Anda di halaman 1dari 3

Pada tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI, Bung Karno mengungkapkan Lima

pemikirannya yang kemudian beliau sebut sebagai Pancasila. Pemikiran Soekarno Tentang
Pancasila
Pemikiran Bung Karno yang brilian adalah Pancasila. Pancasila disampaikan oleh Bung
Karno pada saat sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945. Sidang tersebut adalah
lanjutan sidang dari sidang-sidang sebelumnya yang juga sempat mendengarkan usualn-
usulan mengenai dasar negara seperti dari Dr. Soepomo, pada 31 Mei 1945.
Bung Karno menyampaikan bahwa perlu adanya sebuah dasar dari sebuah negara yang
bersumber dari nilai-nilai asli suatu bangsa tersebut. Maka, untuk Indonesia Bung Karno
menyampaikan lima asas yaitu Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri
Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang
berkebudayaan atau Ketuhanan Yang Mahaesa. Kelima asas tersebut kemudian disebut
dengan Pancasila, yang artinya lima dasar atau lima asas. Dalam sidang BPUPKI tersebut
Bung Karno juga menyampaikan bahwa kelima sila tersebut digali dari jatidiri bangsa
Indonesia.
Tanggal 22 Juni 1945, dirumuskan kembali menjadi Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mohammad Yamin kemudian menamakan rumusan baru itu sebagai Piagam Djakarta.
Dalam sidangnya sehari setelah proklamasi, 18 Agustus 1945 PPKI memutuskan
menghapus tujuh kata dalam Piagam Djakarta, yaitu mengganti rumusan dengan
berdasarkan pada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para
pemeluknya menjadi dengan berdasarkan pada Ketuhanan Yang Mahaesa. Pada sidang
itu PPKI sekaligus meresmikan UUD 1945 yang pembukaannya memuat rumusan resmi
Pancasila yang telah diperbarui.
Dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945 tersebut sebenarnya Bung Karno juga
menawarkan alternatif dari Pancasila untuk diperas menjadi tiga sila saja, Trisila, yaitu,
sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan. Bahkan kemudian Bung Karno
kembali menawarkan, Trisila tersebut bisa diperas kembali menjadi Ekasila, yaitu gotong
royong. Gotong royong inilah yang dianggap Bung Karno sebagai nafas rakyat Indonesia
dalam perjuangan.
Sampai saat ini terbukti bahwa Pancasila benar-benar sebuah dasar negara yang digali dari
bumi pertiwi Indonesia, meski dalam perjalanan sejarahnya begitu banyak kerikil yang
mengganggu, tapi Pancasila tetap diakui menjadi sebuah kalimat bersama bagi rakyat
Indonesia, apapun golongannya. Bung Karno melihat Pancasila sebagai sebuah azimat bagi
Bangsa Indonesia yang patut dibanggakan, bahkan hingga di depan mimbar PBB sekalipun
beliau dengan lantang menyuarakan Pancasila. Kebanggan Bung Karno dan tentunya
masyarakat Indonesia juga terhadap Pancasila karena Pancasila mampu menjadi
pemersatu bagi sekian banyak suku bangsa, agama, dan golongan yang ada di Indonesia.
Dalam pidato Soekarno pada tanggal 1 Juli 1945 yang kemudian diperingati sebagai hari
lahirnya Pancasila ialah momentum bagi Soekarno dalam pembahasan mengenai ideologi
yang akan dibawa oleh Indonesia. Dalam pandangan Soekarno pada saat pidato, Pancasila
yang merupakan dasar dari bangsa dan negara Indonesia menganut sebuah fundamen,
filsafat, dan pikiran yang sedalam-dalamnya, sebagai suatu jiwa hasrat yang sedalam-
dalamnya untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi.[16]
Dasar dari Pancasila tersebut menurut Soekarno adalah semua untuk semua yang
mengandung arti bahwa Pancasila hadir dalam rangka mewadahi berbagai kelompok yang
ada di Indonesia, jadi Pancasila tersebut bukan untuk satu golongan saja, akan tetapi
sebenarnya cerminan dari keragaman berbagai perbedaaan yang ada di Indonesia.
Sebenarnya dasar pertama yang kemudian dijelaskan oleh Soekarno adalah mengenai
kebangsaan, dalam hal ini kebangsaan yang dimaksud adalah seluruh manusia-manusia
yang menurut geo-politik telah ditentukan oleh Allah SWT. Tinggal dikesatuannya semua
pulau-pulau Indonesia dari ujung utara sumatra sampai ke Irian.[17] Disanalah tujuan itu
ingin sampai, mendirikan suatu negara di atas suatu kesatuan bumi Indonesia.
Prinsip yang kedua dari konsep Soekarno adalah internasionalisme, yaitu peri-
kemanusiaan dalam berhubungan dengan manusia lainnya, khususnya di Indonesia dan
umumnya yang berada di dunia. Dengan prinsip ini, maka Indonesia akan menuju pada
persatuan dunia dan persaudaraan dunia. Dalam hal ini, Soekarno berpandangan bahwa
kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia merdeka, tetapi kita harus menuju
pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.[18]
Prinsip yang ketiga kemudian menerapkan dasar mufakat, dasar perwakilan, dan dasar
permusyawaratan. Dengan begitu, dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga
keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam
Badan Perwakilan Rakyat.[19] Sebenarnya pada dasar yang ketiga ini Soekarno ingin
memberikan sebuah pembagian secara proporsional terhadap berbagai elemen yang ada di
Indonesia, sehingga apapun keputusan nanti akan diperjuangkan oleh berbagai elemen
tersebut sesuai kekuatan perjuangan mereka dalam memberikan pengaruh.
Pada tahap keempat adalah prinsip mengenai kesejahteraan sosial, yaitu sebuah prinsip
yang memungkinkan tidak akan adanya kemiskinan di dalam Indonesia merdeka. Dengan
prinsip seperti ini diharapkan bahwa Indonesia merdeka akan menjadi bangsa yang
sejahtera, jauh dari kelaparan, dan cukup pangan serta kaum kapitalis tidak melakukan
pola hegemoni kekuasaannya.
Prinsip yang kelima adalah prinsip yang menghimpun semua agama yang ada di dalam
bangsa dan negara ini, yaitu prinsip tentang ketuhanan. Dengan adanya prinsip ini, maka
bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya
ber-Tuhan. Tuhannya sendiri.[20]
Konsep itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan Pancasila, yaitu lima dasar yang
mempunyai arti filosofis yang berasal dari bangsa dan negara Indonesia. Namun harus
diingat, Pancasila yang ada saat ini telah mengalami penyempurnaan dari segi redaksi
tetapi tidak mengurangi esensi dari apa yang Soekarno jelaskan dalam pidato pertamanya
mengenai dasar negara.
Dalam bagian lain, menurut Soekarno dapat saja Pancasila itu diperas hingga menjadi
satu dan kemudian dapat dikenal dengan sebutan gotong-royong. Konsep gotong-royong ini
merupakan konsep dinamis, bahkan lebih dinamis dari perkataan kekeluargaan. Sebab
konsep gotong-royong ini menggambarkan suatu usaha, satu amal, satu pekerjaan secara
bersama-sama. Gotong-royong adalah pembanting tulang bersama, pemerasan keringat
bersama, perjuangan bantu-biantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua,
keringat semua kebahagiaan semua.[21]
Prinsip gotong royong ada di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara Islam dan yang
Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa
Indonesia.[22 Prinsip gotong-royong tersebut dapat menjadi motor perubahan bagi bangsa
Indonesia dalam merangkai perbedaan yang ada. Dengan begitu, persatuan yang akan
dijalin oleh bangsa ini akan membawa perubahan yang besar.
Dengan demikian, telah dikemukakan bahwa pemahaman Soekarno dalam Pancasila
didasari oleh sikap bangsa Indonesia pula agar terbentuk suatu rasa persatuan yang akan
berimbas pada terbentuknya Indonesia merdeka. Pancasila juga sebenarnya menerapkan
dimensi lain, yaitu suatu dimensi filosofis dalam tujuannya merangkai perbedaan yang ada
di Indonesia. Dapat dilihat sebenarnya, bahwa perbedaan yang ada di Indonesia bukan
untuk dijadikan dasar dari perselisihan yang terjadi, akan tetapi harus dijadikan sebuah
hubungan kolektif yang dapat saling melengkapi.

Anda mungkin juga menyukai