Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Dermatitis atopik (D.A.) adalah keadaan peradangan pada kulit yang


bersifat kronis dan residif, disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama
masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE
dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau pasien(D.A, rinitis alergi, dan
atau asma bronkial). Kelainan kulit berupa papul gatal, yag kemudian mengalami
ekskoriasi dan likenifikasi, dan umumnya berdistribusi di lipatan (fleksural)
(Djuanda, Adhi dkk, 2007)

Dermatitis atopik (DA) merupakan masalah kesehatan masyarakat utama


di seluruh dunia dengan prevalensi pada anak-anak 10-20%, dan prevalensi pada
orang dewasa 1-3% (Williams et al, 1999 dalam Leung, et al., 2007; Schultz dan
Hanifin, 2002 dalam Leung dan Bieber, 2003). Dermatitis atopik lebih sering
terjadi pada wanita daripada laki-laki dengan ratio kira-kira 1.3:1 (Djuanda,Adhi
dkk, 2007). Dermatitis atopik sering dimulai pada awal masa pertumbuhan (early-
onset dermatitis atopic). Empat puluh lima persen kasus dermatitis atopik pada
anak pertama kali muncul dalam usia 6 bulan pertama, 60% muncul pada usia satu
tahun pertama dan 85% kasus muncul pertama kali sebelum anak berusia 5 tahun.
Sebagian besar yaitu 70% kasus pasiendermatitis atopik anak, akan mengalami
remisi spontan sebelum dewasa. Namun penyakit ini juga dapat terjadi pada saat
dewasa ( late onset dermatitis atopic ), dan pasien ini dalam jumlah yang besar
tidak ada tanda-tanda sensitisasi yang dimediasi oleh IgE (Novak dan Bieber,
2003 dalam Bieber, 2008).

Menurut International Study of Asthma and Allergies in Children,


prevalensi pasiendermatitis atopik pada anak bervariasi di berbagai negara.
Prevalensi dermatitis atopik pada anak di Iran dan China kurang lebih sebanyak
2%, di Australia, England dan Scandinavia sebesar 20%. Prevalensi yang tinggi
juga didapatkan di Negara Amerika Serikat yaitu sebesar 17,2% (Flohr, et al.,
dalam Zulkarnain, 2009; Laughter, et al., 2000 dalam Simpson dan Hanifin,
2005). Penelitian Yuin Chew Chan dkk, di Asia Tenggara didapatkan prevalensi
dermatitis atopik pada orang dewasa adalah sebesar kurang lebih 20% (Chan et
al., 2006 dalam Zulkarnain, 2009).

Penyebab dari peningkatan prevalensi dermatitis atopik belum sepenuhnya


dimengerti. Riwayat keluarga yang positif mempunyai peran yang penting dalam
kerentanan terhadap dermatitis atopik, namun faktor genetik saja tidak dapat
menjelaskan peningkatan prevalensi yang demikian besar. Beberapa faktor resiko
yang dapat meningkatkan prevalensi dermatitis atopik yaitu pada daerah kota
dengan peningkatan pemaparan stimulus dari lingkungan industri yang berbahaya,
sosial ekonomi yang tinggi, jumlah anak yang sedikit, migrasi dari pedesaan ke
perkotaan, infeksi terhadap Staphylococcus aureus, dan umur ibu yang tua pada
saat melahirkan (Larsen dan Hanifin, 2002 dalam Abramovits, 2005; Von, 2000
dalam Abramovits, 2005; Jones, 2002 dalam Abramovits, 2005; Eichenfield, et
al., 2003 dalam Leung, et al., 2007).
BAB II

LAPORAN KASUS

II.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. A
Usia : 28 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Magelang
Agama : Islam
Status : Menikah
Tanggal Masuk RS : 04-01-2017

II.2 ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 4 Januari 2017


pukul 11.15 WIB
A. Keluhan utama : Gatal
B. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RST dr. Soedjono Magelang dengan keluhan gatal
disertai timbulnya lesi kulit plak eritema berbentuk oval di daerah puting susu
kanan. Keluhan timbul sejak 1 bulan yang lalu saat setelah pulang dari kerja,
pasien merasa gerah dan gatal pada daerah sekitar puting susu kanan lalu
digaruk oleh pasien. Gatal memberat pada malam hari dan saat berkeringat.
Awalnya lesi hanya berupa lecet namun karena terus-menerus gatal terutama
pada malam hari dan terus digaruk lesi kulit sekarang melebar, terdapat dua
buah lesi berupa plak eritem berbentuk oval dengan diameter > 1 cm,
berskuama. Plak yang satu berada tepat di puting susu kanan dan plak yang
lain berada di bagian bawah samping kanan puting. Lesi plak tidak nyeri.
Didapatkan juga beberapa lesi ekskoriasi di sekitar plak eritem. Pasien
mengatakan ketika digaruk, lesi lecetnya mengeluarkan cairan bening. Pasien
menyangkal ada demam, batuk, pilek sebelumnya.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluhan serupa : Pasien belum pernah merasakan keluhan seperti ini
Alergi : disangkal
Asma : disangkal
Rinitis Alergi : Pasien mengatakan sering sakit flu
Hipertensi, DM : disangkal
Tidak ada riwayat keluhan masalah kulit pada penggunaan bahan-bahan
alergen seperti jam tangan atau produk kosmetik
Ada riwayat gatal-gatal malam hari setelah mandi, pasien mengatakan
sering gonta-ganti sabun mandi (bahan iritan lemah)

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Keluhan serupa : disangkal
Asma : nenek pasien
Rinitis Alergi : disangkal
Diabetes mellitus : disangkal
Hipertensi : disangkal
Alergi (makanan, obat, alergen, iritan) : disangkal

E. Riwayat Pengobatan
Riwayat Pengobatan : Pasien sudah pernah berobat 2 minggu yang lalu di
klinik dokter umum, diberikan obat minum cetrizine dan prednisolone
serta kompres NaCl dan perban salep atrauman. Pasien merasa keluhan
membaik, namun karena obat habis pasien datang ke poliklinik kulit di
RST dr. Soedjono.

F. Riwayat Pribadi dan Sosial


Pasien tinggal dengan 4 orang anggota keluarga dalam 1 rumah yaitu
bersama ibu, nenek dan istrinya.
Pemakaian handuk atau pakaian secara bersamaan (-)
Pasien mengatakan bahwa suka gonta-ganti sabun mandi
Tidak ada tetangga atau teman kantor yang mengalami keluhan serupa

II.3 PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 4 Januari 2017 pukul 11.20 WIB
STATUS GENERALIS
a. Keadaan Umum : baik
b. Kesadaran : Kompos mentis
GCS : 15 (E4, V5, M6)
c. Vital Sign : TD : 110/80 mmHg
N : 80 x/m, irama reguler, isi cukup
R : 22 x/m
S : 36,50C
d. Status gizi : Kesan gizi cukup
e. Kulit
Warna : Sawo matang
Sianosis : Tidak ada
Ptekie : tidak ada
f. Kepala : bentuk normocepal, rambut warna hitam, lebat, distribusi
merata, tidak mudah dicabut, ketombe (-)
g. Mata : CA -/-, SI -/-, isokor 3mm/3mm
h. Telinga : Bentuk normal, simetris, inflamasi (-), sekret minimal.
i. Hidung : Simetris, deviasi (-), sekret (-)
j. Mulut : Bentuk normal, mukosa tidak hiperemis
k. Lidah : Tidak pucat, tidak kotor, warna merah muda
l. Tonsil : Tidak ada pembesaran
m. Faring : Tidak hiperemis
n. Leher : Tidak ada pembesaran KGB
o. Thorak : tidak dilakukan
p. Abdomen : dalam batas normal
Inspeksi : Bentuk : Datar
Umbilicus : Ditengah, inflamasi (-)
Massa (-)

q. Ekstremitas
Akral : hangat
CRT : < 2 dtk
Sianosis : tidak ada
Edema : (-/-)
r. Kelamin : tidak dilakukan

STATUS DERMATOLOGI
Inspeksi :
a. Lokasi : daerah tepat di puting susu kanan dan di bawah samping
kanan puting susu
b. Efloresensi : Plak eritem berskuama 2 buah dan lesi ekskoriasi di
sekitar puting susu, distribusi regional
c. Diameter : Plak eritem di puting susu 3 cm, di bawah puting susu
2 cm
Palpasi : Suhu sama dengan kulit sekitar, permukaan tidak rata, nyeri (-)

II.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tidak dilakukan. Saran : skin prick test, patch test, pemeriksaan Serologi.
II.5 RESUME
Pasien datang ke RST dr. Soedjono Magelang dengan keluhan gatal.
Keluhan timbul sejak 1 bulan yang lalu saat setelah pulang dari kerja, pasien
merasa gerah dan gatal pada daerah sekitar puting susu kanan lalu digaruk
oleh pasien. Gatal memberat pada malam hari dan saat berkeringat. Awalnya
lesi hanya berupa lecet namun karena terus-menerus gatal terutama pada
malam hari dan terus digaruk lesi kulit sekarang melebar, terdapat dua buah
lesi berupa plak eritem berbentuk oval dengan diameter > 1 cm, berskuama.
Plak yang satu berada tepat di puting susu kanan dan plak yang lain berada di
bagian bawah samping kanan puting. Lesi plak tidak nyeri. Didapatkan juga
beberapa lesi ekskoriasi di sekitar plak eritem. Pasien mengatakan ketika
digaruk, lesi lecetnya mengeluarkan cairan bening. Pasien menyangkal ada
demam, batuk, pilek sebelumnya.

Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Pasien tidak


memiliki riwayat alergi makanan atau obat-obatan. Pasien mengatakan kalau
sering gonta-ganti sabun mandi dan pada malam harinya setelah mandi
mengeluh merasa gatal. Tidak ada riwayat keluhan masalah kulit pada
penggunaan bahan-bahan alergen seperti jam tangan atau produk kosmetik.
Pasien tidak memiliki riwayat asma namun sering sakit flu.Tidak ada riwayat
alergi makanan atau obat-obatan, rinitis alergi dalam keluarga, namun nenek
pasien menderita asma. Di rumah, tetangga dan teman kerja tidak ada yang
mengalami keluhan serupa. Pasien sudah pernah berobat 2 minggu yang lalu
di klinik dokter umum pasien merasa keluhan membaik, namun karena obat
habis dan kambuh kembali pasien datang ke poliklinik kulit di RST dr.
Soedjono.

II.6 DIAGNOSIS BANDING

a. Dermatitis Kontak Iritan.


b. Dermatitis Kontak Alergi
c. Dermatitis Numularis
d. Dermatitis Seboroik
e. Skabies
II.7 DIAGNOSIS KERJA
Dermatitis Atopik bentuk Dewasa

II.8 PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:

1. Kortikosteroid topikal
Inerson oinment 3x sehari
2. Oral sistemik
- Antihistamin: Loratadine 1 x 10mg/hari
- Kortikosteroid : Metilprednisolone 2x sehari

Non-medikamentosa :
Hindari semua faktor luar yang mungkin menimbulkan manifestasi klinis

- Menjauhi alergen pemicu


- Hindari pemakaian bahan yang merangsang seperti sabun keras dan bahan
pakaian dari wol. Bisa dengan mengganti sabun mandi dengan sabun bayi.
- Menghindarkan pemakaian bahan-bahan iritan (deterjen, alkohol,
astringen, pemutih, dll)
- Menghindarkan suhu yang terlalu panas dan dingin, kelembaban tinggi.
- Menghindarkan aktifitas yang akan mengeluarkan banyak keringat.
- Menghindarkan makanan-makanan yang dicurigai dapat mencetuskan
DA.
- Melakukan hal-hal yang dapat mengurangi jumlah TDR/agen infeksi,
seperti menghindari penggunaan kapuk/karpet/mainan berbulu.
- Menghindarkan stres emosi.

II.9 PROGNOSIS

Umumnya baik jika faktor pencetus dihindari


Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad fungsionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam

BAB III

PEMBAHASAN

Pada pasien ini didiagnosis sebagai dermatitis atopik (DA) didasarkan atas
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan. Dari anamnesis
didapatkan bahwa keluhan utama pasien adalah gatal-gatal pada bagian sekitar
puting susu kanan sudah sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan gatal pertama muncul
saat pasien pulang dari bekerja, saat itu pasien merasa gerah karena cuaca panas
dan merasa gatal pada puting susu kanannya, kemudian oleh pasien di garuk. Lesi
kulit yang ditemukan pada pasien berupa plak eritema berbentuk oval berjumlah
dua buah dengan diameter 3 cm dan 2 cm dan berskuama. Awalnya lesi hanya
berupa lecet-lecet namun karena terus digaruk selama sebulan ini sekarang lesi
melebar. Dari keluhan gatal dan ujud kelainan kulit berupa lesi plak eritematous
berskuama dan dengan predileksi di badan dapat dipikirkan hipotesis penyakit
kulit diantaranya dermatitis atopik, dermatitis kontak alergik, dermatitis kontak
iritan, dermatitis seboroik, dermatitis numularis dan skabies.

Lesi kulit yang ditemukan pada pasien berupa plak eritema berbentuk oval
dan berskuama. Lesi skuama yang tidak kuning berminyak melemahkan hipotesis
dermatitis seboroik ditambah dengan tidak ada riwayat ketombe pada pasien ini
yang mana adalah tanda awal manifestasi dermatitis seboroik. Lesi kulit pada
pasien ini sesuai dengan bentuk lesi yang sering ditemukan pada DA dewasa yaitu
berupa plak papular-eritematosa dan berskuama. Selain itu juga pada DA dapat
ditemukan adanya lesi ekskoriasi dan eksudasi akibat adanya garukan seperti yang
juga ditemukan pada pasien ini. Pasien mengatakan setelah menggaruk di tempat
gatal, lesinya mengeluarkan cairan bening. Predileksi lesi yaitu di puting susu
serupa dengan predileksi dari dermatitis atopik yang terjadi pada dewasa, yaitu
salah satunya puting susu. Dikatakan bahwa pada DA dewasa, distribusi lesi
kurang karakteristik, yaitu sering mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat
pula ditemukan setempat misalnya di bibir, vulva, puting susu atau skalp.

Keluhan gatal pada pasien memberat pada malam hari seperti dikatakan
pada teori bahwa pada DA dewasa lesi sangat gatal terutama pada malam hari
waktu beristirahat. Hal ini memperkuat hipotesis dermatitis atopik begitupula
pada skabies. Keluhan pasien memberat jika berkeringat saat cuaca panas, hal ini
menunjukkan terdapat factor eksogen yang berperan sebagai allergen yang
mencetuskan keluhan dermatitis atopic. Hal ini seperti yang dipaparkan oleh
pasien bahwa awal mula keluhan gatal yaitu saat setelah pasien pulang dari
bekerja, saat itu cuaca panas, pasien merasa gerah dan muncul rasa gatal pada
puting susu kanan pasien. Hal ini memperkuat hipotesis dermatitis atopik.
Faktor endogen yang berperan, meliputi faktor genetik, hipersensitivitas
akibat peningkatan kadar immunoglobulin (Ig)E total dan spesifik, kondisi kulit
yang relatif kering (disfungsi sawar kulit), dan gangguan psikis. Pasien tidak
memiliki riwayat penyakit asma, alergi makanan atau obat-obatan sebelumnya,
dan belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Namun, pasien
mengatakan sering sakit flu (rinithis alergi) dan di keluarga yaitu nenek pasien
memiliki riwayat asma. Hal ini merupakan faktor endogen yang berperan
terjadinya DA pada pasien. Adanya riwayat atopi di keluarga pasien menjadi
faktor endogen pada dermatitis atopik. Pada kondisi atopi terjadi keadaan
hipersensitivitas terhadap faktor eksogen dan dapat dibuktikan dengan adanya zat
yang bereaksi di dalam serum, yang dikenal sebagai atopic regain (IgE). Hal ini
semakin memperkuat diagnosis penyakit kulit yang diderita pasien ke arah
dermatitis atopik.

Faktor eksogen pada DA, antara lain adalah trauma fisik-kimia-panas,


bahan iritan, allergen debu, tungau, debu rumah, makanan (susu sapi, telur),
infeksi mikroba, perubahan iklim (peningkatan suhu dan kelembaban), serta
hygiene lingkungan. Beberapa faktor eksogen seperti, suhu/iklim panas dan bahan
iritan (sabun mandi yang gonta-ganti) menjadi faktor pencetus terjadinya DA pada
pasien karena seperti yang dipaparkan pasien sebelumnya pasien merasa gatal
karena penggunaan sabun mandi yang gonta-ganti dan saat berkeringat saat
merasa gerah akibat cuaca panas.

Pasien mengatakan tidak memiliki masalah jika berkontak dengan alergen


debu, jam tangan, produk kosmetik atau benda-benda lain yang membuatnya
mengalami masalah kulit, begitu juga pada bahan-bahan yang dapat bersifat iritan
seperti sabun mandi, sabun wajah, deterjen atau bahan lainnya. Hal ini dapat
melemahkan hipotesis penyakit dermatitis kontak alergik dan dermatitis kontak
iritan. Mengenai tungau rumah juga pasien mengatakan bahwa tidak pernah
menemukan tungau di tempat tidur atau pakaiannya atau di badannya. Hal ini
dapat melemahkan hipotesis skabies. Faktor endogen lebih berperan sebagai
faktor predisposisi sedangkan faktor eksogen cenderung menjadi faktor pencetus.
Dari riwayat pengobatan didapatkan bahwa pasien sudah berobat ke klinik
dokter umum 2 minggu yang lalu, dan keluhan membaik, namun setelah obat abis,
gejala kambuh kembali. Hal ini sesuai dengan keadaan pada dermatitis atopic
yang bersifat kronis dan residif (kambuh-kambuhan) karena berhubungan dengan
riwayat atopic dan reaksi imulogis sebagai penyebabnya. Hal ini memperkuat
hipotesis dermatitis atopik.

Riwayat pribadi dan sosial pasien, pasien tinggal serumah berisi 4 orang
yaitu bersama ibu, nenek dan istrinya. Pasien mengatakan bahwa di keluarga
maupun tetangga dan juga teman kantor tidak ada yang mengalami keluhan gatal
serupa. Hal ini dapat melemahkan hipotesis ke arah skabies.

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, maka


penegakan diagnosis pada pasien ini dapat didasarkan atas kriteria mayor dan
minor yang didapat.

Diagnosis DA ditegakkan bila mempunyai minimal 3 kriteria mayor dan 3


kriteria minor.
Kriteria Mayor
- Pruritus (+)
- Dermatitis di muka atau ekstensor bayi dan anak
- Dermatitis di fleksura pada dewasa
- Dermatitis kronis atau residif (+)
- Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya (+)

Kriteria Minor

- Xerosis
- Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus dan virus H. simpleks)
- Dermatitis non spesifik pada tangan dan kaki
- Iktiosis/hiperlinearis palmaris/keratosis pilaris
- Pitiriasis alba
- Dermatitis di papila mammae (+)
- White dermatografism dan delayed blanched response
- Keilitis
- Lipatan infra orbital Dennie Morgan
- Konjungtivitis berulang
- Keratokonus
- Katarak subkapsular anterior
- Orbita menjadi gelap
- Muka pucat dan eritema
- Gatal bila berkeringat (+)
- Intolerans perifolikular
- Hipersensitif terhadap makanan
- Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau emosi (+)
- Tes alergi kulit tipe dadakan positif
- Kadar IgE dalam serum meningkat
- Awitan pada usia dini

Pada pasien ini didapatkan 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor, maka
pasien didignosis dengan dermatitis atopic.

Etiopatogenesis terjadinya dermatitis atopic pada pasien ini yaitu karena


beberapa factor yang ikut berinteraksi, misalnya factor genetic, lingkungan, sawar
kulit, farmakologik, dan imunologik. Konsep dasar terjadinya Dermatitis Atopik
adalah melalui reaksi imunologik, yang diperantarai oleh sel-sel yang berasal dari
sumsum tulang. Kadar IgE dalam serum penderita dermatitis atopic dan jumlah
eosinophil dalam darah perifer umumnya meningkat.

Peranan reaksi alergi pada etiologi DA masih kontroversi dan menjadi


bahan perdebatan di antara para ahli. Istilah alergi dipakai untuk merujuk pada
setiap bentuk reaksi hipersensitivitas yang melibatkan IgE sebagai antibodi yang
terjadi akibat paparan alergen.

Beberapa peneliti menyebutkan alergen yang umum antara lain, sebagai berikut:
1. Aeroalergen atau alergen inhalant : tungau debu rumah (house dust mite),
serbuk sari buah (polen), bulu binatang (animal dander), jamur (molds) dan kecoa
2. Makanan : susu, telur, kacang, ikan laut, kerang laut dan gandum
3. Mikroorganisme : bakteri seperti staphylococcus aureus, streptococcus species,
dan ragi (yeast) seperti pityrosporum ovale, candida albicans dan trichophyton
species.
4. Bahan iritan atau alergen : wool, desinfektans, nikel, Peru balsam dan
sebagainya.

Mekanisme beberapa factor yang dapat menyebabkan keluhan pada pasien ini
antara lain:

1. Faktor Genetik
DA adalah penyakit dalam keluarga dimana pengaruh maternal sangat besar.
Walaupun banyak gen yang nampaknya terkait dengan penyakit alergi, tetapi yang
paling menarik adalah peran Kromosom 5 q31 33 karena mengandung gen
penyandi IL3, IL4, IL13 dan GM CSF (granulocyte macrophage colony
stimulating factor) yang diproduksi oleh sel Th2. Pada ekspresi DA, ekspresi gen
IL-4 juga memainkan peranan penting.
Predisposisi DA dipengaruhi perbedaan genetik aktifitas transkripsi gen IL-4.
Dilaporkan adanya keterkaitan antara polimorfisme spesifik gen kimase sel mas
dengan DA tetapi tidak dengan asma bronchial ataupun rinitif alergik. Serine
protease yang diproduksi sel mas kulit mempunyai efek terhadap organ spesifik
dan berkontribusi pada resiko genetic DA

2. Respons imun pada kulit


Salah satu faktor yang berperan pada DA adalah faktor imunologik. Di dalam
kompartemen dermo-epidermal dapat berlangsung respon imun yang melibatkan
sel Langerhans (SL) epidermis, limfosit, eosinofil dan sel mas. Bila suatu antigen
(bisa berupa alergen hirup, alergen makanan, autoantigen ataupun super antigen)
terpajan ke kulit individu dengan kecenderungan atopi, maka antigen tersebut
akan mengalami proses : ditangkap IgE yang ada pada permukaan sel mas atau
IgE yang ada di membran SL epidermis.
Bila antigen ditangkap IgE sel mas (melalui reseptor FcRI), IgE akan
mengadakan cross linking dengan FcRI, menyebabkan degranulasi sel mas dan
akan keluar histamin dan faktor kemotaktik lainnya. Reaksi ini disebut reaksi
hipersensitif tipecepat (immediate type hypersensitivity). Pada pemeriksaan
histopatologi akan Nampak sebukan sel eosinofil.
Selanjutnya antigen juga ditangkap IgE, sel Langerhans (melalui reseptor
FcRI, FcRII dan IgE-binding protein), kemudian diproses untuk selanjutnya
dengan bekerjasama dengan MHC II akan dipresentasikan ke nodus limfa perifer
(sel Tnaive) yang mengakibatkan reaksi berkesinambungan terhadap sel T di
kulit, akan terjadi diferensiasi sel T pada tahap awal aktivasi yang menentukan
perkembangan sel T ke arah TH1 atau TH2. Sel TH1 akan mengeluarkan sitokin
IFN-, TNF, IL-2 dan IL-17, sedangkan sel TH2 memproduksi IL-4, IL-5 dan IL-
13. Meskipun infiltrasi fase akut DA didominasi oleh sel TH2 namun kemudian
sel TH1 ikut berpartisipasi.
Jejas yang terjadi mirip dengan respons alergi tipe IV tetapi dengan perantara
IgE sehingga respons ini disebut IgE mediated-delayed type hypersensitivity. Pada
pemeriksaan histopatologi nampak sebukan sel netrofil.
Selain dengan SL dan sel mas, IgE juga berafinitas tinggi dengan FcRI yang
terdapat pada sel basofil dan terjadi pengeluaran histamin secara spontan oleh sel
basofil. Garukan kronis dapat menginduksi terlepasnya TNF dan sitokin pro
inflamasi epidermis lainnya yang akan mempercepat timbulnya peradangan kulit
DA.

Kadang-kadang terjadi aktivasi penyakit tanpa rangsangan dari luar sehingga


timbul dugaan adanya autoimunitas pada DA. Pada lesi kronik terjadi perubahan
pola sitokin. IFN- yang merupakan sitokin Th1 akan diproduksi lebih banyak
sedangkan kadar IL-5 dan IL-13 masih tetap tinggi. Lesi kronik berhubungan
dengan hiperplasia epidermis. IFN dan GM-CSF mampu menginduksi sel basal
untuk berproliferasi menghasilkan pertumbuhan keratinosit epidermis.
Perkembangan sel T menjadi sel TH2 dipacu oleh IL-10 dan prostaglandin (P6)
E2. IL-4 dan IL-13 akan menginduksi peningkatan kadar IgE yang diproduksi
oleh sel B.

3. Respons sistemik
Perubahan sistemik pada DA adalah sebagai berikut :
- Sintesis IgE meningkat.
- IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat.
- Ekspresi CD23 pada sel B dan monosit meningkat.
- Respons hipersensitivitas lambat terganggu
- Eosinofilia
- Sekresi IL-4, IL-5 dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat
- Sekresi IFN- oleh sel TH1 menurun
- Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat.
- Kadar CAMP-Phosphodiesterase monosit meningkat disertai peningkatan
IL-13dan PGE2

4. Sawar kulit
Umumnya penderita DA mengalami kekeringan kulit. Hal ini diduga
terjadi akibat kadar lipid epidermis yang menurun, trans epidermal water loss
meningkat, skin capacitance (kemampuan stratum korneum meningkat air)
menurun. Kekeringan kulit ini mengakibatkan ambang rangsang gatal menjadi
relatif rendah dan menimbulkan sensasi untuk menggaruk. Garukan ini
menyebabkan kerusakan sawar kulit sehingga memudahkan mikroorganisme dan
bahan iritan/alergen lain untuk melalui kulit dengan segala akibat-akibatnya.

5. Faktor lingkungan
Peran lingkungan terhadap tercetusnya DA tidak dapat dianggap remeh. Alergi
makanan lebih sering terjadi pada anak usia <5 tahun. Jenis makanan yang
menyebabkan alergi pada bayi dan anak kecil umumnya susu dan telur, sedangkan
pada dewasa sea food dan kacang-kacangan.
Tungau debu rumah (TDR) serta serbuk sari merupakan alergen hirup yang
berkaitan erat dengan asma bronkiale pada atopi dapat menjadi faktor pencetus
DA. 95% penderita DA mempunyai IgE spesifik terhadap TDR. Derajat
sensitisasi terhadap aeroalergen berhubungan langsung dengan tingkat keparahan
DA.
Suhu dan kelembaban udara juga merupakan faktor pencetus DA, suhu udara
yang terlampau panas/dingin, keringat dan perubahan udara tiba-tiba dapat
menjadi masalah bagi penderita DA.
Hubungan psikis dan penyakit DA dapat timbal balik. Penyakit yang kronik
residif dapat mengakibatkan gangguan emosi. Sebaliknya stres akan merangsang
pengeluaran substansi tertentu melalui jalur imunoendokrinologi yang
menimbulkan rasa gatal.
Kerusakan sawar kulit akan mengakibatkan lebih mudahnya mikroorganisme
dan bahan iritan (seperti sabun, detergen, antiseptik, pemutih, pengawet)
memasuki kulit.

Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan secara medikamentosa dan non


medikamentosa. Medikamentosa adalah dengan pemberian:

1. Kortikosteroid topikal
Inerson oinment 3x sehari
2. Oral sistemik
- Antihistamin: Loratadine 1 x 10mg/hari
- Kortikosteroid : Metilprednisolone 2x sehari

Terapi tersebut bertujuan untuk:

Hidrasi kulit
Dengan melembabkan kulit, diharapkan sawar kulit menjadi lebih
baik dan penderita tidak menggaruk dan lebih impermeabel
terhadap mikroorganisme/bahan iritan. Berbagai jenis pelembab
dapat dipakai antara lain krim hidrofilik urea 10%,
pelembabnyang mengandung asam laktat dengan konsentrasi
kurang dari 5%. Pemakaian pelembabbeberapa kali sehari,
setelah mandi.

Kortikosteroid topical
Kortikosteroid topical bertujuan untuk mengendalikan
eksaserbasi inflamasi akut. Walau steroid topikal sering diberi
pada pengobatan DA, tetapi harus berhati-hatikarena efek
sampingnya yang cukup banyak. Kortikosteroid potensi rendah
diberi pada bayi, daerah intertriginosa dan daerah genitalia.
Kortikosteroid potensi menengah dapat diberi pada anak dan
dewasa. Bila aktifitas penyakit telah terkontrol. Kortikosteroid
diaplikasikan intermiten, umumnya dua kali seminggu.

Antihistamin
Diberi untuk mengurangi rasa gatal. Dalam memilih anti
histamin harus diperhatikan berbagai hal seperti penyakit-
penyakit sistemik, aktifitas penderita dll. Antihistamin yang
mempunyai efek sedatif sebaiknya tidak diberikan pada
penderita dengan aktifitas disiang hari (seperti supir) . Pada
kasus sulit dapat diberi doxepin hidroklorid 10- 75 mg/oral/2 x
sehari yang mempunyai efek anti depresan dan blokade reseptor
histamine H1 dan H2.

Selanjutnya, pasien perlu diedukasi juga tentang


penanganan dari segi non medikamentosa, yaitu cara bagaimana
agar dapat menghindari allergen untuk mempercepat
pengobatan dan mencegah kekambuhan. Berbagai faktor dapat
menjadi pencetus DA dan tidak sama untuk setiap individu,
karena itu perlu diidentifikasi dan dieliminasi berbagai faktor
tersebut.
- Menghindarkan pemakaian bahan-bahan iritan seperti sabun
keras (deterjen, alkohol, astringen, pemutih, dll) dan bahan
pakaian dari wol. Bisa dengan mengganti sabun mandi dengan sabun bayi.
- Menghindarkan suhu yang terlalu panas dan dingin,
kelembaban tinggi.
- Menghindarkan aktifitas yang akan mengeluarkan banyak
keringat.
- Menghindarkan makanan-makanan yang dicurigai dapat
mencetuskan DA.
- Melakukan hal-hal yang dapat mengurangi jumlah TDR/agen
infeksi, seperti
menghindari penggunaan kapuk/karpet/mainan berbulu.
- Menghindarkan stres emosi.
- Mengobati rasa gatal.
Selain itu harus dijelaskan pula bahwa pengobatan tidak bersifat currative
(menghilangkan penyakit) tetapi untuk mengurangi gejala dan mencegah
kekambuhan.
BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

IV.1 Definisi
Dermatitis atopik (DA) adalah keadaan peradangan kulit kronis dan
residif, disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-
anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat
atopi pada keluarga atau penderita (dermatitis atopi, rhinitis alergika, asma
bronkhiale, dan konjungtivitis alergika).
Kata atopi pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah
yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai
kepekaan dalam keluarganya. Misalnya : asma bronchial, rhinitis alergika,
dermatitis atopi, dan konjungtivitis alergika. (Djuanda, 2011)

IV.2 Sinonim
Banyak istilah dermatitis atopik lain yang digunakan, misalnya : ekzema
konstitusional, fleksural eczema, disseminated neurodermatitis, prurigo basiler1.

IV.3 Epidemiologi
Oleh karena definisi secara klinis tidak ada yang tepat maka untuk
menginterpretasikan hasil penelitian epidemiologi harus berhati-hati. Berbagai
penelitian menyatakan bahwa prevalensi DA makin meningkat sehingga
merupakan masalah kesehatan besar. Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia
dan Negara industri lain, prevalensi DA pada anak mencapai 10-20%, sedangkan
1-3 % terjadi di negara agraris, misalnya Cina, Eropa Timur, Asia Tengah,
prevalensi DA jauh lebih rendah. Wanita lebih banyak m enderita DA daripada
pria dengan rasio 1,3:1. Berbagai faktor lingkungan berpengaruh terhadap
prevalensi DA misalnya jumlah keluarga kecil, pendidikan ibu makin tinggi,
penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan meningkatnya
penggunakan antibiotik, berpotensi menaikan jumlah penderita DA. Sedangkan
rumah yang berpenghuni banyak, meningkatnya jumlah keluarga, urutan lahir
makin belakang, sering mengalami infeksi sewaktu kecil, akan melindungi
kemungkinan timbul DA pada kemudian hari.
DA cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu
yang menderita atopi akan mengalami DA pada masa kehidupan tiga bula
pertama. Bila salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari seperuh jumlah anak
akna mengalami gejala alergi sampai usia dua tahun, dan meningkat sampai 79%
bila kedua orang tua menderita atopi. Resiko mewarisi DA lebih tinggi bila ibu
yang menderita DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi, bila DA yang dialami
berlanjut hingga masa dewasa, ,maka resiko untuk mewariskan untuk anaknya
sama saja yaitukira-kira 50%. (Djuanda, 2011)

IV.4 Etiopatogenesis
Respons Imun Pada Kulit
Sitokin TH2 dan TH1 berperan dalam patogenesis peradangan kulit
pada DA. Jumlah TH2 lebih banyak pada penderita atopi, sebaliknya TH1
menurun. Pada kulit 'normal' (tidak ada kelainan kulitnya) penderita DA.
bila dibandingkan dengan kulit normal orang yang bukan penderita DA.,
ditemukan lebih banyak sel-sel yang mengekspresikan mRNA IL-4 dan
IL-13, tetapi bukan IL-5, IL-12, atau IFN-y. Pada lesi akut dan kronis bila
dibandingkan dengan kulit normal atau kulit yang tidak ada lesinya
penderita DA., menunjukkan jumlah yang lebih besar sel-sel yang
mengekspresikan mRNA IL-4, IL-5, dan IL-13. Tetapi pada lesi akut tidak
banyak mengandung sel yang mengekspresikan mRA IFN-y atau IL-12.
Lesi kronis DA. mengandung sangat sedikit sel yang mengekspresikan
mRNA IL-4 dan IL-13, tetapi jumlah sel yang mengekpresikan mRNA IL-
5, GM-CSF,IL-12, dan IFN-y, meningkat bila dibandingkan dengan yang
akut. Peningkatan IL-12 pada lesi kronis DA. berperan dalam
perkembangan TH1.
Sel T yang teraktivasi di kulit juga akan menginduksi apoptosis
keratinosit, sehingga terjadi spongiosis. Proses ini diperantarai oleh IFN-y
yang dilepaskan sel T teraktivasi dan meningkatkan Fas dalam keratinosit.
Berbagai kemokin ditemukan pada lesi kulit DA. yang dapat
menarik sel-sel, misalnya eosinofil, limfosit T, dan monosit, masuk ke
dalam kulit.
Pada DA. kronis, ekspresi IL-5 akan mempertahankan eosinofil
hidup lebih lama dan menggiatkan fungsinya, sedangkan peningkatan
ekspresi GM-SCF mempertahankan hidup dan fungsi monosit, sel
Langerhans, dan eosinofil. Produksi TNF-a dan IFN-y pada DA. memicu
kronisitas dan keparahan dermatitis. Stimulasi TNF-a dan IFN-y pada
keritinosit epidermal akan meningkatkan jumlah RANTES (regulated on
activation, normal T cell expressed and secreted). Garukan kronis dapat
menginduksi terlepasnya TNF-a dan sitokin proinflamasi yang lain dari
epidermis, sehingga mempercepat timbulnya peradangan di kulit DA.
IL-4 meningkatkan perkembangan TH2, sedangkan IL-12 yang
diproduksi oleh makrofag, sel berdendrit,atau eosinofil, menginduksi TH1.
Subunit reseptor IL-12RP2 diekpresi pada TH1 tidak pada TH2.
Sedangkan ekspresi IL-12RP2 dihambat oleh IL-4, tetapi sebaliknya
diinduksi oleh IL-12, IFN-a, dan IFN-y. IL-4 juga menghambat produksi
IFN-y dan menekan deferensiasi sel TH1. Sel mas dan basofil juga
merupakan sumber sitokin tipe TH2, sehingga ekspresi IL-4 oleh sel T, sel
mas/basofilpada DA. akan merangsang perkembangan sel TH2.
Sel mononuklear penderita DA. meningkatkan aktivitas enzim
cyclic-adenosine monophosphate (CAMP) phosphodiesterase (PDE),
yang akan meningkatkan sintesis IgE oleh sel B dan produksi IL-4 oleh sel
T. Produksi IgE dan IL-4 secara in vitro dapat diturunkan oleh penghambat
PDE (PDEinhibitor). Sekresi IL-10 dan PGE2 dari monosit juga
meningkat; kedua produk ini menghambat IFN-y yang dihasilkan oleh sel
T.
Sel Langerhans (SL) pada kulit penderita DA. adalah abnormal,
dapat secara langsung menstimulasi sel TH tanpa adanya antigen; secara
selektif dapat mengaktivasi sel TH menjadi fenotip TH2. SL yang
mengandung IgE meningkat;sel ini mampu mempresentasikan alergen
tungau debu rumah (D. pteronyssinus) kepada sel T. SL yang mengandung
IgE setelah menangkap allergen akan mengaktifkan sel TH2 memori di
kulit atopi, juga bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat untuk
menstimulasi sel T nai've sehingga jumlah sel TH2 bertambah banyak.
SL pada kulit normal mempunyai tiga macam reseptor untuk IgE,
yaitu FceRII, FceRII (CD23), dan IgE-binding protein. Reseptor FceRI
mempunyai afinitas kuat untuk mengikat IgE. IgE terikat pada SL melalui
reseptor spesifik FceRI pada permukaan SL. Pada orang normal dan
penderita alergi saluran napas kadar ekpresi FceRI di permukaan SLnya
rendah, sedangkan di lesi ekzematosa DA. tinggi. Ada korelasi antara
ekspresi permukaan FceRI dan kadar IgE dalam serum. Selain pada SL,
reseptor IgE dengan afinitas tinggi (FceRI) juga ditemukan pada
permukaan sel mas dan monosit.
Kadar seramid pada kulit penderita DA. berkurang sehingga
kehilangan air (transepidermal water loss=TEWL) melalui epidermis
dipermudah. Hal ini mempercepat absorbsi antigen ke dalam kulit.
Sebagaimana diketahui bahwa sensitisasi epikutan terhadap alergen
menimbulkan respons TH2 yang lebih tinggi daripada melalui sistemik
atau jalan udara, maka kulit yang terganggu fungsi sawarnya merupakan
tempat yang sensitif. (Djuanda, 2011)

Respons Sistemik
Jumlah IFN-y yang dihasilkan oleh sel mononuklear darah tepi
penderita DA. menurun, sedangkan konsentrasi IgE dalam serum me-
ningkat. IFN-y menghambat sintesis IgE, proliferasi sel TH2 dan ekspresi
reseptor IL-4 pada sel T. Sel T spesifik untuk alergen di darah tepi
meningkat dan memproduksi IL-4, IL-5, IL-13 dan sedikit IFN-y. IL-4 dan
IL-13 merupakan sitokin yang menginduksi transkripsi pada ekson C
sehingga terjadi pembentukan IgE. IL-4 dan IL-13 juga menginduksi
ekspresi molekul adesi permukaan pembuluh darah, misalnya VCAM-1
(vascular cell adhesion molecular-1), infiltrasi eosinofil, dan menurunkan
fungsi sel TH1.
Sel monosit di darah tepi penderita DA. diaktivasi, mempunyai
insidens apoptosis spontan rendah, tidak responsif terhadap induksi
apoptosis IL-4. Hambatan apoptosis ini disebabkan oleh meningkatnya
produksi GM-CSF oleh monosit yang beredar pada DA.
Perubahan sistemik pada DA. adalah sebagai berikut:
- Sintesis IgE meningkat.
- IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat, termasuk terhadap
makanan, aeroalergen, mikroorganisme, toksin bakteri, dan auto-
alergen.
- Ekspresi CD23 (reseptor IgE berafinitas rendah) pada sel B dan
monosit meningkat.
- Pelepasan histamin dari basofil meningkat.
- Respons hipersensitivitas lambat terganggu.
- Eosinofilia.
- Sekresi IL-4, IL-5, dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat.
- Sekresi IFN-y oleh sel TH1 menurun.
- Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat.
- Kadar CAMP-phosphodiesterase monosit meningkat, disertai
peningkatan IL-10 dan PGE21.

Berbagai Faktor Pemicu


Dermatitis atopik dibagi menjadi 2 tipe: (1) bentuk murni - tidak
disertai keterlibatan saluran pernafasan, dan (2) bentuk campuran - disertai
gejala pada saluran pernafasan dan terdapatnya sensitisasi IgE polivalen
terhadap alergen hirup dan alergen makanan.
Bentuk murni dibagi atas 2 tipe, yaitu (a) tipe intrinsik tidak
tedeteksi adanya sensitasi IgE spesifik dan tidak terdapatya peningkatan IgE
total serum, dan (b) tipe ekstrinsik terdapat bukti sensitisasi terhadap alergen
hirup dan alergen makanan pada uji kulit atau pada serum.
Dermatitis atopik merupakan sindrom multifaktorial; berbagai faktor
berkaitan dengan fenotip penyakit sehingga perlu dicermati berbagai fakto
risiko, yaitu:
1 Genetik: diketahui bahwa kecenderungan mendapat penyakit atopi
diturunkan secara autosomal dominan; 75% anak akan mengalami
alergi bila kedua orang tua mempunyai riwayat alergi, dibandingkan
dengan 50% anak bila hanya 1 orang tua mempunyai yang riwayat
alergi, meskipun demikian faktor lain (lingkungan) sangat pula
berpengaruh atas berkembangnya penyakit.
2 Sosioekonomi: lebih banyak ditemukam pada status sosial yang lebih
tinggi dibandingkan dengan status sosial yang lebih rendah. Hal
tersebut dapat diterangkan dengan teori higiene.
3 Jumlah anggota keluarga: kejadian dermatitis atopik berbanding
terbalik dengan banyaknya jumlah anggota keluarga. Hal tersebut dapat
pula diterangkan dengan teori higiene, yaitu terjadi infeksi pada anggota
muda keluarga yang ditularkan oleh anggota keluaraga yang lebih tua
4 Laktasi: makin lama mendapat air susu ibu makin kecil kemungkinan
untuk mendapat dermatitis atopik. Hal tersebut perlu dicermati karena
perkembangan penyakit berhubungan dengan alergen lingkunagan dan
status ibu (misanya perokok)
5 Pengenalan makanan padat terlalu dini (sebelum 4 bulan), akan
meningkatkan angka kejadian dermatitis atopik sebesar 1,6 kali.
Sensitisasi umumnya terjadi terhadap alergen makanan, terutama susu
sapi, telur, kacang-kacangan dan gandum
6 Polusi lingkungan, antara lain daerah industri dengan peningkatan
polusi udara, pemakaian pemanas ruangan sehingga terjadi peningkatan
suhu dan penurunan kelembaban udara, water hardeness, asap roklok,
penggunaan pendingin ruangan yang berpengaruh pula pada kelemban,
penggunanan shampo dan sabun yang berlebihan, dan detergen yang
tidak dibilas dengan sempurna2.

IV.5 Gambaran Klinis


Kulit penderita DA. umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di
epidermis berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Jari
tangan teraba dingin. Penderita DA. cenderung tipe astenik, dengan
inteligensia di atas rata-rata, sering merasa cemas, egois, frustrasi, agresif,
atau merasa tertekan.
Gejala utama DA. Jalah (pruritus), dapat hilang timbul sepanjang
hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita
akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan di kulit
berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan krusta.
DA. dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu: DA. infantil (terjadi
pada usia 2 bulan sampai 2 tahun; DA. anak (2 sampai 10 tahun); dan DA.
pada remaja dan dewasa1.

DA. infantil (usia 2 bulan sampai 2 tahun)


DA. paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan, biasanya
setelah usia 2 bulan. Lesi mulai di muka (dahi, pipi) berupa eritema,
papulo-vesikel yang halus, karena gatal digosok, pecah, eksudatif, dan
akhirnya terbentuk krusta. Lesi kemudian meluas ke tempat lain yaitu ke
skalp, leher, pergelangan tangan, lengan dan tungkai. Bila anak mulai
merangkak, lesi ditemukan di lutut. Biasanya anak mulai menggaruk
setelah berumur 2 bulan. Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu
sehingga anak gelisah, susah tidur, dan sering menangis. Pada umumnya
lesi DA. infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat
mengalami infeksi. Lesi dapat meluas generalisata bahkan, walaupun
jarang, dapat terjadi eritroderma. Lambat laun lesi menjadi kronis dan
residif.
Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi. Pada sebagian
besar penderita sembuh setelah usia 2 tahun, mungkin juga sebelumnya,
sebagian lagi berlanjut menjadi bentuk anak. Pada saat itu penderita tidak
lagi mengalami eksaserbasi, bila makan makanan yang sebelumnya
menyebabkan kambuh penyakitnya.
Larangan makan atau minuman yang mengandung susu sapi pada
bayi masih ada silang pendapat. Ada yang melaporkan bahwa kelainan
secara dramatis membaik setelah makanan tersebut dihentikan, sebaliknya
ada pula yang mendapatkan tidak ada perbedaan. (Djuanda, 2011)
DA. pada anak (usia 2 sampai 10 tahun)
Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantil, atau timbul sendiri
(de novo). Lesi lebih kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul,
likenifikasi, dan sedikit skuama. Letak kelainan kulit di lipat siku, lipat
lutut, pergelangan tangan bagian fleksor, kelopak mata, leher, jarang di
muka. Rasa gatal menyebabkan penderita sering menggaruk; dapat terjadi
erosi, likenifikasi, mungkin juga mengalami infeksi sekunder. Akibat
garukan, kulit menebal dan perubahan lainnya yang menyebabkan gatal,
sehingga terjadi lingkaran setan siklus gatal-garuk. Rangsangan
menggaruk sering di luar kendali. Penderita sensitif terhadap, wol, bulu
kucing dan anjing, juga bulu ayam, burung dan sejenisnya.
DA. berat yang melebihi 50% permukaan tubuh dapat
memperlambat pertumbuhan. (Djuanda, 2011)

DA. pada Remaja dan Dewasa


Lesi kulit DA. pada bentuk ini dapat berupa plak papular-
eritematosa dan berskuama, atau plak likenifikasi yang gatal. Pada DA.
remaja lokalisasi lesi di lipat siku, lipat lutut, dan samping leher, dahi, dan
sekitar mata. Pada DA. dewasa, distribusi lesi kurang karakteristik, sering
mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat pula ditemukan setempat,
misalnya di bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu, atau skalp.
Kadang erupsi meluas, dan paling parah di lipatan, mengalami likenifikasi.
Lesi kering, agak menimbul, papul datar dan cenderung bergabung
menjadi plak likenifikasi dengan sedikit skuama, dan sering tejadi
eksoriasi dan eksudasi karena garukan. Lambat laun terjadi
hiperpigmentasi.
Lesi sangat gatal, terutama pada malam hari waktu beristirahat.
Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh bila
mengalami stres. Mungkin karena stres dapat menurunkan ambang
rangsang gatal. Penderita atopik memang sulit mengeluarkan keringat,
sehingga rasa gatal timbul bila mengadakan latihan fisik. Pada umumnya
DA. remaja atau dewasa berlangsung lama, kemudian cenderung menurun
dan membaik (sembuh) setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia
pertengahan; hanya sebagian kecil terus berlangsung sampai tua. Kulit
penderita DA. yang telah sembuh mudah gatal dan cepat meradang bila
terpajan oleh bahan iritan eksogen.
Penderita atopik berisiko tinggi menderita dermatitis tangan, kira-
kira 70% suatu saat dapat mengalaminya. DA. pada tangan dapat
mengenai punggung maupun telapak tangan, sulit dibedakan dengan
dermatitis kontak. DA. di tangan biasa timbul pada wanita muda setelah
melahirkan anak pertama, ketika sering terpajan sabun dan air sebagai
pemicunya.
Berbagai kelainan dapat menyertai DA, misalnya: hipedinearis
palmaris, xerosis kutis, iktiosis, pomfoliks, pitiriasis alba, keratosis pilaris,
lipatan Dennie Morgan, penipisan alis bagian luar (tanda Hertoghe),
keilitis, katarak subkapsular anterior, lidah geografik, liken spinulosus, dan
keratokonus (bentuk kornea yang abnormal). Selain itu penderita DA.
cenderung mudah mengalami kontak urtikaria, reaksi anafilaksis terhadap
obat, gigitan atau sengatan serangga. (Djuanda, 2011)

IV.6 Diagnosis
Diagnosis DA. didasarkan kriteria yang disusun oleh Hanifin dan
Rajka yang diperbaiki oleh kelompok kerja dari Inggris yang dikoordinasi
oleh Williams (1994). (Djuanda, 2011)

Kriteria mayor
- Pruritus
- Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak
- Dermatitis di fleksura pada dewasa
- Dermatitis kronis atau residif
- Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya
Gambar 1. Dermatitis pada muka dan fleksura

Kriteria minor

Gambar 2. Kriteria Minor

- Xerosis
- Infeksi kulit (khususnya oleh S.aureus dan virus herpes simpleks)
- Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki
- lktiosis/hipediniar palmads/keratosis pilaris
- Pitiriasis alba
- Dermatitis di papila mame
- White dermographism dan delayed blanch response
- Keilitis
- Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
- Konjungtivitis berulang
- Keratokonus
- Katarak subkapsular anterior
- Orbita menjadi gelap
- Muka pucat atau eritem
- Gatal bila berkeringat
- Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
- Aksentuasi perifolikular
- Hipersensitif terhadap makanan
- Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi
- Tes kulit alergi tipe dadakan positif
- Kadar IgE di dalam serum meningkat
- Awitan pada usia dini1.

Diagnosis DA. harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor.
Untuk bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu:
Tiga kriteria mayor berupa:
- riwayat atopi pada keluarga,
- dermatitis di muka atau ekstensor,
- pruritus,
ditambah tiga kriteria minor
- xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris, aksentuasi perifolikular,
- fisura belakang telinga,
- skuama di skalp kronis.

Kriteria major dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka
didasarkan pengalaman klinis. Kriteria ini cocok untuk diagnosis penelitian
berbasis rumah sakit (hospital based) dan eksperimental, tetapi tidak dapat
dipakai pada penelitian berbasis populasi, karena kriteria minor umumnya
ditemukan pula pada kelompok kontrol, di samping juga belum divalidasi
terhadap diagnosis dokter atau diuji untuk pengulangan (repeatability). Oleh
karena itu kelompok kerja Inggris (UK working party) yang dikoordinasi oleh
William memperbaiki dan meyederhanakan kriteria Hanifin dan Rajka menjadi
satu set kriteria untuk pedoman diagnosis DA. yang dapat diulang dan divalidasi.
Pedoman ini sahih untuk orang dewasa, anak, berbagai ras, dan sudah divalidasi
dalam populasi, sehingga dapat membantu dokter Puskesmas membuat diagnosis1.
Pedoman diagnosis DA. yang diusulkan oleh kelompok tersebut yaitu:
- Harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau dari laporan orang
tuanya bahwa anaknya suka menggaruk atau menggosok.
- Ditambah 3 atau lebih kriteria berikut:
1 Riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipat siku, belakang lutut,
bagian depan pergelangan kaki atau sekeliling leher (termasuk pipi anak
usia di bawah 10 tahun).
2 Riwayat asma bronkial atau hay fever pada penderita (atau riwayat
penyakit atopi pada keluarga tingkat pertama dari anak di bawah 4 tahun).
3 Riwayat kulit kedng secara umum pada tahun terakhir.
4 Adanya dermatitis yang tampak di lipatan (atau dermatitis pada pipi/dahi
dan anggota badan bagian luar anak di bawah 4 tahun).
5 Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak di bawah 4
tahun).

Gambar 3. Tempat Predileksi Dermatitis Atopik

IV.7 Pemeriksaan Penunjang


1 Laboratorium
Tidak ada hasil laboratorium yang spesifik yang dapat dipergunakan untuk
menegakkan diagnosis dermatitis atopik. Hasil yang dapat ditemukan pada
dermatitis atopik, misalnya kenaikkan kadar IgE dalam serum, mengurangnya
jumlah sel-T ( terutama T-supresor) dan imunitas seluler, jumlah eosinofil
dalah darah relatif meningkat. (Davey, 2006)
2 Dermatografisme putih
Penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan tiga respon yakni berturut-
turut akan terlihat: Garis merah ditempat penggoresan selama 15 detik, warna
merah disekitarnya selama beberapa detik, edema timbul setelah beberapa
menit. Penggoresan pada penderita yang atopi akan bereaksi belainan. Garis
merah tidak disusul warna kemerahan, tetapi kepucatan selama 2 detik sampai
5 menit, sedangkan edema tidak timbul. Keadaan ini disebut dermatografisme
putih. (Davey, 2006)
3 Percobaan asetil kolin
Suntikan secara intra kutan solusio asetilkolin 1/5000 akan menyebabkan
hyperemia pada orang normal. Pada orang dengan dermatitis atopi akan
timbul vasokonstriksi terlihat kepucatan selama satu jam. (Davey, 2006)
4 Percobaan histamin
Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi penderita dermatitis atopi eritema
akan berkurang dibandingkan orang lain sebagai kontrol. Kalau obat tersebut
disuntikkan parenteral, tampak eritema bertambah pada kulit orang normal.
(Wolff, 2008)

IV.8 Diagnosis Banding (Wollf, 2008)

Penyakit Gambaran klinis


Seboroik dermatitis Berminyak, squama, riwayat keluarga tidak ada
Psoriasis Plak pada daerah ekstensor, skalp, gluteus, pitted nail
Neurodermatitis Gatal, soliter, riwayat keluarga tidak ada
Contact dermatitis Riwayat kontak, ruam di tempat kontak, riwayat keluarga
tidak ada
Skabies Papul, sela jari, positif ditemukan tungau
Sistemik Riwayat, pemeriksaan fisik. Pemeriksaan banyak sesuai
dengan penyakit
Dermatitis herpetiforme Vesikel berkelompok di daerah lipata
Dermatofita Plak dengan sentral healing, KOH negatif
Immmunodefisiensi Riwayat infeksi berulang
disorder
IV.9 Penatalaksanaan
Kulit penderita DA. cenderung lebih rentan terhadap bahan iritan, oleh
karena itu penting untuk mengidentifikasi kemudian menyingkirkan faktor yang
memperberat dan memicu siklus gatal-garuk, misalnya sabun dan deterjen;
kontak dengan bahan kimia, pakaian kasar, pajanan terhadap panas atau dingin
yang ekstrim. Bila memakai sabun hendaknya yang berdaya larut minimal
terhadap lemak dan mempunyai pH netral. Pakaian baru sebaiknya dicuci terlebih
dahulu sebelum dipakai untuk membersihkan formaldehid atau bahan kimia
tambahan. Mencuci pakaian dengan deterjen harus dibilas dengan baik, sebab sisa
deterjen dapat bersifat iritan. Kalau selesai berenang harus segera mandi untuk
membilas klorin yang biasanya digunakan pada kolam renang. Stres psikik juga
dapat menyebabkan eksaserbasi DA. (Djuanda, 2011)
Acapkali serangan dermatitis pada bayi dan anak dipicu oleh iritasi dari
luar, misalnya terlalu sering dimandikan; menggosok terlalu kuat; pakaian terlalu
tebal, ketat atau kotor; kebersihan kurang terutama di daerah popok; infeksi lokal;
iritasi oleh kencing atau feses; bahkan juga medicated baby oil. Pada bayi penting
diperhatikan kebersihan daerah bokong dan genitalia; popok segera diganti, bila
basah atau kotor. Upaya pertama adalah melindungi daerah yang terkena terhadap
garukan agar tidak memperparah penyakitnya. Usahakan tidak memakai pakaian
yang bersifat iritan (misalnya wol, atau sintetik), bahan katun lebih baik. Kulit
anak/bayi dijaga tetap tertutup pakaian untuk menghindari pajanan iritan atau
trauma garukan. (Djuanda, 2011)
Mandi dengan pembersih yang mengandung pelembab; hindari pembersih
antibakterial karena berisiko menginduksi resistensi. (Djuanda, 2011)

Menurut Kim dalam jurnalnya (Kim, 2015), penatalaksanaan DA meliputi:


a. Farmakologi
Pelembab: Petrolatum, Aquaphor, atau agen yang lebih baru seperti
Atopiclair dan Mimyx (unggul tetapi lebih mahal dan
membutuhkan evaluasi lebih lanjut)
Steroid topikal (andalan saat pengobatan; umumnya digunakan
dalam hubungannya dengan pelembab): Hidrokortison,
triamsinolon, atau betametason; basis salep umumnya lebih
disukai, khususnya di lingkungan kering
Imunomodulator: Tacrolimus dan pimecrolimus (inhibitor
kalsineurin; dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua dan
digunakan hanya sebagai indikasi); omalizumab (antibodi
monoklonal yang berfungsi menghalangi imunoglobulin E [IgE])

Pengobatan Topikal
Hidrasi kulit. Kulit penderita DA. kering dan fungsi sawarnya berkurang,
mudah retak sehingga mempermudah masuknya mikroorganisme patogen, bahan
iritan dan alergen. Pada kulit yang demikian perlu diberikan pelembab, misalnya
krim hidrofilik urea 10%; dapat pula ditambahkan hidrokortison 1% di dalamnya.
Bila memakai pelembab yang mengandung asam laktat, konsentrasinya jangan
lebih dari 5%, karena dapat mengiritasi bila dermatitisnya masih aktif. Setelah
mandi kulit dilap, kemudian memakai emolien agar kulit tetap lembab. Emolien
dipakai beberapa kali sehari, karena lama kerja maksimum 6 jam. (Djuanda, 2011)
Pasien disarankan Mandi yang sering dengan menambahkan minyak
pengemulsi (1L ditambahkan ke air mandi hangat) selama 5-10 menit dapat
melembabkan kulit. Minyak akan mempertahankan air pada kulit dan mencegah
penguapan. Dokter juga menyarankan pasien untuk memakai emolien seperti
petrolatum atau Aquaphor ke seluruh tubuh saat kulit masih basah, untuk
menyegel kelembaban dan memungkinkan air untuk diserap melalui stratum
korneum. Salep menyebar dengan baik pada kulit yang basah. Bahan aktif harus
diterapkan sebelum emolien. Emolien yang lebih baru seperti Atopiclair dan
Mimyx telah dianjurkan karena memiliki hasil yang lebih unggul, tetapi bahan
tersebut mahal dan perlu evaluasi lebih lanjut.(Kim, 2015)
Kortikosteroid topikal. Pengobatan DA. dengan kortikosteroid topikal
adalah yang paling sering digunakan sebagai anti-inflamasi lesi kulit. Namun
demikian harus waspada karena dapat terjadi efek samping yang tidak diinginkan.
Pada bayi digunakan salap steroid berpotensi rendah, misalnya
hidrokortison 1 %-1,5%. Pada anak dan dewasa dipakai steroid berpotensi
menengah, misalnya triamsinolon, kecuali pada muka digunakan steroid
berpotensi lebih rendah. Kortikosteroid berpotensi rendah juga dipakai di daerah
genitalia dan intertriginosa, jangan digunakan yang berpotensi kuat, misalnya
fluorinated glucocorticoid. Bila aktivitas penyakit telah terkontrol, dipakai secara
intermiten, umumnya 2 kali seminggu, untuk menjaga agar tidak cepat kambuh;
sebaiknya dengan kortikosteroid yang potensinya paling rendah.
Pada lesi akut yang basah dikompres dahulu sebelum digunakan steroid,
misalnya dengan larutan Burowi, atau dengan larutan permanganas kalikus
1:5000. (Djuanda, 2011)
Hasil studi dari Belanda oleh Haeck dkk. menunjukkan bahwa penggunaan
kortikosteroid topikal untuk dermatitis atopik pada kelopak mata dan daerah
periorbital aman, namun masih dalam pengawasan karena dapat menginduksi
glaukoma atau katarak. (Kim, 2015)
Sebagai rejimen perawatan, bubuk hidrokortison 1,25% dalam Asam
Mantle digunakan sebagai emolien berbasis steroid terbukti efektif dan aman
untuk waktu yang lebih lama (misalnya bulan) untuk mencegah kemerahan akut
dengan penambahan steroid-kelas yang lebih tinggi untuk mengobati kemerahan
akut secara cepat. (Kim, 2015)

Imunomodulator topikal
Takrolimus. Takrolimus (FK-506), suatu penghambat calcineurin, dapat
diberikan dalam bentuk salap 0,03% untuk anak usia 2-15 tahun; untuk dewasa
0,03% dan 0,1%. Takrolimus menghambat aktivasi sel yang terlibat dalam DA.
yaitu: sel Langerhans, sel T, sel mas, dan keratinosit. Pada pengobatan jangka
panjang dengan salep takrolimus, koloni S. aureus menurun. Tidak ditemukan
efek samping kecuali rasa seperti terbakar setempat. Tidak menyebabkan atrofi
kulit seperti pada pemakaian kortikosteroid; dapat digunakan di muka dan kelopak
mata. (Djuanda, 2011).
Pimekrolimus. Dikenal juga dengan ASM 81, suatu senyawa askomisin
yaitu imunomodulator golongan makrolaktam, yang pertama ditemukan dari hasil
fermentasi Streptomyces hygroscopicus var. ascomyceticus. Cara kerja sangat
mirip siklosporin dan takrolimus yang dihasilkan dari Streptomyces tsuku-baensis,
walaupun ketiganya berbeda dalam struktur kimianya, yaitu bekerja sebagai pro-
drug, yang baru menjadi aktif bila terikat pada reseptor sitosolik imunofilin.
Reseptor imunofilin untuk askomisin ialah makrofilin-12. Ikatan askomisin pada
makrofilin-12 dalam sitoplasma sel T, akan menghambat calcineurin (suatu
molekul yang dibutuhkan untuk inisiasi transkripsi gen sitokin), sehingga
produksi sitokin TH1 ( IFN-y dan IL-2) dan TH2 ( IL-4 dan IL-10) dihambat.
Askomisin juga menghambat aktivasi sel mas. Askomisin menghasilkan efek
imunomodulator lebih selektif dalam menghambat fase elisitasi dermatitis kontak
alergik, tetapi respons imun primer tidak terganggu bila diberikan secara sistemik,
tidak seperti takrolimus dan siklosporin. (Djuanda, 2011)
Derivat askomisin yang digunakan ialah krim SDZ ASM 981 konsentrasi
1%, mempunyai efektivitas sama dengan krim klobetasol-17- propionat 0.05%
(steroid superpoten), tidak menyebabkan atrofi kulit (setidaknya selama 4
minggu), aman pada anak dan dapat dipakai pada kulit sensitif misalnya pada
muka dan lipatan. Cara pemakaian dioleskan 2 kali sehari. (Djuanda, 2011)
Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari
2 tahun. Penderita yang diobati dengan pimekrolimus dan takrolimus dinasehati
untuk memakai pelindung matahari karena ada dugaan bahwa kedua obat tersebut
berpotensi menimbulkan kanker kulit. (Djuanda, 2011)
Sementara klaim ini sedang diselidiki lebih lanjut, obat hanya digunakan
jika terdapat indikasi yaitu untuk dermatitis atopik pada orang yang lebih dari 2 y
dan hanya jika terapi lini pertama gagal. terapi ini jauh lebih mahal daripada
kortikosteroid dan seharusnya hanya digunakan sebagai terapi lini kedua. (Kim,
2015)
Preparat ter. Preparat ter mempunyai efek antipruritus dan anti-inflamasi
pada kulit. Dipakai pada lesi kronis, jangan pada lesi akut. Sediaan dalam bentuk
salap hidrofilik, misainya yang mengandung likuor karbonis detergen 5% sampai
10 %, atau crude coal tar 1 % sampai 5%.(Djuanda, 2011)
Antihistamin. Pengobatan DA. dengan antihistamin topikal tidak
dianjurkan karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Dilaporkan
bahwa aplikasi topikal krim doksepin 5% dalam jangka pendek (satu minggu),
dapat mengurangi gatal tanpa terjadi sensitisasi. Tetapi perlu diperhatikan, bila
dipakai pada area yang luas akan menimbulkan efek samping sedatif. (Djuanda,
2011)

Pengobatan Sistemik

Kortikosteroid. Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk


mengendalikan eksaserbasi akut, dalam jangka pendek, dan dosis rendah,
diberikan berselang-seling (alternate), atau diturunkan bertahap (tapering),
kemudian segera diganti dengan kortikosteroid topikal. Pemakaian jangka panjang
menimbulkan berbagai efek samping, dan bila dihentikan, lesi yang lebih berat
akan muncul kembali. (Djuanda, 2011)
Antihistamin. Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi rasa
gatal yang hebat, terutama malam hari, sehingga mengganggu tidur. Oleh karena
itu antihistamin yang dipakai ialah yang mempunyai efek sedatif, misalnya
hidroksisin atau difenhidramin. Pada kasus yang lebih sulit dapat diberikan
doksepin hidroklorid yang mempunyai efek antidepresan dan memblokade
reseptor histamih H1 dan H2, dengan dosis 10 sampai 75 mg secara oral malam
hari pada orang dewasa. (Djuanda, 2011)
Anti-infeksi. Pada DA. ditemukan peningkatan koloni S. aureus. Untuk
yang belum resisten dapat diberikan eritromisin, asitromisin atau, klaritromisin,
sedang untuk yang sudah resisten diberikan dikloksasilin, oksasilin, atau generasi
pertama sefalosporin. (Djuanda, 2011)
Bila dicurigai terinfeksi oleh virus herpes simpleks kortikosteroid
dihentikan sementara dan diberikan per oral asiklovir 400 mg 3 kali per hari
selama 10 hari, atau 200 mg 4 kali per hari selama 10 hari. (Djuanda, 2011)
Interferon. IFN-y diketahui menekan respons IgE dan menurunkan fungsi
dan proliferasi sel TH2. Pengobatan dengan IFN-y rekombinan menghasilkan
perbaikan klinis, karena dapat menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi.
Siklosporin. DA. yang sulit diatasi dengan pengobatan konvensional
dapat diberikan pengobatan dengan siklosporin dalam jangka pendek. Dosis
jangka pendek yang dianjurkan per oral: 5 mg/kg berat badan. Siklosporin adalah
obat imunosupresif kuat yang terutama bekerja pada sel T akan terikat dengan
cyclophilin (suatu protein intraselular) menjadi satu kompleks yang akan
menghambat calcineurin sehingga transkripsi sitokin ditekan. Tetapi, bila
pengobatan dengan siklosporin dihentikan umumnya penyakitnya akan segera
kambuh lagi. Efek samping yang mungkin timbal yaitu peningkatan kreatinin
dalam serum, atau bahkan terjadi penurunan fungsi ginjal dan hipertensi.
(Djuanda, 2011)

Terapi Sinar (Phototherapy)


Untuk DA. yang berat dan luas dapat digunakan PUVA
(photochemotherapy) seperti yang dipakai pada psoriasis. Terapi UVB, atau
Goeckerman dengan UVB dan ter juga efektif. Kombinasi UVB dan UVA lebih
baik daripada hanya UVB. UVA bekerja pada sel Langerhans dan eosinofil,
sedangkan UVB mempunyai efek imunosupresif dengan cara memblokade fungsi
sel Langerhans, dan mengubah produksi sitokin keratinosit.(Djuanda, 2011)

Pengobatan Lainnya untuk Dermatitis Atopik


Probiotik
Probiotik telah direkomendasikan sebagai pilihan terapi untuk pengobatan
dermatitis atopik. Hal ini dikarenakan produk bakteri ini dapat
menyebabkan respon imun dari Th 1 seri bukannya Th 2 dan karena itu
bisa menghambat perkembangan produksi antibodi alergi, IgE. Beberapa
laporan manfaat terbatas dalam peran pencegahan dan terapi. Sebuah
meta-analisis dari 25 uji plasebo acak terkontrol yang melibatkan 4.031
subjek menemukan bahwa pemberian probiotik saat prenatal dan postnatal
mengurangi kadar IgE pada bayi dan dapat melindungi terhadap sensitisasi
untuk alergi tetapi mungkin tidak melindungi terhadap asma.(Hand, 2013)
Pada bulan Januari 2015, Organisasi Alergi Dunia merekomendasikan
penggunaan probiotik oleh ibu hamil dan menyusui untuk mencegah
perkembangan DA. Rekomendasi ini didasarkan pada meta-analisis dari
29 studi yang digunakan probiotik oleh ibu hamil mengurangi kejadian
eksim sebesar 9% selama masa follow up 1-5 tahun dan penggunaan oleh
wanita menyusui dikaitkan dengan 16% pengurangan eksim selama masa
follow up 6 bulan. Konsumsi probiotik oleh menyusui bayi dikaitkan
dengan penurunan 5% pada eksim selama 6 bulan sampai 6 tahun masa
tindak lanjut. (Johnson, 2014)

Pada pasien dengan eksim herpeticum, asiklovir efektif.


Pada pasien dengan penyakit berat, dan terutama pada orang dewasa,
fototerapi, methotrexate (MTX), azathioprine, cyclosporine,
mycophenolate mofetil dan telah digunakan dengan sukses. (Kim, 2015)
Kedua hydroxyzine dan diphenhydramine hydrochloride memberikan
tingkat tertentu bantuan dari gatal-gatal tetapi tidak efektif tanpa
pengobatan lain. (Kim, 2015)
Terapi berhasil dengan everolimus, macrolide rapamycin yang diturunkan,
telah dilaporkan pada 2 pasien dengan dermatitis atopik parah. Terapi
kombinasi dengan baik prednisone atau siklosporin A tidak efektif.
Namun, laporan dari ketidakefektifan everolimus telah dipertanyakan.
(Kim, 2015)
Hasil dengan banyak obat lain, seperti thymopentin, gamma interferon,
dan ramuan Cina, telah mengecewakan. Banyak obat yang tidak praktis
untuk digunakan, dan mereka bisa mahal. Beberapa obat herbal Cina
mengandung obat resep, termasuk prednison, dan telah dikaitkan dengan
masalah jantung dan hati. (Kim, 2015)
Antibiotik digunakan untuk pengobatan infeksi klinis yang disebabkan
oleh S aureus atau flare penyakit. Mereka tidak berpengaruh pada penyakit
yang stabil tanpa adanya infeksi. Bukti laboratorium S aureus kolonisasi
tidak bukti infeksi klinis karena organisme staphylococcal umum menjajah
kulit pasien dengan dermatitis atopik. (Kim, 2015)

Sebuah acak, penyidik-buta, percobaan terkontrol plasebo termasuk 31


pasien menunjukkan bahwa salep mupirocin intranasal dan pemutih
diencerkan (sodium hipoklorit) mandi ditingkatkan atopik dermatitis
gejala pada pasien dengan tanda-tanda klinis infeksi bakteri sekunder.
(Kim, 2015)

Upaya Nonmedis Untuk Dermatitis Atopik


Pakaian harus lembut di sebelah kulit. Katun nyaman dan dapat berlapis di
musim dingin. Produk wol harus dihindari.
Suhu dingin, terutama pada malam hari, sangat membantu karena
berkeringat menyebabkan iritasi dan gatal.
Sebuah humidifier mencegah kelebihan pengeringan dan harus digunakan
pada musim dingin, ketika pemanasan mengering atmosfer, dan di musim
panas, ketika AC menyerap kelembaban dari udara.
Pakaian harus dicuci dalam deterjen ringan tanpa pemutih atau pelembut
kain.
Menghindari makanan Penyebab
Algoritma penatatlaksanaan dermatitis atopik. (Davey, 2006)

Penilaian awal riwayat penyakit, luas dan derajat penyakit


Termasuk penilaian efek psikologis, pengaruh kepada keluarga

Pelembab, edukasi

Mengatasi prurits dan Terapi


inflamasi
ajuvanakut
Remisi penyakit Kortikosteroid topikal atau
(tidak ada tanda
Penghambat dan gejala)
kalsineurin topikal Pimekrolimus 2Hindari
kali sehari atau Takrolimus
faktor-faktor 2
pencetus

Infeksi bakterial: antibiotik or

Infeks viral: terapi antiviral


Terapi pemeliharaan
Untuk penyakit persisen dan atau sering kambuhpsikologis
Intervensi
Pada tanda dini rekurensi gunakan penghambat kalsineurin topikal untuk mencegah progresivitas penyakit Pimekrolim
Penggunaan penghambat kalsineurin topikal jangka waktu lama untuk pemeliharaan
antihistamin
kortikosteroid topikal secara intermiten

Penyakit berat dan refrakter


Fototerapi
Kortiosteriid topikal poten
Siklosporin
Metotreksat
Kortiosteroid oral
Azatioprin -Psikoterapi

IV.10 Komplikasi
Infeksi sekunder

IV.11 Prognosis
Sulit meramalkan prognosis DA. pada seseorang. Prognosis lebih buruk
bila kedua orang tuanya menderita DA. Ada kecenderungan perbaikan spontan
pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada masa remaja. Sebagian kasus
menetap pada usia di atas 30 tahun. Penyembuhan spontan DA. yang diderita
sejak bayi pernah dilaporkan terjadi setelah umur 5 tahun sebesar 40-60%,
terutama kalau penyakitnya ringan. Sebelumnya juga ada yang melaporkan bahwa
84% DA. anak berlangsung sampai masa remaja. Ada pula laporan, DA. pada
anak yang diikuti sejak bayi hingga remaja, 20% menghilang, dan 65 % berkurang
gejalanya. Lebih dari separo DA. remaja yang telah diobati kambuh kembali
setelah dewasa.
Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang balk DA. yaitu:
- DA luas pada anak
- menderita rinitis alergik dan asma bronkial
- riwayat DA. pada orang tua atau saudara kandung
- awitan (onset) DA. pada usia muda
- anak tunggal
- kadar igE serum sangat tinggi.
Diperkirakan 30 hingga 50 persen DA. infantil akan berkembang menjadi
asma bronkial atau hay fever. Penderita atopi mempunyai risiko menderita
dermatitis kontak iritan akibat kerja di tangan. (Djuanda, 2011)
BAB V

KESIMPULAN

Pasien ini didiagnosis dengan dermatitis atopic dikarenakan beberapa hal


yang telah didapat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, yaitu terdapat 3 kriteria
mayor dan 3 kriteria minor dermatitis atopik. Kriteria mayor tersebut yaitu adanya
pruritus atau gatal, dermatitis kronis atau residif (keluhan sudah 1 bulan dan
kambuh jika obat habis) dan adanya riwayat atopi pada pasien (pasien sering sakit
flu/ Rhinitis Alergi) dan riwayat atopi pada keluarganya (nenek pasien). Kriteria
minor tersebut yaitu dermatitis yang terletak di papila mammae ( predileksi lesi
pasien yaitu di puting susu kanan), gatal bila berkeringat dan perjalanan penyakit
dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu dalam hal ini cuaca panas.
Etiopatogenesis dermatitis atopic pada pasien ini bersifat multifactorial, dengan
reaksi imunologik sebagai konsep dasarnya. Penatalaksanaan pada pasien ini
dilakukan secara medikamentosa dengan pemberian kortikosteroid topical dan
oral, antihistamin oral dan non medikamentosa dengan cara menghindari factor
pencetus untuk mencegah kekambuhan.
DAFTAR PUSTAKA

Djuanda Adhi, dkk. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima.
Jakarta: FKUI.
Djuanda, S., dan Sri A., 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.

Kariosentono, 2006. Dermatitis Atopik (Eksema) . Cetakan 1 . Surakarta: LPP


UNS dan UNS Press

Lestari Titi, dkk. 2011. Panduan Pelayanan Medis Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin.
Natalia, dkk. 2011. Perkembangan Terkini pada Terapi Dermatitis Atopik, Artikel
Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan. J Indon Med Assoc,
Volum: 61, Nomor: 7, Jakarta: IDI.
Siregar, R. S., Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, Ed 2., EGC : Jakarta, 2008

Weekly epidemiological record. World Health Organization 2011; 86: 389-400.

Eichenfild et all. 2014. Guidelines of care for the management of atopic


dermatitis. American Academy of Dermatology Journal. 71:116-32

Harahap, M., Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates : Jakarta.2007

James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews Diseases of the Skin Clinical
Dermatology. 10th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010.

Johnson K. Probiotics in Pregnancy, Lactation Reduce Dermatitis. Medscape


Medical News. Nov 25 2014.[Full Text].

Kim, B. 2015. Atopic Dermatitis Treatment & Management. Medscape J.


http://emedicine.medscape.com/article/1049085-treatment. Diakses pada: 4
Oktober 2015.

National Institute of Occupational Safety Hazards (NIOSH), 2009. Occupational


and Environmental Exposure of Skin to Chemic.
Siregar, R. S., Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, Ed 2., EGC : Jakarta, 2008

Weekly epidemiological record. World Health Organization 2011; 86: 389-400.

[Guideline] Fiocchi A, Pawankar R, Cuello-Garcia C, et al. 2015.World Allergy


Organization-McMaster University Guidelines for Allergic Disease Prevention
(GLAD-P): Probiotics. World Allergy Organ J. 8 (1):4.[Medline].

Anda mungkin juga menyukai