Anda di halaman 1dari 25

DAFTAR ISI

COVER .......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................v
BAB 1 PENDAHULUAN ..............................................................................1
1.1.Latar Belakang .....................................................................................1
1.2.Tujuan ..................................................................................................2
BAB 2 TELAAH PUSTAKA .........................................................................3
2.1. Definisi Pneumothorax ........................................................................3
2.2. Anatomi dan Fisiologi Pleura ...............................................................4
2.2.1. Anatomi Pleura ............................................................................4
2.2.2 Fisiologi Pleura .............................................................................5
2.3. Patofisiologi Pneumothorax .................................................................6
2.4. Klasifikasi Pneumothorax ....................................................................7
2.4.1. Pneumothorax Spontan ................................................................7
2.4.1.1 Pneumothorax Spontan Primer ..................................................7
2.4.1.2.Pneumothorax Spontan Sekunder ..............................................7
2.4.2. Pneumothorax Traumatik ............................................................8
2.4.2.1. Pneumothorax Traumatik bukan Iatrogenik .............................8
2.4.2.2. Pneumothorax Traumatik Iatrogenik .......................................8
2.4.3. Pneumothorax Tension .................................................................8
2.4.4. Pneumothorax Tertutup ................................................................9
2.4.5. Pneumothorax Terbuka ................................................................9
2.5. Manifestasi Klinis .................................................................................9
2.5.1. Keluhan Subyektif .........................................................................9
2.5.2. Pemeriksaan Fisik ...................................................................... 10
2.5.3. Pemeriksaan Penunjang .............................................................. 10
2.6. Diagnosa Banding .............................................................................. 12
2.7. Penatalaksaanaan ............................................................................... 12
2.7.1. Observasi dan Pemberian Tambahan Oksigen ............................. 12 iv
2.7.2. Aspirasi dengan Jarum dan Tube Torakostomi ............................ 12
2.7.3. Toraskopi ................................................................................... 14
2.7.4. Torakotomi ................................................................................ 15
2.8. Komplikasi ......................................................................................... 15
2.9. Prognosis ............................................................................................ 15
BAB 3 Penutup ............................................................................................ 16
3.1. Kesimpulan ....................................................................................... 16
3.2. Saran .................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 17 v
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Kejadian cedera dada merupakan salah satu trauma yang sering terjadi, jika
tidak ditangani dengan benar akan menyebabkan kematian, kejadian trauma dada
terjadi sekitar seperempat dari jumlah kematian akinat trauma yang terjadi, serta
sekitar sepertiga dari kematian yang terjadi berbagai rumah sakit. Beberapa cedera
dada yang dapat terjadi antara lain, tension pneumthorax, pneumthorax terbuka, flail
chest, hematotoraks, tamponade jantung. Kecelakaan kendaraan bermotor paling
sering menyebabkan terjadinya trauma pada toraks. Tingkat morbiditas mortalitas
akan meningkat dan menjadi penyebab kematian kedua didunia pada tahun 2020
menurut WHO (World Health Organization) (Punarwaba dan Suarjaya, 2013).
Sebuah penelitian mengatakan 5,4% dari seluruh pasien menderita trauma,
merupakan pasien yang mengalami pneumthorax. Kurangnya pengetahuan untuk
mengetahui tanda dan gejala dari pneumthorax terdesak menyebabkan banyak
penderita meninggal setelah atau dalam perjalanan menuju ke rumah sakit
(Punarwaba dan Suarjaya, 2013). Pneumothorax adalah keadaan terdapatnya udara
atau gas dalam rongga pleura. Pada keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara,
supaya paru-paru leluasa mengembang terhadap rongga dada. Pneumothorax dapat
terjadi secara spontan dan traumatik (Hisyam dan Budiono, 2009). Paru-paru
dibungkus oleh pleura parietalis dan pleura visceralis. Diantara pleura parietalis dan
visceralis terdapat cavum pleura. Cavum pleura normal berisi sedikit cairan sereous
jaringan. Tekanan intrapleura selalu berupa tekanan negatif. Tekanan negatif
intrapleural membantu dalam proses respirasi (Amita,2008).
Insidens pneumothorax sulit diketahui karena episodenya banyaknya yang
tidak diketahui, pria lebih banyak dari wanita dengan perbandingan 5:1.
Pneumothorax spontan primer sering dijumpai pada individu sehat, tanpa riwayat 2
penyakit paru sebelumnya. Pneumothorax spontan primer banyak dijumpai pada pria
dengan usia antara dekade 3 dan 4. Salah satu penelitian menyebutkan sekitar 81%
kasus pneumthorax spontan primer berusia kurang dari 45 tahun (Hisyam dan
Budiono, 2009).
Tidak ada mendasari penyakit paru pada pasien pneumothorax primer, bleb
subpleura dan bula terjadi secara patogenesis sebab terjadi 90% kasus pneumothorax
primer melalui torakoskopi atau dilakukan torakotomi terjadi pada sampai 80%
(Henry et al, 2003)
Dalam penelitian di Israel pneumothorax spontan terjadi pada 723 (60,3%)
dari 1199 kasus, pneumothorax spontan primer 218 dan pneumthorax spontan
sekunder 505. Pneumothorax traumatik terjadi 403 (33,6%) pasien, 73 (18,1%)
diantaranya memiliki pneumthorax iatrogenic. Dalam penelitian terbaru, 12% pasien
dengan gejala menusuk dada luka memiliki hemo-pneumthorax (Sharma dan Jidal,
2008).
Berdasarkan latar belakang diatas, maka tugas pemakalah tertarik dengan
judul PNEUMOTHORAX.

1.2.Tujuan
1.2.1. Untuk mengetahui Definisi Pneumothorax

1.2.2. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi Pleura

1.2.3. Untuk mengetahui Patofisiologi Pneumothorax

1.2.4. Untuk mengetahui Klasifikasi Pneumothorax

1.2.5. Untuk mengetahui Manifestasi Klinik Pneumothorax

1.2.6. Untuk mengetahui Diagnosa Banding Pneumothorax

1.2.7. Untuk mengetahui Penatalaksanaan Pneumothorax

1.2.8. Untuk mengetahui Komplikasi Pneumothorax


1.2.9. Untuk mengetahui Prognosis Pneumthorax
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Pneumothorax


Pneumothorax adalah suatu keadaan dimana terdapatnya udara pada rongga
potensial diantara pleura visceral dan pleura parietal (Punarwaba dan Suarjaya, 2013).
Pneumothorax adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam pleura yang
menyebabkan kolapsnya paru (Amita, 2012).
Gambar 1

Pneumothorax
2.2. Anatomi dan Fisiologi Pleura

Gambar 2. Anatomi paru-paru dan pleura (Amita, 2012)

2.2.1. Anatomi Pleura


Pleura merupakan lapisan pembungkus paru (pulmo). Dimana antara pleura
yang membungkus pulmo dextra et sinistra dipisahkan oleh adanya mediastinum.
Pleura dari interna ke externa terbagi atas 2 bagian:
a. Pleura visceralis/ pulmonis, yaitu pleura yang langsung melekat pada permukaan
pulmo.

b. Pleura parietalis, yaitu bagian pleura yang beratasan dengan dinding thorax.

Kedua lapisan ini saling berhubungan pada hilus pulmonale sebagai


ligamentum pulmonale (pleura penghubung). Diantara kedua lapisan pleura terdapat
sebuah rongga yang disebut dengan cavum pleura ini terdapat sedikit cairan pleura
yang berfungsi agar tidak terjadi gesekan antar pleura ketika proses pernafasan
(Amita, 2012).
Pleura parietal berdasarkan letaknya terbagi atas:
a. Cupula pleura (pleura cervicalis):
Merupakan pleura parietalis yang terletak diatas costa I namun tidak melebihi
dari collum costaenya. Cupula pleura terletak setinggi 1-1,5 inchi diatas 1/3 medial
os.clavicula
b. Pleura parietalis pars diafraghmatica:
Pleura yang menghadap ke diafragma permukaan thoracal yang dipisahkan
oleh fascia endothoracica
c. Pleura parietalis pars mediastinalis (medialis):
Pleura yang menghadap ke mediastinum/terletak di bagian medial dan
membentuk bagian lateral dari mediastinum

Vaskularisasi pleura
Pleura parietal divaskularisasi oleh Aa. Intercostalis, a.mammaria,
a.musculophrenica. Dan vena-venanya bermuara pada sistem vena dinding thorax.
Sedangkan pleura visceralisnya mendapatkan vaskularisasi dari Aa. Bronchiales
(Amita, 2012).
2.2.2. Fisiologi Pleura
Paru-paru merupakan struktur elastis yang akan mengempis seperti balon dan
mengeluarkan semua udaranya melalui trakea bila tidak ada kekuatan untuk
mempertahankan pengembangannya. Juga, tidak dapat perlekatan antara paru-paru
dan dinding rangka dada kecuali pada bagian paru yang tergantung pada hilumnya
mediastinum. Bahkan, paru-paru sebetulnya mengapung dalam rongga toraks,
dikelilingi oleh suatu lapisan tipis cairan pleura yang menjadi pelumas bagi gerakan
paru di dalam rongga. Selanjutnya, cairan yang berlebihan akan diisap terus menerus
ke dalam saluran limfatik untuk menjaga agar terdapat sedikit isapan antara
permukaan viseral dari pleura paru dan permukaan parietal pleura dari rongga toraks
(Guyton dan Hall, 2007).
Fungsi mekanis pleura adalah meneruskan tekanan negatif thorax ke dalam
paru-paru yang elastis dapat mengembang. Tekanan pleura pada waktu istirahat
(restting pressure) dalam posisi tiduran adalah -2 sampai -5 H2O, sedikit bertambah
negatif di apex sewaktu posisi berdiri. Sewaktu inspirasi tekanan negatif meningkat
menjadi -25 sampai -35 cm H2O (Amita, 2012).
Selain fungsi mekanis, cavum pleura steril karena mesothelial bekerja
melakukan fagositosis benda asing, dan cairan yang diproduksinya bertindak sebagai
lubrikasi (Amita, 2012)
Cairan cavum pleura sangat sedikit, sekitar 0,3 ml/kg, bersifat hipoonkotik
dengan konsentrasi protein 1gr/dl. Gerakan pernafasan dan gravitasi kemungkinan
besar ikut mengatur jumlah produksi dan resorbsi cairan cavum pleura. Resobsi
terjadi terutama pada pembuluh limfe pleura parietalis, dengan kecepatan 0,1 sampai
0,15 ml/kg/jam (Amita, 2012).

2.3. Patofisiologi Pneumothorax


Rongga dada mempunyai dua struktur yang penting dan digunakan untuk
melakukan proses ventilasi dan oksigenasi, yaitu pertama tulang, tulang-tulang yang
menyususn struktur pernapasan seprti tulang clavicula, sternum, scapula. Kemudian
yang kedua adalah otot-otot pernapasan yang sangat berperan pada proses inspirasi
dan ekspirasi (Punarwaba dan Suarjaya, 2013).
Jika salah satu dari dua struktur tersebut mengalami kerusakan, akan
berpengaruh pada proses ventilasi dan oksigenasi. Contoh kasusnya, adanya fraktur
pada tulang iga atau tulang rangka akibat kecelakaan, sehingga bisa terjadi keadaan
flail chets atau kerusakan pada otot pernapasan akibat trauma tumpul, serta adanya
kerusakan pada organ visceral pernapasan seperti, paru-paru, jantung, pembuluh
darah dan organ lainnya diabdominal bagian atas, baik itu disebabkan oleh trauma
tumpul, tajam, akibat senapan atau gunshot (Punarwaba dan Suarjaya, 2013).
Tekanan intrapleura adalah negatif, pada proses respirasi, udara tidak akan dapat
masuk kedalam rongga pleura. Jumlah dari keseluruhan tekanan parsial dari udara
pada kapiler pembuluh darah ke rongga pleura, memerlukan tekanan pleura lebih
rendah dari -54 mmHg (-36 cmH2O) yang sulit terjadi pada keadaan normal. Jadi
yang menyebabkan masuknya udara pada rongga pleura adalah akibat trauma yang
mengenai dinding dada dan merobek pleura parietal atau visceral, atau disebabkan
kelainan congenital adanya bula pada subpleura yang akan pecah jika terjadi
peningkatan tekanan pleura (Punarwaba dan Suarjaya, 2013).
2.4. Klasifikasi Penumothorax
Klasifikasi pneumothorax berdasarkan dengan penyebabnya adalah sebagai berikut:
2.4.1. Pneumothorax Spontan

Pneumothorax spontan adalaha setiap pneumthorax yang terjadi tiba-tiba tanpa


adanya suatu penyebab (trauma ataupun iatrogenik), ada 2 jenis yaitu:
2.4.1.1. Pneumothorax Spontan Primer
Keadaan ini disebabkan oleh ruptur kista kecil udara subpleura di apeks (bleb)
tetapi jarang menyebabkan gangguan fisiologis yang signifikan. Biasanya menyerang
laki-laki (L:P 5:1) muda (20-40 tahun) bertubuh tinggi tanpa penyakit paru penyebab.
Pneumothorax spontan primer merupakan jenis paling sering pada pneumothorax
(prevalensi 8/105/tahun, meningkat sampai 200/105/tahun pada orang dengan tinggi
badan >1,9 m). Setelah Pneumothorax spontan primer kedua, mungkin terjadi
rekurensi (>60%). Pleurodesis untuk menyebabkan fusi pleura viseralis dan parietalis
yang menggunakan tindakan medis (misalnya insersi bleomisin atau talcum ke dalam
pleura) atau pembedahan (misalnya abrasi lapisan pleura ) dianjurkan (Ward et al,
2007).
2.4.1.2. Pneumothorax Spontan Sekunder
Pneumothorax spontan sekunder dihubungkan dengan penyakit respirasi yang
merusak arsitektur paru, paling sering bersifat obstruktif (misalnya penyakit paru
obstruktif kronik/PPOK, asma) fibrotik atau infektif (misalnya pneumonia) dan
kadang-kadang gangguan langka atau herediter (misalnya sindrom Marfan, Fibrosis
kistik). Insidensi SPP meningkat seiring bertambahnya usia dan memberatnya
penyakit paru penyebab. Pasien tersebut biasanya perlu dirawat di rumah sakit karena
meskipun pneumothorax sekunder kecil, pada pasien dengan cadangan respirasi yang
berkurang, dapat terjadi komplikasi yang lebih serius daripada pneumothorax spontan
primer besar. Pasien ICU dengan penyakit paru sangat berisiko mengalami
pneumothorax primer karena tekanan tinggi (barotraumas) dan distensi pada
alveolar (volutrauma) akibat ventilasi mekanis. Strategis ventilasi protektif yang
menggunakan ventilasi bertekanan renah, dengan volume terbatas mengurangi risiko
tersebut(Ward et al, 2007). 8
2.4.2. Pneumothorax Traumatik
Pneumothorax tersebut terjadi setelah trauma toraks tumpul (misalnya kecelakaan
lalu lintas) atau tajam (misalnya fraktur iga, luka tusuk) (Ward et al, 2007).
Berdasarkan kejadiannya pneumothorax traumatik dibagi 2 jenis yaitu:
2.4.2.1. Pneumothorax traumatik bukan iatrogenik
Adalah pneumthorax yang terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada
dinding dada baik terbuka maupun tertutup (Hisyam dan Budiono, 2009).
2.4.2.2. Pneumothorax traumatik iatrogenik
Adalah pneumthorax yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis,
pneumthorax jenis inipun masih dibedakan menjadi 2 yaitu:
Pneumothorax traumatik iatrogenik aksidental, adalah pneumothorax yang terjadi
akibat tindakan medis karena kesalahan/komplikasi tindakan tersebut, misalnya pada
tindakan parasintesis dada, biopsi pleura, biopsi transbronkial, biopsi/aspirasi paru
perkutaneus, kanulasi vena sentral, barotrauma (ventilasi mekanik) (Hisyam dan
Budiono, 2009).
Pneumothorax traumatik iatrogenik artifisial (deliberate), adalah pneumothorax
yang sengaja dilakukan dengan cara mengisi udara ke dalam rongga pleura melalui
jarum dengan suatu alat Maxwell box. Biasanya untuk terapi tuberkulosis (Hisyam
dan Budiono, 2009).

Berdasarkan jenis fistulnya pneumothorax dapat dibagi menjadi 3 yaitu:


2.4.3. Pneumothorax Tension
Pneumothorax tension dapat menyulitkan (menjadi komplikasi) pneumothorax
spontan primer atau pneumothorax sekunder tetapi paling sering terjadi selama
ventilasi mekanis dan setelah pneumothorax traumatik. Pneumtohorax tersebut terjadi
bila udara menumpuk dalam rongga pleura lebih cepat daripada yang dapat
dikeluarkan. Peningkatan tekanan intratoraks 9
menyebabkan aliran balik vena, dan syok yang disebabkan oleh penurunan curah
jantung. Keadaan tersebut merupakan kegawatan medis dan fatal jika tidak
dihilangkan secara cepat dengan drainase. Deteksi merupakan suatu diagnosis klinis,
menunggu konfirmasi foto torkas dapat mengancam jiwa. Drainase segera dengan
jarum 14G pada ruang interkosta II di garis mediklavikularis penting dilakukan.
Desis khas akibat keluarnya gas mengkonfirmasi diagnosis. Drain toraks kemudian
dimasukkan (Ward et al, 2007).
2.4.4. Pneumothorax Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pneumthorax tertutup yaitu suatu pneumthorax dengan tekanan udara di rongga
pleura yang sedikit lebih tinggi dibandingkan tekanan pleura pada sisi hemitoraks
kontralateral tetapi tekanannya masih lebih rendah dan tekanan atmosfir. Pada jenis
ini tidak didapatkan defek atau luka terbuka dari dinding dada (Hisyam dan Budiono,
2009).
2.4.5. Pneumothorax Terbuka (Open Pneumothorax)
Pneumothorax terbuka terjadi karena luka terbuka pada dinding dada sehingga pada
saat inspirasi udara dapat keluar melalui luka tersebut. Pada saat inspirasi,
mediastinum dalam keadaan normal tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser
kearah sisi dinding dada yang terluka (sucking wound) (Hisyam dan Budiono, 2009).
2.5. Manifestasi Klinis
2.5.1. Keluhan Subyektif

Berdasarkan anamnesis, gejala-gejala yang sering muncul adalah:


a. Sesak napas, yang didapatkan pada 80-100% pasien

b. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien

c. Lindskog dan Halasz menemukan 69% dari 72 pasien mengalami nyeri dada

d. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien


10
e. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat sekitar 5-10% dan biasanya pada
pneumthorax sekunder spontan (Hisyam dan Budiono, 2009).

Gejala-gejala tersebut dapat berdiri sendiri maupun kombinasi dan menurut Mills dan
Luce deajat gangguannya bisa mulai dari asimtomatik atau menimbulkan gangguan
ringan sampai berat (Hisyam dan Budiono, 2009).
2.5.2. Pemeriksaan Fisik

Suara napas melemah sampai menghilang, fremitus melemah sampai menghilang,


resonansi perkusi dapat normal atau meningkat/hipersonor. Pneumothorax ukuran
kecil biasanya hanya menimbulkan takikardia ringan dan gejala yang tidak khas. Pada
pneumothorax ukuran besar biasanya didapatkan suara napas melemah bahkan
sampai menghilang pada aukultasi, fremitus raba menurun dan perkusi hipersonor.
Pneumothorax tension dicurigai apabila didapatkan adanya takikardia berat, hipotensi
dan pergeseran mediastinum dan trakea (Hisyam dan Budiono, 2009).
2.5.3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan foto dada garis pleura viseralis tampak putih, lurus atau cembung
terhadap dinding dada dan terpisah dari garis pleura parietalis. Celah antara kedua
garis pleura tersebut tampak lusens karena berisi kumpulan udara dan tidak
didapatkan corakan vascular pada daerah tersebut. Tension pneumothorax gambaran
foto dadanya tampak jumlah udara pada hemitoraks yang cukup besar dan susunan
mediastinum yang bergeser ke arah kontralateral (Hisyam dan Budiono, 2009). 11
Gambar 3. Pneumothorax tension pada pemeriksaan foto thoraks
Pemeriksaan Computed Tomography (CT-Scan) mungkin diperlukan apabila dengan
pemeriksaan foto dada diagnosis belum dapat ditegakkan. Pemeriksaan ini lebih
spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa dengan pneumothorax, batas
antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner serta untuk membedakan antara
pneumothorax spontan primer dan sekunder. Sensitivitas pemeriksaan CT-Scan untuk
mendiagnosis emfisema subpleura yang bisa menimbulkan pneumothorax spontan
primer antara 80-90% (Hisyam dan Budiono, 2009).
Pemeriksaan endoskopi (torakoskopi) merupakan pemeriksaan invasive, tetapi
memiliki sensitivitas yang lebih besar dibandingkan pemeriksaan CT-Scan. Menurut
Swierenga dan Vanderschueren, berdasarkan analisa dari 126 kasus pada tahun 1990,
hasil pemeriksaan endoskopi dapat dibagi menjadi 4 derajat yaitu:
Derajat I : Pneumothorax dengan gambaran paru yang mendekati normal (40%)
Derajat II: Pneumothorax dengan perlengketan diserati hemotorak (12%)
Derajat III : Pneumothorax dengan diameter bleb atau bulla <2 cm (31%) 12
Derajat IV : Pneumotohorax dengan banyak bulla yang besar, diameter > 2cm (17%)
(Hisyam dan Budiono, 2009).
2.6. Diagnosa Banding

Pneumothorax dapat member gejala seperti infark miokard, emboli paru dan
pneumonia. Pada pasien muda, tinggi, pria dan perokok jika setelah difoto diketahui
ada pneumothorax, umumnya diagnosis kita menjurus ke pneumothorax spontan
primer. Pneumothorax spontan sekunder kadang-kadang sulit dibedakan dengan
pneumothorax yang terlokalisasi dari suatu bleb atau bulla subpleura (Hisyam dan
Budiono, 2009).
2.7. Penatalaksanaan

Berdasarkan British Thoracic Society dan American College of Chest Physicians


telah memberikan rekomendasi untuk penanganan pnenumothorax. Prinsip-prinsip
penanganan pneumothorax:
2.7.1. Observasi dan Pemberian Tambahan Oksigen

Observasi dilakukan dalam beberapa hari (minggu) dengan foto dada serial tiap 12-24
jam selama 2 hari bisa dilakukan dengan atau tanpa harus dirawat rumah sakit. Jika
pasien dirawat di rumah sakit dianjurkan untuk memberikan tambahan oksigen.
Pasien dengan luas pneumothorax kecil unilateral dan stabil, tanpa gejala
diperbolehkan berobat jalan dan dalam 2-3 hari pasien harus kontrol lagi (Hisyam dan
Budiono, 2009).
2.7.2. Aspirasi dengan Jarum dan Tube Torakostomi

Tindakan ini dilakukan seawal mungkin pada pasien pneumothorax yang luasnya
>15%. Tindakan ini bertujuan mengeluarkan udara dari rongga pleura (dekompresi).
Tindakan dekompresi dapat dilakukan dengan cara : 1). Menusukkan jarum melalui
dinding dada sampai masuk rongga pleura, sehingga tekanan udara positif akan
keluar melalui jarum tersebut. 2). Membuat hubungan dengan udara luar melalui
saluran kontra ventil, yaitu dengan:
a. Jarum infus set ditusukkan ke dinding dada sampai masuk rongga pleura, kemudian
ujuang pipa plastic di pangkal saringan tetesan dipotong dan dimasukkan ke dalam
botol berisi air kemudian klem
13
dibuka, maka akan timbul gelembung-gelembung udara didalam botol

b. Jarum abbocath no.14 ditusukkan ke rongga pleura dan setelah mandarin dicabut,
dihubungkan dengan pipa infus set, selanjutnya dikerjakan seperti (a)

c. Water Sealed Drainage (WSD): pipa khusus (kateter urine) yang steril dimasukkan
ke rongga pleura dengan perantaraan trokar atau klem penjepit (Hisyam dan Budiono,
2009).

Gambar 4. Penanganan dengan melakukan Water Sealed Drainage (WSD)


Menurut Asril penatalaksaan pneumothorax spontan dibagi dalam:
Pneumothorax spontan primer, terjadi pada usia muda dengan fungsi paru normal,
maka akan sembuh sendiri. Evaluasi selanjutnya perlu berhati-hati sampai
pengembangan paru sempurna. Pneumothorax spontan primer ukuran besar, bila pada
aspirasi pipa kecil tidak mengembang dalam 24-48 jam, perlu dipasang pipa
interkostal besar, dengan Water Sealed Drainage
14
(WSD) atau pengisapan secara perlahan-lahan memakai katup flutter (continuous
suction). Bila paru sudah mengembang, biarkan pipa rongga pleura di tempatnya
dengan diklem alirannya dan dievaluasi selama 24 jam. Apabila udara masih menetap
dalam rongga pleura selama 1 minggu, perlu dilakukan torakotomi (Hisyam dan
Budiono, 2009).
Pneumothorax spontan sekunder: sebelum melakukan pemasangan pipa rongga
pleura, perlu diyakini lagi adanya pneumothorax pada pasien-pasien emfisema,
karena tindakan tersebut dapat berakibat fatal. Pengeluaran udara biasanya secara
terus-menerus (continuous suction) sampai beberapa hari hingga fistula bronkopleura
(Broncho Pleural Fistel=BPF) menghilang. Bila gagal mengembang sempurna, dapat
dipasang pipa rongga pleura kedua dan bila gagal juga mengembang setelah 1
minggu, perlu operasi torakotomi (Hisyam dan Budiono, 2009).
2.7.3. Torakoskopi

Torakoskopi adalah suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks
dengan alat bantu torakoskop (Hisyam dan Budiono, 2009).
Torakoskopi yang dipandu dengan video (Video Assited Thoracoscopy Surgery =
VATS) memberikan kenyamanan dan keamanan baik bagi operator maupun
pasiennya karena akan diperoleh lapangan pandang yang lebih luas dan gambar yang
lebih bagus. Tindakan ini sangat efektif dalam penangan Pneumothorax spontan
primer dan mencegah berulangnya kembali. Dengan prosedur ini dapat dilakukan
untuk pleurodesis (Hisyam dan Budiono, 2009).
Tindakan ini dilakukan apabila:
Tindakan aspirasi maupun WSD gagal
Paru tidak mengembang setelah 3 hari pemasangan tube torakostomi
Terjadinya fistula bronkopleura
Timbulnya kembali pneumothorax setelah tindakan pleurodesis
15
Pada pasien yang berkaitan dengan pekerjaannya agar tidak mudah kambuh
kembali seperti pada pilot dan penyelam (Hisyam dan Budiono, 2009).
2.7.4. Torakotomi

Tindakan pembedahan ini indikasinya hampir sama dengan torakoskopi. Tindakan ini
dilakukan jika dengan torakoskopi gagal atau jika bleb atau bulla terdapat di apek
paru, maka tindakan torakotomi ini efektif untuk reseksi bleb atau bulla tersebut
(Hisyam dan Budiono, 2009).
2.8. Komplikasi

Pneumothorax tension (terjadi pada 3-5% pasien pneumothorax), dapat


mengakibatkan kegagalan respirasi akut, pio-pneumothorax, hidro-
pneumothorax/hemo-pneumothorax, henti jantung paru dan kematian (sangat jarang
terjadi); pneumomediastinum dan emfisema subkutan sebagai akibat komplikasi
pneumthorax spontan, biasanya karena pecahnya esophagus atau bronkus, sehingga
kelainan tersebut ditegakkan (insidensinya sekitar 1%), pneumothorax simultan
bilateral, insidensinya sekitar 2%, pneumothorax kronik, bila tetap ada selama waktu
lebih dari 3 bulan, insidensinya sekitar 5% (Hisyam dan Budiono, 2009).
2.9. Prognosis

Pasien dengan pneumothorax spontan hampir separuhnya akan mengalami


kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun setelah pemasangan tube
thoracostomy. Kekambuhan jarang terjadi pada pasien-pasien pneumthorax yang
dilakukan torakotomi terbuka. Pasien-pasien yang penatalaksanaanya cukup baik,
umumnya tidak dijumpai komplikasi (Hisyam dan Budiono, 2009). 16
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pneumothorax adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam pleura yang
menyebabkan kolapsnya paru.
Pneumothorax memiliki beberapa klasifikasi baik berdasarkan dari penyebab dan
berdasarkan jenis fistulanya.
Diagnosa pneumothorax berdasarkan manifestasi klinik dilihat dari gejala-gejala yang
dikeluhkan pasien pneumothorax, pemeriksaan klinik dan pemeriksaan penunjang
yang dilihat dari pemeriksaan foto toraks, CT-scan dan pemeriksaaan lainnya yang
dinilai adalah terdapat bulla dan luas permukaan terjadi pneumthorax.
Pentalaksaan peneumthorax adalah dengan observasi dengan memberikan oksigen
dan pemasangan WSD,torakoskopi dan torakotomi. Sehingga pasien tidak terjadi
komplikasi dan memiliki prognosis yang baik.
3.2. Saran
Pneumothorax harus ditangani lebih serius, dimana harus mengetahui gejala-gejala,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pneumothorax baik berdasarkan
penyebabnya, dan fistulanya. Penanganan harus memiliki terampil untuk melakukan
pemasangan WSD.
Pneumothorax jika tidak ditangani lebih serius akan terjadi komplikasi sehingga akan
memperberat pasien itu sendiri, terutama pada kasus kecelakaan. Umumnya
pneumothorax terjadi setelah pasien mengalami kecelakaan. Dan paling sering terjadi
adalah pneumothorax tension yang merupakan kasus paling banyak yang terjadi. Oleh
karena itu, sebagai dokter umum juga harus terampil dalam penanganan untuk
pemasangan WSD karena untuk menyelamatkan jiwa pasien. 17
DAFTAR PUSTAKA
Amita, R.A., 2012. Pneumothorax. Referat.Makassar.Bagian Radiologi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.
Guyton,A.C.,Hall,J.E.,2007.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Edisi
11.Jakarta:EGC.hal 495-496
Henry,M.,et al.,2003. BTS guidelines for the management of spontaneous
pneumothorax.Thorax 2003;58(Suppl II):ii39-ii52.Available from:
www.thoraxjnl.com {Accesed 30 Agustus 2013}
Hisyam,Barmawi., dan Budiono, Eko., 2009. Pneumotoraks Spontan. in Sudoyo
AW,Setiyohadi B, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Edisi ke-4. internal
publising FK UI. hal.,: internal publising FK UI. hal. 2339-2346 (Jakarta 2009).
Punarwarba,I.W.A., dan Suarjaya,P.P., 2013. Identifikasi Awal dan Bantuan Hidup
Dasar Pada Pneumothoraks. Bagian/SMF Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif,
Fakultas Kedokteran,Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar.
Sharma,Anita., Jindal, Parul., 2008. Principles of Diagnosis and Management of
Traumatic Pneumothorax. Journal of Emergencies, Trauma and Shock,1:1,January-
June 2008. Avalaible from: www.onlinejets.org {Accesed 30 Agustus 2013}
Ward, J.P.T.,Ward ,J., Leach, R.M., Wiener, C.M., 2007. At a Glance Sistem
Respirasi. Edisi ke-2. Jakarta:EGC.

Anda mungkin juga menyukai