Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Diagnosis prenatal merupakan sebuah proses untuk menyingkirkan


kemungkinan adanya anomali atau kelainan genetik pada janin, untuk
memberikan informasi pada calon orang tua, serta memungkinkan untuk
mengubah penatalaksanaan kehamilan dan/atau perawatan postnatal.1
Insidens abnormalitas berat yang ditemukan pada saat lahir adalah sekitar
2-3%. Anomali tersebut mencakup sebagian besar dari kematian pada neonatus,
dan lebih dari kasus pediatri yang masuk ke rumah sakit terjadi akibat kelainan
genetik. Diagnosis prenatal merupakan sebuah pengetahuan untuk
mengidentifikasi abnormalitas struktural atau fungsional tersebut pada janin yang
sedang berkembang.2
Menurut The Australian Handbook for General Practitioners, tes prenatal
dibagi menjadi 2 yaitu tes skreening dan tes diagnostik. 3 Tujuan utama dari tes
skreening atau diagnostik prenatal adalah untuk mengidentifikasi resiko
abnormalitas struktural, genetik, metabolik, atau hematologik pada janin.
Perbedaan antara tes skreening dan diagnostik adalah bahwa tes skreening
didesain memiliki sensititifitas yang tinggi, tetapi juga memiliki tingkat false
positif yang tinggi. Tes skreening bertujuan untuk mengetahui apakah bayi
tersebut memiliki peningkatan resiko menderita masalah tertentu seperti sindrom
Down atau neural tube defect. Sebaliknya, tes diagnostik lebih akurat sehingga
dapat digunakan untuk menentukan klinis dan penatalaksanaannya. Tes diagnostik
digunakan untuk menentukan apakah bayi tersebut telah atau akan mengalami
kelainan genetik setelah lahir.3,4

Ada banyak kelainan yang dapat terjadi, tetapi hanya sedikit yang dapat
didiagnosis sebelum bayi lahir. Abnormalitas kromosom dan neural tube defect
merupakan kelainan yang paling sering didapatkan pada saat melakukan prosedur
diagnostik prenatal rutin. Kadang-kadang prosedur tersebut juga dapat mendeteksi
kelainan genetik seperti cystic fibrosis dan penyakit sickle cell. Tes spesifik

1
tersebut diminta jika diketahui adanya kehamilan yang beresiko tinggi mengalami
kelainan genetik.5
Contoh prosedur diagnostik prenatal misalnya ultrasound, amniosentesis,
dan chorionic villus sampling (CVS). Amniosentesis dan chorionic villus
sampling (CVS) dapat mendeteksi kelainan spesifik seperti abnormalitas
kromosom. Kedua prosedur tersebut memiliki resiko terjadinya keguguran atau
kematian janin (sekitar 1 dari 300 kasus atau kurang).3,5

Di Amerika Serikat, standar pelayanan obstetri adalah melakukan CVS


atau amniosentesis pada wanita yang akan berusia 35 tahun pada saat
melahirkan, karena wanita tersebut beresiko tinggi melahirkan anak dengan
sindrom Down atau beberapa tipe aneuploidy lainnya.6

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Diagnosis prenatal adalah ilmu dan seni untuk mengidentifikasi kelainan
struktur dan fungsi pada perkembangan janin. Sekitar 2-3% bayi baru lahir
mempunyai masalah dengan kelainan kongenital mayor yang ditemukan pada saat
lahir. Kelainan kongenital mayor merupakan salah satu penyebab utama kematian
neonatus, dan kelainan genetik merupakan empat besar kasus rawat inap di bagian
anak.1
Banyak kelainan pada janin dapat diidentifikasi saat prenatal dan kemajuan
teknologi dalam bidang kesehatan telah memungkinkan untuk melakukan pengobatan
prenatal, sehingga saat ini diagnosis prenatal merupakan jembatan penting antara
obstetri dan pediatrik. Terapi prenatal saat ini meliputi optimalisasi lingkungan
intrauteri dan kondisi pada saat persalinan, transfusi darah, pemberian obat-obatan,
amnioreduksi, pemasangan shunt dan operasi. Utuk masa yang akan datang akan
memungkinkan untuk melakukan transplantasi hematopeitic stem cell dan metode
transfer gen yang lain.1,2,3

Diagnosis prenatal meliputi evaluasi terhadap tiga kategori pasien berupa


yaitu :1

1 Janin dengan risiko tinggi untuk kelainan genetik dan kongenital


2 Mereka dengan risiko yang tidak diketahui untuk kelainan kongenital umum.
3 Janin yang pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan mempunyai kelainan
struktur dan perkembangan

3
Kualitas USG mempengaruhi kemampuannya untuk diagnostik prenatal
dalam mendeteksi kelainan-kelainan kongenital yang secara klinis sudah jelas
tampak, dan juga peningkatan kemampuannya mendeteksi kelainan kongenital yang
masih belum tampak jelas secara klinik, selain itu dapat membantu atau sebagai
pembimbing yang sangat akurat untuk berbagai prosedur seperti : pemeriksaan
amniosintesis, pemeriksaan villi khorialis, pemeriksaan darah janin dan pemeriksaan
biopsi Janin.
Upaya pencegahan cacat bawaan dapat dibedakan atas pencegahan primer dan
pencegahan sekunder. Pencegahan primer ditujukan pada upaya pencegahan
terjadinya kehamilan dengan cacat bawaan, kegiatan utamanya adalah penyaringan
atau deteksi dini golongan yang mempunyai risiko untuk mendapat keturunan dengan
cacat bawaan, yang meliputi kegiatan skrining, konseling prakonsepsi / pranikah dan
tindakan supportifnya berupa keluarga berencana, adopsi atau inseminasi donor.2, 3

Pencegahan sekunder ditujukan pada upaya pencegahan kelahiran bayi


dengan cacat bawaan dengan melakukan kegiatan pranatal antara lain: skrining
genetika dalam kehamilan, konseling prenatal, diagnosis prenatal dan tindakan
suportif lainnya berupa terminasi kehamilan, terapi gen maupun terapi janin in utero. 2,
3

2.2 INDIKASI TES DIAGNOSTIK


Faktor resiko umum :1, 3, 8
Usia maternal lanjut ( 37 tahun di Victoria, 35 tahun di tempat lain)
Salah satu indikasi utama diagnosis prenatal adalah usia maternal
lanjut; seiring dengan pertambahan usia wanita, resiko aneuploidy

4
kromosom pada janin juga meningkat. Mayoritas keguguran terjadi pada trimester
pertama kehamilan.1 Misalnya, wanita berusia 35 tahun memiliki resiko
melahirkan anak yang menderita sindrom Down sebesar 0.3% (1 per 385
kelahiran), sedangkan wanita berusia 45 tahun sebesar 3% (1 per 30 kelahiran).6
Peningkatan atau penurunan kadar serum alpha-fetoprotein (AFP) maternal
Hasil skreening serum maternal abnormal (ditemukan adanya peningkatan resiko
pada hasil tes skreening)

Gambar 2.1. Resiko kelainan kromosom berdasarkan usia maternal1

Faktor resiko khusus :1, 3, 8


Riwayat kehamilan sebelumnya dengan kelainan genetik / kromosom (misalnya
penyakit Tay-Sachs, hiperplasia adrenal kongenital)9
Keguguran dan/atau kematian janin multiple
Penyebab keguguran berulang (3 kali atau lebih) dapat berasal dari
kromosomal, anatomikal, immunologis, atau hormonal. Sekitar dari keguguran
terjadi karena abnormalitas kromosom.1
Riwayat kelainan genetik atau kelainan multifaktorial dalam keluarga
Etnis yang beresiko tinggi mengalami penyakit genetik

5
Teratogen
Penyakit ibu (misalnya diabetes insulin-dependent, phenylketonuria),
infeksi (misalnya toxoplasmosis, rubella) atau paparan terhadap zat-zat
internal atau eksternal (obat-obatan, alkohol, radiasi) tidak berhubungan
dengan penyakit kromosom atau genetik, tetapi dapat menyebabkan
abnormalitas janin.1
Penemuan USG abnormal (adanya tanda-tanda abnormalitas kromosom)

Gambar 2.2. Usia ibu dan resiko melahirkan bayi dengan sindrom Down3

2.3 TUJUAN
Tujuan dari diagnosis / skreening prenatal adalah sebagai berikut :10
Untuk memastikan bahwa kehamilan tersebut tidak terkomplikasi dan dapat
melahirkan bayi yang sehat
Mengidentifikasi dan melakukan penatalaksanaan jika ada keadaan yang
beresiko
Mengindividualisasikan tingkat pelayanan kesehatan yang diperlukan
Membantu ibu hamil dalam persiapan kehamilan, melahirkan, dan mengasuh
anak

6
Skreening adanya penyakit umum yang kemungkinan dapat mempengaruhi
kesehatan ibu hamil / janinnya
Melatih kebiasaan sehat yang baik untuk ibu hamil dan keluarganya

2.4 ANAMNESIS
Beberapa hal yang harus ditanyakan pada saat melakukan anamnesis pada pasien
adalah :
1) Riwayat Obstetri Sebelumnya10, 11
Gravid (G)
Merupakan jumlah total kehamilan, termasuk kehamilan intrauterin normal
dan abnormal, aborsi, kehamilan ektopik, dan mola hidatiform. Kehamilan
ganda dihitung 1.
Paritas (P)
Merupakan kelahiran bayi dengan berat > 500 g, baik hidup atau mati. Jika
beratnya tidak diketahui, gunakan usia gestasi 24 minggu. Kehamilan
ganda tetap dihitung 1. Nullipara artinya belum melahirkan bayi dengan
berat > 500 g atau usia gestasi 24 minggu.
Abortus (A)
Merupakan terminasi kehamilan pada usia gestasi usia gestasi < 24 minggu
atau berat janin < 500 g.
Riwayat melahirkan preterm sebelumnya (< 34 minggu)
Riwayat abortus spontan rekuren (3 kali atau lebih)

2) Riwayat Merokok 11
Skreening penggunaan tembakau direkomendasikan pada saat
kunjungan awal. Merokok selama kehamilan beresiko mengalami keguguran,
abrupsio plasenta, restriksi pertumbuhan janin, persalinan preterm, defek
seperti cleft and lift palate, dan sindrom kematian janin mendadak. Sangat
direkomendasikan untuk berhenti merokok.

3) Riwayat Minum Alkohol11

7
Alkohol bersifat teratogen dan mengonsumsi alkohol selama kehamilan
meningkatkan resiko terjadinya alchoholic fetal syndrome. Penggunaan
narkotika dan zat-zat terlarang lainnya dapat mengganggu kesehatan janin.

4) Riwayat Medis dan Operasi10


Catat semua alergi dan sensitifitas obat, obat yang pernah digunakan,
riwayat sakit yang penting, dan transfusi darah.
Catat semua tanggal operasi dan trauma berat serta dampaknya. Terkait
masalah melahirkan dengan cara caesar, catat tipenya (dokumentasi insisi uterus),
indikasi, percobaan persalinan normal, dan masalah operasi khusus atau
komplikasi postoperatif.

5) Riwayat Keluarga
Catat kelainan medis, genetik, dan psikiatri yang mungkin dapat
mempengaruhi pasien atau anaknya (misalnya DM, kanker, dan kelainan
mental).10
Menurut The Australian Handbook for General Practitioners, riwayat
keluarga wanita serta pasangannya yang harus diketahui berupa :3
Keadaan yang dapat diturunkan, misalnya cystic fibrosis, fragile X syndrome,
distrofi muskular Duchenne
Sindrom Down atau kelainan kromosom lainnya
Kelainan lahir seperti spina bifida, cleft lip/palate, defek pada jantung
Disabilitas intelektual
Keguguran berulang
Kematian perinatal yang tidak dapat dijelaskan
Consanguity
Latar belakang etnis

6) Sikap Pasien10
Apakah ini sebuah kehamilan yang diinginkan? Cari tahu mengenai
kenyamananya terhadap kehamilan tersebut, perawatan prenatal, perawatan

8
kehamilan dini, dukungan personal terhadap kehamilan dan persalinan, analgesi,
anestesi, persalinan, intervensi operatif, perawatan postpartum untuk bayi,
perawatan rumah sakit lainnya, dan responnya terhadap memiliki seorang anak.

2.5 PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan tekanan darah, berat badan, tinggi badan,
tinggi fundus uteri ( tafsiran berat badan janin ), auskultasi ( mengetahui denyut
jantung janin ), palpasi abdomen untuk mendeteksi kehamilan ganda ( setelah umur
kehamilan 28 minggu ), manuver Leopold untuk menentukan posisi dan letak janin.

Pemeriksaan Leopold I, bertujuan untuk mengetahui letak fundus uteri dan bagian
lain yang terdapat pada bagian fundus uteri. Dengan cara:
- Wajah pemeriksa menghadap kearah ibu
- Palpasi fundus uterus
- Tentukan bagian janin yang ada pada fundus

Pemeriksaan Leopold II, bertujuan untuk menentukan punggung dan bagian kecil
janin di sepanjang sisi maternal, dengan cara:
- Wajah pemeriksa menghadap ke arah kepala ibu.
- Palpasi dengan satu tangan pada tiap sisi abdomen.
- Palpasi janin di antara dua tangan.
- Temukan mana punggung dan bagian ekstremitas.

Pemeriksaan Leopold III, bertujuan untuk membedakan bagian persentasi dari janin
dan sudah masuk dalam pintu panggul, dengan cara:

- Wajah pemeriksa menghadap ke arah kepala ibu.


- Palpasi di atas simfisis pubis. Beri tekanan pada area uterus.
- Palpasi bagian presentasi janin di antara ibu jari dan keempat jari dengan

9
menggerakkan pergelangan tangan. Tentukan presentasi janin.
- Jika ada tahanan berarti ada penurunan kepala.

Pemeriksaan Leopold IV, bertujuan untuk meyakinkan hasil yang ditemukan pada
pemeriksaan Leopold III dan untuk mengetahui sejauh mana bagian presentasi sudah
masuk pintu atas panggul. Memberikan informasi tentang bagian presentasi : bokong
atau kepala, sikap/attitude (fleksi atau ekstensi), dan station (penurunan bagian
presentasi), dengan cara:
- Wajah pemeriksa menghadap ke arah ekstremitas ibu.
- Palpasi janin di antara dua tangan.
- Evaluasi penurunan bagian presentasi.12,13

2.6 PRENATAL DIAGNOSTIC

2.6.1 PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI


Sejak Donald memperkenalkan ultrasonografi (USG) dalam bidang obstetri pada
akhir tahun 1950an telah terjadi banyak kemajuan dalam teknologi USG ini.
Dengan semakin baiknya resolusi dan sensitifitas pemeriksaan dengan USG,
maka telah terjadi peningkatan penggunaan USG untuk diagnosis prenatal dalam
mememukan abnormalitas morfologi janin terutama setelah 18 minggu, dengan
penggunaan transduser transvaginal memungkinkan deteksi abnormalitas
morfologi janin mulai kehamilan 13 minggu.12,14

Informasi yang dapat diperoleh dari pemeriksaan ultrasonografi antenatal meliputi


:14

- Konfirmasi kehidupan janin


-
Penentuan umur kehamilan yang akurat
-
Diagnosis kehamilan ganda dan penentuan korionisitas
-
Deteksi anomali pada janin
-
Pemantauan pertubuhan janin

10
-
Penilaian kesejahteraan janin
-
Penentuan lokasi plasenta dan tepinya
-
Pemantauan real time untuk prosedur invasif
-
Deteksi kelainan uterus dan adneksa
RCOG pada tahun 1997 membuat rekomendasi untuk pemakaian USG sebagai
berikut :14

1 Skrining universal lebih dapat dipercaya untuk menentukan kelainan pada


janin dibanding dengan pemeriksaan scanning selektif.
2 Skrining kelainan pada janin menurunkan angka kematian perinatal karena
mampu mengidentifikasi kelainan dan melakukan terminasi kehamilan.
3 Berdasarkan bukti terkini, scanning pada usia kehamilan 18-20 minggu
merupakan metode yang paling efektif untuk mendeteksi kelainan pada janin.
4 Walaupun tidak memerlukan persetujuan tertulis sebelum pemeriksaan namun
wanita perlu diberi kesempatan untuk memilih apakah mau diperiksa. Harus
tersedia informasi tertulis dan lisan sebelum pemeriksaan. Ketetapan
mengenai konseling dan informasi yang memadai harus merupakan bagian
dari program skrining.
5 Bila terdeteksi adannya suatu kelainan maka harus diskusi mengenai
dampaknya. Orang tua mendapat manfaat dari diskusi yang melibatkan ahli
lain selain ultrasonografer dan spesialis kebidanan seperti ahli anak, ahli
genetik dan ahli bedah anak.
6 Pemeriksaan ultrasonografi hanya dilakukan oleh tenaga yang sudah terlatih.
Pemeriksaan skrining rutin harus dilakukan dengan dengan menggunakan
protokol atau daftar tilik yang telah disetujui.
Diagnosis kelainan janin dilakukan dengan tiga cara yaitu :

1 Dengan visualisasi langsung dari defek struktural, misalnya tidak adanya


tulang tengkorak pada anencephali.

11
2 Dengan menunjukkan disproporsi ukuran atau pertumbuhan dari bagian tubuh
tertentu pada janin misalnya, anggota gerak yang pendek pada dwarfism.
3 Dengan mengenali dampak dari anomali terhadap organ yang berdekatan,
misalnya adanya katup pada uretra posterior terdiagnosis dengan adanya
dilatasi pada saluran ginjal.
RCOG merekomendasikan program pemeriksaan dua tahap; pertama pada saat
ibu mendaftar dan pemeriksaan kedua pada sekitar atau saat kehamilan 20
minggu, minimal pada kehamilan 20 minggu. Bila ditemukan adanya kelainan
maka harus dirujuk untuk diperiksa oleh tenaga yang terampil untuk pemeriksaan
yang lebih rinci dan menentukan penanganan selanjutnya yang sesuai. Keputusan
penanganan harus dilakukan dengan mendapat masukan dari tim dengan keahlian
yang multidisplin. Orang tua harus terlibat langsung dan mendapat informasi
yang memadai untuk mengambil keputusan.14

Beberapa anomali yang banyak ditemukan antara lain : defek pada jantung,
defek dinding perut, kelainan SSP, kelainan gastro intestinal, kelainan ginjal dan
nuchal translucency. Kelainan ini dapat tersendiri atau berhubungan dengan anomali
kromosom atau bagian dari sindroma mendelian. Dengan demikian pemeriksan
dengan USG akan memberikan manfaat yang besar.13

Standar RCOG untuk pemeriksaan USG pada kehamilan 20 minggu adalah


sebagai berikut :14
Umur kehamilan : dengan mengukur diameter biparietal (BPD), lingkar kepala (HC)
dan panjang femur (FL)
Nomalitas janin
Bentuk kepala dan struktur di dalamnya : midline echo, kavum pellucidum,
cerebellum, ukuran ventrikel dan atrium (< 10 mm)
Spina : longitudinal dan transversal
Bentuk abdomen dan isinya ( setinggi lambung)
Bentuk abdomen dan isinya (setinggi umbilikus)

12
Pelvis ginjal (jarak anterior-posterior < 5 mm)
Aksis longitudinal : tampak toraks abdominal (diafragma / buli-buli)
Toraks (setinggi 4 chamber view)
Lengan 3 tulang dan tangan (tidak termasuk jari-jari)
Tungkai 3 tulang dan kaki (tidak termasuk jari-jari)
Optional : pembuluh darah yang keluar dari jantung, muka dan bibir.

Tabel di bawah ini menunjukkan defek kromosomal janin dan abnormalitas


ultrsonografi pada trimester ke-22 :

13
Tabel 2.1 Defek kromosomal janin dan abnormalitas ultrsonografi

14
2.6.2 AMNIOSINTESIS MIDTRIMESTER
Amniosintesis adalah tindakan mengeluarkan cairan amnion yang
mengandung sel-sel janin dan unsur biokimia dari rongga amnion. Pertama kali
dilakukan pada tahun 1880 untuk dekompresi polihidramnion. Pada tahun 1950
amniosintesis menjadi alat diagnostik ketika mulai dilakukan pengukuran kadar
bilirubin dalam cairan amnion untuk memantau isoimunisasi rhesus. Amniosintesis

15
untuk deteksi kelainan kromosom prenatal pertama kali dilaporkan pada tahun 1967.
Sejak itu amniosintesis diterima secara luas menjadi metode untuk diagnosis prenatal
untuk kelainan kromosom, penyakit-penyakit yang diturunkan, dan beberapa infeksi
kongenital.13,15
Indikasi utama untuk tindakan amniosintesis adalah pemeriksaan karyotype
janin. Sel-sel dalam cairan amnion berasal dari kulit janin yang mengalami
deskuamasi dan dikeluarkan dari saluran gastrointestinal, urogenital, saluran
pernafasan dan amnion. Sel-sel ini dipersiapkan untuk analisis pada tahap metafase
maupun untuk pemeriksaan FISH. Namun laboratorium lebih senang bila mendapat
sampel dari darah atau villi korialis karena banyak mengandung DNA yang
diperlukan untuk kultur.16
Dahulu cairan amnion juga dipakai untuk pemeriksaan kadar enzym untuk
menentukan adanya gangguan metabolisme dan analisis metabolit untuk mendeteksi
penyakit kistik fibrosis, namun saat ini telah digantikan dengan pemeriksaan yang
lebih akurat yaitu dengan pemeriksaan mutasi DNA yang bertanggung jawab tehadap
kondisi ini. 16
Amniosintesis midtrimester untuk pemeriksaan genetik umumnya dilakukan
pada usia kehamilan antara 15-18 minggu. Pada saat itu jumlah air ketuban sudah
memadai (sekitar 150 ml) dan perbandingan antara sel yang viable dan non viable
mencapai rasio terbesar.15,16
Sebelum amniosintesis terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan USG untuk
menentukan jumlah janin, konfirmasi usia kehamilan, memastikan viabilitas janin,
deteksi anomali pada janin dan menentukan lokasi plasenta dan insersi tali pusat serta
memperkirakan jumlah air ketuban. Dilakukan tindakan antisepsis pada kulit perut
ibu dan operator memakai sarung tangan steril. Dengan tuntunan USG, tusukkan
jarum ukuran 20-22 pada kantong amnion yang tidak berisi bagian kecil janin atau
tali pusat. Sebaiknya dilakukan pada daerah fundus untuk mengurangi risiko robekan
selaput ketuban, dan sedapat mungkin menghindari daerah plasenta. Bila terpaksa
harus melakukan tusukan pada daerah plasenta sebaiknya dibantu dengan color

16
doppler untuk mengidentifikasi pembuluh darah dan lakukan tusukan pada daerah
yang paling tipis jauh dari tepi plasenta. Prosedur ini biasanya tidak memerlukan
anestesi local.15,16
Dapat dilakukan dengan teknik free hand dimana tangan operator yang satu
memegang tranduser dan tangan lainnya memegang jarum, atau dapat dipasang
pengantar jarum pada tranduser. Cara ini mempunyai keuntungan karena dapat
menghindari gerakan jarum ke arah lateral yang dapat meningkatkan ukuran tusukan
jarum. Cairan amnion yang pertama diaspirasi dibuang sebanyak 1-2 ml untuk
menghindari kontaminasi dengan sel-sel maternal. Dilakukan aspirasi cairan amnion
sebanyak 15 ml ke dalam tabung untuk analisa sitogenetika.15,16
Bila pada kesempatan pertama gagal untuk mengaspirasi cairan maka dapat
dilakukan pada lokasi lain setelah terlbih dahulu menilai kembali keadaan janin dan
letak plasenta. Tenting pada selaput ketuban atau kontraksi uterus sering menjadi
penyebab kegagalan. Bila tindakan kedua gagal maka tunda tindakan amniosintesis
untuk beberapa hari kemudian, jangan melakukan dua kali tindakan pada satu
kesempatan yang sama.15,16
Walaupun dengan pengalaman selama kurang lebih tiga dekade dengan
amniosintesis midtrimester namun masih sulit untuk menentukan risiko prosedur ini
yang berhubungan dengan abortus. Pada penelitian prospektif, multisenter yang luas
diperkirakan risiko abortus berkisar 0,5 1%.
Selain abortus risiko lain pada janin dan ibu juga perlu untuk
dipertimbangkan. Sudah ada laporan mengenai terjadinya scar pada tubuh janin
akibat tusukan jarum namun jarang terjadi. Amniosintesis yang dilakukan dengan
tuntunan USG dapat mengurangi risiko tersebut dan juga risiko perlukaan yang lain.
Komplikasi lain dari amniosintesis midtrimester meliputi korioamnionitis, robekan
selaput ketuban dan perdarahan pervaginam. Insidens korioamnionitis < 1 per 1000
prosedur, robekan selaput ketuban terjadi pada 1-2% penderita, namun biasanya
sembuh sendiri dan terjadi reakumulasi cairan dan pada umumnya luaran kehamilan

17
normal. Insiden perdarahan pervaginam juga sekitar 1% dan berhubungan dengan
ukuran jarum yang dipakai. 13,16
Sudah pernah dilaporkan kasus sensitasi pada wanita dengan rhesus negatif
setelah amniosintesis, risikonya sekitar 1%. Risiko ini dapat dikurangi dengan
menghindari pendekatan transplasenta, memakai jarum berukuran kecil dan
pemberian anti-D immunoglobulin intramuskuler sesudah tindakan amniosintesis
terhadap pasien Rh-negatif yang belum tersensitasi. 16

2.6.3 AMNIOSITESIS DINI


Amniosintesis dini adalah amniosintesis yang dilakukan pada usia kehamilan
sebelum 15 minggu (11-14 minggu). Kesulitan teknisnya lebih besar karena jumlah
air ketuban belum banyak dan fusi antara amnion dan korion belum sempurna
sehinngga sering menyebabkan tenting pada selaput ketuban. Selain itu targetnya
lebih kecil, uterus belum berbatasan dengan dinding perut sehingga meningkatkan
kemungkinan perlukaan pada usus atau masuknya kuman dari usus ke uterus. 13,16
Tindakan amniosintesis dini dilakukan dengan maksud untuk melakukan
diagnosis prenatal yang lebih dini dan menjadi tindakan alternatif untuk pemeriksaan
villi korialis yang tekniknya relatif lebih sulit dan mempunyai lebih banyak
komplikasi. Dengan tuntunan USG dilakukan pengambilan cairan amnion sebanyak
10-12 ml. Walaupun jumlah sel yang terambil lebih sedikit namun persentasi sel yang
viable lebih besar dibanding dengan pada usia kehamilan yang lebih lanjut.
Keberhasilan kultur pada kehamilan 12-14 minggu lebih dari 95% dengan waktu
panen rata-rata 12 hari (1-2 lebih lama ) daripada kehamilan 16 minggu. Dibanding
dengan CVS, amniosintesis dini mempunyai frekuensi kontaminasi sel maternal dan
mosaicsm yang lebih rendah. 16
Beberapa penelitian melaporkan peningkatan risiko abortus pada tindakan
amniosintesis dini dibanding dengan amniosintesis midtrimester dan CVS, namun
Johnson dkk tidak menemukan adanya perbedaan kejadian abortus antara kelompok
amniosintesis dini dan midtrimester. Penelitian lain di Kanada menemukan perbedaan

18
yang bermakna pada kejadian abortus (7,6% vs 5,9%), robekan selaput ketuban (3,5%
vs 1,7%) dan deformitas tulang, khususnya talipes equinovarus (1,4% vs 0,4%) antara
kelompok amniosintesis dini dan midtrimester, sehingga peneliti ini menganjurkan
untuk tidak melakukan amniosisntesis dini kecuali tidak ada alternatif lain. 15,16

2.6.4 PEMERIKSAAN VILLI KORIALIS


Diagnosis prenatal yang dikerjakan pada trimester kedua mempunyai
beberapa kekurangan antara lain, diagnosis baru dapat diketahui pada usia kehamilan
yang lebih lanjut sehingga risiko untuk terminasi kehamilan lebih besar dan terminasi
pada saat janin sudah mulai bergerak menimbulkan beban emosional yang berat bagi
pasien, sehingga diusahakan untuk melakukan diagnosis prenatal pada trimester
pertama.

Teknik pemeriksaan villi korialis pertama kali diperkenalkan di Cina pada


tahun 1975 yang bertujuan untuk menentukan jenins kelamin janin dengan cara
memasukkan kateter halus ke dalam uterus dengan hanya dituntun perasaan taktil.
Bila terasa ada hambatan, kemudian pengisap dipasang dan dilakukan aspirasi
potongan villi.15

Pemeriksaan villi korialis biasanya dilakukan pada usia kehamilan antara 10-
12 minggu, untuk pemeriksaan sitogenetik, molekuler (analisis DNA) dan atau
metode biokimia yang dapat diaplikasikan pada jaringan villii. Pemeriksaan ini dapat
mendeteksi anomali kromosom, defek gen spesifik dan aktivitas enzym yang
abnormal dalam kehamilan terutama pada penyakit turunan. 13,15

Jaringan villi dapat diambil dengan teknik transervikal maupun


transabdominal. Sebelum tindakan, dilakukan pemeriksaan USG untuk konfirmasi
denyut jantung janin dan letak plasenta. Tentukan posisi uterus dan serviks, bila
uterus anteversi maka tambahan pengisian kandung kemih dapat membantu untuk
meluruskan posisi uterus, namun hindari pengisian kandung kemih yang berlebihan

19
karena dapat mendorong uterus keluar dari rongga pelvis sehingga memperpanjang
jarak untuk mencapai tempat pengambilan sampel yang dapat mengurangi kelenturan
yang diperlukan untuk manipulasi kateter. 15,17

Pasien dibaringkan dalam posisis litotomi, antisepsis vulva dan vagina


kemudian masukkan spekulum dan lakukan hal yang sama pada serviks. Ujung distal
kateter (3-5 cm) sedikit ditekuk untuk membentuk lengkungan dan kateter
dimasukkan kedalam uterus dengan tuntunan USG sampai terasa tahanan
menghilang pada endoserviks. Operator menunggu sampai sonographer
menvisualisasi ujung kateter, kemudian kateter dimasukkan sejajar dengan selaput
korion ke tepi distal plasenta. Keluarkan stylet dan pasang tabung pengisap 20 ml
yang mengandung medium nutrien. Jaringan villi yang terisap ke dalam tabung dapat
dilihat dengan mata telanjang sebagai struktur putih yang terapung dalam media.
Kadang kala diperlukan pemeriksaan mikroskop untuk mengkonfirmasi jaringan villi.
Sering jaringan desidua ibu ikut terambil namun mudah dikenali sebagai stuktur yang
amorf (tak berbentuk). Bila tidak berhasil mendapat jaringan villi yang cukup maka
dapat dilakukan insersi kedua. 15,17

Teknik transabdominal pertama kali diperkenalkan oleh Smid Jensen dan


Hahnemann dari Denmark. Dengan tuntunan USG masukkan jarum spinal ukuran 19
atau 20 ke dalam sumbu panjang plasenta. Setelah stylet dikeluarkan, aspirasi villi ke
dalam tabung 20 ml yang berisi media kultur jaringan. Berhubung karena jarum
yang dipakai lebih kecil dari kateter servikal maka perlu dilakukan tiga sampai empat
kali gerakan maju mundur pada ujung jarum terhadap jaringan plasenta agar jaringan
villi dapat terambil. Berbeda dengan teknik transervikal yang dilakukan sebelum usia
kehamilan 14 minggu, teknik ini dapat dilakukan sepanjang kehamilan sehingga
dapat menjadi alternatif untuk amniosintesis dan pemeriksaan darah janin. 15,17

Komplikasi yang dapat terjadi pada pemeriksaan villi korialis adalah abortus
dan yang ditakuti akhi-akhir ini adalah hubungan antara tindakan ini dengan kejadian

20
reduksi anggota gerak. CVS yang dilakukan pada kehamilan < 9 minggu mempunyai
risiko untuk reduksi anggota gerak 10-20 kali lebih besar dibandingkan dengan CVS
yang dilakukan setelah usia > 11 minggu.15

Kontaminasi jaringan desidua ibu pada sampel yang dikultur dapat


memberikan hasil negatif palsu, dan hal ini sering terjadi bila hanya sedikit sampel
yang terambil, namun di senter yang telah berpengalaman kejadian ini tidak
ditemukan lagi.17

2.6.5 PEMERIKSAAN DARAH JANIN


Pada tahun 1983, Daffos dkk memperkenalkan metode pengambilan darah
janin dengan tuntunan USG menggunakan jarum spinal ukuran 20-22 melalui perut
ibu ke dalam tali pusat. Teknik ini disebut juga kordosentesis, PUBS (percutaneous
umbilical blood sampling), fetal blood sampling atau furnipuncture. Kordosintesis
adalah istilah yang sering digunakan.18

Indikasi pemeriksaan ini dapat dibagi atas indikasi diagnostik dan terapeutik.
Umumnya, pemeriksaan darah janin diindikasikan bila keuntungannya lebih banyak
dari kerugiannya. Sebelumnya pemeriksaan darah janin dilakukan untuk karyotype
cepat namun dengan teknik sitogenetik yang baru memakai metode FISH sampel dari
villi korialis dan amniosit juga dapat diperiksa dengan cepat. Indikasi lain untuk
pemeriksaan ini adalah bila ditemukan mosaik atau kegagalan kultur pada
amniosintesis dan biopsi plasenta. Pemeriksaan darah janin juga dilakukan pada
wanita yang datang terlambat (usia kehamilan lanjut) pada kunjungan antenatal dan
menginginkan pemeriksaan karyotype atau untuk diagnosis prenatal retardasi mental
fragile-X. 15,18

Indikasi diagnostik yang lain adalah pemeriksaan hemoglobinopathi,


koagulaopathi, penyakit granulomatous kronik dan beberapa kelainan metabolisme
serta penentuan anemia dan trombositopenia pada janin. Untuk indikasi terapeutik

21
adalah : terapi anemia pada janin melalui transfusi darah dan pemberian obat
antiaritmia pada janin dengan hidrops.18

Dengan tuntunan USG tusukkan jarum melalui dinding perut ibu dan arahkan
ke tempat insersi tali pusat di plasenta, tusukan pada bagian tali pusat yang melayang
lebih sulit dilakukan. Bila menggunakan pengantar jarum pada tranduser USG maka
ukuran jarumnya lebih kecil (22-26) sedang bila menggunakan teknik free hand jarum
yang dipakai berukuran 20-22. Bila ujung jarum telah mencapai tali pusat, pasang
tabung pengisap dan isap darah kurang lebih 5 ml. Penting untuk menentukan apakah
sampel darah ini berasal dari janin atau terkontaminasi darah ibu, walaupun dengan
teknik yang baik hal ini jarang terjadi namun lebih bijaksana bila dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya. Sel darah janin akan tampak lebih
besar dengan MCV yang lebih besar. Pengambilan sampel darah janin juga dapat
dilakukan pada vena intrahepatik maupun jantung janin15,18

Komplikasi yang dapat terjadi pada janin pasca kordosintesis adalah :


terjadinya hematoma atau perdarahan pada tempat tusukan jarum, bradikardi, infeksi.
Kemungkinan untuk terjadinya kematian janin berkisar 1% untuk itu perlu dilakukan
pemantauan denyut jantung janin dengan kardiotokografi selama paling sedikit 30
menit. Pada ibu komplikasi yang dapat terjadi adalah isoimunisasi rhesus, sehingga
harus diberikan anti-D immunoglobulin pada ibu dengan rhesus negatif.18,

2.6.6 BIOPSI JANIN


Indikasi pemeriksaan jaringan janin sampai saat ini masih terus berkembang.
Teknik yang invasif ini digunakan hanya untuk kelainan dengan morbiditas tinggi,
dimana diagnosis dengan pemeriksaan amniosintesis, villi khorialis atau darah janin
tidak memuaskan. Jaringan yang diambil dari janin untuk prenatal diagnosis antara
lain : kulit, otot, liver, ginjal dan otak. 13,15

22
Indikasi yang paling sering digunakan untuk pemeriksaan jaringan janin
adalah untuk diagnosis genodermatosis, yang merupakan penyakit berat turunan pada
kulit dengan angka morbiditas dan mortalitas tinggi.

Pada awalnya biopsi janin dilakukan dengan fetoskopi, tetapi saat ini telah
diganti dengan memakai USG. Prosedur ini dilakukan pada kehamilan 17-20 minggu
dengan memakai forsep biopsi yang dimasukkan melalui jarum angiocath no 14.
Biopsi jaringan janin untuk diagnosis genodermatosis hanya dapat dilakukan dengan
biopsi kulit, hasil biopsi ini dapat diperiksa dengan teknik morfologi,
immunohistokimia, dan biokimia. 13,15

Biopsi jaringan otot janin, jarang dilakukan tetapi pernah dilakukan untuk
diagnosis prenatal mucular dystrophy yang disebabkan mutasi gen pada kromosom X,
gen untuk distrofin. Sejak karakteristik gen distrofin diketahui diagnosis prenatal
untuk janin yang berisiko dapat dilakukan dengan metode molekuler (polymerase
chain reaction) yang diambil dari ekstrak DNA dari cairan ketuban atau vili korialis.
13

Seperti halnya biopsi otot, maka biopsi hati juga hanya dilakukan pada
penyakit yang diturunkan yang tidak dapat didiagnosis dengan pemeriksaan amniosit
atau villi korialis. Sejumlah kecil penyakit gangguan metabolisme termasuk dalam
kategori ini dan dapat didiagnosis dengan pemeriksaan enzym yang diproduksi di
hati, seperti ornitrin transcarbamilase (OTC) deficiency, carbamoyl phospstase
synthetase (CPS) deficiency, glucosa 6 phospatase deficiency (G6PD).13

2.6.7 MATERNAL SERUM ALPHA-FETOPROTEIN (MSAFP)

Janin yang sedang berkembang memiliki dua protein darah utama : albumin
dan alfa fetoprotein ( AFP ). Karena orang dewasa biasanya hanya memiliki albumin
dalam darah, tes MSAFP dapat dimanfaatkan untuk menentukan tingkat AFP dari
janin. Biasanya, hanya sejumlah kecil AFP memperoleh akses ke air ketuban dan

23
plasenta untuk melintasi darah ibu. Namun, bila ada cacat tabung saraf pada janin,
dari kegagalan bagian dari saraf embryologic tabung untuk menutup, maka AFP akan
melarikan diri ke dalam cairan ketuban. Cacat tabung saraf termasuk anencephaly
( kegagalan penutupan pada akhir tengkorak tabung saraf). Insiden gangguan-
gangguan tersebut sekitar 1-2 kelahiran per 1000 di AS. Juga, jika ada omphalocele
( keduanya cacat pada dinding perut janin ), AFP dari janin akan berakhir di darah ibu
dalam jumlah yang lebih tinggi.

Agar tes MSAFP memiliki utilitas terbaik, usia kehamilan ibu harus diketahui
dengan pasti. Hal ini karena jumlah MSAFP meningkat sesuai usia kehamilan. Juga,
ras ibu dan kehadiran gestational diabetes penting untuk diketahui, karena MSAFP
dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor ini. MSAFP biasanya dilaporkan sebagai
multiples of mean (MoM). Semakin besar MoM, semakin besar kemungkinan cacat
hadir. Para MSAFP memiliki sensitivitas terbesar antara 16-18 minggu kehamilan,
tetapi masih berguna antara 15-22 minggu kehamilan. Namun tes ini tidak spesifik
100 % karena terkadang ada berbagai faktor yang menyebabkan MSAFP meningkat
terutama saat terjadi kesalahan penghitungan usia kehamilan. MSAFO juga dapat
berguna dalam penyaringan untuk Sindrom Down dan trisomies lainnya. MSAFP
cenderung lebih rendah ketika Sindrom Down atau kelainan kromosom lain hadir.

2.6.8 MATERNAL SERUM BETA-HCG

Tes ini paling sering digunakan sebagai tes untuk kehamilan. Dimulai pada
sekitar seminggu setelah pembuahan dan implantasi embrio ke dalam rahim, trofoblas
akan menghasilkan cukup beta-HCG untuk mendiagnosis kehamilan. Jadi, pada saat
pertama kali menstruasi luput, beta-HCG akan sudah cukup untuk tes kehamilan
positif. Beta-HCG juga dapat diukur dalam serum dari darah ibu, dan ini dapat
berguna di awal kehamilan ketika terancam aborsi atau kehamilan ektopik dicurigai,
karena jumlah beta-HCG akan lebih rendah dari yang diharapkan.

24
Kemudian pada kehamilan, di tengah sam akhir trimester kedua, beta-HCG
dapat digunakan bersama MSAFP untuk skrining kelainan kromosom, dan sindrom
down pada khususnya. Sebuah beta-HCG tinggi dibarengi dengan penurunan MSAFP
menunjukkan Sindrom Down. Tingkat HCG yang tinggi mengindikasikan adanya
penyakit Tropoblastic ( kehamilan molar ). Tidak adanya bayi saat di USG disertai
HCG yang tinggi mengindikasikan mola hidatidosa, Kadar HCG juga bisa digunakan
untuk follow up perawatan pada kehamilan molar untuk memastikan tidak adanya
penyakit trophoblastik seperti kariokarsinoma.

2.6.9 SERUM ESTRIOL MATERNAL

Jumlah estriol dalam serum ibu bergantung pada kelayakan janin, sebuah
plasenta berfungsi dengan benar, dan keadaan ibu. Substrat untuk estriol dimulai
sebagai dehydroepiandrosterone ( DHEA ) yang dibuat oleh kelenjar adrenal janin.
Ini dimetabolisme lebih lanjut di dalam plasenta menjadi estriol. Estriol masuk ke
sirkulasi ibu dan dieksresi oleh ginjal dalam air seni ibu atau oleh hati ibu dalam
empedu. Pengukuran tingkat estriol serial pada trimester ketiga akan memberikan
indikasi umum kesejahteraan janin. Jika tingkat estriol turun, maka janin terancam
dan emergency mungkin diperlukan. Estriol cenderung lebih rendah bila Sindrom
Down hadir dan juga adanya adrenal hypoplasia dengan anencephaly.

2.6.10 INHIBIN-A

Inhibin disekresi oleh plasenta dan korpus liteum. Inhibin-A dapat diukur
dalam serum ibu. Tingkat peningkatan inhibin-A adalah dikaitkan dengan
peningkatan risiko untuk trisomi 21. Inhibin-A tinggi dapat berhubungan dengan
risiko kelahiran prematur.

2.6.11 PREGNANCY-ASSOCIATED PLASMA PROTEIN A ( PAPP-A )

Rendahnya tingkat PAPP-A sebagai diukur dalam serum ibu trimester pertama
dapat berhubungan dengan anomali kromosom janin termasuk trisomies 13,18, dan

25
21. Selain itu, kadar PAPP-A pada trimester pertama dapat memprediksi hasil
kehamilan yang merugikan, termasuk small for gestational age ( SGA ) atau lahir
mati. PAPP-A tinggi dapat memprediksi large of gestational age ( LGA) baby.

2.6.12 TRIPLE OR QUADRIPLE SCREEN

Menggabungkan tes serum ibu dapat membantu dalam meningkatkan


sensitivitas dan spesifisitas untuk deteksi kelainan janin. Tes klasik adalah triple
screen untuk MSAFP, beta-HCG, dan estriol (uE3) atau quadriple screen dengan
ditambah inhibin-A.12,13,15

CONDITION MSAFP uE3 HCG


Neural tube defect Increased Normal Normal
Trisomy 21 Low Low Increased
Trisomy 18 Low Low Low
Molar pregnancy Low Low Very High
Multiple gestation Increased Normal Increased
Fetal death Increased Low Low

2.7 KOMPLIKASI HAMIL DI USIA TUA

Risiko untuk mendapatkan abnormalitas kromosom meningkat dengan meningkatnya


umur ibu (grafik 1). Selain itu, oleh karena janin dengan abnormalitas kromosom
lebih sering mati intrauterin dibanding dengan janin normal, risiko untuk itu menurun
dengan meningkatnya umur kehamilan (grafik 2).13

26
Grafik 2.1. Hubungan umur ibu dengan risiko abnormalitas kromosom.

Grafik 2.2. Hubungan umur kehamilan dengan risiko abnormalitas

kromosom. Setiap garis menunjukkan risiko relatif

Berdasarkan kedua grafik di atas, dapat ditarik kesimpulan untuk hubungan


risiko abnormalitas kromosom dengan usia ibu dan gestasi adalah:13

27
- Risiko untuk trisomi meningkat menurut umur ibu
- Risiko untuk Sindroma Turner and triploidi tidak berubah dengan
meningkatnya umur ibu.
- Semakin dini usia gestasi, semakin besar risiko mendapatkan abnormalitas
kromosom.
- Angka kematian janin pada trisomi 21 antara umur kehamilan 12 minggu
(pada saat skrining NT dilakukan) dan umur kehamilan 40 minggu sekitar
30% dan antara 16 minggu (pada saat dilakukan skrining trimester ke dua
serum biokimiawi) dengan 40 minggu, sekitar 20%.
- Pada trisomi 18, 13 dan sindroma Turner, angka kematian janin pada umur
kehamilan 12-40 minggu berkisar 80%.19

28
BAB III

KESIMPULAN

Diagnosis prenatal adalah ilmu dan seni untuk mengidentifikasi kelainan


struktur dan fungsi pada perkembangan janin. Sekitar 2-3% bayi baru lahir
mempunyai masalah dengan kelainan kongenital mayor yang ditemukan pada saat
lahir. Kelainan kongenital mayor merupakan salah satu penyebab utama kematian
neonatus, dan kelainan genetik merupakan empat besar kasus rawat inap di bagian
anak.
Banyak kelainan pada janin dapat diidentifikasi saat prenatal dan kemajuan
teknologi dalam bidang kesehatan telah memungkinkan untuk melakukan pengobatan
prenatal, sehingga saat ini diagnosis prenatal merupakan jembatan penting antara
obstetri dan pediatrik. Terapi prenatal saat ini meliputi optimalisasi lingkungan
intrauteri dan kondisi pada saat persalinan, transfusi darah, pemberian obat-obatan,
amnioreduksi, pemasangan shunt dan operasi. Utuk masa yang akan datang akan
memungkinkan untuk melakukan transplantasi hematopeitic stem cell dan metode
transfer gen yang lain.

Metode yang tersedia untuk mendeteksi kelainan-kelainan genetic dapat


dilakukan melalui 2 cara yaitu metode diagnostic invasif yang meliputi pemeriksaan
Amniosintesis, villi korialis (CVS), pemeriksaan darah janin (FBS) dan biopsy janin
untuk indikasi yang spesifik dan metode diagnostic Non-Invasif yang meliputi
pemeriksaan Ultrasonografi (USG), Dopler Velosimetri, Nuchal Transluensy (NT),
Nasal Bone, pemeriksaan biokimia dan pemeriksaan DNA janin dalam sirkulasi
maternal. Tiap prosedur ini mempunyai keuntungan dan kerugian yang perlu
dipertimbangkan saat menawarkan pemeriksaan diagnosis prenatal

DAFTAR PUSTAKA

29
1. Binns V, Hsu N. Prenatal Diagnosis. Encyclopedia of Life Sciences. 2001:1-
17.
2. Prenatal Diagnosis and Fetal Therapy. In: Cunningham FG, Hauth JC, Leveno
KJ, Gilstrap L, Bloom SL, Wenstorm KD. Williams Obstetrics 22nd Edition.
USA: McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2005. p. 179.
3. Testing and Pregnancy. Genetics in Family Medicine : The Australian
Handbook for General Practitioners. 2007:1-34.
4. Kumar S. Chapter 16 : Prenatal diagnosis and genetics. In: Edmonds DK.
Dewhursts Textbook of Obstetrics & Gynaecology Seventh Edition. USA:
Blackwell Publishing; 2007. p. 140.
5. California Prenatal Screening Program : Diagnostic Procedures. [Internet].
Available from:
http://mydoctor.kaiserpermanente.org/ncal/specialty/genetics/prenatal_servi
ces/diagnosticprocedures/index.jsp.
6. Olney RS, et al. Chorionic Villus Sampling and Amniocentesis :
Recommendations for Prenatal Counseling. Morbidity and Mortality Weekly
Report - CDC. 21 July 1995;44(RR-9):1-12.
7. Dungan JS. Detection of Genetic Disorders - Prenatal Diagnostic Testing. The
Merck Manual Home Edition [Internet]. April 2014 Available from:
http://www.merckmanuals.com/home/womens_health_issues/detection_of_
genetic_disorders/prenatal_diagnostic_testing.html.
8. D'Alton ME, DeCherney AH. Prenatal Diagnosis. New England Journal of
Medicine. 4 January 1993;328(2):114-20.
9. Fetal Chromosomal Abnormality. In: Pitkin J, Peattie AB, Magowan BA.
Obstetrics and Gynecology - An Illustrated Colour Text. USA: Elsevier
Science Limited, Churchill Livingstone; 2003. p. 8.
10. Chapter 5 - Diagnosis of Pregnancy and Prenatal Care. In: Pernoll ML.
Benson & Pernoll's Handbook of Obstetrics & Gynecology Tenth Edition.
New York, USA: McGraw-Hill Companies; 2011. p. 122, 28-30.
11. Chames MC. Prenatal Care. UMHS Prenatal Care Guideline. December
2013:1-17.

12. Cunningham F, MacDonald P, Gant N, Leveno K, Gilstrap L, Hankins Gea.


Prenatal diagnosis and therapy. In: Williams Obstetrics. 21 st ed. New York:
McGraw Hill; 2001. p. 973-1003.

30
13. Rossiter J, Blakemore K. Fetal genetic disorders. In: Winn H, Hobbins J,
editors. Clinical maternal-fetal medicine. 1 st ed. New York: Parthenon
Publishing Group; 2000. p. 783-98.
14. Rodeck C, Pandya P. Prenatal diagnosis of fetal abnormalities. In:
Chamberlain G, Steer P, Breat G, Chang A, Johnson M, Neilson J, editors.
Turnbull's obstetrics. 3 rd ed. London: Churchill Livingstone; 2001. p. 169 -
96.
15. Jenkins T, Wapner R. Prenatal diagnosis of congenital disorders. In: Creasy R,
Resnik R, Iams J, editors. Maternal fetal medicine. 5 th ed. Philadelphia: WB.
Saunders; 2004. p. 235-73.
16. Overton T, Fisk N. Amniocentesis. In: James D, Steer P, Weiner C, Gonik B,
editors. High risk pregnancy management option. 2 nd ed. New York: W.B
Saunders; 2000. p. 215-23.
17. Holzgreve W, Miny P. Chorionic villus sampling and placental biopsy. In:
James D, Steer P, Weiner C, Gonik B, editors. High risk pregnancy
management option. 2 nd ed. New York: W.B Saunders; 2000. p. 207-13.
18. Soothill P. Fetal blood sampling before labor. In: James D, Steer P, Weiner C,
Gonik B, editors. High risk pregnancy management option. 2 nd ed. New
York: W.B Saunders; 2000. p. 225-33.

19. Nicolaides K, Snijders R. First trimester diagnosis of chromosomal defects.


In: Nicolaides K, editor. The 1113+6 weeks scan. London: Fetal Medicine
Foundation; 2004.

31
32

Anda mungkin juga menyukai