peritonial Bakteri Spontan)
Menghindari appendicitis dan diverticulitis dengan memakan banyak serat
dan makan-makanan yang bersih
Menghindari salpingitis dengan cara berhubungan badan yang sehat sehingga
terhindar dari penyakit-penyakit kelamin yang akan menimbulkan salpingitis.
Jangan menahan-nahan untuk buang air, karena padatnya feses dapat
menyebabkan appendicitis dan diverticulitis.
Menghindari peritonitis dan abses yang disebabkan pasca operasi dengan
memakai alat-alat operasi yang bersih dan aseptis, tidak meninggalkan sisa
pada operasi, dll.
DAFTAR PUSTAKA

Boyd, Robert F. dan J. Joseph Marr. 1980. Medical Microbiology, first edition.
Boston, USA: Little, Brown and Company (Inc.).
DiPiro, Joseph T., Robert L.Talbert, Gary C. Yee, et al. 2005. Pharmacotherapy:
A PAthophysiologic Approach, sixth edition. New York, USA: McGraw-
Hill Medical Publishing Division.
Peralta, Ruben. Peritonitis and Abdominal Sepsis, Agustus 2006. 30 April 2009
15:40: http://emedicine.medscape.com/article/192329-overview
Rhodes, George K. dan John Fernald. 1934. Peritonitis and Drainage A
Pathological and Clinical Study. California.
Wells, Barbara G, dkk. 2006. Pharmacotherapy Handbook Sixth Edition. USA:
McGraw-Hill

http://ilmukedokteran.net
http://medicastore.com
http://tbmcalcaneus.org
http://www.conectique.com
http://www.kalbe.co.id
http://www.majalah-farmacia.com
http://www.mamashealth.com
www.klinikindonesia.com
www.warmasif.co.id

Anda mungkin juga menyukai