Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

SISTEM MUSKULOSKELETAL DENGAN GANGGUAN FRAKTUR

DI SUSUN OLEH :

HESTI PUTRI ROZANA


J200140013

PRODY DIII KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2016
A. Definisi

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai


dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan
pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya,
terjadinya jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat
diabsorbsinya (Smeltzer, 2001).
Cruris berasal dari bahasa latin crus atau cruca yang berarti tungkai bawah
yang terdiri dari tulang tibia dan fibula (Ahmad Ramali).
Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang
dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Brunner & Suddart,
2000)

B. Klasifikasi
1. Fraktur berdasarkan derajat atau luas garis fraktur terbagi menjadi :
a. Fraktur complete : tulang patah terbagi menjadi dua bagian (fragmen)
atau lebih.
b. Fraktur incomplete (parsial). Fraktur parsial terbagi lagi menjadi :
1) Fissure/Crack/Hairline, tulang terputus seluruhnya tetapi masih di
tempat, biasa terjadi di tulang pipih.
2) Greenstick Fracture, biasa terjadi pada anak-anak dan pada os. radius,
ulna, clavikula dan costae.
3) Buckle Fracture, fraktur dimana korteksnya melipat ke dalam.
2. Berdasarkan garis patah atau konfigurasi tulang:
a. Transversal, garis patah tulang melintang sumbu tulang (80-100 0 dari
sumbu tulang)
b. Oblik, garis patah tulang melintang sumbu tulang (<800 atau
>1000 dari sumbu tulang)
c. Longitudinal, garis patah mengikuti sumbu tulang
d. Spiral, garis patah tulang berada di dua bidang atau lebih
e. Comminuted, terdapat dua atau lebih garis fraktur.

3. Berdasarkan hubungan antar fragman fraktur :


a. Undisplace, fragment tulang fraktur masih terdapat pada tempat
anatomisnya
b. Displace, fragmen tulang fraktur tidak pada tempat anatomisnya,
terbagi menjadi:
1) Shifted Sideways, menggeser ke samping tapi dekat
2) Angulated, membentuk sudut tertentu
3) Rotated, memutar
4) Distracted, saling menjauh karena ada interposisi
5) Overriding, garis fraktur tumpang tindih
6) Impacted, satu fragmen masuk ke fragmen yang lain.
4. Secara umum berdasarkan ada tidaknya hubungan antara tulang yang fraktur
dengan dunia luar, fraktur juga dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Fraktur tertutup, apabila kulit diatas tulang yang fraktur masih utuh
b. Fraktur terbuka, apabila kulit diatasnya tertembus dan terdapat luka
yang menghubungkan tulang yang fraktur dengan dunia luar yang
memungkinkan kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke
tulang, terbai atas :
1) Derajat I
a) Luka kurang dari 1 cm
b) Kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka
remuk.
c) Kraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif
ringan.
d) Kontaminasi ringan.
2) Derajat II
a) Laserasi lebih dari 1 cm
b) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse
c) Fraktur komuniti sedang.
3) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi
struktur kulit, otot dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat
tinggi.

C. Etiologi

1. Trauma
Fraktur karena trauma dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Trauma langsung. Benturan pada tulang mengakibatkan ditempat
tersebut.
b. Trauma tidak langsung. Titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur
berjauhan.
2. Fraktur Patologis
Adalah suatu fraktur yang secara primer terjadi karena adanya proses
pelemahan tulang akibat suatu proses penyakit atau kanker yang bermetastase
atau osteoporosis.
3. Fraktur akibat kecelakaan atau tekanan
Tulang juga bisa mengalami otot-otot yang berada disekitar tulang
tersebut tidak mampu mengabsorpsi energi atau kekuatan yang menimpanya.
4. Spontan
Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.
5. Fraktur tibia dan fibula yang terjadi akibat pukulan langsung, jatuh dengan
kaki dalam posisi fleksi atau gerakan memuntir yang keras.
6. Fraktur tibia dan fibula secara umum akibat dari pemutaran pergelangan kaki
yang kuat dan sering dikait dengan gangguan kesejajaran. (Apley, G.A. 1995 :
840)

D. Patofisiologi
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma. Baik
itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur bemper mobil, atau tidak
langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak tangan menyangga. Juga
bisa karena trauma akibat tarikan otot misalnya: patah tulang patela dan olekranon,
karena otot trisep dan bisep mendadak berkontraksi. (Doenges, 2000:629)
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan
ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya
mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-
sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran
darahketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di
tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala
untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang
baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru
mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati Carpenito (2000:50)
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan
dengan pembengkakan yg tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke
ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total
dapat berakibat anoksia jaringanyg mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun
jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner & suddarth,
2002: 2387).
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari
yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan
rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan
pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang
membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan
terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan
ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi
terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan
leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari
proses penyembuhan tulang nantinya (Doenges, 2000:629).

E. PATHWAY
F. Manifestasi klinis
1. Deformitas
2. Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari
tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti : rotasi
pemendekan tulang, Penekanan tulang
3. Bengkak : edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah
dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur.
4. Echumosis dan perdarahan subculaneus
5. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur.
6. Tendernes atau keempuka
7. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya
dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
8. Kehilangan sensasi (Mati rasa, munkin terjadi dari rusaknya
saraf atau perdarahan).
9. Pergerakan abnormal
10. Syock hipovolemik dari hilangnya hasil darah.
11. Krepitasi

G. Pemeriksaan diagnostik
1. Foto Rontgen : Untuk mengetahui lokasi, tipe fraktur dan garis fraktur
secara langsung. Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan
operasi dan selama proses penyembuhan secara periodik
2. Skor tulang tomography, skor C1, MRI : dapat digunakan
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler
4. Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi ) atau
menrurun. Peningkatan jumlah SDP adalah respon stres normal setelah
trauma
5. Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfusi
multiple atau cedera hati.

H. Penatalaksanaan Medis
1. Rekognasi
Pergerakan relatif sesudah cidera dapat mengganggu
suplai neurovascular ekstremitas. Karena itu begitu diketahui kemungkinan
fraktur tulang panjang, maka ekstremitas yang cedera harus dipasang bidai
untuk melindunginya dari kerusakan.
2. Traksi
Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang
fraktur untuk meluruskan bentuk tulang. Ada 2 macam yaitu:
a. Skin Traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan
menempelkan plester langsung pada kulit dan biasanya
digunakan untuk jangka pendek (48-72 jam).
b. Skeletal traksi adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan
tulang yang cedera pada sendi panjang untuk mempertahankan
bentuk dengan memasukkan pins atau kawat ke dalam tulang.
3. Reduksi
a. Reduksi Tertutup/ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
b. Reduksi Terbuka/OREF (Open Reduction Eksternal Fixation)

4. Imobilisasi Fraktur
Setelah fraktur di reduksi, fragment tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna.
I. Perawatan Perioperatif
1. Perawatan Pre Operasi:
a. Persiapan Pre Operasi:
1) Pasien sebaiknya tiba di ruang operasi dengan daerah yang
akan di operasi sudah dibersihkan (di cukur dan personal
hygiene)
2) Kateterisasi
3) Puasa mulai tengah malam sebelum operasi esok paginya
(pada spinal anestesi dianjurkan untuk makan terlebih
dahulu)
4) Informed Consent
5) Pendidikan Kesehatan mengenai tindakan yang dilakukan
di meja operasi
2. Perawatan intra Operasi:
a. Menerima Pasien dan memeriksa kembali persiapan pasien
b. Identitas pasien
c. Surat persetujuan operasi
d. Pemeriksaan laboratorium darah, rontgen, EKG.
e. Mengganti baju pasien
f. Menilai KU dan TTV
g. Memberikan Pre Medikasi : Mengecek nama pasien sebelum
memberikan obat dan memberikan obat pre medikasi.
h. Mendorong pasien kekamar tindakan sesuai jenis kasus pembedahan
i. Perawatan dilakukan sejak memindahkan pasien ke meja operasi
samapai selesai

J. Komplikasi
a. Compartement syndrome : Merupakan komlikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut.
Tekanan intracompartement dapat dibuka langsung dengan cara whitesides.
Penanganan: dalam waktu kurang 12 jam harus dilakukan fascioterapi.
b. Infeksi : Pada trauma orthopedic infeksi di mulai pada kulit (superficial) dan
masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi juga bisa
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat
c. Avaskuler nekrosis : Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah
ketulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali
dengan adanya Volkmans Ischemia
d. Shock : karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler
yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi.
e. Kekakuan sendi: Hal ini disebabkan karena pemakaian gips yang terlalu lama.
Pada persendian kaki dan jari-jari biasanya terjadi hambatan gerak, hal ini dapat
diatasi dengan fisiotherapi .

a. Konsep asuham Keperawatan


1. Pengkajian
a. Identitas Pasien
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri pada daerah Fraktur, Kondisi fisik yang lemah, tidak bisa
melakukan banyak aktivitas, mual, muntah, dan nafsu makan
menurun, (Brunner & suddarth, 2002)
2) Riwayat Penyakit dahulu
Ada tidaknya riwayat DM pada masa lalu yang akan
mempengaruhi proses perawatan post operasi, (Sjamsuhidayat
& Wim Dejong)
3) Riwayat Penyakit Keluarga
Fraktur bukan merupakan penyakit keturunan akan tetapi
adanya riwayat keluarga dengan DM perlu di perhatikan karena
dapat mempengaruhi perawatan post operasi
b. Pola Kebiasan
1). Pola Nutrisi : Tidak mengalami perubahan, namun beberapa
kondisi dapat menyebabkan pola nutrisi berubah, seperti nyeri
yang hebat, dampak hospitalisasi
2). Pola Eliminasi : Pasien dapat mengalami gangguan eliminasi
BAB seperti konstipasi dan gangguan eliminasi urine akibat
adanya program eliminasi
3). Pola Istirahat : Kebutuhan istirahat atau tidur pasien tidak
mengalami perubahan yang berarti, namun ada beberapa
kondisi dapat menyebabkan pola istirahat terganggu atau
berubah seperti timbulnya rasa nyeri yang hebat dan dampak
hospitali
4). Pola Aktivitas : Hampir seluruh aktivitas dilakukan ditempat
tidur sehingga aktivitas pasien harus dibantu oleh orang lain,
namun untuk aktivitas yang sifatnya ringan pasien masih dapat
melakukannya sendiri, (Doenges, 2000)
5).Personal Hygiene : Pasien masih mampu melakukan personal
hygienenya, namun harus ada bantuan dari orang lain, aktivitas
ini sering dilakukan pasien ditempat tidur.
6). Riwayat Psikologis : Biasanya dapat timbul rasa takut dan
cemas, selain itu dapat juga terjadi ganggguan konsep diri
body image, psikologis ini dapat muncul pada pasien yang
masih dalam perawatan dirumah sakit.
7). Riwayat Spiritual : Pada pasien post operasi fraktur tibia
riwayat spiritualnya tidak mengalami gangguan yang berarti
8). Riwayat Sosial : Adanya ketergantungan pada orang lain dan
sebaliknya pasien dapat juga menarik diri dari lingkungannya
karena merasa dirinya tidak berguna
9). Pemeriksaan Fisik : Pemeriksaan fisik biasanya dilakukan
setelah riwayat kesehatan dikumpulkan, pemeriksaan fisik yang
lengkap biasanya dimulai secara berurutan dari kepala sampai
kejari kaki.
c. Inspeksi : Pengamatan lokasi pembengkakan, kulit pucat, laserasi,
kemerahan mungkin timbul pada area terjadinya faktur adanya spasme
otot dan keadaan kulit.
d. Palpasi : Pemeriksaan dengan perabaan, penolakan otot oleh sentuhan
kita adalah nyeri tekan, lepas dan sampai batas mana daerah yang
sakit biasanya terdapat nyeri tekan pada area fraktur dan di daerah luka
insisi.
e. Perkusi : Perkusi biasanya jarang dilakukan pada kasus fraktur.
f. Auskultasi ; Pemeriksaan dengan cara mendengarkan gerakan udara
melalui struktur berongga atau cairan yang mengakibatkan struktur
solit bergerak. Pada pasien fraktur pemeriksaan ini pada areal yang
sakit jarang dilakukan, (Brunner & Suddarth, 2002)

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan yang dapat ditemukan pada klien pasca operasi
ortopedi adalah sebagai berikut.
a. Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan, pembengkakan, dan
imobilisasi.
b. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan pembengkakan, alat
yang mengikat, gangguan peredaran darah.
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka, pemasangan
traksi (pen, kawat, sekrup)
d. Resiko syok (hipovolemik) berhubungan dengan kehilangan volume
darah akibat trauma (fraktur)
e. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya prosedur invasive.

3. Rencana Keperawatan
Rencana asuhan keperawatan pada klien postoperatif ortopedi disusun seperti
berikut :
a. Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan, pembengkakan, dan
imobilisasi.
Tujuan nyeri berkurang atau hilang dengan
Kriteria Hasil :
1) Klien melaporkan nyeri berkurang atau hilang
2) Meninggikan ekstremitas untuk mengontrol pembengkakan
dan ketidaknyamanan.
3) Bergerak dengan lebih nyaman
Intervensi :
1) Lakukan pengkajian nyeri meliputi skala, intensitas, dan jenis nyeri.
R/ Untuk mengetahui karakteristik nyeri agar dapat menentukan
diagnosa selanjutnya.
2) Kaji adanya edema, hematom, dan spasme otot.
R/ Adanya edema, hematom dan spasme otot menunjukkan adanya
penyebab nyeri
3) Tinggikan ekstremitas yang sakit.
R/ Meningkatkan aliran balik vena dan mengurangi edema dan
mengurangi nyeri.
4) Berikan kompres dingin (es).
R/ Menurunkan edema dan pembentukan hematom
5) Ajarkan klien teknik relaksasi, seperti distraksi, dan imajinasi
terpimpin.
R/ Menghilangkan atau mengurangi nyeri secara non farmakologis
b. Gangguan perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
pembengkakan, alat yang mengikat, gangguan peredaran darah.
Tujuan tidak terjadi kerusakan / pembengkakan
Kriteria hasil :
1) Klien memperlihatkan perfusi jaringan yang adekuat:
2) Warna kulit normal dan hangat.
3) Respons pengisian kapiler normal (crt 3 detik).
Intervensi :
1) Kaji status neurovaskular (misal warna kulit, suhu, pengisian kapiler,
denyut nadi, nyeri, edema, parestesi, gerakan).
R/ Untuk menentukan intervensi selanjutnya
2) Tinggikan ekstremitas yang sakit.
R/ Meningkatkan aliran balik vena dan mengurangi edema dan
mengurangi nyeri
3) Balutan yang ketat harus dilonggarkan.
R/ Untuk memperlancar peredaran darah.
4) Anjurkan klien untuk melakukan pengeseran otot, latihan pergelangan
kaki, dan "pemompaan" betis setiap jam untuk memperbaiki peredaran
darah.
R/ Latihan ringan sesuai indikasi untuk mencegah kelemahan otot dan
memperlancar peredaran darah

c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka, pemasangan


traksi (pen, kawat, sekrup)
Tujuan pasien mampu melaksanakan tugas secara mandiri
Kriteria hasil :
1) Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan sensasi, elastisitas,
temperature, hidrasi, pigmentasi) tidak ada luka /lesi pada kulit
2) Perfusi jaringan baik
3) Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan
mencegah terjadinya sedera berulang
4) Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembapan kulit
dan perawatan alami
Intervensi :
1) Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vascular.
R/ menandakan area sirkulasi buruk/kerusakan yang dapat
menimbulkan pembentukan infeksi.
2) Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membrane mukosa
R/ Mendeteksi adanya dehidrasi/hidrasi berlebihan yang
mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan pada tingkat
seluler.
3) Anjurkan menggunakan pakaian katun longgar.
R/ Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi
lembab pada kulit.
4) Kolaborasi dalam pemberian matras busa
R/ Menurunkan tekanan lama pada jaringan

d. Resiko syok (hipovolemik) berhubungan dengan kehilangan volume darah


akibat trauma (fraktur)
Tujuan pasien tidak terjadi syok selama dalam masa perawatan
Kriteria hasil :
1) Tidak terjadi penurunan kesadran
2) TTV dalam batas normal
3) Perfusi perifer baik (akral hangat, kering dam merah)
Intervensi :
1) Anjurkan pasien untuk lebih banyak minum
R/ Peningkatan intake cairan dapat meningkatkan volume intrvaskuler
yang dapat meningkatkan perfusi jaringan
2) Observasi TTV tiap 4 jam
R/ Perubahan TTV dapat merupakan indicator terjadinya dehidrasi
secara dini.
3) Observasi terhadap tanda-tanda dehidrasi.
R/ Dehidrasi merupakan awal terjadinya syok bila dehidrasi tidak
ditangan secara baik.
4) Kolaborasi dalam
- Pemberian cairan infs atau transfuse
- Pemberian koagulantia dan uterotonika
- Pemasangan CVP
- Pemeriksaan BJ plasma
R/ -
e. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
Tujuan tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil : Tidaks terjadi Infeksi
Intervensi :
a. Kaji respon pasien terhadap pemberian antibiotik
R/ Untuk menentukan antibiotic yang tepat untuk pasien
b. Pantau tanda-tanda vital
R/ Peningkatan suhu tubuh di atas normal menunjukkan adanya
tanda-tanda infeksi
c. Pantau luka operasi dan cairan yang keluar dari luka
R/ Adanya cairan yang keluar dari luka menunjukkan adanya
tanda infeksi dari luka.
d. Pantau adanya infeksi pada saluran kemih
R/ Retensi urine sering terjadi setelah pembedahan
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Sylvia Price. 2001. Pathofisiologi Konsep Klinisk Proses-Proses


Penyakit. Jakarta: EGC.
Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3. Jakarta : EGC
Doengoes, Marylinn. E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif. dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius. FKUI.
Muttaqin, Arif. 2005. Ringkasan Buku Ajar: Asuhan Keperawatan Klien Gangguan
Sistem Muskuloskletal. Edisi 1.

Anda mungkin juga menyukai