COVER .......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................v
BAB 1 PENDAHULUAN ..............................................................................1
1.1.Latar Belakang .....................................................................................1
1.2.Tujuan ..................................................................................................2
BAB 2 TELAAH PUSTAKA .........................................................................3
2.1. Definisi Pneumothorax ........................................................................3
2.2. Anatomi dan Fisiologi Pleura ...............................................................4
2.2.1. Anatomi Pleura ............................................................................4
2.2.2 Fisiologi Pleura .............................................................................5
2.3. Patofisiologi Pneumothorax .................................................................6
2.4. Klasifikasi Pneumothorax ....................................................................7
2.4.1. Pneumothorax Spontan ................................................................7
2.4.1.1 Pneumothorax Spontan Primer ..................................................7
2.4.1.2.Pneumothorax Spontan Sekunder ..............................................7
2.4.2. Pneumothorax Traumatik ............................................................8
2.4.2.1. Pneumothorax Traumatik bukan Iatrogenik .............................8
2.4.2.2. Pneumothorax Traumatik Iatrogenik .......................................8
2.4.3. Pneumothorax Tension .................................................................8
2.4.4. Pneumothorax Tertutup ................................................................9
2.4.5. Pneumothorax Terbuka ................................................................9
2.5. Manifestasi Klinis .................................................................................9
2.5.1. Keluhan Subyektif .........................................................................9
2.5.2. Pemeriksaan Fisik ...................................................................... 10
2.5.3. Pemeriksaan Penunjang .............................................................. 10
2.6. Diagnosa Banding .............................................................................. 12
2.7. Penatalaksaanaan ............................................................................... 12
2.7.1. Observasi dan Pemberian Tambahan Oksigen ............................. 12 iv
2.7.2. Aspirasi dengan Jarum dan Tube Torakostomi ............................ 12
2.7.3. Toraskopi ................................................................................... 14
2.7.4. Torakotomi ................................................................................ 15
2.8. Komplikasi ......................................................................................... 15
2.9. Prognosis ............................................................................................ 15
BAB 3 Penutup ............................................................................................ 16
3.1. Kesimpulan ....................................................................................... 16
3.2. Saran .................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 17 v
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Kejadian cedera dada merupakan salah satu trauma yang sering terjadi, jika
tidak ditangani dengan benar akan menyebabkan kematian, kejadian trauma dada
terjadi sekitar seperempat dari jumlah kematian akinat trauma yang terjadi, serta
sekitar sepertiga dari kematian yang terjadi berbagai rumah sakit. Beberapa cedera
dada yang dapat terjadi antara lain, tension pneumthorax, pneumthorax terbuka, flail
chest, hematotoraks, tamponade jantung. Kecelakaan kendaraan bermotor paling
sering menyebabkan terjadinya trauma pada toraks. Tingkat morbiditas mortalitas
akan meningkat dan menjadi penyebab kematian kedua didunia pada tahun 2020
menurut WHO (World Health Organization) (Punarwaba dan Suarjaya, 2013).
Sebuah penelitian mengatakan 5,4% dari seluruh pasien menderita trauma,
merupakan pasien yang mengalami pneumthorax. Kurangnya pengetahuan untuk
mengetahui tanda dan gejala dari pneumthorax terdesak menyebabkan banyak
penderita meninggal setelah atau dalam perjalanan menuju ke rumah sakit
(Punarwaba dan Suarjaya, 2013). Pneumothorax adalah keadaan terdapatnya udara
atau gas dalam rongga pleura. Pada keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara,
supaya paru-paru leluasa mengembang terhadap rongga dada. Pneumothorax dapat
terjadi secara spontan dan traumatik (Hisyam dan Budiono, 2009). Paru-paru
dibungkus oleh pleura parietalis dan pleura visceralis. Diantara pleura parietalis dan
visceralis terdapat cavum pleura. Cavum pleura normal berisi sedikit cairan sereous
jaringan. Tekanan intrapleura selalu berupa tekanan negatif. Tekanan negatif
intrapleural membantu dalam proses respirasi (Amita,2008).
Insidens pneumothorax sulit diketahui karena episodenya banyaknya yang
tidak diketahui, pria lebih banyak dari wanita dengan perbandingan 5:1.
Pneumothorax spontan primer sering dijumpai pada individu sehat, tanpa riwayat 2
penyakit paru sebelumnya. Pneumothorax spontan primer banyak dijumpai pada pria
dengan usia antara dekade 3 dan 4. Salah satu penelitian menyebutkan sekitar 81%
kasus pneumthorax spontan primer berusia kurang dari 45 tahun (Hisyam dan
Budiono, 2009).
Tidak ada mendasari penyakit paru pada pasien pneumothorax primer, bleb
subpleura dan bula terjadi secara patogenesis sebab terjadi 90% kasus pneumothorax
primer melalui torakoskopi atau dilakukan torakotomi terjadi pada sampai 80%
(Henry et al, 2003)
Dalam penelitian di Israel pneumothorax spontan terjadi pada 723 (60,3%)
dari 1199 kasus, pneumothorax spontan primer 218 dan pneumthorax spontan
sekunder 505. Pneumothorax traumatik terjadi 403 (33,6%) pasien, 73 (18,1%)
diantaranya memiliki pneumthorax iatrogenic. Dalam penelitian terbaru, 12% pasien
dengan gejala menusuk dada luka memiliki hemo-pneumthorax (Sharma dan Jidal,
2008).
Berdasarkan latar belakang diatas, maka tugas pemakalah tertarik dengan
judul PNEUMOTHORAX.
1.2.Tujuan
1.2.1. Untuk mengetahui Definisi Pneumothorax
Pneumothorax
2.2. Anatomi dan Fisiologi Pleura
b. Pleura parietalis, yaitu bagian pleura yang beratasan dengan dinding thorax.
Vaskularisasi pleura
Pleura parietal divaskularisasi oleh Aa. Intercostalis, a.mammaria,
a.musculophrenica. Dan vena-venanya bermuara pada sistem vena dinding thorax.
Sedangkan pleura visceralisnya mendapatkan vaskularisasi dari Aa. Bronchiales
(Amita, 2012).
2.2.2. Fisiologi Pleura
Paru-paru merupakan struktur elastis yang akan mengempis seperti balon dan
mengeluarkan semua udaranya melalui trakea bila tidak ada kekuatan untuk
mempertahankan pengembangannya. Juga, tidak dapat perlekatan antara paru-paru
dan dinding rangka dada kecuali pada bagian paru yang tergantung pada hilumnya
mediastinum. Bahkan, paru-paru sebetulnya mengapung dalam rongga toraks,
dikelilingi oleh suatu lapisan tipis cairan pleura yang menjadi pelumas bagi gerakan
paru di dalam rongga. Selanjutnya, cairan yang berlebihan akan diisap terus menerus
ke dalam saluran limfatik untuk menjaga agar terdapat sedikit isapan antara
permukaan viseral dari pleura paru dan permukaan parietal pleura dari rongga toraks
(Guyton dan Hall, 2007).
Fungsi mekanis pleura adalah meneruskan tekanan negatif thorax ke dalam
paru-paru yang elastis dapat mengembang. Tekanan pleura pada waktu istirahat
(restting pressure) dalam posisi tiduran adalah -2 sampai -5 H2O, sedikit bertambah
negatif di apex sewaktu posisi berdiri. Sewaktu inspirasi tekanan negatif meningkat
menjadi -25 sampai -35 cm H2O (Amita, 2012).
Selain fungsi mekanis, cavum pleura steril karena mesothelial bekerja
melakukan fagositosis benda asing, dan cairan yang diproduksinya bertindak sebagai
lubrikasi (Amita, 2012)
Cairan cavum pleura sangat sedikit, sekitar 0,3 ml/kg, bersifat hipoonkotik
dengan konsentrasi protein 1gr/dl. Gerakan pernafasan dan gravitasi kemungkinan
besar ikut mengatur jumlah produksi dan resorbsi cairan cavum pleura. Resobsi
terjadi terutama pada pembuluh limfe pleura parietalis, dengan kecepatan 0,1 sampai
0,15 ml/kg/jam (Amita, 2012).
c. Lindskog dan Halasz menemukan 69% dari 72 pasien mengalami nyeri dada
Gejala-gejala tersebut dapat berdiri sendiri maupun kombinasi dan menurut Mills dan
Luce deajat gangguannya bisa mulai dari asimtomatik atau menimbulkan gangguan
ringan sampai berat (Hisyam dan Budiono, 2009).
2.5.2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan foto dada garis pleura viseralis tampak putih, lurus atau cembung
terhadap dinding dada dan terpisah dari garis pleura parietalis. Celah antara kedua
garis pleura tersebut tampak lusens karena berisi kumpulan udara dan tidak
didapatkan corakan vascular pada daerah tersebut. Tension pneumothorax gambaran
foto dadanya tampak jumlah udara pada hemitoraks yang cukup besar dan susunan
mediastinum yang bergeser ke arah kontralateral (Hisyam dan Budiono, 2009). 11
Gambar 3. Pneumothorax tension pada pemeriksaan foto thoraks
Pemeriksaan Computed Tomography (CT-Scan) mungkin diperlukan apabila dengan
pemeriksaan foto dada diagnosis belum dapat ditegakkan. Pemeriksaan ini lebih
spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa dengan pneumothorax, batas
antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner serta untuk membedakan antara
pneumothorax spontan primer dan sekunder. Sensitivitas pemeriksaan CT-Scan untuk
mendiagnosis emfisema subpleura yang bisa menimbulkan pneumothorax spontan
primer antara 80-90% (Hisyam dan Budiono, 2009).
Pemeriksaan endoskopi (torakoskopi) merupakan pemeriksaan invasive, tetapi
memiliki sensitivitas yang lebih besar dibandingkan pemeriksaan CT-Scan. Menurut
Swierenga dan Vanderschueren, berdasarkan analisa dari 126 kasus pada tahun 1990,
hasil pemeriksaan endoskopi dapat dibagi menjadi 4 derajat yaitu:
Derajat I : Pneumothorax dengan gambaran paru yang mendekati normal (40%)
Derajat II: Pneumothorax dengan perlengketan diserati hemotorak (12%)
Derajat III : Pneumothorax dengan diameter bleb atau bulla <2 cm (31%) 12
Derajat IV : Pneumotohorax dengan banyak bulla yang besar, diameter > 2cm (17%)
(Hisyam dan Budiono, 2009).
2.6. Diagnosa Banding
Pneumothorax dapat member gejala seperti infark miokard, emboli paru dan
pneumonia. Pada pasien muda, tinggi, pria dan perokok jika setelah difoto diketahui
ada pneumothorax, umumnya diagnosis kita menjurus ke pneumothorax spontan
primer. Pneumothorax spontan sekunder kadang-kadang sulit dibedakan dengan
pneumothorax yang terlokalisasi dari suatu bleb atau bulla subpleura (Hisyam dan
Budiono, 2009).
2.7. Penatalaksanaan
Observasi dilakukan dalam beberapa hari (minggu) dengan foto dada serial tiap 12-24
jam selama 2 hari bisa dilakukan dengan atau tanpa harus dirawat rumah sakit. Jika
pasien dirawat di rumah sakit dianjurkan untuk memberikan tambahan oksigen.
Pasien dengan luas pneumothorax kecil unilateral dan stabil, tanpa gejala
diperbolehkan berobat jalan dan dalam 2-3 hari pasien harus kontrol lagi (Hisyam dan
Budiono, 2009).
2.7.2. Aspirasi dengan Jarum dan Tube Torakostomi
Tindakan ini dilakukan seawal mungkin pada pasien pneumothorax yang luasnya
>15%. Tindakan ini bertujuan mengeluarkan udara dari rongga pleura (dekompresi).
Tindakan dekompresi dapat dilakukan dengan cara : 1). Menusukkan jarum melalui
dinding dada sampai masuk rongga pleura, sehingga tekanan udara positif akan
keluar melalui jarum tersebut. 2). Membuat hubungan dengan udara luar melalui
saluran kontra ventil, yaitu dengan:
a. Jarum infus set ditusukkan ke dinding dada sampai masuk rongga pleura, kemudian
ujuang pipa plastic di pangkal saringan tetesan dipotong dan dimasukkan ke dalam
botol berisi air kemudian klem
13
dibuka, maka akan timbul gelembung-gelembung udara didalam botol
b. Jarum abbocath no.14 ditusukkan ke rongga pleura dan setelah mandarin dicabut,
dihubungkan dengan pipa infus set, selanjutnya dikerjakan seperti (a)
c. Water Sealed Drainage (WSD): pipa khusus (kateter urine) yang steril dimasukkan
ke rongga pleura dengan perantaraan trokar atau klem penjepit (Hisyam dan Budiono,
2009).
Torakoskopi adalah suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks
dengan alat bantu torakoskop (Hisyam dan Budiono, 2009).
Torakoskopi yang dipandu dengan video (Video Assited Thoracoscopy Surgery =
VATS) memberikan kenyamanan dan keamanan baik bagi operator maupun
pasiennya karena akan diperoleh lapangan pandang yang lebih luas dan gambar yang
lebih bagus. Tindakan ini sangat efektif dalam penangan Pneumothorax spontan
primer dan mencegah berulangnya kembali. Dengan prosedur ini dapat dilakukan
untuk pleurodesis (Hisyam dan Budiono, 2009).
Tindakan ini dilakukan apabila:
Tindakan aspirasi maupun WSD gagal
Paru tidak mengembang setelah 3 hari pemasangan tube torakostomi
Terjadinya fistula bronkopleura
Timbulnya kembali pneumothorax setelah tindakan pleurodesis
15
Pada pasien yang berkaitan dengan pekerjaannya agar tidak mudah kambuh
kembali seperti pada pilot dan penyelam (Hisyam dan Budiono, 2009).
2.7.4. Torakotomi
Tindakan pembedahan ini indikasinya hampir sama dengan torakoskopi. Tindakan ini
dilakukan jika dengan torakoskopi gagal atau jika bleb atau bulla terdapat di apek
paru, maka tindakan torakotomi ini efektif untuk reseksi bleb atau bulla tersebut
(Hisyam dan Budiono, 2009).
2.8. Komplikasi