Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2012 angka kematian ibu
menunjukkan 359 per 100.000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu ini jauh melonjak
dibandingkan hasil SDKI tahun 2007 yang mencapai 228 per 100.000 kelahiran hidup. AKI di
Jawa Barat sebesar 109,2 per 100.000 kelahiran hidup (Dinas Kesehatan Jawa Barat, 2012).
Angka tersebut masih jauh dari target Millenium Development Goals (MDGs) yang ke-4 yaitu
meningkatkan kesehatan ibu. Target pencapaian MDG pada tahun 2015 adalah sebesar 102 per
100.000 kelahiran hidup, sehingga diperlukan kerja keras untuk mencapai target tersebut.
Penyebab kematian ibu yang paling utama adalah perdarahan sekitar 60-70%, dibandingkan
sebab-sebab lain seperti pre-eklamsia dan eklamsia 10-20%, infeksi 20-30% (Manuaba, 2008).
Diperkirakan bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan, dan 50%
kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama. Dengan demikian asuhan pada masa nifas
diperlukan dalam periode ini karena merupakan masa kritis baik ibu maupun bayinya (Saefudin,
2011).
Angka kematian ibu melahirkan di Indonesia terbilang cukup memprihatinkan. Pada 2012
mencapai 5.118 orang. Sebagian dari kematian ibu disebabkan oleh perdarahan. Dua pertiga dari
semua kasus perdarahan pasca persalinan terjadi pada ibu tanpa faktor risiko yang diketahui
sebelumnya, dua pertiga kematian akibat perdarahan tersebut adalah dari jenis retensio plasenta,
dan tidak mungkin memperkirakan ibu mana yang akan mengalami atonia uteri maupun
perdarahan (WHO, 2008).
Perdarahan postpartum adalah perdarahan atau hilangnya darah sebanyak lebih dari 500cc
yang terjadi setelah anak lahir baik sebelum, selama, atau sesudah kelahiran plasenta. Menurut
waktu kejadiannya, perdarahan postpartum sendiri dapat dibagi atas perdarahan postpartum
primer yang terjadi dalam 24 jam setelah bayi lahir, dan perdarahan postpartum sekunder yang
terjadi lebih dari 24 jam sampai dengan 6 minggu setalah kelahiran bayi (Sarwono, 2008). Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Darmin (2013) mengenai faktor determinan kejadian perdarahan
postpartum di RSUD Majene Kabupaten Majene diperoleh hasil bahwa hasil penelitian
menunjukkan bahwa umur dari 35 tahun memiliki resiko 3,1 kali lebih besar dari pada ibu yang
berumur 20 35 tahun (95% Cl: 1,3 7,5). Paritas < 1 atau paritas > 3 memiliki resiko 6.1 kali
lebih besar dibandingkan dengan paritas 2-3 (95% Cl : 1,6 22,,6). Riwayat persalinan buruk
memiliki resiko 3.1 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu yang tidak memiliki riwayat
persalinan buruk (95% Cl : 1,6 22,6). Partus lama memiliki resiko 3.5 kali lebih besar dari pada
ibu dengan partus normal terhadap kejadian perdarahan post partum (95% Cl : 1,5 8,3). Ibu
dengan anemia memilik resiko 2.9 kali lebih besar terhadap kejadian perdarahan post partum (95
% Cl ; 1,2 6,8), walaupun tidak signifikan. Disimpulkan bahwa umur, paritas, riwayat
persalinan, partus lama merupakan faktor resiko terjadinya perdarahan post partum.
Perdarahan, khususnya perdarahan post partum yang disebabkan karena sisa plasenta dimana
tertinggalnya sisa plasenta atau selaput plasenta didalam rongga rahim yang mengakibatkan
perdarahan post partum dini (early postpartum hemorrhage) atau perdarahan post partum lambat
(late postpartum hemorrhage) yang biasanya terjadi dalam 6-10 hari pasca persalinan. Apabila
pada pemeriksaan USG diperoleh kesimpulan adanya sisa plasenta tahap pertama bisa dilakukan
eksplore digital (jika servik terbuka) atau mengeluarkan bekuan darah atau jaringan. Bila servik
hanya dapat dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan kuretase (Sarwono,
2008). Berdasarkan uraian masalah di atas penulis tertarik untuk menyusun laporan kasus dengan
topik Retensi Sisa Plasenta.
BAB II
STATUS PASIEN

IDENTITAS
Nama : Ny. SF
Tempat tanggal lahir : Magelang, 01-10-1998
Umur : 18 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : karyawan swasta
Tanggal MRS : 27 Maret 2017
Alamat : Dsn. Geduang RT 01 RW 05, Kalijobo, Kec. Secang

ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Perdarahan dari jalan lahir sejak 11 jam SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang :
P1A0 datang dari IGD RST dr. Soedjono jam 16.00 rujukan dari klinik dr. Heriyono,
Sp.OG karena pasien mengeluhkan keluar darah banyak dari jalan lahir sejak 5 jam pasca
melahirkan di puskesmas Grabag dengan bidan. Pasien melahirkan secara spontan jam
05.00 pagi hari ini (27 Maret 2017) dan bidan mengatakan bahwa ari-ari yang keluar
tidak utuh dan disarankan untuk USG ke dokter. Pasien datang ke klinik dr. Heriyono,
Sp.OG dan hasil USG menunjukkan masih ada sisa plasenta yang tertinggal. Lalu pasien
dirujuk ke RST dr. Soedjono. Darah yang keluar berwarna merah dan ada gumpalan,
perdarahan dirasakan terus menerus, selama setelah melahirkan sampai dibawa ke RST
Soedjono sudah ganti pembalut sebanyak 6 kali. Mulas-mulas dirasakan terakhir kali saat
setelah pulang dari bidan, keluhan pusing (-), demam (-), nyeri perut (-), nyeri jalan lahir
(-), BAK (+), BAB (+).

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien mengaku ini merupakan hamil yang pertama
Riwayat infeksi kandungan dan genitalia disangkal
Riwayat abortus disangkal
Riwayat trauma disangkal
Riwayat penyakit gangguan pembekuan darah disangkal
Asma (-), HT (-), DM (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


DM disangkal.
Hipertensi disangkal.
Asma disangkal.
Riwayat penyakit gangguan pembekuan darah disangkal

Riwayat Pengobatan/ operasi :


Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan dan jamu, hanya obat untuk kehamilan
dari dokter dan bidan.
Riwayat operasi sectio caesarea/ operasi abdomen lainnya
Riwayat kuret berulang disangkal
Pemeriksaan antenatal rutin di puskesmas Grabag

Riwayat Pribadi dan Sosial


Makan sehari 2-3x sehari, makan nasi, sayur dan lauk
Jarang berolahraga
Kebiasaan : merokok (-), minum alkohol (-)

Riwayat Alergi :
Obat-obatan disangkal
Makanan disangkal
Cuaca disangkal

Riwayat Perkawinan :
Perkawinan pertama, menikah tahun 2016

Riwayat Haid :
Haid pertama kali umur 11 tahun
Frekuensi haid : lamanya 7 hari, siklus 28 hari teratur dan tidak ada nyeri perut.
HPHT : 25 Juni 2016
Riwayat Kehamilan :
HPHT : 25 Juni 2016
HPL : 2 April 2017
UK : 39 minggu

Riwayat Persalinan:
Gravida (0), Aterm (+), Premature (-), Abortus (-), Anak Hidup (-), SC (-)
Pasien melahirkan anak pertamanya ini di bidan, usia kehamilan 39 minggu,
proses persalinan berjalan dengan lancar. Pasien mulai mulas-mulas sejak
pukul 16.00 tanggal 26/03/2017 namun mules-mules dirasakan masih jarang
sampai pukul 22.00 mules-mules dirasakan semakin sering dan semakin kuat.
Pukul 00.30 pasien mengatakan bahwa air ketubannya rembes, ada sedikit
lendir darah. Pasien merasa jumlah air ketuban tidak begitu banyak. Akhirnya
pukul 05.00 pagi tanggal 27/03/2017 telah lahir hidup bayi perempuan dengan
berat badan lahir 2900 gram, panjang badan 47 cm, secara spontan. Setelah itu
pasien mengatakan bidan memberikannya suntikan kemudian dilanjutkan
dikeluarkannya plasenta. Segera setelah itu plasentanya sudah keluar tapi
bidan mengatakan kalau plasenta yang keluar tidak utuh, dan setelah dicoba
untuk dikeluarkan tidak berhasil dan menyarankan untuk periksa USG ke
dokter. Pasien mengatakan kenceng-kenceng masih dirasakan sampai pasien
pulang dan menuju ke dokter untuk USG. Pasien tidak mendapat jahitan jalan
lahir karena menurut bidan hanya lecet-lecet sedikit saja. Kemudian pasien
baru pulang dari bidan sekitar pukul 09.00 selama setelah melahirkan bidan
mengatakan kalau darah yang keluar agak banyak. Ketika ditanya apakah
selama setelah melahirkan pasien diberikan obat injeksi lagi atau tidak, pasien
tidak ingat. Kemudian jam 10.00 pasien datang ke klinik praktek dr.Heriyono,
Sp.OG dan hasil USG menunjukkan masih ada sisa plasenta yang tertinggal di
dalam rahim. Lalu pasien dirujuk ke RST dr. Soedjono untuk rencana kuretase.

PEMERIKSAAN FISIK
KU : baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital :
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 79 x/menit
Respirasi : 22 x/menit
Suhu : 36,4oC
Antropometri :
Berat badan : 52 kg (sebelum hamil), 58 kg (sebelum melahirkan)
Tinggi badan : 158 cm
Status generalis
Kepala : Normocephal, deformitas (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
(+/+), reflex cahaya (+/+)
Hidung : Septum deviasi (-), sekret (-/-)
Mulut : lidah kotor (-), tremor (-), faring hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Pemeriksaan Thorax
Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : Vokal Fremitus kanan dan kiri simetris
Perkusi : Sonor pada ke 2 lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V linea midcalvicularis
sinistra
Perkusi : Batas atas : ICS III linea parasternalis sinistra
Batas kanan : ICS IV linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Pemeriksaan Abdomen
striae gravidarum (+), linea nigra (+), , nyeri tekan abdomen (-), bising usus
(+) dalam batas normal, TFU 2 jari dibawah pusat.

Genitalia :

Vulva/Vagina : darah (+)

Ekstremitas :
Atas : Udem (-/-), turgor kulit baik, akral hangat, sianosis (-),
CRT < 2 detik
Bawah : Udem (-/-), turgor kulit baik, akral hangat, sianosis (-),
CRT < 2 detik

STATUS OBSTETRI
Pemeriksaan luar
TFU : 2 jari dibawah pusat, kontraksi uterus lemah
Pemeriksaan Dalam
Vulva/Vagina : darah (+)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium (28 Maret 2017)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal


Pembekuan
Massa perdarahan 230 menit 1-3
Massa pembekuan 430 menit 2-6
Hematologi
Hemoglobin 12,1 g/dl P=11.3-15.5
Leukosit 9.200 /mm3 P=4.3-10.4
Hematokrit 43.0 % P=38.0-47.0
Trombosit 233 ribu/mm3 P=132-440
HbsAG Negatif Negatif

RESUME
Ny. SF, 18 tahun, P1A0 datang dari IGD RST dr. Soedjono jam 16.00 rujukan dari klinik
dr. Heriyono, Sp.OG. Pasien sebelumnya melahirkan secara spontan dengan bidan di
puskesmas Grabag jam 05.00 pagi hari ini (27 Maret 2017) dan bidan mengatakan bahwa
ari-ari yang keluar tidak utuh dan disarankan untuk USG ke dokter, hasil USG
menunjukkan masih ada sisa plasenta yang tertinggal. Lalu pasien dirujuk ke RST dr.
Soedjono. Darah yang keluar berwarna merah dan ada gumpalan, perdarahan dirasakan
terus menerus, selama setelah melahirkan sampai dibawa ke RST Soedjono sudah ganti
pembalut sebanyak 6 kali. mulas-mulas disangkal, keluhan pusing (-), demam (-), nyeri
perut (-), nyeri jalan lahir (-), BAK (+), BAB (+).

Pada pemeriksaan fisik ditemukan :

Tekanan darah : 110/80 mmHg


Nadi : 79 x/menit
Respirasi : 22 x/menit
Suhu : 36,4 oC
Pemeriksaan luar
TFU : 2 jari dibawah pusat
Pemeriksaan Dalam
Vulva/Vagina : darah (+)

Tindakan Operasi Yang Dilakukan


Kuretase

DIAGNOSIS
DIAGNOSIS KERJA PRE OPERASI
P1A0 dengan HPP ec Rest Plasenta
DIAGNOSIS KERJA POST OPERASI
P1A0 dengan HPP ec Rest Plasenta

PENGOBATAN/TINDAKAN
Infus Asering 20 tpm
Inj. Cefotaxim 1 gr/12 jam
Cek darah lengkap, HbsAg, Rapid Test
Rencana kuretase besok

FOLLOW UP
Tanggal S O A P
27/03/201 Masih keluar darah KU : baik P1A0 HPP Infus
7 dari jalan lahir cukup Kes : CM ec Rest Asering 20
(16.00) banyak (6x ganti Tanda Vital : Plasenta HR- tpm
pembalut sejak TD : 110/80 I Inj.
setelah melahirkan), Nadi: 79x/menit Cefotaxim 1
warna merah ada Suhu : 36,4oC gr/12 jam
gumpalan. RR : 22x/menit Cek DL,
Pusing (-), demam (-) Mata : CA -/- , SI -/- HBsAG,
nyeri perut (-), nyeri Abdomen : Rapid test
jalan lahir (-), BAK Striae gravidarum (+), Observasi
(+), BAB (+) linea nigra (+), TFU 2 KU dan
jari dibawah umbilikus, TTV
timpani, BU (+) normal Besok
Genitalia : Darah (+) kuretase
Ekstremitas:
Akral hangat, CRT < 2
detik, udema -/-
28/03/201 Masih keluar darah KU : baik P1A0 HPP Infus RL
7 dari jalan lahir, warna Kes : CM ec Rest Inj.
(07.00) merah jumlah sedang Tanda Vital : Plasenta H+1 Cefotaxime
(2x ganti pembalut TD : 130/90 1 gr/12 jam
sejak kemarin sore). Nadi: 84x/menit Puasa 6-8
Pusing (-), demam (-) Suhu : 36,2oC jam
nyeri perut (-), nyeri RR : 22x/menit Observasi
jalan lahir (-), BAK Mata : CA -/- , SI -/- KU dan
(+), BAB (+) Abdomen : TTV
Striae gravidarum (+), Kuretase
linea nigra (+), TFU 2 hari ini
jari dibawah umbilikus,
timpani, BU (+) normal
Genitalia : Darah (+)
Ekstremitas:
Akral hangat, CRT < 2
detik, udema -/-
28/03/201 Nyeri jalan lahir KU : Tampak sakit P1A0 Post Infus RL
7 ringan kuretase a/i Observasi
(Post Kes : CM HPP ec Rest KU dan
kuretase) Tanda Vital : Plasenta TTV
TD : 110/70 Kondisi
Nadi: 82x/menit baik boleh
Suhu : 36,5oC pulang
RR : 20x/menit
Mata : CA -/- , SI -/-
Abdomen :
Striae gravidarum (+),
linea nigra (+), TFU 2
jari dibawah umbilikus,
timpani, BU (+) normal
Genitalia : Darah (+)
Ekstremitas:
Akral hangat, CRT < 2
detik, udema -/-

Laporan Operasi
Pasien posisi litotomi

Disinfeksi lapangan operasi dengan betadine

Sonde uretus 17cm

Bersihkan cavum uteri dengan abortus tang dilanjutkan dengan kuret tajam dan
tumpul hingga kesan bersih

Cek perdarahan 35cc, jaringan 20cc

Operasi selesai
PROGNOSIS

ad vitam : dubia ad bonam

ad sanationam : dubia ad bonam

ad functionam : dubia ad bonam

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Nifas
Masa nifas (puerperium) adalah masa pulih kembali dimulai setelah kelahiran
plasenta dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil.
Lama masa nifas ini yaitu 6 8 minggu. Nifas dibagi dalam 3 periode menurut (Saifuddin,
2009). Antara lain :
1. Puerperium Dini yaitu kepulihan dimana ibu diperbolehkan berdiri dan berjalan jalan.
2. Puerperium intermedial yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia yang lama 6-8
minggu.
3. Remote puerperium adalah waktu yang di perlukan untuk pulih dan sehat sempurna
terutama bila selama hamil atau waktu persalinan mempunyai komplikasi. Waktu untuk sehat
sempurna bisa berminggu-minggu, bulan atau tahunan

B. Perdarahan Post Partum


1. Definisi
Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih dari 500 cc yang terjadi setelah bayi
lahir pervaginam atau lebih 1000 ml setelah persalinan abdominal. Kondisi dalam persalinan
menyebabkan kesulitan untuk menentukan jumlah perdarahan yang terjadi, maka batasan
jumlah perdarahan disebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari normal yang telah
menyebabkan perubahan tanda vital, antara lain pasien mengeluh lemah, limbung,
berkeringat dingin, menggigil, hiperapnea, tekanan darah sistolik <90 mmHg, denyut nadi
>100x/menit, kadar Hb < 8g/dL. (Nugroho, 2012a).
Perdarahan post partum adalah perdarahan yang berlebihan selama masa nifas,
termasuk periode 24 jam pertama setelah kala tiga persalinan selesai (Maryunani, 2013).
Perdarahan post partum merupakan penyebab kematian maternal terbanyak. Semua wanita
yang sedang hamil 20 minggu memiliki resiko perdarahan post partum dan sekuelenya.
Walaupun angka kematian maternal telah turun secara drastic di negara-negara berkembang,
perdarahan post partum tetap merupakan penyebab kematian maternal terbanyak dimana-
mana. (Nugroho, 2012b).
Definisi perdarahan post partum saat ini belum dapat ditentukan secara pasti.
Perdarahan post partum didefinisikan sebagai kehilangan darah lebih dari 500 ml setelah
persalian vaginal atau lebih dari 1000 ml setelah persalinan abdominal. Perdarahan dalam
jumlah ini dalam waktu kurang dari 24 jam disebut sebagai perdarahan post partum primer,
dan apabila perdarahan ini terjadi lebih dari 24 jam disebut sebagai perdarahan post partum
sekunder (Nugroho, 2012).
2. Jenis-Jenis Perdarahan Post Partum
Jenis-jensi pendarahan post partum menurut Nugroho (2012) adalah :
a. Perdarahan post partum dini atau perdarahan post partum primer (early postpartum
hemorrhage) : perdarahan post partum dini adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam
pertama setelah kala III.
b. Perdarahan masa nifas atau perdarahan post partum sekunder (late postpartum hemorrhage)
: perdarahan yang terjadi pada masa nifas (peurperium) tidak termasuk 24 jam pertama
setelah kala III. (Nugroho, 2012).

3. Etiologi Perdarahan Postpartum


Berdasarkan dari laporan-laporan baik di Negara maju maupun berkembang angka
kejadian berkisar antara 5% sampai 15% berdasarkan penyebabnya diperoleh sebaran sebagai
berikut (Nugroho, 2012) :
a. Kelainan darah 0,5-0,8%
Kausal PPP karena gangguan pembekuan darah baru dicurigai bila penyebab yang
lain dapat disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah mengalami hal yang sama pada
persalinan sebelumnya. Akan ada tendensi mudah terjadi perdarahan setiap dilakukan
penjahitan dan perdarahan akan merembes atau timbul hematoma pada bekas jahitan, atau
suntikan perdarahan dari gusi rongga hidng dan lain-lain. (Prawihardjo, 2010).
b. Laserasi jalan lahir 4-5%
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma.
Pertolongan persalinan yang semakin manipulative dan traumatic akan memudahkan robekan
jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks
belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomy, robekan spontan perineum,
trauma forceps atau vakum ekstraksi, atau karena versi ekstrasi. (Prawihardjo ,2010).
c. Retensio plasenta 16-17%
Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir disebut
sebagai retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala tiga
bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Disebut sebagai plasenta
akreta bila implantasi menembus desidua basalis dan Nitabuch layer, disebut sebagai plasenta
inkreta apabila plasenta sampai menembus miometrium dan disebut plasenta prekerta bila vili
korialis sampai menembus perineum.
d. Sisa plasenta 23-24%
Perdarahan sisa plasenta adalah perdarahan yang terjadi akibat tertinggalnya kotiledon
dan selaput kulit ketuban yang mengganggu kontraksi uterus dalam menjepit pembuluh darah
dalam uterus sehingga mengakibatkan perdarahan (Winkjosastro, 2008)
e. Atonia uteri 50-60%
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang menyebabkan
uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi
lahir. (Prawihardjo, 2010)

Tabel 1. Penilain Klinik untuk Menentukan Penyebab Perdarahan Post Partum


No Gejala dan tanda yang selalu ada Gejala dan tanda yang Diagnosis
kadang-kadang ada
1. - Uterus tidak berkontraksi dan Syok Atonia uteri
lembek
- Perdarahan segera setelah anak
lahir (Perdarahan Postpartum
Primer/P3)
2. - Perdarahan segera (Perdarahan - Pucat Robekan jalan
Postpartum Primer/P3) - Lemah lahir
- Darah segar yang mengalir segera - Menggigil
setelah bayi lahir

- Uterus kontraksi baik


- Plasenta lengkap

3. - Plasenta belum lahir - Tali pusat putus akibat Retensio


setelah 30 menit traksi berlebihan plasenta
- Inversio uteri akibat
- Perdarahan segera (Perdarahan tarikan
Postpartum Primer/P3)
- Uterus kontraksi baik - Perdarahan lanjutan

4. - Plasenta atau sebagian Uterus berkontraksi Tertinggalnya


selaput (mengandung pembuluh tetapi tinggi fundus sebagian
darah) tidak lengkap tidak berkurang plasenta

- Perdarahan segera (Perdarahan


Postpartum Primer/P3)
5. - Uterus tidak teraba - Syok neurogenik Inversio uteri
- Lumen vagina terisi - Pucat dan limbung
massa

- Tampak tali pusat (jika


plasenta belum lahir)

- Perdarahan segera (Perdarahan


Postpartum Primer/P3)
- Nyeri sedikit atau berat
6. - Sub-involusi uterus - anemia - Perdarahan
- Nyeri tekan perut bawah - demam terlambat

- Perdarahan lebih dari -


24 jam setelah persalinan Endometritis
(Perdarahan Postpartum atau sisa
Sekunder/P2S) plasenta
- Perdarahan bervariasi (terinfeksi
(ringan atau berat, terus-menerus atau tidak)
atau tidak teratur) dan berbau (jika
disertai infeksi)
7. - Perdarahan segera - Syok Robekan
(Perdarahan intraabdominal dan - Nyeri tekan perut dinding
atau vaginum) uterus /ruptura
- Denyut nadi ibu uteri
- Nyeri perut berat cepat

Tabel 2 Penilaian Klinik untuk Menentukan Derajat Syok)


Volume Kehilangan Tekanan Darah Gejala dan Derajat Syok
Darah (sistolik) Tanda
500-1000 mL (10- Normal Palpasi, Terkompensasi
15%) takikardia,
pusing
1000-1500 mL (15- Penurunan Lemah, Ringan
25%) ringan (80-100 takikardia,
mmHg) berkeringat
1500-2000 mL Penurunan Gelisah, pucat, Sedang
(25-35%) sedang (70-80 oliguria
mmHg)
2000-3000 mL Penurunan Pingsan , Berat
(35-50%) tajam (50- hipoksia anuria
70mmHg)
Sumber : Nugroho, (2012)

Perdarahan Sisa Plasenta


1. Definisi
Perdarahan sisa plasenta adalah perdarahan yang terjadi akibat tertinggalnya kotiledon
dan selaput kulit ketuban yang mengganggu kontraksi uterus dalam menjepit pembuluh darah
dalam uterus sehingga mengakibatkan perdarahan (Winkjosastro, 2008).Tertinggalnya bagian
plasenta dalam uterus dapat menimbulkan perdarahan post partum primer atau perdarahan
post partum sekunder (Sujiyatini, 2011).
Sisa plasenta bisa diduga bila kala uri berlangsung tidak lancar, atau setelah
melakukan manual plasenta atau menemukan adanya kotiledon yang tidak lengkap pada saat
melakukan pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan di ostium uteri eksternum pada
saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit. Untuk itu harus
dilakukan eksplorasi ke dalam rahim dengan cara manual/digital atau curettage dan
pemberian uterotonika. Anemia yang ditimbulkan setelah perdarahan dapat diberikan
transfuse sesuai dengan keperluannya (Prawihardjo, 2010).
Perdarahan sisa plasenta adalah perdarahan yang melebihi 500 cc setelah bayi lahir
karena tertinggalnya sebagian sisa plasenta termasuk selaput ketuban (Saifudin, 2010).
Sangat sulit memperkirakan kehilangan darah secara tepat karena darah seringkali bercampur
dengan cairan ketuban atau urine dan mungkin teresap handuk, kain, atau sarung. Tak
mungkin menilai kehilangan darah secara akurat melalui penghitungan jumlah darah disarung
karena ukuran sarung bermacam-macam dan mungkin sarung telah ddiganti jika terkena
sedikit darah atau basah oleh darah. Meletakan wadah atau pispot di bokong pasien atau
mengumpulkan darah bukan lah cara yang efektif untuk mengukur kehilangan darah dan
bukan cerminan asuhan sayang ibu, karena beraring diatas wadah atau pispot sangat tidak
nyaman dan menyulitkan pasien untuk memegang dan menyusui bayinya.
Satu cara untuk menilai kehilangan darah adalah dengan melihat volume darah yang
terkumpul dan memperkirakan berapa banyak botol 500 ml dapat menampung semua darah
tersebut. Jika darah bisa mengisi dua botol,artinya pasien 250 ml darah dan seterusnya.
Memperkirakan kehilngan darah hanyalah salah satu cara untuk menilai kondisi pasien. Cara
tak langsung untuk mengukur jumlah kehilangan darah adalah melalui penampakan dan
gejala tekanan darah. Apabila pendarahan menyebabkan pasien lemas, pusing, dan kesadaran
menurun serta tekanan darah sistol menurun lebih dari 10 mmHg dari kondisi sebelumnya,
maka telah terjadi perdarahan lebih dari 500 ml. bila pasien mengalami syok hipovolemik
maka pasien telah kehilangan darah 50% dari total jumlah darah (2000-2500 ml). penting
untuk selalu memantau keadaan umum dan menilai jumlah kehilangan darah pasien selama
kala IV melalui pemeriksaan tanda vital, jumlah darah yang keluar, dan kontraksi uterus.
(Sulistyawati, 2012;183).
2. Etiologi
Faktor penyebab utama perdarahan baik secara primer maupun sekunder menurut
(Rukiyah,Yeye dan Yulianti 2010;323).
a. Paritas
Merupakan faktor yang mempengaruhi perdarahan postpartum primer berikut adalah
klasifikasi paritas :
1) Primipara
Primipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak yang cukup besar untuk
hidup diluar. Pada primipara dapat menyebabkan ketidaksiapan ibu dalam menghadapi
komplikasi selama kehamilan, persalinan, dan nifas. Menurut Manuaba (2008) pada paritas
yang rendah (paritas 1), menyebabkan ketidaksiapan ibu dalam menghadapi persalinan
sehingga ibu hamil tidak mampu dalam menangani komplikasi yang terjadi selama
kehamilan, persalinan dan nifas. Perdarahan sisa plasenta dapat terjadi pada paritas beresiko
(primipara), hal ini dapat disebabkan oleh kerusakan yang terjadi pada pembuluh darah pada
plasenta sebagai akibat dari komplikasi asupan nutrisi, anemia atau karena belum
berfungsinya organ reproduksi. Pada kehamilan pertama pembentukan blocking antibodies
terhadap antigen plasenta belum sempurna, yang makin sempurna pada kehamilan
berikutnya.
2) Multipara
Multipara adalah seorang wanita yang telah melahirkan lebih dari satu kali sedangkan
semakin sering wanita mengalami kehamilan dan melahirkan (paritas lebih dari 3) maka
uterus semakin lemah hingga besar resiko terjadi perdarahan. Pada multipara terjadi
kemunduran dan cacat pada endometrium yang mengakibatkan terjadinya fibrosis pada bekas
implantasi plasenta pada persalinan sebelumnya, sehingga vaskularisasi menjadi berkurang
(Benson, 2009) Ibu-ibu yang dengan kehamilan lebih dari 1 kali atau yang termasuk
multigravida mempunyai risiko lebih tinggi terhadap terjadinya perdarahan pasca persalinan
dibandingkan dengan ibu-ibu yang termasuk golongan primigravida (hamil pertama kali). Hal
ini dikarenakan pada multigravida, fungsi reproduksi mengalami penurunan sehingga
kemungkinan terjadinya perdarahan pasca persalinan menjadi lebih besar. (Benson, 2009).
Selain itu juga, pada multipara terjadi penurunan elastisitas uterus sehingga miometrium tidak
dapat berkontraksi dan beretraksi dengan maksimal yang mengakibatkan terjadinya retensio
plasenta.
3) Grandemultipara
Grandemultipara adalah seorang wanita yang telah melahirkan 5 orang anak atau
lebih dan biasanya mengalami penyulit dalam kehamilan dan persalinan. Ibu yang pernah
melahirkan 5 orang anak atau lebih baik hidup ataupun mati akan mengalami resiko selama
kehamilan ataupun persalinannya, salah satu komplikasi yang terjadi pada saat persalinan
yaitu perdarahan pada saat melahirkan yang disebabkan oleh otot uterus tempat implantasi
plasenta digantikan oleh jaringan baru yang tidak memiliki susunan jaringan otot sama seperti
sebelumnya sehingga mengurangi kemampuan uterus untuk berkontraksi (Rukiyah,
2010;323). Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut perdarahan pasca
persalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Paritas satu dan paritas tinggi (lebih
dari tiga) mempunyai angka kejadian perdarahan pasca persalinan lebih tinggi. Sama halnya
dengan multipara, pada persalinan grande terjadi penurunan elastisitas uterus sehingga
miometrium tidak dapat berkontraksi dan beretraksi dengan maksimal yang mengakibatkan
terjadinya sisa plasenta.

b. Usia yang terlalu muda dan terlalu tua


Umur Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau lebih dari 35
tahun merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan postpartum yang dapat mengakibatkan
kematian maternal, salah satunya atonia uteri. Hal ini dikarenakan pada usia dibawah 20
tahun fungsi reproduksi seorang wanita belum berkembang dengan sempurna, sedangkan
pada usia diatas 35 tahun fungsi reproduksi seorang wanita sudah mengalami penurunan
dibandingkan fungsi reproduksi normal sehingga kemungkinan untuk terjadinya komplikasi
postpartum terutama perdarahan akan lebih besar (Kristi, 2011)
Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan
persalinan adalah 20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada
usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi daripada kematian maternal yang terjadi
pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal meningkat kembali sesudah usia 30-35 tahun
(Wiknjosastro, 2005).

c. Persalinan pendek kurang dari 2 tahun


Jarak anak terakhir dengan kehamilan sekarang kurang dari 2 tahun. Alat reproduksi
memerlukan waktu untuk dapat berfungsi dengan sempurna. Waktu yang diperlukan untuk
masa pemulihan ini minimal 2 tahun. Jika persalinan kurang dari 2 tahun maka alat
reproduksi belum berfungsi secara sempurna sehingga kemungkinan terjadi perdarahan
(Rukiyah, 2010;323). Pada kehamilan dengan jarak < 2 tahun keadaan endometrium
mengalami perubahan, perubahan ini berkaitan dengan persalinan sebelumnya yaitu
timbulnya trombosis, degenerasi dan nekrosis di tempat implantasi plasenta. Adanya
kemunduran fungsi dan berkurangnya vaskularisasi pada daerah endometrium pada bagian
korpus uteri mengakibatkan daerah tersebut kurang subur sehingga kehamilan dengan jarak <
2 tahun dapat menimbulkan kelainan yang berhubungan dengan letak dan keadaan plasenta.
Menurut Benson (2009) Ibu yang hamil lagi sebelum 2 tahun sejak kelahiran yang terakhir
sering kali mengalami komplikasi dalam persalinan. Sementara dibutuhkan 2-4 tahun agar
kondisi tubuh ibu kembali seperti kondisi sebelumnya. Namun apabila ibu melahirkan secara
berturut-turut dalam jangka waktu yang singkat akan mengakibatkan kontraksi uterus
menjadi kurang baik dan organ reproduksi ibu belum pulih secara sempurna. Sehingga pada
saat persalinan berikutnya, uterus ibu tidak dapat berkontraksi dengan baik maka bagian-
bagian plasenta yang dikeluarkan tersebut tidak lengkap dan dapat mengakibatkan perdarahan
sisa plasenta.

d. Pertolongan kala uri sebelum waktunya.


Dikatakan bahwa faktor ini tetap menjadi penyebab perdarahan pascapartum yang
paling sering. Gesekan fundus atau manipulasi uterus dapat mencetuskan terjadinya
kontrakrsi aritmik sehingga plasenta hanya sebagian terpisah dan kehilangan retraksi
(Rukiyah,2010;323). Hal ini disebabkan oleh pemijatan rahim yang tidak merata. Pijatan
sebelum plasenta lepas, pemberian uterotonika dan lain-lain.
a. Tindakan pengeluaran plasenta dengan cara Brandt Andew
1) Hal ini disebabkan karena tarikan pada tali pusat pada saat melahirkan plasenta
(Achadiat, 2007).
2) Karena cara menekan dan mendorong uterus yang terlalu dalam sedangkan
plasenta belum terlepas dari uterus. (Wiknjosastro,2008).
b. Perdarahan dari tempat implantasi plasenta (Wiknjosastro, 2008)
1) Kotiledon atau selaput plasenta tersisa. Jika pada pemeriksaan plasenta ternyata
jaringan plasenta tidak lengkap, maka harus dilakukan eksplorasi dari cavum uteri.
2) Plasenta akreta parsialis
Plasenta akreta yang parsialis, yaitu jika hanya beberapa bagian dari permukaannya
lebih erat berhubungan dengan dinding rahim dari biasa. Istilah plasenta akreta
digunakan untuk menyatakan setiap implantasi plasenta dengan perlekatan plasenta
yang kuat dan abnormal pada dinding uterus. Sebagai akibat dari insufisiensi parsial
atau total desidua basalis dan pertumbuhan fibrinosid yang tidak sempurna (lapisan
Nitabuch) vili korialis akan melekat pada miometrium. (Manuaba dkk (2006:176).
Adanya perdarahan sisa plasenta karena plasenta sukar terlepas karena tempatnya
(insersi disudut tuba), bentuknya (plasenta membranacea, plasenta anularis), dan
ukurannya (palsenta yang sangat kecil). Plasenta yang sukar lepas karena penyebab di
atas disebut plasenta adhesive. Pada plasenta inkreta vili benar-benar menginvasi ke
dalam miometrium sedangkan pada plasenta prekerta vili menembus pada seluruh
miometrium. (Cuningham, 2006).

Pengamatan terhadap persalinan kala tiga dengan menggunakan pencitraan


ultrasonografi secara dinamis telah membuka perspektif baru tentang mekanisme kala tiga
persalinan. Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:

1. Fase laten, ditandai oleh menebalnya dinding uterus yang bebas tempat plasenta, namun
dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.
2. Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta melekat (dari
ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm).
3. Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan pemisahannya dari
dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom yang terbentuk antara dinding uterus dengan
plasenta. Terpisahnya plasenta disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif dengan
otot uterus yang aktif pada tempat melekatnya plasenta, yang mengurangi permukaan tempat
melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di lapisan spongiosa.
4. Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta bergerak turun,
daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul di dalam rongga
rahim. Ini menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta lebih merupakan
akibat, bukan sebab. Lama kala tiga pada persalinan normal ditentukan oleh lamanya fase
kontraksi. Dengan menggunakan ultrasonografi pada kala tiga, 89% plasenta lepas dalam
waktu satu menit dari tempat implantasinya.
3. Tanda dan Gejala Sisa Plasenta
Tanda dan gejala sisa plasenta menurut Anggraini (2010), adalah sebagai berikut,
yaitu :
a. Plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah) tidak lengkap.
b. Terjadi perdarahan rembesan atau mengucur, saat kontraksi uterus keras, darah berwarna
merah muda, bila perdarahan hebat timbul syok, pada pememriksaan inspekulo terdapat sisa
plasenta.
c. Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang.

4. Faktor Predisposisi
Menurut Manuaba (2008), faktor predisposisi perdarahan postparum dengan sisa
plasenta adalah sebagai berikut:
a. Hamil dengan anemia
Anemia adalah kondisi ibu dengan kadar haemoglobin (Hb) dalam darahnya kurang
dari 12 gr%.Anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar haemoglobin di
bawah 11 gr% pada trimester 1 dan 3 atau kadar haemoglobin kurang dari 10,5 gr% pada
trimester 2. Nilai batas tersebut dan perbedaannya dengan wanita tidak hamil terjadi karena
hemodilusi, terutama pada trimester 2. Darah akan bertambah banyak dalam kehamilan yang
lazim disebut hidremia atau hipervolemia. Akan tetapi, bertambahnya sel darah kurang
dibandingkan dengan bertambahnya plasma sehingga terjadi pengenceran darah.
Perbandingan tersebut adalah sebagai berikut: plasma 30%, sel darah 18% dan haemoglobin
19%.
Bertambahnya darah dalam kehamilan sudah dimulai sejak kehamilan 10 minggu dan
mencapai puncaknya dalam kehamilan antara 32 dan 36 minggu. Secara fisiologis,
pengenceran darah ini untuk membantu meringankan kerja jantung yang semakin berat
dengan adanya kehamilan. Bahaya persalinan pada ibu yang mengalami anemia adalah
gangguan His (kekuatan mengejan), kala pertama dapat berlangsung lama, dan terjadi partus
terlantar, kala dua berlangsung lama sehingga dapat melelahkan dan sering memerlukan
tindakan operasi kebidanan, kala uri dapat diikuti retensio plasenta, perdarahan postpartum
karena atonia uteri dan plasenta rest, kala empat dapat terjadi perdarahan postpartum
sekunder dan atonia uteri juga plasenta rest.
Hasil pemeriksaan Hb, dapat digolongkan sebagai berikut:
1) Hb 11 gr% : Tidak anemia
2) Hb 9-10 gr% : Anemia ringan
3) Hb 7 8 gr%: Anemia sedang
4) Hb < 7 gr% : Anemia berat
Kurangnya kadar haemoglobin menyebabkan jumlah oksigen yang diikat dalam darah
juga sedikit, sehingga mengurangi jumlah pengiriman oksigen ke organ-organ vital. Anemia
dalam kehamilan dapat berpengaruh buruk terutama saat kehamilan, persalinan dan nifas.
Perdarahan postpartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serat-serat myometrium
terutama yang berada di sekitar pembuluh darah yang mensuplai darah pada tempat
perlengketan plasenta. Adanya perdarahan karena sisa plasenta terjadi saat myometrium tidak
dapat berkontraksi secara adekuat (Wiknjosastro, 2010). Anemia menjadi salah satu pemicu
terjadinya sisa plasenta, karena jumlah oksigen yang diikat dalam darah kurang. Sehingga
jumlah oksigen yang dikirim ke uterus pun kurang. Hal ini menyebabkan otot -otot uterus
tidak berkontraksi dengan adekuat sehingga plasenta tidak lepas yang mengakibatkan
perdarahan postpartum.

b. Hamil dengan kekurangan gizi/malnutrisi


Malnutrisi adalah keadaan patologis akibat kekurangan atau kelebihan secara relative
atau absolut satu atau lebih zat gizi ditandai dengan LILA nya kurang dari 23,5 cm.
Proses terjadinya KEK merupakan akibat dari faktor lingkungan dan faktor manusia yang
didukung oleh kekurangan asupan zat-zat gizi,maka simpanan zat gizi pada tubuh digunakan
untuk memenuhi kebutuhan. Apabila keadaan ini berlangsung lama maka simpan zat gizi
akan habis dan akhirnya terjadi kemerosotan jaringan. Kurang energi kronik pada saat
kehamilan dapat berakibat pada ibu maupun pada janin yang dikandungnya.
1) Terhadap ibu: Dapat menyebabkan resiko dan komplikasi antara lain: anemia, perdarahan,
berat badan tidak bertambah secara normal dan terkena penyakit infeksi.
2) Terhadap persalinan: Pengaruhnya pada persalinan dapat mengakibatkan persalinan sulit
dan lama, persalinan sebelum waktunya (premature), perdarahan.
3) Terhadap janin: Menimbulkan keguguran/abortus, bayi lahir mati, kematian neonatal, cacat
bawaan, anemia pada bayi, bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Kurangnya asupan
nutrisi pada saat kehamilan menyebabkan intake (masukan) makanan atau gizi menjadi
rendah. Ketika tuntunan dan beban fisik terlalu tinggi mengakibatkan wanita tidak
mempunyai waktu untuk mengembalikan kekuatan diri dari tuntutan gizi. Rendahnya asupan
nutrisi dapat menyebabkan plasenta sukar untuk berkontraksi dan beretraksi kembali
sehingga pembuluh darah maternal pada dinding uterus akan tetap terbuka. Hal inilah yang
dapat meningkatkan insidensi perdarahan postpartum (Wiknjosastro, 2010).

c. Hidramnion
Hidramnion merupakan keadaan dimana jumlah air ketuban lebih banyak dari normal
atau lebih dari dua liter.dimana normal air ketuban itu adalah 500-1500 ml. (Wiknjosastro,
2010). Penyulit tersering pada ibu yang disebabkan oleh hidramnion adalah solusio plasenta,
disfungsi uterus, dan perdarahan postpartum. Pemisahan dini plasenta yang luas kadang-
kadang terjadi setelah air ketuban keluar dalam jumlah besar kerena berkurangnya luas
bagian uterus di bawah plasenta. (Wiknjosastro, 2010). Hidramion menyebabkan miometrium
menjadi sangat teregang sehingga menjadi kurang efisien (Cuningham, 2011). Dengan
kondisi uterus yang terlalu regang dapat menyebabkan pertumbuhan implantasi plasenta yang
agak luas. Uterus yang terlalu regang akan kehilangan elastisitasnya yang kemudian
berdampak miometrium tidak dapat berkontraksi dan retraksi dengan maksimal. Kondisi
adanya kontraksi dan retraksi yang tidak maksimal menyebabkan pertumbuhan plasenta sulit
lepas dari tempat implantasinya.

d. Gameli
Gamely atau hamil ganda merupakan kehamilan yang terdiri dari dua janin atau
lebih.Tonus uterus yang buruk akibat distensi yang berlebihan atau aktivitas hipotonik
cenderung menyebabkan terjadinya perdarahan (Fraser, 2011). Keregangan uterus pada
kehamilan ganda menyebabkan melemahnya kontraksi uterus sebagai mekanisme utama
untuk mengontrol pelepasan plasenta. Inersia uteri terjadi karena kegagalan mekanisme ini.
Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut miometrium
yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta
sehingga pada kehamilan ganda dapat menyebabkan retensio plasenta (Nugroho, 2012).
Sulistyowati (2009) mengungkapkan bahwa uterus yang terlalu regang akan kehilangan
elastisitasnya yang kemudian berdampak miometrium tidak dapat berkontraksi dan retraksi
dengan maksimal. Kondisi adanya kontraksi dan retraksi yang tidak maksimal menyebabkan
pertumbuhan plasenta sulit lepas dari tempat implantasinya. Keregangan uterus pada
kehamilan ganda menyebabkan melemahnya kontraksi uterus sebagai mekanisme utama
untuk mengontrol pelepasan plasenta.

5. Diagnosa
a. Untuk mengkaji adanya sisa plasenta perlu dilakukan palpasi uterus
b. Memeriksa kontraksi uterus, jika terdapat perdarahan dengan indikasi sisa plasenta uterus
berkontraksi tetapi tinggi fundus uteri tidak berkurang
c. Perdarahan segera setelah persalinan primer
d. Untuk mengkaji adanya sisa plasenta perlu dilakukan penilaian klinik yaitu dengan
memeriksa kelengkapan plasenta (Saifuddin, 2002)
e. Perdarahan pasca persalinan 500 ml selama 24 jam pertama
f. Ditemukan tanda tanda syok.
g. Dilakukan pemeriksaan inspekulo (Wirakusumah, 2002)

D. Penatalaksanaan
1. Tindakan Penanganan :
a. Pasang infus
b. Berikan antibiotik adekuat
c. Berikan uterotonika : oksitosin atau metergin
d. Tindakan definitif : kuretase dan diperiksakan Sp. OG.

2. Menurut Nugroho (2010) penatalaksanaan sisa plasenta yaitu :


a. Penemuan secara dini, hanya dimungkinkan dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan
plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan pendarahan pasca persalinan
lanjut, sebagian besar pasien akan kembali lagi ke tempat bersalin dengan keluhan
pendarahan setelah beberapa hari pulang kerumah dan subinvolusi uterus.
b. Berikan antibiotik karena pendarahan juga merupakan gejala metritis. Antibiotik yang
dipilih adalah ampisilin dosis awal 1 gr IV dilanjutkan 3 x 1gr oral di kombinasi dengan
metronidazol 1 gr suppositoria dilanjutkan 3 x 500 mg oral.
c. Lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah atau
jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta
dengan dilatasi dan kuretase
d. Bila kadar Hb < 8 g/dL berikan transfusi darah. Bila kadar Hb > 8 gr/dL, berikan Sulfas
Ferrous 600 mg/hari selama 10 hari.
3. Menurut Achadiat, 2004 penatalaksaaan sisa plasenta, yaitu bila hanya sisa plasenta (rest
placentae), pengeluaran dilakukan secara digital/manual ataupun dengan menggunakan kuret
besar dan tajam secara hati-hati.

4. Menurut buku Obgynacea, 2009 penatalaksanaan retensi sisa plasenta, yaitu :


a. Berikan antibiotika kombinasi :
1) Ampisilin 1 gr IV, dilanjutkan dengan ampisilin 31 gr per oral
2) Metronidazol 1 gr suppositoria, dilanjutkan Metronidazol 3500 mg per oral
b. Jika serviks terbuka : lakukan eksplorasi digital untuk mengeluarkan bekuan darah atau
jaringan. Jika serviks hanya dapat dilalui instrumen : lakukan evakuasi sisa plasenta dengan
AVM atau kuretase
c. Jika kadar Hb <8 gr% berikan transfusi darah. Jika kadar Hb 8 gr% Sulfas Ferrous
600 mg/hari per oral selama 10 hari.

5. Menurut Saifuddin, 2002 penatalaksanaan sisa plasenta yaitu :


a. Raba bagian dalam uterus untuk mencari sisa plasenta. Eksplorasi manual uterus
menggunakan teknik yang serupa dengan teknik yang digunakan untuk mengeluarkan
plasenta yang tidak keluar.
b. Keluarkan sisa plasenta dengan tangan, cunam ovum atau kuret besar.
Catatan : jaringan yang melekat dengan kuat, mungkin merupakan plasenta akreta. Usaha
untuk melepaskan plasenta yang melekat kuat dapat mengakibatkan perdarahan berat atau
perforasi uterus, yang biasanya membutuhkan tindakan histerektomi.
c. Jika perdarahan berlanjut, lakukan uji pembekuan darah dengan menggunakan uji
pembekuan darah sederhana. Kegagalan terbentuknya bekuan darah setelah 7 menit atau
terbentuknya bekuan darah yang lunan yang mudah hancur menunjukkan adanya
kemungkinan koagulopati.

Pengeluaran Plasenta
Inspeksi plasenta segera setelah bayi lahir. jika ada plasenta yang hilang, uterus harus
dieksplorasi dan potongan plasenta dikeluarkan khususnya jika kita menghadapi perdarahan
post partum lanjut.
Jika plasenta belum lahir, harus diusahakan mengeluarkannya. Dapat dicoba dulu
parasat Crede, tetapi saat ini tidak digunakan lagi karena memungkinkan terjadinya inversio
uteri. Tekanan yang keras akan menyebabkan perlukaan pada otot uterus dan rasa nyeri keras
dengan kemungkinan syok.
Cara lain untuk membantu pengeluaran plasenta adalah cara Brandt, yaitu salah satu
tangan, penolong memegang tali pusat dekat vulva. Tangan yang lain diletakkan pada
dinding perut diatas simfisis sehingga permukaan palmar jari-jari tangan terletak
dipermukaan depan rahim, kira-kira pada perbatasan segmen bawah dan badan rahim.
Dengan melakukan penekanan kearah atas belakang, maka badan rahim terangkat. Apabila
plasenta telah lepas maka tali pusat tidak tertarik keatas. Kemudian tekanan diatas simfisis
diarahkan kebawah belakang, ke arah vulva. Pada saat ini dilakukan tarikan ringan pada tali
pusat untuk membantu megeluarkan plasenta. Tetapi kita tidak dapat mencegah plasenta tidak
dapat dilahirkan seluruhnya melainkan sebagian masih harus dikeluarkan dengan tangan.
Pengeluaran plasenta dengan tangan kini dianggap cara yang paling baik. Tehnik ini kita
kenal sebagai plasenta manual.
Indikasi Plasenta manual
Perdarahan pada kala III persalinan kurang lebih 500 cc
Retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir
Setelah persalinan yang sulit seperti forceps, vakum, perforasi dilakukan eksplorasi
jalan lahir.
Tali pusat putus

Teknik Plasenta Manual

Sebelum dikerjakan penderita disiapkan pada posisi litotomi. Keadaan umum


penderita diperbaiki sebesar mungkin, atau diinfus Ringer Laktat. Operator berdiri atau
duduk dihadapan vulva, lakukan desinfeksi pada genitalia eksterna begitu pula tangan dan
lengan bawah si penolong (setelah menggunakan sarung tangan). Kemudian labia dibeberkan
dan tangan kanan masuk secara obstetris ke dalam vagina. Tangan luar menahan fundus uteri.
Tangan dalam sekarang menyusun tali pusat yang sedapat-dapatnya diregangkan oleh asisten.
Setelah tangan dalam sampai ke plasenta, maka tangan pergi ke pinggir plasenta dan sedapat-
dapatnya mencari pinggir yang sudah terlepas.
Kemudian dengan sisi tangan sebelah kelingking, plasenta dilepaskan ialah antara
bagian plasenta yang sudah terlepas dengan dinding rahim dengan gerakan yang sejajar
dengan dinding rahim.Setelah plasenta terlepas seluruhnya, plasenta dipegang dan dengan
perlahan-lahan ditarik keluar.
Penanganan Retensio Plasenta atau sebagian sisa plasenta
Penemuan secara dini hanya mungkin dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan
plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan perdarahan pasca persalinan
lanjut, sebagian besar pasien akan kembali lagi ke tempat bersalin dengan keluhan
perdarahan
Penanganan sebagai berikut :
a. Resusitasi. Pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line dengan kateter yang berdiameter
besar serta pemberian cairan kristaloid (sodium klorida isotonik atau larutan ringer laktat
yang hangat, apabila memungkinkan). Monitor jantung, nadi, tekanan darah dan saturasi
oksigen. Transfusi darah apabila diperlukan yang dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan
darah. Bila kadar Hb<8 gr% berikan transfusi darah. Bila kadar Hb>8 gr%, berikan sulfas
ferosus 600 mg/hari selama 10 hari. 5
b. Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan Ringer laktat atau NaCl 0.9%
(normal saline) sampai uterus berkontraksi.
c. Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil lanjutkan dengan drips
oksitosin untuk mempertahankan uterus.
d. Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta. .
e. Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat dikeluarkan dengan
tang (cunam) abortus dilanjutkan kuret sisa plasenta. Pada umumnya pengeluaran sisa
plasenta dilakukan dengan kuretase. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati
karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus.
f. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat
uterotonika melalui suntikan atau per oral.
g. Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan infeksi
sekunder. Berikan antibiotika, ampisilin dosis awal 1g IV dilanjutkan dengan 3 x 1g oral
dikombinasikan dengan metronidazol 1g supositoria dilanjutkan dengan 3 x 500mg oral.
Plasenta akreta parsialis masih dapat dilepaskan secara manual, tetapi plasenta akreta
kompleks tidak boleh dilepaskan secara manual karena usaha ini dapat menimbulkan
perforasi dinding rahim. Terapi terbaik plasenta akreta totalis adalah histerektomi.
BAB IV
PEMBAHASAN

Ny. SF, 18 tahun P1A0, mengalami perdarahan pasca persalinan yang agak banyak
dari normalnya, hal ini secara jelas dari hasil USG disebabkan karena adanya sisa plasenta
yang tertinggal di dalam rahim pasien. Seperti pada tinjauan pustaka yang telah dijabarkan
sebelumnya, penyebab lain perdarahan pasca persalinan yaitu atonia uteri, laserasi/robekan,
retensio plasenta, retensi sisa plasenta, serta gangguan koagulasi. Diagnosis perdarahan post
partum karena atonia uteri dapat diambil sebagai hipotesis namun lemah karena pada atonia
uteri uterus tidak berkontraksi dan lembek namun pada kasus ini pasien mengatakan bahwa
sebelum dan setelah bayi lahir pasien masih merasa perutnya terasa kenceng-kenceng
meskipun dari hasil pemeriksaan ketika pasien datang ke RST dr Soedjono, didapatkan
kontraksi uterus saat perut pasien dipalpasi terasa kontraksinya lemah. Diagnosis perdarahan
post patum karena laserasi/robekan jalan lahir tidak diambil karena pada kasus ini pasien
tidak dilakukan jahit jalan lahir karena menurut bidan hanya lecet-lecet saja. Diagnosa
retensio plasenta dapat diambil sebagai hipotesa namun lemah karena pada retensio plasenta
plasenta belum lahir setelah 30 menit setelah bayi lahir, pada kasus ini pasien mengatakan
bahwa merasa ari-arinya keluar tidak sampai setengah jam, hanya saja plasenta yang keluar
tidak lengkap dan saat bidan mengeluarkan sisa plasenta yang tertinggal tidak berhasil
terambil. Dari pernyataan bidan yang mengatakan bahwa plasenta yang keluar tidak utuh
ditambah lagi ditegakkan dengan pemeriksaan lanjutan yaitu dengan USG didapatkan hasil
ada sisa plasenta yang masih tertinggal dalam rahim pasien dan perdarahan yang masih
terjadi memperkuat hipotesis ke arah retensi sisa plasenta. Penyebab perdarahan post partum
yang lain seperti gangguan koagulasi dicoret sebagai hipotesis karena pada pasien dan
keluarga tidak memiliki riwayat darah sukar berhenti jika mengalami luka, tanda-tanda
inversio uteri seperti uterus tidak teraba, lumen vagina terisi massa tidak ditemukan pada
pasien ini. Tanda-tanda ruptur uteri seperti perdarahan segera pervaginam atau
intraabdominal disertai nyeri perut hebat dan tanda-tanda syok disangkal pasien. Oleh karena
itu diagnosa pasien ini adalah perdarahan post partum karena retensi sisa plasenta.

Etiologi dan faktor predisposisi yang dapat menyebabkan tertinggalnya sisa plasenta
pasca melahirkan, sebagai etiologi yaitu diantaranya : paritas, yaitu pada primipara,
multipara dan grande multipara, usia ibu yang terlalu muda atau terlalu tua, persalinan
pendek yang kurang dari 2 tahun, pertolongan kala uri (kala III) sebelum waktunya atau
salah penanganan kala III. Sedangkan sebagai faktor predisposisinya diantaranya hamil
dengan anemia, hamil dengan malnutrisi, hidramnion dan kehamilan Gemeli. Etiologi pada
pasien ini yang menyebabkan terjadinya sisa plasenta adalah paritas (primipara) dan usia
yang terlalu muda atau kemungkinan pertolongan kala III sebelum waktunya atau salah
penanganan kala III. Sedangkan faktor predisposisi pasien ini tidak ditemukan. Dilihat dari
hasil pemeriksaan darah lengkap didapatkan Hb pasien yaitu 12,1 mg/dl yang masih berada
dalam batas normal Hb pada ibu hamil (11 mg/dl), dari BMI pasien yang didapat dari berat
badan sebelum hamil 52 kg dengan tinggi badan 158 yaitu 20,88 pasien masih termasuk
dalam normoweight yang artinya pasien masih dalam status gizi yang cukup (tidak
malnutrisi), pasien mengandung janin tunggal, dan ukuran perut pasien tidak terlalu besar
dan air ketuban yang keluar saat melahirkan pun menurut pasien tidak banyak sehingga
faktor predisposisi kehamilan gemeli dan hidramnion disingkirkan.

Paritas pada pasien ini termasuk dalam primipara. Primipara adalah wanita yang telah
melahirkan seorang anak yang cukup besar untuk hidup diluar. Menurut Manuaba (2008)
pada paritas yang rendah (paritas 1), menyebabkan ketidaksiapan ibu dalam menghadapi
persalinan sehingga ibu hamil tidak mampu dalam menangani komplikasi yang terjadi selama
kehamilan, persalinan dan nifas. Perdarahan sisa plasenta dapat terjadi pada paritas beresiko
(primipara), hal ini dapat disebabkan oleh kerusakan yang terjadi pada pembuluh darah pada
plasenta sebagai akibat dari komplikasi asupan nutrisi, anemia atau karena belum
berfungsinya organ reproduksi, namun pada pasien ini lebih kepada disebabkan karena belum
berfungsinya organ reproduksi dengan sempurna. Pada kehamilan pertama pembentukan
blocking antibodies terhadap antigen plasenta belum sempurna, yang makin sempurna pada
kehamilan berikutnya.
Umur wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau lebih dari 35
tahun merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan postpartum yang dapat mengakibatkan
kematian maternal, salah satunya retensi sisa plasenta. Khususnya pada kasus ini, pasien
berusia 18 tahun yaitu masuk dalam kategori usia terlalu muda (< 20 tahun). Hal ini
dikarenakan pada usia dibawah 20 tahun fungsi reproduksi seorang wanita belum
berkembang dengan sempurna, sedangkan pada usia diatas 35 tahun fungsi reproduksi
seorang wanita sudah mengalami penurunan dibandingkan fungsi reproduksi normal
sehingga kemungkinan untuk terjadinya komplikasi postpartum terutama perdarahan akan
lebih besar (Kristi, 2011). Selain itu penelitian Najah tahun 2004 menyatakan bahwa pada
usia ibu di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun bermakna sebagai faktor risiko yang
mempengaruhi perdarahan postpartum. Hal ini dikarenakan berdasarkan Manuaba 1998,
pada usia kurang dari 20 tahun penyakit kehamilan lebih tinggi dibanding saat masa
reproduksi sehat ( usia 20 35 tahun) karena fungsi reproduksi belum matang/berkembang
sempurna, selain itu juga belum siap untuk menerima kehamilan. Kematian maternal pada
wanita hamil dan melahirkan pada usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi
daripada kematian maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal
meningkat kembali sesudah usia 30-35 tahun (Wiknjosastro, 2005).

Pada pasien ini masih dimungkinkan disebabkan karena pertolongan kala III sebelum
waktunya atau salah penanganan kala III. Karena pasien tidak melahirkan di RST dr.
Soedjono proses persalinan yang jelas dan detail sulit didapatkan karena pasien pun ketika
ditanyai proses persalinannya secara detail tidak begitu mengingatnya dengan baik.
Kemungkinan kesalahan dari faktor predisposisi ini dapat dikarenakan manipulasi uterus atau
pemijatan rahim yang tidak merata, atau kesalahan dalam pemberian uterotonik. Dikatakan
bahwa faktor ini tetap menjadi penyebab perdarahan pascapartum yang paling sering.
Gesekan fundus atau manipulasi uterus dapat mencetuskan terjadinya kontrakrsi aritmik
sehingga plasenta hanya sebagian terpisah dan kehilangan retraksi (Rukiyah,2010;323). Hal
ini disebabkan oleh pemijatan rahim yang tidak merata, pijatan sebelum plasenta lepas,
pemberian uterotonika dan lain-lain. Tindakan pengeluaran plasenta dengan cara Brandt
Andew dikatakan sebagai penyebab hal ini disebabkan karena tarikan pada tali pusat pada
saat melahirkan plasenta (Achadiat, 2007) atau karena cara menekan dan mendorong uterus
yang terlalu dalam sedangkan plasenta belum terlepas dari uterus. (Wiknjosastro,2008).
Perdarahan yang terjadi dari tempat implantasi plasenta (Wiknjosastro, 2008) dapat
disebabkan karena kotiledon atau selaput plasenta tersisa atau terjadi plasenta akreta parsialis.
Jika pada pemeriksaan plasenta ternyata jaringan plasenta tidak lengkap, maka harus
dilakukan eksplorasi dari cavum uteri. Pada plasenta akreta yang parsialis, yaitu jika hanya
beberapa bagian dari permukaannya lebih erat berhubungan dengan dinding rahim sebagai
akibat dari insufisiensi parsial atau total desidua basalis dan pertumbuhan fibrinosid yang
tidak sempurna (lapisan Nitabuch) vili korialis akan melekat pada miometrium. (Manuaba
dkk (2006:176). Adanya perdarahan sisa plasenta karena plasenta yang sukar terlepas karena
faktor tempatnya (insersi disudut tuba), bentuknya (plasenta membranacea, plasenta anularis),
dan ukurannya (palsenta yang sangat kecil). Plasenta yang sukar lepas karena penyebab di
atas disebut plasenta adhesive. Pada plasenta inkreta vili benar-benar menginvasi ke dalam
miometrium sedangkan pada plasenta prekerta vili menembus pada seluruh miometrium.
(Cuningham, 2006).
Pada proses pengluaran plasenta, setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan
berkontraksi. Kontraksi dan retraksai otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir
persalinan. Sesudah berkontraksi, sel miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih
pendek dan lebih tebal. Dengan kontraksi yang berlangsung kontinyu, miometrium menebal
secara progresif, dan kavum uteri mengecil sehingga ukuran juga mengecil. Pengecilan
mendadak uterus ini disertai mengecilnya daerah tempat perlekatan plasenta.
Ketika jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta yang tidak dapat
berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus. Tegangan yang ditimbulkannya menyebabkan
lapisan desidua spongiosa yang longgar memberi jalan, dan pelepasan plasenta terjadi di
tempat itu. Pembuluh darah yang terdapat di uterus berada di antara serat-serat otot
miometrium yang saling bersilangan. Kontraksi serat-serat otot ini menekan pembuluh darah
dan retaksi otot ini mengakibatkan pembuluh darah terjepit lalu perdarahan berhenti. Adanya
sisa plasenta yang masih tertinggal di dalam uterus akan menghambat proses penghentian
perdarahan ini karena kontraksi dari serat-serat miometrium tidak dapat berkontraksi secara
efektif untuk menjepit pembuluh darah yang terbuka di tempat bekas implantasi plasenta
sehingga perdarahan yang terjadi tidak berhenti.
BAB V
PENUTUP

Kesimpulan

Seperti pada tinjauan pustaka yang telah dijabarkan sebelumnya, penyebab lain
perdarahan pasca persalinan yaitu atonia uteri, laserasi/robekan, retensio plasenta, retensi sisa
plasenta, serta gangguan koagulasi. Etiologi dan faktor predisposisi yang dapat menyebabkan
tertinggalnya sisa plasenta pasca melahirkan, sebagai etiologi yaitu diantaranya : paritas,
yaitu pada primipara, multipara dan grande multipara, usia ibu yang terlalu muda atau terlalu
tua, persalinan pendek yang kurang dari 2 tahun, pertolongan kala uri (kala III) sebelum
waktunya atau salah penanganan kala III. Sedangkan sebagai faktor predisposisinya
diantaranya hamil dengan anemia, hamil dengan malnutrisi, hidramnion dan kehamilan
Gemeli. Penanganan perdarahan post partum karena sisa plasenta ini dapat dengan pemberian
antibiotik adekuat, uterotonika atau dengan tindakan definitif yaitu kuretase dan diperiksakan
Sp.OG. Perdarahan post partum yang terjadi dapat dicegah dengan menghindari faktor
predisposisi dari sisa plasenta itu sendiri maupun faktor predisposisi dari etiologi perdarahan
post partum lainnya.

Saran
Kasus perdarahan post partum karena sisa plasenta masih memiliki insidensi cukup
tinggi. Setiap ibu hamil agar memperhatikan kesehatannya dengan lebih baik lagi,
menghindari faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan perdarahan post partum.
Khususnya dalam kasus ini faktor yang dapat menyebabkan perdarahan post partum karena
sisa plasenta yaitu untuk memperhatikan usia saat hamil agar tidak mengalami kehamilan di
usia terlau muda atau terlalu tua, tidak melahirkan anak lebih dari 3, memperhatikan asupan
gizi agar tidak mengalami malnutrisi dan anemia, dan melakukan pemeriksaan ante natal
secara rutin agar terpantau kondisi kesehatan ibu dan janinnya sehingga dapat
mempersiapkan juga tatalaksana proses persalinan dan kemungkinan komplikasi dan penyulit
yang terjadi agar dapat ditangani dengan cepat dan tepat.
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap III LC, Wenstrom
KD. Uterine Leiomyomas. In : Williams Obstetrics. 22 ndedition. Mc Graw-Hill. New
York : 2005
Sheris j. Out Look : Kesehatan ibu dan Bayi Baru Lahir. Edisi Khusus. PATH.
Seattle : 2002
Johanes C. Mose. Gestosis, dalam Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan Reproduksi,
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Edisi 2. EGC. Jakarta: 2004.
Sarwono Prawirohardjo. Ilmu Kebidanan. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo..
Jakarta. 2008.522
Fakultas Kedokteran UNPAD. Obstetri Patologi. Ilmu Kesehatan Produksi. Edisi 2.
Jakarta : EGC. 2004.
Mochtar, Rustam. Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi Jakarta :
EGC, 1998
Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadi T. Perdarahan Post Partum. Dalam : Ilmu
Bedah Kebidanan. Edisi 3. Jakarta : YBP-SP. 2002.
Fakultas Kedokteran UNPAD. Obstetri Fisiologi. Ilmu Kesehatan Produksi. Edisi 2.
Jakarta : EGC. 2004.50p.
Available at http//www.jurnaldokter.com. Kala3. Tahap Pengeluaran
Plasenta.Accessed on August 20, 2011

Anda mungkin juga menyukai