PENDAHULUAN
LAPORAN KASUS
II.2 ANAMNESIS
E. Riwayat Pengobatan
Riwayat Pengobatan : Pasien sudah pernah berobat 2 minggu yang lalu di
klinik dokter umum, diberikan obat minum cetrizine dan prednisolone
serta kompres NaCl dan perban salep atrauman. Pasien merasa keluhan
membaik, namun karena obat habis pasien datang ke poliklinik kulit di
RST dr. Soedjono.
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 4 Januari 2017 pukul 11.20 WIB
STATUS GENERALIS
a. Keadaan Umum : baik
b. Kesadaran : Kompos mentis
GCS : 15 (E4, V5, M6)
c. Vital Sign : TD : 110/80 mmHg
N : 80 x/m, irama reguler, isi cukup
R : 22 x/m
S : 36,50C
d. Status gizi : Kesan gizi cukup
e. Kulit
Warna : Sawo matang
Sianosis : Tidak ada
Ptekie : tidak ada
f. Kepala : bentuk normocepal, rambut warna hitam, lebat, distribusi
merata, tidak mudah dicabut, ketombe (-)
g. Mata : CA -/-, SI -/-, isokor 3mm/3mm
h. Telinga : Bentuk normal, simetris, inflamasi (-), sekret minimal.
i. Hidung : Simetris, deviasi (-), sekret (-)
j. Mulut : Bentuk normal, mukosa tidak hiperemis
k. Lidah : Tidak pucat, tidak kotor, warna merah muda
l. Tonsil : Tidak ada pembesaran
m. Faring : Tidak hiperemis
n. Leher : Tidak ada pembesaran KGB
o. Thorak : tidak dilakukan
p. Abdomen : dalam batas normal
Inspeksi : Bentuk : Datar
Umbilicus : Ditengah, inflamasi (-)
Massa (-)
q. Ekstremitas
Akral : hangat
CRT : < 2 dtk
Sianosis : tidak ada
Edema : (-/-)
r. Kelamin : tidak dilakukan
STATUS DERMATOLOGI
Inspeksi :
a. Lokasi : daerah tepat di puting susu kanan dan di bawah samping
kanan puting susu
b. Efloresensi : Plak eritem berskuama 2 buah dan lesi ekskoriasi di
sekitar puting susu, distribusi regional
c. Diameter : Plak eritem di puting susu 3 cm, di bawah puting susu
2 cm
Palpasi : Suhu sama dengan kulit sekitar, permukaan tidak rata, nyeri (-)
II.8 PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
1. Kortikosteroid topikal
Inerson oinment 3x sehari
2. Oral sistemik
- Antihistamin: Loratadine 1 x 10mg/hari
- Kortikosteroid : Metilprednisolone 2x sehari
Non-medikamentosa :
Hindari semua faktor luar yang mungkin menimbulkan manifestasi klinis
II.9 PROGNOSIS
BAB III
PEMBAHASAN
Pada pasien ini didiagnosis sebagai dermatitis atopik (DA) didasarkan atas
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan. Dari anamnesis
didapatkan bahwa keluhan utama pasien adalah gatal-gatal pada bagian sekitar
puting susu kanan sudah sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan gatal pertama muncul
saat pasien pulang dari bekerja, saat itu pasien merasa gerah karena cuaca panas
dan merasa gatal pada puting susu kanannya, kemudian oleh pasien di garuk. Lesi
kulit yang ditemukan pada pasien berupa plak eritema berbentuk oval berjumlah
dua buah dengan diameter 3 cm dan 2 cm dan berskuama. Awalnya lesi hanya
berupa lecet-lecet namun karena terus digaruk selama sebulan ini sekarang lesi
melebar. Dari keluhan gatal dan ujud kelainan kulit berupa lesi plak eritematous
berskuama dan dengan predileksi di badan dapat dipikirkan hipotesis penyakit
kulit diantaranya dermatitis atopik, dermatitis kontak alergik, dermatitis kontak
iritan, dermatitis seboroik, dermatitis numularis dan skabies.
Lesi kulit yang ditemukan pada pasien berupa plak eritema berbentuk oval
dan berskuama. Lesi skuama yang tidak kuning berminyak melemahkan hipotesis
dermatitis seboroik ditambah dengan tidak ada riwayat ketombe pada pasien ini
yang mana adalah tanda awal manifestasi dermatitis seboroik. Lesi kulit pada
pasien ini sesuai dengan bentuk lesi yang sering ditemukan pada DA dewasa yaitu
berupa plak papular-eritematosa dan berskuama. Selain itu juga pada DA dapat
ditemukan adanya lesi ekskoriasi dan eksudasi akibat adanya garukan seperti yang
juga ditemukan pada pasien ini. Pasien mengatakan setelah menggaruk di tempat
gatal, lesinya mengeluarkan cairan bening. Predileksi lesi yaitu di puting susu
serupa dengan predileksi dari dermatitis atopik yang terjadi pada dewasa, yaitu
salah satunya puting susu. Dikatakan bahwa pada DA dewasa, distribusi lesi
kurang karakteristik, yaitu sering mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat
pula ditemukan setempat misalnya di bibir, vulva, puting susu atau skalp.
Keluhan gatal pada pasien memberat pada malam hari seperti dikatakan
pada teori bahwa pada DA dewasa lesi sangat gatal terutama pada malam hari
waktu beristirahat. Hal ini memperkuat hipotesis dermatitis atopik begitupula
pada skabies. Keluhan pasien memberat jika berkeringat saat cuaca panas, hal ini
menunjukkan terdapat factor eksogen yang berperan sebagai allergen yang
mencetuskan keluhan dermatitis atopic. Hal ini seperti yang dipaparkan oleh
pasien bahwa awal mula keluhan gatal yaitu saat setelah pasien pulang dari
bekerja, saat itu cuaca panas, pasien merasa gerah dan muncul rasa gatal pada
puting susu kanan pasien. Hal ini memperkuat hipotesis dermatitis atopik.
Faktor endogen yang berperan, meliputi faktor genetik, hipersensitivitas
akibat peningkatan kadar immunoglobulin (Ig)E total dan spesifik, kondisi kulit
yang relatif kering (disfungsi sawar kulit), dan gangguan psikis. Pasien tidak
memiliki riwayat penyakit asma, alergi makanan atau obat-obatan sebelumnya,
dan belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Namun, pasien
mengatakan sering sakit flu (rinithis alergi) dan di keluarga yaitu nenek pasien
memiliki riwayat asma. Hal ini merupakan faktor endogen yang berperan
terjadinya DA pada pasien. Adanya riwayat atopi di keluarga pasien menjadi
faktor endogen pada dermatitis atopik. Pada kondisi atopi terjadi keadaan
hipersensitivitas terhadap faktor eksogen dan dapat dibuktikan dengan adanya zat
yang bereaksi di dalam serum, yang dikenal sebagai atopic regain (IgE). Hal ini
semakin memperkuat diagnosis penyakit kulit yang diderita pasien ke arah
dermatitis atopik.
Riwayat pribadi dan sosial pasien, pasien tinggal serumah berisi 4 orang
yaitu bersama ibu, nenek dan istrinya. Pasien mengatakan bahwa di keluarga
maupun tetangga dan juga teman kantor tidak ada yang mengalami keluhan gatal
serupa. Hal ini dapat melemahkan hipotesis ke arah skabies.
Kriteria Minor
- Xerosis
- Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus dan virus H. simpleks)
- Dermatitis non spesifik pada tangan dan kaki
- Iktiosis/hiperlinearis palmaris/keratosis pilaris
- Pitiriasis alba
- Dermatitis di papila mammae (+)
- White dermatografism dan delayed blanched response
- Keilitis
- Lipatan infra orbital Dennie Morgan
- Konjungtivitis berulang
- Keratokonus
- Katarak subkapsular anterior
- Orbita menjadi gelap
- Muka pucat dan eritema
- Gatal bila berkeringat (+)
- Intolerans perifolikular
- Hipersensitif terhadap makanan
- Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau emosi (+)
- Tes alergi kulit tipe dadakan positif
- Kadar IgE dalam serum meningkat
- Awitan pada usia dini
Pada pasien ini didapatkan 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor, maka
pasien didignosis dengan dermatitis atopic.
Beberapa peneliti menyebutkan alergen yang umum antara lain, sebagai berikut:
1. Aeroalergen atau alergen inhalant : tungau debu rumah (house dust mite),
serbuk sari buah (polen), bulu binatang (animal dander), jamur (molds) dan kecoa
2. Makanan : susu, telur, kacang, ikan laut, kerang laut dan gandum
3. Mikroorganisme : bakteri seperti staphylococcus aureus, streptococcus species,
dan ragi (yeast) seperti pityrosporum ovale, candida albicans dan trichophyton
species.
4. Bahan iritan atau alergen : wool, desinfektans, nikel, Peru balsam dan
sebagainya.
Mekanisme beberapa factor yang dapat menyebabkan keluhan pada pasien ini
antara lain:
1. Faktor Genetik
DA adalah penyakit dalam keluarga dimana pengaruh maternal sangat besar.
Walaupun banyak gen yang nampaknya terkait dengan penyakit alergi, tetapi yang
paling menarik adalah peran Kromosom 5 q31 33 karena mengandung gen
penyandi IL3, IL4, IL13 dan GM CSF (granulocyte macrophage colony
stimulating factor) yang diproduksi oleh sel Th2. Pada ekspresi DA, ekspresi gen
IL-4 juga memainkan peranan penting.
Predisposisi DA dipengaruhi perbedaan genetik aktifitas transkripsi gen IL-4.
Dilaporkan adanya keterkaitan antara polimorfisme spesifik gen kimase sel mas
dengan DA tetapi tidak dengan asma bronchial ataupun rinitif alergik. Serine
protease yang diproduksi sel mas kulit mempunyai efek terhadap organ spesifik
dan berkontribusi pada resiko genetic DA
3. Respons sistemik
Perubahan sistemik pada DA adalah sebagai berikut :
- Sintesis IgE meningkat.
- IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat.
- Ekspresi CD23 pada sel B dan monosit meningkat.
- Respons hipersensitivitas lambat terganggu
- Eosinofilia
- Sekresi IL-4, IL-5 dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat
- Sekresi IFN- oleh sel TH1 menurun
- Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat.
- Kadar CAMP-Phosphodiesterase monosit meningkat disertai peningkatan
IL-13dan PGE2
4. Sawar kulit
Umumnya penderita DA mengalami kekeringan kulit. Hal ini diduga
terjadi akibat kadar lipid epidermis yang menurun, trans epidermal water loss
meningkat, skin capacitance (kemampuan stratum korneum meningkat air)
menurun. Kekeringan kulit ini mengakibatkan ambang rangsang gatal menjadi
relatif rendah dan menimbulkan sensasi untuk menggaruk. Garukan ini
menyebabkan kerusakan sawar kulit sehingga memudahkan mikroorganisme dan
bahan iritan/alergen lain untuk melalui kulit dengan segala akibat-akibatnya.
5. Faktor lingkungan
Peran lingkungan terhadap tercetusnya DA tidak dapat dianggap remeh. Alergi
makanan lebih sering terjadi pada anak usia <5 tahun. Jenis makanan yang
menyebabkan alergi pada bayi dan anak kecil umumnya susu dan telur, sedangkan
pada dewasa sea food dan kacang-kacangan.
Tungau debu rumah (TDR) serta serbuk sari merupakan alergen hirup yang
berkaitan erat dengan asma bronkiale pada atopi dapat menjadi faktor pencetus
DA. 95% penderita DA mempunyai IgE spesifik terhadap TDR. Derajat
sensitisasi terhadap aeroalergen berhubungan langsung dengan tingkat keparahan
DA.
Suhu dan kelembaban udara juga merupakan faktor pencetus DA, suhu udara
yang terlampau panas/dingin, keringat dan perubahan udara tiba-tiba dapat
menjadi masalah bagi penderita DA.
Hubungan psikis dan penyakit DA dapat timbal balik. Penyakit yang kronik
residif dapat mengakibatkan gangguan emosi. Sebaliknya stres akan merangsang
pengeluaran substansi tertentu melalui jalur imunoendokrinologi yang
menimbulkan rasa gatal.
Kerusakan sawar kulit akan mengakibatkan lebih mudahnya mikroorganisme
dan bahan iritan (seperti sabun, detergen, antiseptik, pemutih, pengawet)
memasuki kulit.
1. Kortikosteroid topikal
Inerson oinment 3x sehari
2. Oral sistemik
- Antihistamin: Loratadine 1 x 10mg/hari
- Kortikosteroid : Metilprednisolone 2x sehari
Hidrasi kulit
Dengan melembabkan kulit, diharapkan sawar kulit menjadi lebih
baik dan penderita tidak menggaruk dan lebih impermeabel
terhadap mikroorganisme/bahan iritan. Berbagai jenis pelembab
dapat dipakai antara lain krim hidrofilik urea 10%,
pelembabnyang mengandung asam laktat dengan konsentrasi
kurang dari 5%. Pemakaian pelembabbeberapa kali sehari,
setelah mandi.
Kortikosteroid topical
Kortikosteroid topical bertujuan untuk mengendalikan
eksaserbasi inflamasi akut. Walau steroid topikal sering diberi
pada pengobatan DA, tetapi harus berhati-hatikarena efek
sampingnya yang cukup banyak. Kortikosteroid potensi rendah
diberi pada bayi, daerah intertriginosa dan daerah genitalia.
Kortikosteroid potensi menengah dapat diberi pada anak dan
dewasa. Bila aktifitas penyakit telah terkontrol. Kortikosteroid
diaplikasikan intermiten, umumnya dua kali seminggu.
Antihistamin
Diberi untuk mengurangi rasa gatal. Dalam memilih anti
histamin harus diperhatikan berbagai hal seperti penyakit-
penyakit sistemik, aktifitas penderita dll. Antihistamin yang
mempunyai efek sedatif sebaiknya tidak diberikan pada
penderita dengan aktifitas disiang hari (seperti supir) . Pada
kasus sulit dapat diberi doxepin hidroklorid 10- 75 mg/oral/2 x
sehari yang mempunyai efek anti depresan dan blokade reseptor
histamine H1 dan H2.
TINJAUAN PUSTAKA
IV.1 Definisi
Dermatitis atopik (DA) adalah keadaan peradangan kulit kronis dan
residif, disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-
anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat
atopi pada keluarga atau penderita (dermatitis atopi, rhinitis alergika, asma
bronkhiale, dan konjungtivitis alergika).
Kata atopi pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah
yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai
kepekaan dalam keluarganya. Misalnya : asma bronchial, rhinitis alergika,
dermatitis atopi, dan konjungtivitis alergika. (Djuanda, 2011)
IV.2 Sinonim
Banyak istilah dermatitis atopik lain yang digunakan, misalnya : ekzema
konstitusional, fleksural eczema, disseminated neurodermatitis, prurigo basiler1.
IV.3 Epidemiologi
Oleh karena definisi secara klinis tidak ada yang tepat maka untuk
menginterpretasikan hasil penelitian epidemiologi harus berhati-hati. Berbagai
penelitian menyatakan bahwa prevalensi DA makin meningkat sehingga
merupakan masalah kesehatan besar. Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia
dan Negara industri lain, prevalensi DA pada anak mencapai 10-20%, sedangkan
1-3 % terjadi di negara agraris, misalnya Cina, Eropa Timur, Asia Tengah,
prevalensi DA jauh lebih rendah. Wanita lebih banyak m enderita DA daripada
pria dengan rasio 1,3:1. Berbagai faktor lingkungan berpengaruh terhadap
prevalensi DA misalnya jumlah keluarga kecil, pendidikan ibu makin tinggi,
penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan meningkatnya
penggunakan antibiotik, berpotensi menaikan jumlah penderita DA. Sedangkan
rumah yang berpenghuni banyak, meningkatnya jumlah keluarga, urutan lahir
makin belakang, sering mengalami infeksi sewaktu kecil, akan melindungi
kemungkinan timbul DA pada kemudian hari.
DA cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu
yang menderita atopi akan mengalami DA pada masa kehidupan tiga bula
pertama. Bila salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari seperuh jumlah anak
akna mengalami gejala alergi sampai usia dua tahun, dan meningkat sampai 79%
bila kedua orang tua menderita atopi. Resiko mewarisi DA lebih tinggi bila ibu
yang menderita DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi, bila DA yang dialami
berlanjut hingga masa dewasa, ,maka resiko untuk mewariskan untuk anaknya
sama saja yaitukira-kira 50%. (Djuanda, 2011)
IV.4 Etiopatogenesis
Respons Imun Pada Kulit
Sitokin TH2 dan TH1 berperan dalam patogenesis peradangan kulit
pada DA. Jumlah TH2 lebih banyak pada penderita atopi, sebaliknya TH1
menurun. Pada kulit 'normal' (tidak ada kelainan kulitnya) penderita DA.
bila dibandingkan dengan kulit normal orang yang bukan penderita DA.,
ditemukan lebih banyak sel-sel yang mengekspresikan mRNA IL-4 dan
IL-13, tetapi bukan IL-5, IL-12, atau IFN-y. Pada lesi akut dan kronis bila
dibandingkan dengan kulit normal atau kulit yang tidak ada lesinya
penderita DA., menunjukkan jumlah yang lebih besar sel-sel yang
mengekspresikan mRNA IL-4, IL-5, dan IL-13. Tetapi pada lesi akut tidak
banyak mengandung sel yang mengekspresikan mRA IFN-y atau IL-12.
Lesi kronis DA. mengandung sangat sedikit sel yang mengekspresikan
mRNA IL-4 dan IL-13, tetapi jumlah sel yang mengekpresikan mRNA IL-
5, GM-CSF,IL-12, dan IFN-y, meningkat bila dibandingkan dengan yang
akut. Peningkatan IL-12 pada lesi kronis DA. berperan dalam
perkembangan TH1.
Sel T yang teraktivasi di kulit juga akan menginduksi apoptosis
keratinosit, sehingga terjadi spongiosis. Proses ini diperantarai oleh IFN-y
yang dilepaskan sel T teraktivasi dan meningkatkan Fas dalam keratinosit.
Berbagai kemokin ditemukan pada lesi kulit DA. yang dapat
menarik sel-sel, misalnya eosinofil, limfosit T, dan monosit, masuk ke
dalam kulit.
Pada DA. kronis, ekspresi IL-5 akan mempertahankan eosinofil
hidup lebih lama dan menggiatkan fungsinya, sedangkan peningkatan
ekspresi GM-SCF mempertahankan hidup dan fungsi monosit, sel
Langerhans, dan eosinofil. Produksi TNF-a dan IFN-y pada DA. memicu
kronisitas dan keparahan dermatitis. Stimulasi TNF-a dan IFN-y pada
keritinosit epidermal akan meningkatkan jumlah RANTES (regulated on
activation, normal T cell expressed and secreted). Garukan kronis dapat
menginduksi terlepasnya TNF-a dan sitokin proinflamasi yang lain dari
epidermis, sehingga mempercepat timbulnya peradangan di kulit DA.
IL-4 meningkatkan perkembangan TH2, sedangkan IL-12 yang
diproduksi oleh makrofag, sel berdendrit,atau eosinofil, menginduksi TH1.
Subunit reseptor IL-12RP2 diekpresi pada TH1 tidak pada TH2.
Sedangkan ekspresi IL-12RP2 dihambat oleh IL-4, tetapi sebaliknya
diinduksi oleh IL-12, IFN-a, dan IFN-y. IL-4 juga menghambat produksi
IFN-y dan menekan deferensiasi sel TH1. Sel mas dan basofil juga
merupakan sumber sitokin tipe TH2, sehingga ekspresi IL-4 oleh sel T, sel
mas/basofilpada DA. akan merangsang perkembangan sel TH2.
Sel mononuklear penderita DA. meningkatkan aktivitas enzim
cyclic-adenosine monophosphate (CAMP) phosphodiesterase (PDE),
yang akan meningkatkan sintesis IgE oleh sel B dan produksi IL-4 oleh sel
T. Produksi IgE dan IL-4 secara in vitro dapat diturunkan oleh penghambat
PDE (PDEinhibitor). Sekresi IL-10 dan PGE2 dari monosit juga
meningkat; kedua produk ini menghambat IFN-y yang dihasilkan oleh sel
T.
Sel Langerhans (SL) pada kulit penderita DA. adalah abnormal,
dapat secara langsung menstimulasi sel TH tanpa adanya antigen; secara
selektif dapat mengaktivasi sel TH menjadi fenotip TH2. SL yang
mengandung IgE meningkat;sel ini mampu mempresentasikan alergen
tungau debu rumah (D. pteronyssinus) kepada sel T. SL yang mengandung
IgE setelah menangkap allergen akan mengaktifkan sel TH2 memori di
kulit atopi, juga bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat untuk
menstimulasi sel T nai've sehingga jumlah sel TH2 bertambah banyak.
SL pada kulit normal mempunyai tiga macam reseptor untuk IgE,
yaitu FceRII, FceRII (CD23), dan IgE-binding protein. Reseptor FceRI
mempunyai afinitas kuat untuk mengikat IgE. IgE terikat pada SL melalui
reseptor spesifik FceRI pada permukaan SL. Pada orang normal dan
penderita alergi saluran napas kadar ekpresi FceRI di permukaan SLnya
rendah, sedangkan di lesi ekzematosa DA. tinggi. Ada korelasi antara
ekspresi permukaan FceRI dan kadar IgE dalam serum. Selain pada SL,
reseptor IgE dengan afinitas tinggi (FceRI) juga ditemukan pada
permukaan sel mas dan monosit.
Kadar seramid pada kulit penderita DA. berkurang sehingga
kehilangan air (transepidermal water loss=TEWL) melalui epidermis
dipermudah. Hal ini mempercepat absorbsi antigen ke dalam kulit.
Sebagaimana diketahui bahwa sensitisasi epikutan terhadap alergen
menimbulkan respons TH2 yang lebih tinggi daripada melalui sistemik
atau jalan udara, maka kulit yang terganggu fungsi sawarnya merupakan
tempat yang sensitif. (Djuanda, 2011)
Respons Sistemik
Jumlah IFN-y yang dihasilkan oleh sel mononuklear darah tepi
penderita DA. menurun, sedangkan konsentrasi IgE dalam serum me-
ningkat. IFN-y menghambat sintesis IgE, proliferasi sel TH2 dan ekspresi
reseptor IL-4 pada sel T. Sel T spesifik untuk alergen di darah tepi
meningkat dan memproduksi IL-4, IL-5, IL-13 dan sedikit IFN-y. IL-4 dan
IL-13 merupakan sitokin yang menginduksi transkripsi pada ekson C
sehingga terjadi pembentukan IgE. IL-4 dan IL-13 juga menginduksi
ekspresi molekul adesi permukaan pembuluh darah, misalnya VCAM-1
(vascular cell adhesion molecular-1), infiltrasi eosinofil, dan menurunkan
fungsi sel TH1.
Sel monosit di darah tepi penderita DA. diaktivasi, mempunyai
insidens apoptosis spontan rendah, tidak responsif terhadap induksi
apoptosis IL-4. Hambatan apoptosis ini disebabkan oleh meningkatnya
produksi GM-CSF oleh monosit yang beredar pada DA.
Perubahan sistemik pada DA. adalah sebagai berikut:
- Sintesis IgE meningkat.
- IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat, termasuk terhadap
makanan, aeroalergen, mikroorganisme, toksin bakteri, dan auto-
alergen.
- Ekspresi CD23 (reseptor IgE berafinitas rendah) pada sel B dan
monosit meningkat.
- Pelepasan histamin dari basofil meningkat.
- Respons hipersensitivitas lambat terganggu.
- Eosinofilia.
- Sekresi IL-4, IL-5, dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat.
- Sekresi IFN-y oleh sel TH1 menurun.
- Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat.
- Kadar CAMP-phosphodiesterase monosit meningkat, disertai
peningkatan IL-10 dan PGE21.
IV.6 Diagnosis
Diagnosis DA. didasarkan kriteria yang disusun oleh Hanifin dan
Rajka yang diperbaiki oleh kelompok kerja dari Inggris yang dikoordinasi
oleh Williams (1994). (Djuanda, 2011)
Kriteria mayor
- Pruritus
- Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak
- Dermatitis di fleksura pada dewasa
- Dermatitis kronis atau residif
- Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya
Gambar 1. Dermatitis pada muka dan fleksura
Kriteria minor
- Xerosis
- Infeksi kulit (khususnya oleh S.aureus dan virus herpes simpleks)
- Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki
- lktiosis/hipediniar palmads/keratosis pilaris
- Pitiriasis alba
- Dermatitis di papila mame
- White dermographism dan delayed blanch response
- Keilitis
- Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
- Konjungtivitis berulang
- Keratokonus
- Katarak subkapsular anterior
- Orbita menjadi gelap
- Muka pucat atau eritem
- Gatal bila berkeringat
- Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
- Aksentuasi perifolikular
- Hipersensitif terhadap makanan
- Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi
- Tes kulit alergi tipe dadakan positif
- Kadar IgE di dalam serum meningkat
- Awitan pada usia dini1.
Diagnosis DA. harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor.
Untuk bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu:
Tiga kriteria mayor berupa:
- riwayat atopi pada keluarga,
- dermatitis di muka atau ekstensor,
- pruritus,
ditambah tiga kriteria minor
- xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris, aksentuasi perifolikular,
- fisura belakang telinga,
- skuama di skalp kronis.
Kriteria major dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka
didasarkan pengalaman klinis. Kriteria ini cocok untuk diagnosis penelitian
berbasis rumah sakit (hospital based) dan eksperimental, tetapi tidak dapat
dipakai pada penelitian berbasis populasi, karena kriteria minor umumnya
ditemukan pula pada kelompok kontrol, di samping juga belum divalidasi
terhadap diagnosis dokter atau diuji untuk pengulangan (repeatability). Oleh
karena itu kelompok kerja Inggris (UK working party) yang dikoordinasi oleh
William memperbaiki dan meyederhanakan kriteria Hanifin dan Rajka menjadi
satu set kriteria untuk pedoman diagnosis DA. yang dapat diulang dan divalidasi.
Pedoman ini sahih untuk orang dewasa, anak, berbagai ras, dan sudah divalidasi
dalam populasi, sehingga dapat membantu dokter Puskesmas membuat diagnosis1.
Pedoman diagnosis DA. yang diusulkan oleh kelompok tersebut yaitu:
- Harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau dari laporan orang
tuanya bahwa anaknya suka menggaruk atau menggosok.
- Ditambah 3 atau lebih kriteria berikut:
1 Riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipat siku, belakang lutut,
bagian depan pergelangan kaki atau sekeliling leher (termasuk pipi anak
usia di bawah 10 tahun).
2 Riwayat asma bronkial atau hay fever pada penderita (atau riwayat
penyakit atopi pada keluarga tingkat pertama dari anak di bawah 4 tahun).
3 Riwayat kulit kedng secara umum pada tahun terakhir.
4 Adanya dermatitis yang tampak di lipatan (atau dermatitis pada pipi/dahi
dan anggota badan bagian luar anak di bawah 4 tahun).
5 Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak di bawah 4
tahun).
Pengobatan Topikal
Hidrasi kulit. Kulit penderita DA. kering dan fungsi sawarnya berkurang,
mudah retak sehingga mempermudah masuknya mikroorganisme patogen, bahan
iritan dan alergen. Pada kulit yang demikian perlu diberikan pelembab, misalnya
krim hidrofilik urea 10%; dapat pula ditambahkan hidrokortison 1% di dalamnya.
Bila memakai pelembab yang mengandung asam laktat, konsentrasinya jangan
lebih dari 5%, karena dapat mengiritasi bila dermatitisnya masih aktif. Setelah
mandi kulit dilap, kemudian memakai emolien agar kulit tetap lembab. Emolien
dipakai beberapa kali sehari, karena lama kerja maksimum 6 jam. (Djuanda, 2011)
Pasien disarankan Mandi yang sering dengan menambahkan minyak
pengemulsi (1L ditambahkan ke air mandi hangat) selama 5-10 menit dapat
melembabkan kulit. Minyak akan mempertahankan air pada kulit dan mencegah
penguapan. Dokter juga menyarankan pasien untuk memakai emolien seperti
petrolatum atau Aquaphor ke seluruh tubuh saat kulit masih basah, untuk
menyegel kelembaban dan memungkinkan air untuk diserap melalui stratum
korneum. Salep menyebar dengan baik pada kulit yang basah. Bahan aktif harus
diterapkan sebelum emolien. Emolien yang lebih baru seperti Atopiclair dan
Mimyx telah dianjurkan karena memiliki hasil yang lebih unggul, tetapi bahan
tersebut mahal dan perlu evaluasi lebih lanjut.(Kim, 2015)
Kortikosteroid topikal. Pengobatan DA. dengan kortikosteroid topikal
adalah yang paling sering digunakan sebagai anti-inflamasi lesi kulit. Namun
demikian harus waspada karena dapat terjadi efek samping yang tidak diinginkan.
Pada bayi digunakan salap steroid berpotensi rendah, misalnya
hidrokortison 1 %-1,5%. Pada anak dan dewasa dipakai steroid berpotensi
menengah, misalnya triamsinolon, kecuali pada muka digunakan steroid
berpotensi lebih rendah. Kortikosteroid berpotensi rendah juga dipakai di daerah
genitalia dan intertriginosa, jangan digunakan yang berpotensi kuat, misalnya
fluorinated glucocorticoid. Bila aktivitas penyakit telah terkontrol, dipakai secara
intermiten, umumnya 2 kali seminggu, untuk menjaga agar tidak cepat kambuh;
sebaiknya dengan kortikosteroid yang potensinya paling rendah.
Pada lesi akut yang basah dikompres dahulu sebelum digunakan steroid,
misalnya dengan larutan Burowi, atau dengan larutan permanganas kalikus
1:5000. (Djuanda, 2011)
Hasil studi dari Belanda oleh Haeck dkk. menunjukkan bahwa penggunaan
kortikosteroid topikal untuk dermatitis atopik pada kelopak mata dan daerah
periorbital aman, namun masih dalam pengawasan karena dapat menginduksi
glaukoma atau katarak. (Kim, 2015)
Sebagai rejimen perawatan, bubuk hidrokortison 1,25% dalam Asam
Mantle digunakan sebagai emolien berbasis steroid terbukti efektif dan aman
untuk waktu yang lebih lama (misalnya bulan) untuk mencegah kemerahan akut
dengan penambahan steroid-kelas yang lebih tinggi untuk mengobati kemerahan
akut secara cepat. (Kim, 2015)
Imunomodulator topikal
Takrolimus. Takrolimus (FK-506), suatu penghambat calcineurin, dapat
diberikan dalam bentuk salap 0,03% untuk anak usia 2-15 tahun; untuk dewasa
0,03% dan 0,1%. Takrolimus menghambat aktivasi sel yang terlibat dalam DA.
yaitu: sel Langerhans, sel T, sel mas, dan keratinosit. Pada pengobatan jangka
panjang dengan salep takrolimus, koloni S. aureus menurun. Tidak ditemukan
efek samping kecuali rasa seperti terbakar setempat. Tidak menyebabkan atrofi
kulit seperti pada pemakaian kortikosteroid; dapat digunakan di muka dan kelopak
mata. (Djuanda, 2011).
Pimekrolimus. Dikenal juga dengan ASM 81, suatu senyawa askomisin
yaitu imunomodulator golongan makrolaktam, yang pertama ditemukan dari hasil
fermentasi Streptomyces hygroscopicus var. ascomyceticus. Cara kerja sangat
mirip siklosporin dan takrolimus yang dihasilkan dari Streptomyces tsuku-baensis,
walaupun ketiganya berbeda dalam struktur kimianya, yaitu bekerja sebagai pro-
drug, yang baru menjadi aktif bila terikat pada reseptor sitosolik imunofilin.
Reseptor imunofilin untuk askomisin ialah makrofilin-12. Ikatan askomisin pada
makrofilin-12 dalam sitoplasma sel T, akan menghambat calcineurin (suatu
molekul yang dibutuhkan untuk inisiasi transkripsi gen sitokin), sehingga
produksi sitokin TH1 ( IFN-y dan IL-2) dan TH2 ( IL-4 dan IL-10) dihambat.
Askomisin juga menghambat aktivasi sel mas. Askomisin menghasilkan efek
imunomodulator lebih selektif dalam menghambat fase elisitasi dermatitis kontak
alergik, tetapi respons imun primer tidak terganggu bila diberikan secara sistemik,
tidak seperti takrolimus dan siklosporin. (Djuanda, 2011)
Derivat askomisin yang digunakan ialah krim SDZ ASM 981 konsentrasi
1%, mempunyai efektivitas sama dengan krim klobetasol-17- propionat 0.05%
(steroid superpoten), tidak menyebabkan atrofi kulit (setidaknya selama 4
minggu), aman pada anak dan dapat dipakai pada kulit sensitif misalnya pada
muka dan lipatan. Cara pemakaian dioleskan 2 kali sehari. (Djuanda, 2011)
Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari
2 tahun. Penderita yang diobati dengan pimekrolimus dan takrolimus dinasehati
untuk memakai pelindung matahari karena ada dugaan bahwa kedua obat tersebut
berpotensi menimbulkan kanker kulit. (Djuanda, 2011)
Sementara klaim ini sedang diselidiki lebih lanjut, obat hanya digunakan
jika terdapat indikasi yaitu untuk dermatitis atopik pada orang yang lebih dari 2 y
dan hanya jika terapi lini pertama gagal. terapi ini jauh lebih mahal daripada
kortikosteroid dan seharusnya hanya digunakan sebagai terapi lini kedua. (Kim,
2015)
Preparat ter. Preparat ter mempunyai efek antipruritus dan anti-inflamasi
pada kulit. Dipakai pada lesi kronis, jangan pada lesi akut. Sediaan dalam bentuk
salap hidrofilik, misainya yang mengandung likuor karbonis detergen 5% sampai
10 %, atau crude coal tar 1 % sampai 5%.(Djuanda, 2011)
Antihistamin. Pengobatan DA. dengan antihistamin topikal tidak
dianjurkan karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Dilaporkan
bahwa aplikasi topikal krim doksepin 5% dalam jangka pendek (satu minggu),
dapat mengurangi gatal tanpa terjadi sensitisasi. Tetapi perlu diperhatikan, bila
dipakai pada area yang luas akan menimbulkan efek samping sedatif. (Djuanda,
2011)
Pengobatan Sistemik
Pelembab, edukasi
IV.10 Komplikasi
Infeksi sekunder
IV.11 Prognosis
Sulit meramalkan prognosis DA. pada seseorang. Prognosis lebih buruk
bila kedua orang tuanya menderita DA. Ada kecenderungan perbaikan spontan
pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada masa remaja. Sebagian kasus
menetap pada usia di atas 30 tahun. Penyembuhan spontan DA. yang diderita
sejak bayi pernah dilaporkan terjadi setelah umur 5 tahun sebesar 40-60%,
terutama kalau penyakitnya ringan. Sebelumnya juga ada yang melaporkan bahwa
84% DA. anak berlangsung sampai masa remaja. Ada pula laporan, DA. pada
anak yang diikuti sejak bayi hingga remaja, 20% menghilang, dan 65 % berkurang
gejalanya. Lebih dari separo DA. remaja yang telah diobati kambuh kembali
setelah dewasa.
Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang balk DA. yaitu:
- DA luas pada anak
- menderita rinitis alergik dan asma bronkial
- riwayat DA. pada orang tua atau saudara kandung
- awitan (onset) DA. pada usia muda
- anak tunggal
- kadar igE serum sangat tinggi.
Diperkirakan 30 hingga 50 persen DA. infantil akan berkembang menjadi
asma bronkial atau hay fever. Penderita atopi mempunyai risiko menderita
dermatitis kontak iritan akibat kerja di tangan. (Djuanda, 2011)
BAB V
KESIMPULAN
Djuanda Adhi, dkk. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima.
Jakarta: FKUI.
Djuanda, S., dan Sri A., 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Lestari Titi, dkk. 2011. Panduan Pelayanan Medis Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin.
Natalia, dkk. 2011. Perkembangan Terkini pada Terapi Dermatitis Atopik, Artikel
Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan. J Indon Med Assoc,
Volum: 61, Nomor: 7, Jakarta: IDI.
Siregar, R. S., Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, Ed 2., EGC : Jakarta, 2008
James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews Diseases of the Skin Clinical
Dermatology. 10th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010.